HALAMAN

Tuesday, August 2, 2016

Menolak Hukuman Mati Berarti Membela Penjahat




Dunia Hawa - Jumlah total negara yang menghapus hukuman mati, baik secara de facto maupun de jure, mencapai 140 negara. Namun, hukuman ini masih tetap diberlakukan di 58 negara dan wilayah. Dua dari 10 negara ASEAN, yakni Kamboja dan Filipina telah menghapuskan hukuman mati, sementara negara lain seperti Singapura telah melakukan perubahan kebijakan secara bertahap terkait hukuman mati. Beberapa negara yang masih memberlakukan hukuman mati termasuk India, Indonesia, dan Arab Saudi.

Atas nama HAM, mereka menolak hukuman mati. Hukuman mati dianggap melanggar HAM. Aneh sih, mengapa harus membela hak asasi pelanggar HAM? Lalu bagaimana cara mereka melindungi HAM dan membela korban tindak kejahatan HAM?

Dasar pemikiran yang digunakan oleh para penentang hukuman mati di antaranya adalah, hukuman mati tidak efektif untuk memberikan efek jera. Hukuman mati ada namun tindak kejahatan juga tetap ada dan tidak berkurang. 

Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum. Menurut mereka, pembunuh sekalipun tetap memiliki hak hidup. Lagi pula, banyak terpidana mati yang kemudian terbukti tidak bersalah karena faktor human error yang terjadi pada penegak hukum sehingga salah vonis dan lainnya.

Pertama, tentang efek jera. Hukuman mati sebenarnya bukan hanya berfungsi untuk menimbulkan efek jera, melainkan juga efek takut. Lalu, bagaimana jika ternyata masih banyak pelaku kejahatan dengan ancaman hukuman mati yang tetap melakukan tindak kejahatannya? Itu bukan berarti hukuman mati gagal menciptakan efek takut. Mereka yang tetap melakukan tindak kejahatan dengan konskwensi hukuman mati bisa jadi karena nekat, atau memang itu sudah pilihannya. Ia siap dihukum mati. Kalau begitu ngapain harus dibela? Hargailah keputusan mereka, sebagaimana kita menghargai mereka yang memilih menghindari tindak kejahatan dengan konskwensi hukuman mati. Ya, hukuman mati ini sebenarnya tentang konskwensi. Kalau nggak mau dihukum mati, ya jangan lakukan kejahatan itu. Sesimpel itu.

Kedua, bicara tentang hak hidup pembunuh. Tidak semua pembunuh dijatuhi hukuman mati, bukan? Hukuman mati hanya berlaku bagi pembunuh yang memang berniat membunuh, memutuskan membunuh secara sadar, apalagi membunuhnya dengan cara sadis. Ia sudah mengambil hak hidup orang lain dengan sadar dan ikhlas. Balasan apa yang pantas untuknya selain hukuman mati? Memberi keaempatan untuk bertobat, cukup adilkah dengan hukuman seumur hidup? Lalu, kesempatan apa yang bisa diberikan kepada korban yang sudah mati? Sekali lagi, ini soal konskwensi dan tanggung jawab.  

Ketiga, tentang salah vonis atau ketidak adilan dalam perlakuan hukum. Misalnya, hukum lebih berpihak pada ras atau status sosial tertentu. Apakah ini adalah alasan yang tepat untuk menghapus hukuman mati? Salahnya adalah pada proses dan orangnya, bukan pada bentuk hukumannya. Jadi, solusinya bukan menghapus hukuman mati. Karena, ada atau tidaknya hukuman mati tidak akan membuat diskriminasi hukum terhindarkan. Proses dan orang-orangnya lah yang harus dibenahi. Tindakan diakriminatif yang berdampak pada pelanggaran HAM juga bentuk kejahatan. Kalau terbukti, ya hukum saja mereka. Sesimpel itu.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membela Jokowi yang sedang disudutkan gara-gara memberlakukan hukuman mati. Apalagi membela Erdogan yang memulai mengancam hukuman mati bagi para pengkudetanya. Tulisan ini sekedar untuk membela hak korban kejahatan, dan membela logika lain tentang hukuman mati. Gitu aja.




[nurul indra]

No comments:

Post a Comment