HALAMAN

Wednesday, January 11, 2017

Denny Siregar : Selamat Pagi PAKDE


DUNIA HAWA - Pagi, pakde.. Pagi ini cuaca basah habis hujan deras semalam. Aku sudah membuat secangkir kopi untuk teman sebelum memulai kegiatan.


Tiba-tiba aku seperti melihat dirimu. Duduk dihadapanku dengan wajah seperti memendam sesuatu. Tubuhmu bergetar seperti ingin menyampaikan banyak hal yang tidak terpikirkan olehku.

"Kamu pernah merasakan melihat kemiskinan yang benar-benar kemiskinan?". Bibirmu seperti ingin mengungkapkan banyak rahasia kepadaku. "Bayangkan, disatu tempat bahkan ada masyarakat yang harus berjalan kaki berhari-hari hanya sekedar untuk mencari makan... ".

Aku terdiam. Tidak sanggup membayangkannya, tetapi engkau sanggup melihatnya. Itulah mungkin kekuatan terbesarmu sampai sekarang. Kau bangun jalan dari ujung utara ke selatan, hanya supaya mereka yang menghancurkan hatimu itu bisa menikmati kemewahan yang bernama "pembangunan".

Kau beri mereka listrik yang selama ini buat mereka hanya mimpi yang tidak berkesudahan. Kau bangun waduk-waduk besar, hanya supaya mereka tidak menderita karena kekeringan.

Ah, sanggupkah aku berada di posisimu sekarang?

Engkau pasti geram melihat hanya satu persen dari rakyatmu yang serakah turunan menguasai separuh tanah di bumi pertiwi ini. Engkau pasti marah melihat banyak serigala buas yang bertahun-tahun menguasai semua sendi mulai dari pangan sampai air bersih.

Rahangmu pasti berdetak kuat karena mengetahui betapa tertinggalnya kita selama ini hanya karena perilaku orang-orang yang mengaku mencintai ibu pertiwi tapi terus memperkosanya sampai mati.

Dan ketika engkau mulai mengusik zona nyaman mereka, membakar sumber pangan mereka, menghancurkan komunitas mereka, mereka menyerangmu balik dengan segenap tenaga.

Para serigala di migas yang selama ini menikmati kekayaan dari selisih besar harga bensin di Papua, meraung terluka. Para babi di pangan yang selama ini menentukan berapa yang harus kami makan, menjadi sangat liar.
Para ular berbisa yang selama ini berbagi proyek dengan tikus raksasa, menjadi kelaparan. Belum lagi serangan hama dari negeri lain yang terusik karena engkau mengusir mereka. Dan gerombolan binatang penjilat yang ingin memanfaakan kedudukanmu.

Mereka bersatu padu, bergelombang menyerangmu. Engkau digoyang sejak awal memerintah. Difitnah, dicaci dan diancam. Bahkan mereka sanggup membiayai ribuan kaum belalang bodoh untuk menurunkanmu dari jabatan.

Menakjubkan, sama sekali tidak kulihat wajahmu ketakutan. Engkau malah melihatku dengan getir sambil berkata, "Betapa banyaknya energi kita terbuang sia-sia. Uang yang seharusnya untuk pembangunan, malah tercurah untuk menghadapi mereka. Waktu yang seharusnya kita kejar supaya tidak tertinggal dari bangsa lain, terhambat hanya untuk meladeni nafsu mereka. Tenaga yang seharusnya digunakan untuk membersihkan piring kotor dari pesta meriah yang ditinggalkan, harus disisihkan untuk menahan mereka... ".

Engkah mengangkat pundak kurusmu yang lelah menahan begitu besar beban yang ada. Dan entah kenapa - aku seperti melihatmu berbicara kepada seseorang yang telah lama tiada. "Bung, anda benar. Tugasku sekarang jauh lebih berat, karena dulu engkau berperang dengan bangsa lain sedangkan aku harus berperang dengan bangsaku sendiri..".

Engkau berdiri dari dudukmu. Ingin kubuatkan secangkir kopi untukmu. Tapi kurasa kau belum mau. Karena secangkir kopi adalah kemewahan dan engkau masih belum bisa merasakan itu. Belum. Sampai engkau bisa melihat anak-anak bangsamu merasakan kemewahan yang sama, keadilan pembangunan yang sama dan kesetaraan hak yang sama.

Kulihat punggungmu yang hilang dari pandanganku. Kucecap kopi hitamku. Ah, betapa bersyukurnya aku yang hanya orang biasa dengan beban minimal saja. Merdeka dalam arti sesungguhnya tanpa beban tanggung jawab yang begitu berat.

Selamat pagi, pakdeku. Jangan pernah lelah mencintai kami. Kami berjanji akan terus melangkah bersamamu.

@denny siregar


No comments:

Post a Comment