Dunia Hawa - Terus terang saya heran, kenapa semua pejabat jadi ngomong muter-muter soal Arcandra ini.
Dikutip dari Dirjen Imigrasi :
"Dia menegaskan menegaskan penggunaan dua paspor bukan merupakan tindak pidana. Pemegang paspor baru dapat dipidana bila memberikan data palsu.
Menurutnya, hal itu hanya berkaitan administrasi catatan pembuatan paspor. Jika berkaitan dengan kewarganegaraan, sambungnya, tidak berkaitan perbuatan pidana kecuali masalah administrasi di mana WN Indonesia bisa memilih untuk menjadi warga negara lain."
Dua paspor itu maksudnya apa? Paspor Amerika dan paspor Indonesia? Kalau itu ceritanya, masak Dirjen Imigrasi ngomong belepotan gini.
Urusan Administrasi?
"Ini cuma soal administrasi."
"Apa salahnya dia punya 2 kewarganegaraan? Toh dia sudah memilih untuk jadi WNI."
"Orang hebat mau mengabdi untuk negara, kok dihalang-halangi."
"Ini pasti ulah lawan politik Jokowi."
Itu komentar banyak orang soal kewarganegaraan Arcandra. Intinya, tidak ada yang menyentuh substansi persoalan. Persoalan yang harus diurai: benarkah dia pernah punya paspor Amerika? Ada selentingan bahwa dia pernah pakai paspor Amerika selama 2012-2016 berdasarkan (katanya) data dari pihak imigrasi.
Kalau tidak ada fakta itu, persoalan selesai. Tidak perlu ada pembicaraan lagi.
Tapi kalau dia memang benar pernah punya paspor AS dan jadi WN AS, tidak sesederhana dia memilih jadi WNI lagi, lalu selesai. Begitu dia jadi WNA, status WNI dia hilang. Kalau mau jadi WNI kembali, prosesnya panjang. Tidak cukup dengan pernyataan kemauan saja. Bahkan tidak cukup dengan perintah presiden.
Keterangan resmi saat ini seragam: Arcandra memegang paspor Indonesia. Itu keterangan yang mengambang. Boleh saja dia pegang paspor Indonesia, yang secara administratif bisa dia miliki. Tapi kalau dia pernah pegang paspor AS, maka paspor itu tidak sah.
Sepertinya ada usaha menggampangkan. Ingat, menteri itu efek tugasnya tidak hanya sepanjang dia menjabat. Kalau dia mengeluarkan Peraturan Menteri, itu adalah produk hukum yang berlaku terus, meski dia sudah tidak lagi menjabat. Berlaku sampai peraturan itu diganti. Nah, bagaimana nanti status berbagai peraturan kalau nanti ternyata terbuka fakta bahwa menterinya bukan WNI? Menurut UU, yang boleh jadi menteri hanyalah WNI.
Jadi bukan soal Arcandra itu hebat atau tidak hebat. Bukan soal iri pada jabatan dia. Nggak ada hubungan dengan itu semua.
Maka sekali lagi, ini bukan soal sepele. Ini bukan soal administrasi. Ini soal tata negara. Pertanyaan substansial yang harus dijawab pemerintah adalah:Benarkah ada catatan imigrasi bahwa Arcandra pernah pakai paspor Amerika?
Ini Soal Kredibilitas
Mulanya ini seperti gosip media sosial saja. Saya tadinya juga skeptis soal kewarganegaraan Arcandra. Tapi kemudian Hendropriono angkat bicara, mengatakan bahwa tidak masalah soal dia (Arcandra) punya 2 kewarganegaraan. Menkumham kemudian mengkonfirmasinya.
Sementara itu ada upaya mengaburkan. Mulai dari jawaban ngeles Arcandra soal muka dia yang muka Padang. Juga soal keterangan resmi yang bersayap, "Saat ini Arcandra adalah WNI." Saat ini, tapi bagaimana dengan sebelumnya? Tidakkah situasi sebelumnya punya efek terhadap saat ini?
Kini jelas, Arcandra memang pernah jadi WN Amerika, masuk ke Indonesia pakai paspor Amerika. Bahkan gosipnya, saat dipanggil Jokowi untuk jadi menteri dia masih pakai paspor Amerika. Ini gosip ya, bukan fakta.
Bagaimana mungkin seorang presiden mengangkat WNA jadi menteri? Tidak mungkin. Yang sangat mungkin adalah presiden tidak teliti, atau kecolongan. Ada yang membisikkan soal Arcandra, dan si pembisik tidak peduli soal kewarganegaraan, karena dia bukan presiden. Si pembisik tentu punya agenda yang harus dia golkan. Dia bisa saja mengabaikan segala sesuatu yang lain, selain tujuan dia.
