DUNIA HAWA - “Apakah aksi pencoretan ini termasuk bentuk Intoleransi atau Kearifan Lokal? Biasanya kalau pelakunya dari pihak Islam: disebut Intoleran. Kalau pelakunya selain pihak Islam: disebut Kearifan Lokal”.
Berikut kalimat penutup bersifat provokatif dalam portal berita yang saya temukan.
Kejadiannya, sekelompok pemuka adat Bali mencopot baliho serta menghapus kata dan logo “Bali” yang ditulis dengan kaligrafi arab. Pencopotan ini didukung oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (PDP) bernama Arya Wedakarna.
Intoleransi atau Kearifan lokal?
Jangan dijawab dulu. Kita harus paham apa itu intoleransi dan apa itu kearifan lokal. Karena untuk memahami sebuah istilah, perlu kematangan konsepnya. Tidak bisa segala hal diselesaikan dengan sentimen.
Intoleransi adalah ide menolak “perbedaan” sebagai keniscayaan hidup. Pelakunya terikat oleh fanatisme akut yang mengalir deras dalam nadi ideologinya.
Kearifan Lokal adalah kesadaran kultural untuk menjaga keharmonisan suatu komunitas atau penduduk suatu daerah. Dalam negara yang heterogen dan beragam kultur, hal ini sangat etis.
Lalu, umat Hindu yang melarang baliho dan kaligrafi arab di bali itu intoleran atau kearifan lokal?
Untuk menjawab ini, kita tidak bisa menggunakan ayat suci. Karena tidak fair. Ayat suci sudah pasti benar. Benar dalam konteks penalaran masing-masing individu yang meyakininya. Oleh sebab itu, permasalahan seputar budaya jangan diselesaikan dengan dalil agama.
Jangan ramaikan isu ini dengan dalil-dalil agama. Dalil agama silahkan Anda simpan dalam mihrab atau rumah ibadah terdekat.
Sesuai izin konstitusi, Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan sangat menjunjung tinggi budaya leluhur. Mereka diberikan hak untuk mensosialisasikan kepentingan masyarakat mayoritas.
Apakah mereka menghentikan acara shalawatan?
Apakah mereka menghina Nabi Muhammad?
Apakah mereka melakukan sweping atribut maulid?
Apakah mereka menghina Tuhannya kaum Muslimin?
Yang dihimbau oleh Dr. Arya Wedakarna hanya sebuah nilai-nilai yang dianggap merupakan keluhuran. Dan yang diminta untuk dihapus hanya kata “Bali” dan logo dalam bahasa Arab. Bukan yang lain.
Dan satu hal lagi, Pak Arya terlebih dahulu melakukan konsolidasi dengan kepolisian setempat, sehingga sikap mencopot baliho dan menghapus logo itu legal di mata konstitusi.
Ini tidak ada unsur penistaan agama. Jadi sebaiknya bagi yang merasa agamanya belum ternista, jangan mudah dipancing dengan berita provokatif ala takfiri.
Hal ini dilakukan karena Pak Arya meninjau dari sisi kemaslahatan umat Hindu. Jelas berbeda dengan kejadian yang di Bandung. Organisasi abal-abal, tanpa legalitas membubarkan acara natal. Dan jelas bertentangan dengan konstitusi. Berbeda dengan penduduk bali yang dikenal sangat ramah tamah, itu lah yang menjadi salah satu alasan pulau Bali sangat diminati oleh wisatawan asing.
Melecehkan konstitusi menjadi budaya mayoritas
Kaum muslimin di Indonesia masih sangat banyak yang buta orientasi. Sehingga dengan mudah diperdaya untuk tunduk pada tokoh. Serta dengan mudah digiring untuk mengkultuskan tokoh. Padahal mayoritas mereka asli Indonesia, kebanyakan dari pulau jawa. Karena buta orientasi, pemahaman agama yang minim, ditambah lagi software radikalisme diinstall dalam kepala mereka. Dengan serempak, menjadi muslimin yang terang-terangan menentang konstitusi.
