DUNIA HAWA - Pilkada DKI sebagai miniatur peta politik Indonesia memang menarik untuk dicermati. Sejak Pilkada DKI 2012 isu SARA sudah ramai dihembuskan untuk menjegal Jokowi-Ahok sebagai Cagub-Cawagub DKI 2012-2017 baik melalui brosur, spanduk hingga ceramah di masjid-masjid. Kini menjelang Pilkada DKI 2017 kehebohan serupa juga terjadi lagi bahkan terasa jauh lebih seru, lebih saru, lebih wagu dan lebih lucu lagi.
Yang pertama berani tampil untuk melawan Ahok adalah Yusril. Sebagai mantan menteri dan ketua partai dia bahkan rela turun derajat dengan mengemis pada partai2 agar diajukan sebagai calon Gubernur DKI (yang levelnya masih di bawah menteri) karena partainya sendiri sudah jadi partai gurem yang hidup segan mati tak mau sehingga tidak mempunyai hak untuk mengajukan calon sendiri. Meski sudah menurunkan derajatnya dua kali toh akhirnya dia tetap gigit jari karena tak ada partai yang peduli hihi....
Kemudian ada musisi papan atas Ahmad Dhani. Mungkin karena sadar industri musik sudah tidak profit lagi dan beban karena harus menanggung 7 keluarga yang ayahnya / tulang punggung keluarganya mati ditabrak oleh anaknya dia lalu banting setir jadi politisi. Meski sudah bikin banyak sensasi dan kontroversi toh tak ada juga partai yang meliriknya. Akhirnya diapun rela turun derajat dengan menerima pencalonan sebagai wakil Bupati Bekasi (turunnya jauh banget dari calon Gubernur cuma jadi calon wakil Bupati hihi...)
Mama Banteng ternyata piawai dalam berpolitik. Dengan mengulur waktu pengajuan calon di detik2 terakhir akhirnya analisa para pengamat dan strategi partai2 saingan jadi buyar semua. Dengan mengulur waktu dia bisa menganalisa dan membaca langkah langkah partai yang lain dengan lebih jeli. Dan dengan mengulur waktu ini dia bisa bikin partai lain kerepotan merencanakan strategi dan mensosialisasikan jagonya karena waktunya jadi semakin mepet.
Tapi toh akhirnya Pilkada DKI tidak bisa lepas dari bayang bayang tiga patron politik yaitu : Megawati, SBY dan Prabowo. Tiga tokoh ini sulit akur karena masing2 punya sakit hati dengan yang lainnya. Megawati sakit hati pada SBY karena dulu merasa disalip di tikungan saat Pilpres 2004. Prabowo sakit hati pada SBY karena dulu ikut memecat dirinya dari TNI. Prabowo juga sakit hati pada Megawati karena merasa dikhianati saat perjanjian Batu Tulis. Dan kini akhirnya kubu Megawati mengajukan : Ahok – Jarot. Kubu SBY mengajukan Agus - Silviana. Sedang kubu Prabowo mengajukan Anies – Sandi.
SBY demi memuaskan ego dan ambisinya untuk melanggengkan politik dinasti berhasil “memaksa” anaknya untuk melepaskan karir militernya yang cemerlang. Politik dinasti SBY sudah tampak saat dia melempar wacana untuk mengajukan Ani Yudhoyono sebagai calon presiden 2019. Demi ambisi ini SBY bahkan terpaksa menjilat ludahnya sendiri karena dulu pernah berkata : “Perwira TNI-Polri jangan bercita-cita jadi Gubernur.” Tapi andai Agus gagal menjadi Gubernur DKI toh dia sudah hampir pasti bakal menjadi Ketum Demokrat menggantikan ayahnya. Dan dengan pencalonan ini setidaknya juga menjadi ajang sosialisasi agar Agus makin dikenal publik untuk memuluskan langkahnya apabila nanti akan maju di Pilpres 2019.
Yang agak unik adalah pencalonan Anies Baswedan. Selama ini Anies dikenal sebagai akademisi yang cerdas, santun, demokratis, toleran dan progresif. Tapi dengan diusungnya dia oleh Gerindra dan PKS maka dikhawatirkan dia akan terjebak oleh gaya politik PKS yang gampang tebar hoax, fitnah dan isu SARA sebagaimana dulu Prabowo dan Gerindra yang dikenal demokrat dan nasionalis juga akhirnya ketularan dengan “penyakit” PKS ini. Cyber team dan pasukan hoax, fitnah dan isu SARA yang dikomandani Juragan Jonru Sinting pasti juga akan beraksi dengan lebih masif lagi. Makin unik lagi karena Anies dulu pernah berkata : "Prabowo-Hatta diusung para mafia."
Yang paling lucu adalah Habib Rizieq dan FPI. Dari awal dia adalah yang paling gencar mengkampanyekan anti Ahok bahkan sampai bikin demo besar-besaran yang berujung kerusuhan hingga mengangkat Gubernur tandingan abal-abal segala. Tapi dia sulit mengajukan calon karena tidak punya kendaraan politik sekaligus tidak punya kader yang populer dan dipercaya serta dicintai rakyat. Akhirnya dia cuma bisa teriak kopar-kapir sendirian kayak orang stress tanpa bisa memberi solusi ataupun alternatif pilihan.
Yang paling ajaib tentunya adalah “Sang Partai Ajaib”. Meski di Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017 ini tidak ada kadernya yang bisa diajukan (karena mungkin tidak ada kadernya yang populer dan dicintai rakyat) tapi sebagai partai ajaib dan oportunis yang terampil dalam berjungkir balik dan berakrobat politik tentunya dia tidak bakal kehabisan cara. Apapun dilakukan yang penting bisa kebagian jatah. Siapapun akan diperjuangkan yang penting bisa dimanfaatkan demi misi dan tujuannya sendiri.
Jadi mari kita saksikan dagelan politik terbaru ini. Mari kita saksikan bagaimana setiap orang berebut untuk menang meski seringkali dengan mengingkari hati nurani dan menjilat ludah sendiri. Mari kita renungi perkataan Nikita Khrushchev (1894-1971) yang pernah mengatakan : "Politisi itu semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai di sana."
[muhammad zazuli]
No comments:
Post a Comment