HALAMAN

Saturday, January 7, 2017

Kekalapan Imperium Pasca Bebasnya Aleppo


DUNIA HAWA - Seiring dengan kembalinya kontrol Aleppo ke tangan pemerintah Suriah, setelah lima tahun dikuasai oleh kelompok-kelompok teroris, mesin-mesin propaganda Imperium bereaksi dengan kalap. Secara serempak mereka memproduksi dan menyebarkan berita yang menggambarkan bahwa tentara Suriah melakukan pembantaian massal di kota itu. Beberapa aktivis media sosial yang selama ini memang sudah punya rekam jejak menjadi provokator konflik Suriah, menjadi pelaku utamanya, dan kemudian disiarkan ulang oleh media-media mainstream.


Misalnya Lina Shamy dan Mr. Alhamdo, tampil dalam rekaman yang disiarkan ulang oleh BBC. Dalam video itu, Lina dalam bahasa Inggris mengatakan, “To everyone who can hear me, we are here exposed to a genocide” (kepada siapapun yang mendengar kami, di sini kami terancam pembunuhan massal). Hanya dengan sedikit melakukan pelacakan di akun facebooknya, kita akan menemukan bahwa Lina adalah seseorang yang memiliki rekam jejak pertemanan akrab dengan “jihadis”. Mr. Alhamdo yang sering dikutip sebagai narasumber oleh media Barat dalam melaporkan “pembunuhan massal oleh Assad” saat dicek rekam jejaknya, juga sangat terkait dengan kelompok-kelompok “jihad”. Alhamdo juga orang di balik akun twitter “Bana of Aleppo” yang menulis “Lebih baik Perang Dunia III meletus, daripada membiarkan Assad dan Rusia melakukan Holocaust di Aleppo”.

Uniknya, semua buzzer itu tidak pernah mampu memberikan satu foto atau video pun untuk membuktikan tuduhan-tuduhan mereka terkait “kekejaman Assad”. Semua foto dan video yang mereka sebarkan, selalu terbukti palsu atau direkayasa (video dibuat dengan sengaja). Salah satu lembaga yang aktif membuat video rekayasa itu adalah White Helmets, lembaga “relawan” yang didirikan oleh mantan agen intel Inggris James Le Mesurier dengan gelontoran dana 3,5 juta pound dari Inggris dan 16 juta dollar dari USAID. Akun Salman (dari Saudi) yang punya 28 ribu follower menggunakan foto capture dari sebuah video klip musik, yang disebutnya sebagai korban Aleppo.  Foto korban Israel di Gaza disebut sebagai korban Aleppo oleh akun Reem Medhhat yang memiliki 133ribu follower. Akun Dima Sadek yang memiliki 123rb follower menggunakan foto pengeboman di Pakistan yang disebutnya kejadian di Aleppo.

Di era media sosial, orang-orang dengan mudah menyebarkan kebohongan, namun dengan mudah pula terlacak. Pertanyaannya, seberapa orang yang melacak, dan seberapa banyak yang sudah menerima informasi bohong itu tanpa mengetahui sanggahannya? Di sinilah kekuatan media Imperium membuktikan kedigdayaan mereka. Dengan jaringan yang sangat luas dan dana yang besar, terasa amat sulit dilawan.

Pemerintah Suriah secara resmi telah berusaha memberikan klarifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Aleppo, dengan mengadakan konferensi pers pada 9 Desember 2016 di PBB. Misi tetap Suriah untuk PBB menghadirkan 4 pembicara yang menjelaskan dengan detil kondisi di Aleppo dan bagaimana media mainstream telah mendistorsi berita selama 5 tahun terakhir. Namun, paparan Dr. Bahman Azad (anggota Hands Off Syria and Organization Secretary of US Peace Council), Eva Bartlett (jurnalis independen Kanada), Donna Nassor (professor dan pengacara, anggota US Peace Council) dan Sara Flounders (pendiri International Action Center) ini hanya dihadiri oleh tak lebih 10 orang di ruangan yang berkapasitas ratusan orang itu. Suara mereka sayup di tengah riuhnya pemberitaan media mainstream dan para buzzer-nya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang ingin mencari kebenaran? Tentu saja, tabayun (cek dan ricek) dengan berbasis logika adalah langkah terpenting. Bila belum melakukan tabayun, kita perlu menahan diri dari membagi (share) berita.

Dengan hanya mengandalkan logika pun, kita seharusnya mampu mendeteksi kebohongan sebuah berita. Misalnya judul berita “Aleppo Akhirnya Jatuh ke Tangan Rezim Assad”. Bukankah Aleppo adalah salah satu kota di Suriah? Bukankah para milisi jaringan Al Qaida yang berdatangan dari luar negeri untuk menduduki Aleppo? Seharusnya, secara logis, berita itu berjudul “Pemerintah Suriah Berhasil Merebut Kembali Aleppo”.

Untuk tingkat yang lebih rumit, kita bisa melakukan pembandingan 2 berita. Misalnya, RT (milik Rusia) memberitakan bahwa tentara Suriah sudah membuat koridor evakuasi warga sipil, sehingga warga sipil bisa keluar dari Aleppo Timur, sehingga dalam serangan ke Aleppo, tentara Suriah hanya berhadapan dengan “jihadis”. Namun, selama tiga hari koridor itu dibuka, tidak ada warga sipil yang keluar sementara para teroris terus menerus menembaki jalur koridor, dimana ambulans dan bus-bus sudah menanti warga yang keluar. Berita ini bisa kita bandingkan dengan berita dari media Imperium, New York Times, yang menyelipkan satu informasi singkat dari perwakilan PBB, Rupert Corville, yang melaporkan ada 82 pembunuhan yang menimpa warga sipil saat mereka akan melarikan diri keluar dari Aleppo timur. NYT  tidak menyebutkan siapa yang menembak, namun dengan membandingkan berita dari RT, secara logis bisa diambil kesimpulan kelompok mana yang sebenarnya gemar melakukan pembunuhan terhadap warga sipil.

Namun demikian, betapapun kalapnya media mainstream dan jaringannya menebar dusta, kebenaran pasti akan terungkap. Seperti perang Irak tahun 2001 yang diiringi penyebaran berita-berita bohong secara masif,  akhirnya terungkap pada 2011 ketika para pejabat AS mengakui bahwa tidak ada senjata pembunuh massal di negeri 1001 Malam itu.


@dina y sulaeman


No comments:

Post a Comment