DUNIA HAWA - Pergi kuliah ke luar negeri adalah cita-cita saya sejak kecil. Boleh dikata, selama masa remaja hanya itu yang saya fikirkan. Saya ngotot untuk ikut kursus bahasa Inggris, padahal orang tua saya tak sanggup mengongkosi. Untunglah akhirnya guru saya waktu di madrasah tsanawiyah mau membiayai kursus saya.
Sekitar 3 tahun, 3 kali seminggu saya mengayuh sepeda ke tempat kursus. Ini tempat kursus orang-orang kaya. Mereka datang naik mobol atau sepeda motor. Hanya saya yang naik sepeda butut.
Selama SMA secara rutin saya memantau berita di koran, menumpang baca di rumah teman, untuk mengumpulkan informasi tentang kesempatan untuk sekolah ke luar negeri. Hanya itu yang saya fikirkan. Ada sisi baiknya. Saya berkawan dengan anak-anak nakal yang suka balapan sepeda motor, serta minum minuman keras. Saya tahu kalau semua itu saya lakukan, ada kemungkinan saya tidak akan bisa meraih mimpi saya. Maka, saya tidak pernah mau ikut-ikutan nakal seperti mereka. Saya tetap bergaul dengan mereka, tapi saya punya prinsip garis batas yang jelas, yang tak boleh saya lampaui.
Setelah perjalanan panjang itu, tahun 1987 saat lulus SMA saya mendapat kesempatan untuk ikut tes di Overseas Fellowship Program (OFP) yang diselenggarakan Habibie. Tapi saya gagal. Saya tidak lulus pada tes tahap pertama. Hati saya hancur. Saya merasa perjuangan selama ini sia-sia. Saya juga merasa sangat malu pada guru yang telah membiayai kursus bahasa Inggris saya.
Saya tulis surat permintaan maaf kepada guru saya itu. Tapi dia membalas, "Tak apa nak. Jalanmu masih panjang. Apa yang sudah kau usahakan selama ini pasti akan ada manfaatnya kelak."
Saya sedikit terhibur, tapi masih galau. Kemudian datan lagi surat dari abang saya, membalas keluh kesah saya. Singkat saja.
"Allah tidak menciptakanmu untuk Dia zalimi. Dia memberimu nikmat, juga kegagalan, semata untuk menguji kamu. Bukan untuk menyakiti."
Kalimat-kalimat singkat itu adalah tenaga yang luar biasa besar, yang membuat saya bersemangat kembali mengejar cita-cita saya, hingga akhirnya saya berhasil. Tujuh tahun lagi saya harus bersabar hingga saya bisa kuliah ke luar negeri.
Tapi ujian yang saya hadapi bukan apa-apa dibanding Ni Wayan Trisnawati, pengusaha Kacang Disco, Bali. Ibunya bunuh diri saat ia berumur 1 bulan. Ia hidup di panti asuhan, di mana ia dibenci teman-temannya, karena ia sakit jantung sehingga tidak bisa ikut kerja bakti seperti anak lain. Ia pindah ke sana sini, namun hanya mendapatkan penolakan. Kalau dilihat hidup dia saat itu, sepertinya tak ada tempat bagi dia di dunia ini. Tapi dia bertahan, berjuang, melawan. Akhirnya ia bisa keluar dari berbagai kesulitan, termasuk sembuh dari penyakit jantungnya.
Things that do not kill you make you stronger!
[hasanudin abdurakhman, phd]
No comments:
Post a Comment