Kini bisa saja Menkumham bilang tidak masalah bla bla bla... merujuk sejumlah peraturan. Itu tinggal soal legal formal saja. UU menyatakan kewarganegaraan Arcandra otomatis gugur, tapi dengan dalih hukum lain, Menkumham mengatakan kewarganegaraannya belum gugur sebelum ada keputusan pengguguran dari Menteri atau Presiden.
Yang tersisa sekarang bukan soal itu lagi, tapi soal kredibilitas. Sangat besar kemungkinan Arcandra tidak berterus terang pada Jokowi soal status kewarganegaraannya. Ini soal kredibilitas.
Sebagai menteri, Arcandra akan membuat sejumlah kebijakan, peraturan menteri, keputusan menteri, dan sebagainya. Bisa saja di bawah rezim Jokowi dia aman, atas dasar tafsir Menkumham tadi. Tapi bagaimana bisa nanti ia dirisafel? Atau, bagaimana kalau Jokowi sudah tidak berkuasa lagi? Tafsir tadi bisa berubah.
Apa-apa yang diputuskan oleh Arcandra nantinya akan gampang digugat, dengan tuduhan cacat hukum. Karena menterinya cacat hukum.
Sekali lagi ini soal kredibilitas. Soal hukum, pakar hukum bisa berdalih ini dan itu. Tapi soal kredibilitas, ini soal yang lebih tajam efeknya. Bagi banyak orang, ini menteri tidak lagi kredibel. Termasuk mungkin bagi banyak pejabat dan pegawai di Kementerian ESDM.
Dukungan atau Penolakan Politik Atas Dasar Personal?
Sepertinya masih banyak orang yang meletakkan dukungan atau penolakan politik atas dasar personal, bukan kebijakan. Kalau dukung Jokowi, ya dukung semua. Kalau tidak dukung semua, anti Jokowi.
Saya mendukung Jokowi. Tapi saya tahu bahwa Jokowi itu manusia, bisa salah. Lebih dari itu, ia politikus. Dalam situasi tertentu seorang politikus mungkin saja sengaja mengambil tindakan salah, untuk kepentingan politik dia.
Karena itu dukungan saya pada Jokowi hanya atas dasar kebenaran. Kalau dia salah, saya harus koreksi. Soal apakah koreksi saya diperhatikan atau tidak, itu soal lain. Yang penting sebagai warga negara saya menyuarakan kebenaran, meski saya harus bertentangan dengan tokoh politik yang saya dukung.
Propaganda
Masalah Arcandra ini adalah soal mafia minyak yang tidak mau diobok-obok. Benarkah? Bisa jadi. Tapi kalau saya baca tulisan Faisal Basri, ini adalah soal tarik menarik kekuatan di sekitar presiden. Soal kepentingan kelompok Darmawan Prasodjo. Ingat, waktu kasus Setya minta saham Freeport nama ini juga sempat disebut-sebut.
Kedua, ini adalah kepentingan politik peminyakan presiden. Kutipan dari tulisan Faisal Basri:
"Presiden menugaskan kementerian ESDM untuk mencari konsultan bereputasi dunia untuk membuat kajian. Pada akhir Desember 2015 konsultan mempresentasikan hasil kajiannya yang menyimpulkan FLNG lebih baik dan lebih menguntungkan negara ketimbang skema onshore.
Rupanya Presiden lebih memercayai masukan lain lewat jalur informal yang berasal dari perusahaan milik Alcandra yang masuk lewat jalur deputi KSP. Akhirnya Presiden mengambil alih kewenangan Menteri ESDM dengan mengumumkan sendiri secara lisan dalam jumpa pers.
Keputusan secara lisan inilah yang dijadikan landasan bagi Menteri ESDM menyurati Inpex Corporation. Bisa dibayangkan kebingungan yang melanda kontraktor dengan landasan hukum tidak tertulis. Tentu amat berisiko investasi megaproyek senilai 14 miliar dollar AS hanya dilandasi oleh ucapan/lisan. Risiko lain adalah Presiden mengambil alih langsung kewenangan yang berada di tangan Menteri ESDM. Jadi bola panas sekarang di tangan Presiden.
Boleh jadi penunjukan Alcandra antara lain untuk mengamankan keputusan Presiden. "
Jadi, apapun ceritanya, kita tidak tahu siapa yang bermian. Siapa serigala siapa domba.
