DUNIA HAWA - ”Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.” -- Bung Karno
Tak mudah menemukan keaslian dalam wajah perpolitikan di tanah air. Para politikus biasanya cenderung berbicara normatif, hati-hati, bercitra dan berada di menara gading yang terpisah jauh dari rakyatnya. Namun, hal ini tidak berlaku bagi mantan presiden keempat Indonesia, Gus Dur, dan Gubernur DKI Jakarta, Ahok. Mereka adalah “anomali” yang berbeda dari tipikal politikus dan pejabat di tanah air. Bahkan keduanya bisa dikatakan mirip dalam beberapa hal.
Dalam bukunya yang berjudul The Presentational of Self in Everyday Life, Erving Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi. Menurutnya, kehidupan sosial seperti penampilan teateris. Ada panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).
Di panggung depan, orang cenderung memerankan seseorang yang bukan dirinya. Ia berusaha menampilkan citranya. Sementara yang mengetahui kondisi sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Inilah yang disebut panggung belakang (back stage).
Konsep dramaturgi Goffman benar-benar dipraktikkan dalam wajah politik kita. Citra atau image yang berusaha ditampilkan di tengah konstituen atau masyarakat biasanya diatur. Pola kemasan komunikasi, gaya bicara hingga sikap tubuh dirancang sedemikian rupa sehingga mengesankan bahwa sang komunikator adalah tokoh yang memihak rakyat, peduli pada nasib wong cilik dan seabrek sifat terpuji lainnya.
Tetapi dalam realitasnya, citra yang hendak dibentuk tersebut bertolak belakang secara diametral dengan wajah asli yang mereka sembunyikan. Logika Pramoedya Ananta Toer (alm) ada benarnya. Menurut sastrawan penulis “Tetralogi dari Pulau Buru” ini, untuk memahami elite kekuasaan di Indonesia harus memakai rumus X adalah minus X.
Apa yang mereka katakan di depan televisi, surat kabar atau media sosial adalah “kesan” dan bukan pesan sesungguhnya. Rumus atau logika Pram ini Ia dapatkan dari pengalamannya selama puluhan tahun ketika berhadapan dengan elite politik Orde Baru.
Senada dengan Pram, Mochtar Lubis (alm) lebih jauh melakukan otokritik. Wartawan dan sastrawan senior ini pernah mengungkapkan tentang ciri-ciri dan karakteristik manusia Indonesia. Setidaknya ada enam ciri manusia Indonesia, yakni, hipokrit, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik dan memiliki karakter yang lemah. Namun, dalam kaitan artikel ini, penulis hanya mengulas empat ciri yang dianggap relevan.
Ciri pertama, hipokrit atau munafik. “Suka berpura-pura. Lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama,” ungkap Mochtar. Namun, ciri ini sulit kita temukan pada sosok Gus Dur dan Ahok. Pemikiran dan tindak-tanduk keduanya tidak memperlihatkan ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Gaya bahasa mereka natural, apa adanya, dan tidak dibuat-buat.
Gus Dur selain pernah menjadi Ketua PBNU (1984-1999) adalah aktivis yang beroposisi dengan rezim Orde Baru. Ketika menjabat Presiden, Gus Dur tidak sungkan untuk membubarkan Departemen Penerangan yang begitu jumawa di zaman Orde Baru. Ia juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Komitmen Gus Dur merawat kemajemukan dan keberpihakannya pada kaum minoritas di negeri ini semisal minoritas Tionghoa, kelompok Ahmadiyah, Syiah tidak perlu diragukan. Ketika sentimen anti Tionghoa masih membekas setelah kerusuhan Mei 1998 lalu, Gus Dur justru pada Januari 2001 mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Bagaimana dengan rekam jejak Ahok? Setelah Ali Sadikin, Jakarta kembali menemukan sosok Gubernur yang tegas. Reformasi birokrasi yang dilakukannya mulai membuahkan hasil. Rantai birokrasi yang lamban, gemuk dan korup mulai dikikis habis. Apapun yang menghalangi atau tidak mengimbangi kecepatan kerjanya akan dia libas. Citra dirinya adalah kerja. Ia tak segan menyemprot bawahannya jika ditemukan penyimpangan.
Di bawah kendalinya, Jakarta mulai berbenah. Gunungan sampah di sungai-sungai yang sering menjadi biang kerok banjir mulai hilang. Perumahan kumuh yang kurang manusiawi ia gusur dan penghuninya direlokasi. Mungkin yang belum adalah soal kemacetan, tapi Ahok tidak menyerah. Beragam paket solusi tentang hal ini terus digodok seperti penambahan armada transportasi masal, pembatasan lalu lintas ganjil genap dan lainnya.
Ciri Kedua manusia Indonesia versi Mochtar Lubis adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan keputusan, kelakuan dan pikirirannya. Alih-alih mengakui kesalahan, mereka cenderung mengungkapkan jawaban “bukan saya” sembari melemparkan kesalahan kepada bawahan atau mencari alasan untuk dikambinghitamkan.
Nah, sikap ini pun seakan tidak ditemukan dalam sosok Gus Dur dan Ahok. Apapun konsekuensinya, betapapun kebijakan mereka berdua dianggap tidak populer atau dapat memengaruhi peraihan suara di pemilu mendatang tidak memengaruhi sikap dan ritme kerja mereka.
Ciri ketiga adalah jiwa feodalnya. Feodalisme yang kental di kalangan manusia Indonesia melahirkan sebuah sikap yang sering disingkat “asal bapak senang “(ABS). Sikap ABS ini melahirkan kebiasaan menjilat dari bawahan kepada atasan. Sebaliknya dari sisi penguasa, “mereka selalu ingin dihormati dan antikritik.”
Namun, sifat ini sulit ditemukan pada diri Gus Dur dan Ahok. Keduanya tidak gila hormat. Di masanya, Gus Dur menjadikan Istana Negara menjadi istana rakyat. Rakyat yang bersendal jepit dapat masuk ke dalam Istana. Begitu pula sebaliknya, Gus Dur tak jarang menemui mereka dengan celana pendek dan sandal jepitnya.
Ahok pun tak berbakat jadi feodal. Setiap pagi ia menemui warganya di Balai Kota yang mengeluhkan beragam hal atau sekadar meminta foto bersama. Seperti juga Jokowi, ia sering turun ke bawah mengecek pekerjaan pegawainya hingga ke detail terkecil.
Ciri keempat, manusia Indonesia memiliki karakter yang lemah. Ciri ini masih berlangsung hingga sekarang. “Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan dan memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi survive bersedia mengubah keyakinannya." Gus Dur dijatuhkan karena ia konsisten dengan sikapnya. Begitu pula Ahok dikritik keras lawan-lawannya tapi tak membuatnya bergeming sedikit pun.
Dus, di sinilah kita melihat keunikan Gus Dur dan Ahok. Keduanya merupakan kebalikan dari apa-apa yang disampaikan Mochtar Lubis sebagai kecenderungan ciri-ciri manusia Indonesia. Merekalah “anomali” yang tidak mudah ditemukan padanannya dalam wajah politik kita. Tepatlah apa yang dikatakan Bung Karno, tipe Gus Dur dan Ahok adalah tipe “Elang yang terbang sendirian di tengah bebek yang jalan beriringan.”
akhmad faizal reza
No comments:
Post a Comment