DUNIA HAWA - Indonesia darurat intoleransi. Ya, sesuai hasil survei Wahid Institute, intoleransi, radikalisme, dan fundamentalisme agama rawan terjadi di Indonesia. Hal ini merebak beberapa tahun belakangan ini. Gejala ini semakin menggeliat kala Pemilihan Kepala Daerah Jakarta mendekat.
Mereka juga muncul dalam pelbagai modelnya; dari penolakan, penistaan, pembubaran ibadah, perihal “haram” atribut Natal, pengeboman rumah ibadah, hingga penghapusan pertemanan dari media sosial diakibatkan perbedaan pandangan keagamaan.
Semua hal di atas berawal dari batok kepala bagian depan. Di belakang dahi kita terdapat otak bagian depan atau frontal; satu dari empat bagian besar otak (lainnya adalah parietal, temporal, dan occipital) berperan sebagai pusat pergerakan dan penentuan baik dan benar padaa suatu tindakan.
Secara spesifik, di dalamnya terdapat prefrontal cortex. Lapisan otak yang menutupi hampir seluruh otak depan adalah pusat kognisi, pengambilan keputusan, dan mencerminkan perilaku sosial seseorang. Bagian ini sangat erat hubungannyaa pada dopamin, sebuah senyawa kimia yang menjadi penyambung serabut saraf di otak. Keduanya turut dipengaruhi oleh aktivitas agama sebagai faktor lingkungan.
Dalam sejarahnya agama memang erat kaitannya dengan perkembangan otak. Sekitar 500.000 tahun yang lalu, otak manusia mengalami perkembangan lapisan terluar otak yang disebut neo cortex. Antropolog Robert Dunbar menyebutkan hal itu terjadi pada manusia arkaik, Homo Sapiens pada saat mereka mulai mengenal agama dan bahasa.
Perkembangan manusia kemudian menggiring dan menjadikan agama salah satu peran vital, salah satunya menjadikan agama penyejuk bagi manusia. Hal ini diperkuat oleh adanya temuan bahwa agama dapat mengurangi tingkat stress manusia dan menurunkan tingkat bunuh diri. Melihat kebermanfaatannya dan pentingnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) kemudian mengkategorikan agama sebagai faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup seseorang.
Agama juga menunjukkan perilaku yang luar biasa, khususnya dalam aktivitas otak. Patrick McNamara, pakar neurosains, dalam esainya The Dopamine Switch Between Atheist, Believer and Fanatic menyebutkan bahwa dopamin dan prefrontal cortex telah berperan pada para begawan perdamaian dan pemimpin dunia. Sebut saja Martin Luther King, Mahatma Gandhi, Confucius, hingga Jeanne d’Arc. Mereka adalah orang yang teguh pada tradisi keagamaan dan menjadikan keyakinannya untuk kepentingan umat manusia.
Prefrontal Cortex dan Dopamin
Karl Marx mengucapkan adagium “agama adalah candu”, Richard Dawkins berujar bahwa keseluruhan poin utama dari keyakinan keagamaan adalah bahwa ia tidak didasarkan dari pembenaran rasional. Hal tersebut kiranya dapat dilihat dari prefrontal cortex dan dopamin. Memang nyatanya keduanya bisa melahirkan kreativitas yang luar biasa pada manusia. Namun ada suatu episode ketika keduanya juga dapat melahirkan sesuatu yang di luar dugaan.
Seperti halnya candu, hal itu dapat juga ditemukan pada pemakai obat-obatan halusinogen LSD yang menghasilkan pengalaman religius. Obat halusinogen tersebut meningkatkan aktivitas dopamin di prefrontal cortex yang menjadikan imaji yang nyata. Ketika peningkatan drastis tersebut mencapai titik puncaknya, maka lahirlah penyakit mental pada orang tersebut. Fanatisme, radikalisme, dan intoleransi kemudian terjadi; rasionalitas tertutup oleh gelap mata.
Sisi gelap kombinasi agama-dopamin-prefrontal cortex ini melahirkan Jim Jones (pemimpin agama yang bertanggung jawab bunuh diri massal di Georgetown), Aum Shinrikyo (otak pengeboman gas sarin di Tokyo), hingga Al-Qaidah dengan tragedi 9/11.
Erik Asp dan sejumlah peneliti dari Rumah Sakit Iowa, AS, melakukan penelitian pada 20 pasien dengan kerusakan bilateral dan ventromedial prefrontal cortex (disebut vmPC) yang semuanya terafiliasi dalam aliran keagamaan tertentu. Dari hasil tersebut, dia merumuskan Teori False Tagging yang menyatakan bahwa orang-orang dengan pandangan dunia fundamentalis ekstrim menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada bagian dari lobus prefrontal.
Para peneliti membenarkan teori ini dengan hasil pengukuran untuk memperkirakan tingkatan otoritarianisme, fundamentalisme, dan keyakinan agama yang kuat di antara kelompok-kelompok pasien yang dipilih dengan perubahan patologis di bagian prefrontal ini dan dibuktikan dengan metode pencitraan otak (CT Scan dan MRI).
Ditemukan juga gangguan fitur koordinasi dari bagian depan otak dengan amigdala, yang merupakan sepasang kumpulan serabut yang menyerupai kacang almond. Amigdala ini berperan kepada emosi dan ingatan pada manusia.
Teori tersebut pada percobaan yang dilakukan Asp menyimpulkan bahwa kerusakan pada prefrontal cortex disebabkan oleh adanya pemahaman fundamentalisme dan ekstremisme dalam pandangan agama. Selain dari agama, pandangan dogmatis lainnya bisa menghasilkan kerusakan yang sama seperti nasionalisme, prasangka, dan pandangan sosial lainnya.
Melihat hal itu, seorang pakar neuorsains dari Universitas Oxford memandang hal tersebut sama seperti halnya gangguan mental. Kelak perlakuan dan terapi pada schizophrenia diterapkan juga pada fundamentalis, radikalis, ataupun para intoleransi. Hal itu diutarakannya dalam sebuah peresentasi penelitian di sebuah literary festival.
Apa pun itu, salah kiranya jika agama yang mentah-mentah disalahkan dalam kelainan otak ini. Namun kesalahan itu terdapat pada penganut yang terlalu berlebihan menganut agamanya. Kecenderungan seseorang beragama untuk senantiasa berbuat baik dan hanif, misalnya, ditemukan juga pada penelitian Joni Y. Sasaki dari Universitas California. Sasaki mengatakan bahwa kombinasi gen dopamin reseptor dan agama dapat menghasilkan altruisme dan kebaikan pada individu dan orang lain.
Sekiranya benar pendapat Immannuel Kant bahwa aktivitas moral dan kebaikan itu terjadi dari adanya rasa kewajiban yang rasional, apa pun keyakinan dan kepercayaan politiknya adalah yang utama. Dengan meninggikan kebaikan bersama dan kemaslahatan di atas perihal dogmatis mungkin kita dapat terhindari dari kelainan fungsi dari prefrontal cortex atau dopamin, juga halusinasi mengerikan yang menggiring pada kekerasan.
Maka, waspadailah “terjangkit” kelainan otak itu pada penolakan berkedok agama terhadap calon gubernur, kecintaan berlebihan terhadap calon gubernur, sikap reaktif nan berlebihan pada fatwa atribut Natal, atau bahkan status media sosial yang bersifat provokatif.
No comments:
Post a Comment