Jangan sok suci menyepelekan konstitusi, karena kita tidak hidup dalam kepemimpinan para Nabi. Pilihan logis untuk menyelesaikan problem intoleransi adalah akal sehat dalam konstitusi. Dan ukuran sehat atau tidaknya suatu akal konstitusi bukan dari dalil agama. Tapi akal publik. Akal publik bukan akal “mayoritas”, tapi akal yang diuji secara dialektis dalam ranah sosial dan terbukti valid untuk menjadi solusi terhadap masalah-masalah kewarganegaraan.
Respon yang bijak terhadap kasus Bali
So, soal Bali, jangan belepotan mikir ngalor-ngidul, fitnah sana-sini. Toh kalo memang benar itu intoleransi, Saya pahami itu sebatas reaksi karena sudah muak melihat kelakuan muslimin mayoritas. Seharusnya ini menjadi bahan renungan kaum muslimin sekalian agar lebih hati-hati dalam menerapkan praktik keislaman di tengah-tengah masyarakat.
Jangan hanya karena kebodohan manusianya, Islam secara umum dinilai tak mampu mencerdaskan. Jangan karena kebengisan manusianya, Islam secara umum dinilai tak mampu mendidik moral. Dan jangan karena fitnah manusianya, Islam secara umum dinilai tak mengajarkan metode menerima data.
Untuk kaum muslimin, sebelum terlambat. Mari sama-sama aktifkan kembali akal publik dalam menyikapi suatu permasalahan. Mari kita jaga dalil-dalil suci dalam mihrab dan tempat ibadah masing-masing.
Kita bertanggung jawab untuk menjaga citra agama ini agar tidak terlihat murah dan seolah-olah ingin jadi superior sementara keahlian para pengawalnya hanya sebatas menjerit “kafir!!. bunuh!!, kita difitnah!!, muslimin dihina!!, kita sedang dizolimi!! rapatkan barisan!!”
Mayoritas mental minoritas
Karena ulah pengawal agama yang modelnya seperti itu, jangan heran bila mental mayoritas kita:
Mayoritas tapi suka merasa dihina.
Mayoritas tapi suka merasa disakiti. Suka merasa dikriminalisasi. Suka merasa dimata-matai. Merasa dikhianati, merasa ditipu, dizolimi, dinatalisasi, dihinduisasi, dikristenisasi, dikomunisasi. Dan seluruh sasi-sasi yang lain.
Sejatinya, perasaan-perasaan itu muncul karena keminderan akan sesuatu yang diimaninya. Dan juga sudah terlanjur pamer klaim “mayoritas”, padahal mentalnya sangat ultra minoritas. Sehingga kita akan sangat sulit menyadarkan mereka tentang perlunya sikap yang proporsional untuk keberlangsungan ukhuwah lintas agama di Indonesia.
Beginilah “mayoritas” bila lahir tanpa bidan.
Seharusnya kita belajar dari warga Hindu Bali yang tetap menjunjung tinggi konstitusi dalam penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan kultur setempat. Budayakan disiplin konstituen, karena itulah cara untuk mengebiri konflik. Bila mayoritas Hindu di Bali dapat memberikan kenyamanan bagi muslimin di Bali, kaum muslimin harus malu bila ada warga Muslim yang menciptakan ketidaknyamanan bagi non Muslim.
Jangan selamanya pembelaan kepada non Muslim diartikan toleransi kebablasan, karena seharusnya yang menjadi pelopor toleransi adalah kita Muslimin, bukan mereka. Mengapa? Karena muslimin semuanya meyakini bahwa ide “Tauhid”nya paling sempurna, dan selain Tuhan pasti tidak Esa. Toleransi adalah refleksi dari pengesaan kepada Dzat yang maha tunggal. Sekaligus pembuktian bahwa semua yang dari Tuhan akan kembali ke Tuhan. Bukan dipaksa kembali!
Begitulah kura-kura.
No comments:
Post a Comment