DUNIA HAWA - Aksi 4 November dan 25 November itu sebenarnya sudah direncanakan jauh hari..
4 November awalnya direncanakan sebagai demo penolakan "pemimpin non muslim", tetapi mendapat siraman bensin sesudah Ahok slip of tongue dan berbelok menjadi aksi "penistaan agama".
Diharapkan demo 4 November itu rusuh dengan terjadinya bentrokan antara pendemo dan aparat. Kemudian akan dibesarkan lagi pada 25 November dengan tema penggulingan Jokowi.
Sayangnya, aksi kemarin itu kurang berhasil. Selain mayoritas pendemo mampu menahan diri dari seruan seruan provokasi, aparat kepolisian juga tidak terpancing untuk melakukan serangan balik.
Sampai disini, terjadi kekecewaan besar dari aktor dibalik layar demo tersebut yang dikabarkan menghabiskan dana puluhan miliar rupiah. Apinya kurang besar untuk seperti kerusuhan Mei 98.
Sebelumnya ada 2 bom di awal November yang terlacak, yaitu bom motor di Sleman dan bom paku di Bantul. Kemungkinan besar bom itu ditinggalkan karena sudah terlacak oleh pihak intelijen. Bayangkan ketika bom itu meledak ditengah demonstran, tentu terjadi kekacauan dan yang akan disalahkan - sekali lagi - pemerintah.
Meski kurang berhasil di 4 November, agenda mereka harus terus berjalan...
Tetapi pemerintah tidak mau kalah...
Mereka harus memecah barisan itu sebelum terkumpul kembali dalam jumlah yang lebih besar. PPATK terus bergerak untuk meneliti sumber keuangan yg menggerakkan demonstrasi itu, untuk mencari celah hukumnya disana dan - jika didapat - rekeningnya bisa dibekukan.
Ini bisa dibilang adu strategi gerak cepat antar aktor dibalik layar vs aparat. Pemerintah tidak mau lagi kecolongan dengan potensi kerugian yang besar...
Strategi cantik digulirkan dengan gelar perkara terbuka kasus penistaan agama.
Pada posisi ini, pemerintah bisa mendapat 2 poin kemenangan. Jika Ahok tidak jadi tersangka, maka diharapkan mereka yang awalnya benar benar demo karena "membela agama" akan mengurungkan niatnya untuk demo kembali, karena toh sudah terbukti Ahok tidak bersalah.
Tetapi itupun masih punya resiko yang besar, karena isu akan dimainkan bahwa Jokowi melakukan intervensi pada Kepolisian. Itulah kenapa FPI takut jika gelar perkara dibuka, karena tidak ada celah untuk memainkan isu dibandingkan jika tertutup..
Resiko yang lebih kecil adalah dengan menjadikan Ahok tersangka, karena sesudah itu berkas akan dilimpahkan ke pengadilan yang akan melalui proses panjang untuk menyatakannya bersalah. Dan selama proses itu, Ahok akan tetap bisa melaksanakan pilkada...
Ketika Ahok menjadi tersangka, maka ada kemungkinan peserta demo kemarin juga akan berkurang jauh ke depannya karena mereka dipaksa untuk menghormati keputusan pengadilan nantinya..
Pihak lawan waspada akan strategi ini yang akan memecah dan melemahkan barisan mereka. Kalau harus menunggu keputusan pengadilan, maka momen emas mereka akan lewat begitu saja. Karena itu sebagai rencana cadangan, mereka juga menggerakkan buruh pada 25 November ini.
Jika barisan pendemo sudah dipecah, maka akan kelihatan bahwa demo "Bela Islam" ini sudah keluar dari tujuannya. Dan yang jelas, demo 25 November tidak mendapat dukungan penuh dari "umat Islam" seperti kemarin.
Ini strategi pecah ombak yang dilakukan persis ketika memecah kekuatan Koalisi Merah Putih di Parlemen.
NU, Muhammadiyah, Majelis Rasulullah dan beberapa organisasi Islam yang lebih kecil yang ulama-ulamanya kemarin diundang Jokowi, akan mundur dari demo lanjutan, karena tujuan sudah bukan lagi "Bela Islam" tapi sudah mengarah ke makar.
Akan lebih mudah aparat mendeteksi siapa-siapa yang ada di balik demo demo ini..
Kopiku sudah habis, masih ada yang mau menuangkan secangkir lagi?
"Kunci memenangkan pertempuran adalah memahami maksud musuh. " Tsun Zu.
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment