DUNIA HAWA - Ada banyak mitos yang dipercaya oleh umat Islam, baik yang menyangkut sejarah masa lalu maupun keadaan masa kini. Mitos-mitos ini selalu dikumandangkan dalam berbagai kesempatan, di pengajian, pelajaran sekolah, juga dalam obrolan. Sebagian besar dari umat Islam itu tidak mengaji dengan benar, juga tidak membaca buku. Mereka mempercayai begitu saja mitos-mitos itu, tanpa pernah mau memeriksanya. Sebaliknya, bila kita ungkapkan pandangan versi lain, mereka akan marah.
Mitos-mitos ini membentuk pola pikir, bingkai bagi mereka dalam melihat segala sesuatu. Maka, sering kali mereka melihat dengan cara yang salah. Salah satu produk kesalahan bingkai ini adalah sikap tidak toleran terhadap agama lain.
Bagi saya mitos-mitos ini harus dibongkar. Fakta-fakta sebenarnya harus dibukakan. Atau setidaknya, sudut pandang lain harus disampaikan kepada mereka. Perubahan sudut pandang diharapkan bisa pula mengubah sikap, ke arah yang lebih toleran.
Berikut beberapa mitos yang dipercaya oleh umat Islam.
1. Mitos Perang Defensif
Umat Islam percaya bahwa pihak Islam tidak pernah memulai perang, atau melakukan perang ofensif. Perang hanya dilakukan untuk membela diri. Ini keliru.
Boleh dibilang bahwa perang-perang defensif hanya terjadi pada masa awal sejarah Islam, seperti Perang Badar, Perang Uhid, dan Perang Khandaq. Perang-perang lain lebih banyak merupakan perang ofensif, di mana umat Islam pergi keluar dari Madinah, untuk menyerbu posisi lawan.
Contohnya adalah perang dengan Bani Qaunuqa. Perang ini terjadi tak lama setelah Perang Badar. Umat Islam yang menang dalam perang yang tak seimbang itu menjadi sangat percaya diri. Nabi Muhammad pergi ke pasar di kampung Bani Qaunuqa, menyampaikan ultimatum, agar kaum Yahudi Bani Qaunuqa masuk Islam. Bila tidak, nasib mereka akan seperti orang-orang Quraisy Mekah.
Ultimatum itu ditolak oleh Bani Qaunuqa. Para penulis sejarah Islam menyebut mereka congkak dengan penolakan itu. Sudut pandang inilah yang dianut oleh umat Islam hingga kini. Padahal, siapakah yang memberi ultimatum?
Penolakan atas uktimatum itu menimbulkan suasana tegang. Hanya diperlukan percikan kecil, untuk menyulutnya menjadi perang. Seorang tukang emas Yahudi iseng mengaitkan kerudung seorang muslimah di pasar, sehingga kerudungnya terlepas. Ia dibunuh oleh seorang lelaki muslim yang ada di situ, kemudian ia dibalas bunuh. Meletuslah perang.
Perang-perang lain adalah perang ofensif, atau setidaknya dalam istilah sekarang bisa disebut pre-emptive strike. Menyerang duluan terhadap musuh yang hendak melakukan serangan ofensif. Misalnya Ekspedisi Mu'ta dan perang dengan Bani Mustaliq.
Dalam sejarah selanjutnya di masa khalifah, tentara Islam bergerak jauh keluar dari jazirah Arab, menaklukkan Syiria, Palestina, Persia, hingga Mesir. Di masa selanjutnya bahkan sampai mencapai daratan Eropa. Bagaimana kita bisa mengatakan orang Madinah mempertahankan diri dengan menaklukkan Persia dan Mesir?
2. Kristen dan Penjajahan
Orang Islam terbiasa menganggap penjelajahan samudera yang kemudian diikuti dengan penjajahan adalah bagian dari misi Kristen. Karenanya mereka sering memandang Kristen sebagai musuh, karena mereka dulu penjajah.
Pandangan di atas tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah. Kerajaan-kerajaan Eropa pada abad pertengahan memang merupakan kerajaan Kristen. Mereka menjelajahi dunia, menaklukkan, kemudian menjajah. Tujuan utamanya, menguasai wilayah, mengambil keuntungan dari berbagai sumber daya alam di daerah taklukan.
Itu semua adalah motif ekonomi belaka. Kebetulan agama resmi kerajaan adalah Kristen, maka misi Kristen juga terbawa dalam kegiatan itu.
Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang Islam. Seperti saya tulis di atas, pasukan khalifah Islam menaklukkan berbagai wilayah, kemudian menguasainya. Orang-orang Islam menceritakan sejarah ini dengan bangga. Tapi mereka tidak menyebut penaklukan ini sebagai penjajahan. Mereka menyebutnya dakwah Islam.
3. Minoritas Muslim Dizalimi
Orang-orang Islam Indonesia selalu mengulangi frasa yang sama,"Umat Islam di negara mayoritas non muslim selalu dizalimi." Itu dijadikan pembenaran saat mereka menzalimi umat lain di Indonesia. Kata mereka, perlakuan yang kalian terima masih mendingan dibanding dengan kaum muslim di negara non muslim.
Kalau menyebut contoh, mereka selalu merujuk ke Palestina dan Myanmar. Padahal keduanya sama sekali tak cocok untuk dipadankan dengan keadaan Indonesia. Palestina sedang dalam konflik militer dengan Israel. Itu yang membuat mereka sengsara. Keadaan itu tak ada hubungannya dengan soal minoritas. Muslim di Palestina adalah mayoritas.
Muslim minoritas di Myanmar memang tertekan. Tapi itu tak membenarkan kesimpulan bahwa seluruh muslim minoritas tertekan dan terzalimi.
Di negara-negara Eropa dan Amerika kaum muslim mendapat ruang gerak yang luas. Mereka bisa berimigrasi, menjadi warga negara, dan mendapatkan hak-hak sebagaimana warga negara lain. Bahkan tidak jarang pula mereka menjadi politikus dan pemimpin. Saat ini setidaknya ada 2 muslim yang menjadi walikota di Eropa, yaitu di London dan Rotterdam. Demikian pula halnya dengan di Amerika dan Kanada.
Ironisnya, tak sedikit muslim yang menderita justru di negeri sendiri, di mana mereka mayoritas, di bawah pemimpin yang muslim pula. Contohnya adalah kaum muslim di kawasan yang terus bergolak, yaitu Syiria, Irak, dan Yaman. Setiap hari mereka terbunuh, terluka, dan terusir.
Itulah beberapa mitos yang dipercayai oleh umat Islam. Masih ada banyak mitos lain. Semua harus dibuka, agar kaum muslim dapat melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang lebih luas.
[hasanudin abdurakhman, phd]
No comments:
Post a Comment