DUNIA HAWA - Kontestasi Pilkada DKI Jakarta telah menjadi perhatian dan perbincangan publik di seantero tanah air. Setelah mencuatnya isu penistaan agama ke ranah publik, provokasi isu SARA terus disuarakan dengan masif. Pasalnya, provokasi tersebut semakin meresahkan masyarakat. Khawatirnya, isu-isu yang terus disuarakan tersebut dapat memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Isu tersebut berawal dari wilayah DKI Jakarta yang terus dimunculkan di berbagai media sosial. Isu tersebut membuat masyarakat mudah terprovokasi dengan media-media yang sifatnya berbau SARA tanpa mengkaji ulang validitasnya.
Menurut Arman Salam, seorang peneliti senior Riset Lingkaran Strategis (RILIS), Pilkada DKI Jakarta telah menjadi perhatian publik bukan hanya di Ibu Kota saja, tetapi di seluruh Indonesia. Bahkan sebagian menganggap pertarungan Pilkada DKI Jakarta merupakan jalan menuju RI satu. sejak isu penistaan agama yang disudutkan oleh Basuki Thahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka, keadaan semakin memanas. Sebagai seorang calon gubernur DKI Jakarta Ahok ditekan untuk dipenjarakan terkait isu tersebut.
Sejak saat itu, situs-situs penebar kebencian mulai bermunculan ke ranah publik. Ironisnya, situs-situs tersebut memainkan isu SARA yang dapat memengaruhi pikiran masyarakat ke arah yang lebih ekstrim. Isu-isu tersebut dimainkan demi menurunkan elektabilitas AHOK, terlebih ia adalah double minority yang mencalonkan diri kembali menjadi gubernur. Lawan-lawan politiknya telah menebar isu SARA demi menjatuhkanya agar tidak dapat mencalonkan diri kembali.
Sekretaris Majlis Tinggi Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, memberi himbauan kepada pendukung Agus Harimurti dan Sylviana Murni agar tidak memainkan isu SARA di Pilkada DKI Jakarta. Amir Syamsuddin juga mengatakan “kami tidak pernah mengakomodir jangan bermain dengan SARA, kami tidak memberi tempat karena itu memecah-belah masyarakat”.
Pidato SBY
Di lain sisi, pidato SBY saat konferensi pers pada Rabu (02/11/2016) di kediamannya Puri Cikeas Kabupaten Bogor Jawa Barat mengatakan, “saya menyerukan setiap orang memilki hak politik yang dijamin konstitusi, yang dalam terminologi politik disebut unjuk rasa. Asalkan tertib, damai, tidak melanggar aturan dan tidak merusak.”
Pidato SBY tersebut disampaikan sebelum terlaksananya aksi damai tanggal 4 november 2016. Dalam pidato tersebut mantan Presiden keenam RI ini mengatakan bahwa unjuk rasa di negara demokrasi adalah unjuk rasa yang tertib dan damai. Unjuk rasa yang bersifat destruktif hanya memicu air mata bangsa ini. Kalau unjuk rasa destruktif maka semua akan menangis. Tidak mudah membangun negeri ini, bertahap dan berlanjut dari generasi ke generasi.
Lebih lanjut SBY mengatakan, “kenapa di seluruh tanah air rakyat melakukan protes dan unjuk rasa. Tidak mungkin tidak ada sebab, maka mari kita lihat dari sebab dan akibatnya.” Menurutnya tidak mungkin rakyat melakukan unjuk rasa untuk bersenang-senang atau jalan-jalan ke Jakarta, melainkan karena pasti ada tuntutan yang tidak didengarkan.
“Tidak ada rakyat berkumpul untuk “happy-happy” atau jalan-jalan ke Jakarta. kalau tuntutan rakyat sama sekali tidak didengar maka sampai lebaran kuda tetap ada unjuk rasa. Mari bikin mudah urusan ini jangan dipersulit. Mari kembali ke kuliah manajemen dan metode pemecahan persoalan, itu kuliah semester satu manajemen kepemimpinanya.” katanya
Mantan Presiden keenam itu juga mengatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta atau Ahok dianggap menista agama, dan penistaan agama itu secara hukum tidak boleh dan dilarang di negeri ini. Di Indonesia sudah ada yurisprudensi serta preseden yang menyebut urusan semacam ini, dan yang bersalah sudah diberikan sanksi.