Yang sudah pasti, mengangkat WNA jadi menteri itu sebuah kesalahan, dan itu kesalahan paling tolol dalam sejarah Indonesia.
Inti Persoalan
Inti persoalannya sederhana. Jokowi dibisiki si Darmo untuk mengangkat Arcandra, yang katanya orang hebat di bidang migas. Seperti kasus pengangkatan Anggito jadi Wamenkeu dulu, staf Jokowi lalai ngecek bahwa Arcandra itu bukan WNI lagi. Sekarang Jokowi sudah terlanjur mengangkat Arcandra. Malu dong, masak presiden melakukan kesalahan sefatal itu. Maka, dicarilah berbagai cara untuk membenarkannya.
Sekarang masalahnya cuma soal itu. Presiden mau mengakui kesalahn dan mengoreksi atau tidak.
Sedikit Tetesan dari Istana 🙄
Arcandra datang ke Jakarta dgn memakai paspor Amerika.
Sesmilpres pertama kali mengecek soal ini ke Kemenlu
Sesmilpres meminta BIN lalukan pengecekan
BIN mengkonfirmasi kebenaranya dan melapor ke presiden jumat kemarin
Presiden minta Arcandra menghadap sabtu pagi.
Arcandra sdh siap mundur lewat prescon sabtu pagi sebelum bertemu presiden
Sabtu subuh, presiden utus kabiro protokol jemput Arcandra di rumah dinasnya, sebelum sempat bikin prescon
Arcandra tiba di istana pukul 7 pagi, Presiden ngamuk karena merasa dibohongi
Arcandra tawarkan dirinya mundur, Presiden makin ngamuk, merasa itu mencoreng muka
Arcandra ditinggal bersama sesneg dan bbrp pejabat untuk atur jalan keluar
Akhirnya muncul penjelasan spt skr, dr mensesneg. Hendro bicara biar Sutiyoso diem
Selanjutnya, istana akan menunggu perkembangan
Karena reshuffle kelewat sok rahasia. BIN ga dikasih input sejak awal...
Dermawan Prasodjo (Darmo)
Darmawan Prasodjo, nama itu disebut Faisal Basri sebagai pihak yang menyodorkan Arcandra sebagai calon menteri kepada Jokowi. Siapa itu Darmo?
Darmawan biasa menyebut dirinya Darmo. "Yang penting jangan dibalik jadi Modar," katanya. Setahu saya dia mantan orang BPPT yang dikirim Habibie sekolah. Tapi tidak kembali ke BPPT. Dia kabarnya pernah malang melintang di Amerika.
Di blognya ia mengaku kerap menyusun kebijakan soal perminyakan dan energi untuk gedung putih. Ia mengaku mahasiswa pemenang Hadiah Nobel Ekonomi. Namun setelah saya teliti, profesornya memang termasuk pemenang Hadiah Nobel, tapi bukan bidang ekonomi, tapi perdamaian, bersama Al Gore.
Sepele? Bagi saya itu soal fundamental. Itu soal kecerdasan membedakan antara Nobel Ekonomi dan Nobel Perdamaian. Atau, soal menjelaskan sesuatu dan mengaburkan sesuatu.
Kembali ke Indonesia dengan semangat untuk membangun Indonesia bla bla bla seperti yang biasa diucapkan oleh para politikus, Darmo masuk PDIP. Sementara itu ia sempat aktif sebagai pengajar di Universitas Surya. Masih soal pengakuan, ia katanya pernah juga diminta untuk menjadi karyawan Bank Indonesia dan ITB. Dua lembaga itu setahu saya merekrut karyawan dengan seleksi terbuka, bukan meminta orang per orang.
Darmo sempat jadi caleg PDIP pada pemilu 2014, tapi tidak lolos. Ia kemudian menjadi staf khusus presiden di bawah koordinasi Luhut. Posisi itu sepertinya masih ditempatinya sampai sekarang. Namanya sempat mencuat dalam rekaman kasus Setya Novanto, tapi ia membantah terlibat.
Begitulah sekelumit soal pembisik presiden.
Ini soal mafia vs para pahlawan yang mau menyelamatkan negara? Entahlah. Politik itu dunia yang tidak jelas. Mafia banyak yang mengaku pahlawan. Sedangkan pahlawan tidak sedikit yang berubah jadi mafia yang lebih ganas saat masuk ke lingkar kekuasaan.
[hasanudin abdurakhman, phd]
No comments:
Post a Comment