Kafir ! Begitulah Kami dipangil.
DUNIA HAWA - Aku tak mengerti, apa yang membuat kami dipandang sebagai orang kafir? Rasa penasaran membuatku membuka KBBI, mencari penafsiran akan arti kata kafir. Dalam KBBI kafir diartikan sebagai :
ka·fir n orang yg tidak percaya kpd Allah dan rasul-Nya;
-- harbi orang kafir yg mengganggu dan mengacau keselamatan Islam sehingga wajib diperangi;
--muahid orang kafir yg telah mengadakan perjanjian dng umat Islam bahwa mereka tidak akan menyerang atau bermusuhan dng umat Islam selama perjanjian berlaku;
-- zimi orang kafir yg tunduk kpd pemerintahan Islam dng kewajiban membayar pajak bagi yg mampu;
Aku mulai meresapi setiap kata yang tercantum di dalam kamus. Kami umat Kristiani memiliki kepercayaan terhadap sang pencipta. Kami menyebutnya sebagai Allah Bapa. Pada ajarannya kami berpegang teguh. Tapi, tidak peduli seberapa sering kami berdoa dan beribadah, kami tetap dipanggil sebagai orang kafir. Tidak peduli seberapa besar perbuatan baik yang kami lakukan, kami tetap dipanggil sebagai orang kafir.
Rasa sakit semakin bertambah ketika aku menemukan sebuah tulisan yang mengatakan bahwa orang Kristen tidak memiliki iman. Berbagai macam alasan mereka ucapkan untuk mendukung bahwa merekalah yang benar.
Sebenarnya saya bukanlah orang yang memiliki pengetahuan yang dalam terkait agama. Saya bukanlah orang yang ahli dalam bidang agama. Hanya saja saya yakin, setiap orang pasti akan mengatakan bahwa agamanyalah yang paling benar. Hal ini adalah sifat manusiawi. Setiap orang akan lahir dan memiliki pola pikir yang berbeda. Bagaimana pun, saya akan tetap memegang teguh ajaran yang telah saya terima sejak lahir.
Hanya saja, kadang saya merasakan terluka setiap membaca tulisan yang terus saja memojokkan agama saya. Mungkin ini yang membuat orang tua saya terus melarang saya untuk membaca setiap tulisan yang menyinggung tentang agama. Mereka tahu bahwa hanya dengan melihatnya saja akan menggoreskan luka.
Tapi Tuhan sungguh baik, saya dianugerahi orang tua yang penuh kasih dan bijaksana. Betapa pun dalam luka yang menggores, saya tidak pernah melihat orang tua saya memperlakukan orang yang beragama Muslim ataupun agama lainnya dengan semena-mena.
Menghargai adalah hal yang selalu ditekankan kepada kami, anak-anaknya. Salah satu contoh kecilnya adalah saat aku melihat papaku mengingatkan karyawannya untuk salat, aku juga pernah melihat papaku menasehati karyawatinya untuk menggunakan jilbab.
Aku pernah bertanya kepada kedua orang tuaku, apakah sedikit pun tidak ada rasa amarah saat melihat berita penyegelan gereja, pembakaran gereja, komentar menyakitkan tentang orang-orang yang terus menganggap kami sebagai kaum kafir dan komentar-komentar orang yang menghina agama juga kitab suci kami.
Saat itu mereka tersenyum, secara bergantian mereka menjawab pertanyaanku. Saat itu mama berkata, "Ayo kita baca Alkitab." Lalu mama membuka beberapa ayat.
Yang pertama adalah Efesus 4:32 yang menyatakan,
Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Ayat yang kedua adalah Kolose 3:13-14 yang menyatakan,
13. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.
14. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan”. “lihat sayang! kata mama menunjukkan ayat-ayat alkitab tersebut. Ini adalah dua dari sekian banyak ayat yang menuliskan tentang pengampunan.
Kamu harus tahu bahwa seorang kristen tidak boleh hidup dalam kebencian, dendam, iri, marah atau hal-hal yang tidak baik. Bukankah kita harus memiliki sifat mengampuni seperti yang telah Allah ajarkan kepada kita?”
Lalu papaku menambahkan ucapan mama, “Jangan menaruh dendam atas segala ucapan orang yang tak mengerti. Apa pun itu, cobalah untuk berlapang dada, memaafkan. Saling menghargai perbedaan karena setiap orang berhak untuk memeluk agamanya masing-masing. Doakan saja yang terbaik.”
Aku tersenyum, itulah orang tuaku. Memiliki pandangan yang luas, berhati-hati dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan. Dari mereka aku belajar untuk lebih bersabar dan memaafkan orang-orang yang lupa caranya menghargai. Bagaimana pun juga aku senang tinggal di Indonesia yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
[ruth mawar sitorus via qureta]
No comments:
Post a Comment