Jadi kalau ingin negara tidak terbakar amarah penuntut keadilan pak Ahok ya mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Penegakan hukum juga harus 'transparan dan adil, jangan direkayasa. Jika proses penegakan hukum berjalan benar, adil, transparan dan tidak direkayasa, rakyat juga harus terima apapun hasilnya.
Menurut SBY, semua persoalan terkait persoalan pernyataan Ahok harus diserahkan ke penegak hukum, dan kini bola ada di penegak hukum. SBY juga mencermati adanya anggapan bahwa proses hukum bernuansa politis lantaran Ahok kini tengah berstatus sebagai calon gubernur petahana.
Pendapat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), proses hukum tidak akan mengganggu status Ahok sebagai calon gubernur yang memiliki hak berkampanye. Dia secara pribadi berpendapat, apapun yang terjadi berkaitan proses hukum, Pilkada DKI Jakarta tetap harus diikuti tiga pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU DKI Jakarta. Ketiganya harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti kampanye. Dia berpendapat biarkan ketiganya berkompetisi secara adil dan demokratis. “Saya rasa Mas Agus dan Ibu Sylvi, Pak Anies dan Pak Sandi tidak bangga kalau pak Ahok tidak bisa bersaing karena walk out (WO).”
Secara eksplisit, pidato mantan Presiden SBY tersebut membuat tanda tanya besar bagi masyarakat. Ada apa sebenarnya di balik pidato yang dikumandangkan SBY tersebut. Apa karena putra sulungnya mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta, lalu ia harus ikut campur dalam pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mengalahkan Ahok.
Ironisnya, SBY dalam pidatonya membuat justifikasi publik bahwa Ahok telah menistakan agama. Padahal, saat itu status Ahok belum ditetapkan sebagai tersangka. Pidatonya menggeserkan opini publik untuk terus menggelar aksi sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka. Apalagi ia mengatakan bahwa “Kalau tuntutan rakyat sama sekali tidak didengar maka sampai lebaran kuda tetap ada unjuk rasa”. Dalam pidatonya, seolah-olah dirinya menekankan bahwa Ahok harus ditersangkakan. Jika tidak, maka akan ada aksi-aksi yang selanjutnya sampai kapanpun.
Menurut Joseph A. Devito, dalam buku “The Interpersonal Book” , pembicaraan persuasif menengahkan pembicaraan yang sifatnya memperkuat, memberikan ilustrasi, dan menyodorkan informasi kepada orang lain. Akan tetapi, tujuan pokoknya adalah menguatkan atau mengubah sikap dan perilaku. Sehingga penggunaan fakta, pendapat, dan himbauan motivasinya harus bersifat memperkuat tujuan persuasifnya.
Devito juga mengemukakan, ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan pembicaraan persuasif. Agar dapat mengubah sikap, perilaku, dan pendapat sasarn persuasi. Pertama, kejelasan tujuan. Tujuan komunikasi persuasif adalah untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku.
Apabila bertujuan untuk mengubah sikap, maka berkaitan dengan aspek afektif. Mengubah pendapat, maka berhubungan dengan aspek kognitif sedangkan mengubah perilaku maka berkaitan dengan aspek motorik. Kedua, memikirkan secara cermat orang yang dihadapi. Sasaran persuasi memiliki keragaman yang kompleks. Keragaman tersebut dapat dilihat dari sisi demografis, suku bangsa, pekerjaan, dan jenis kelamin.
Apa yang telah dikemukakan oleh Joseph A. Devito, membuktikan bahwa dalam pidato SBY terdapat komunikasi persuasif yang dipandang sebagian masyarakat sebagai ajakan atau seruan untuk melaksanakan aksi demo demi menjadikan Ahok sebagai tersangka karena menista agama. Berangkat dari hal tersebut, isu SARA terus diprovokasi oleh sebagian masyarakat muslim yang fundamental atau sekadar ikut-ikutan saja.
Oleh karena itu, pertarungan Pilkada DKI Jakarta telah menguras tenaga. Opini publik terus dibenturkan dengan adanya isu SARA yang kian masif tersebut. Padahal acuan dalam bernegara adalah Pancasila yang sila pertamanya menjelaskan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
No comments:
Post a Comment