Dunia Hawa - Gelombang arabisasi yang dibungkus Islamisasi di Indonesia sejak beberapa tahun silam telah berdampak pada banyak hal antara lain pandangan mengenai "tata busana". Baru beberapa tahun ini saja, umat Islam pada geger bin ribut soal tata cara berpakaian yang "Islami" atau yang "syar'i".
Padahal, dulu tidak ada yang meributkan. Biasa-biasa saja. Para ulama hebat di Indonesia dulu tidak pernah meributkan soal "busana Islami" apalagi "hijab syar'i". Kenapa begitu? Karena memang mereka menganggap semua itu tidak penting dan tidak substansial. Yang penting dan substansial, menurut mereka, adalah menutup aurat. Baru belakangan ini saja, setelah munculnya para ustad unyu-unyu itu, masalah "tata busana Islami/syar'i" ini menjadi marak diperbincangkan.
Sebagian kaum Muslim pun, baik laki maupun perempuan, ramai-ramai ikut-ikutan mengenakan "hijab syar'i" dan "pakaian Nabi". Tidak sebatas itu saja. Mereka bahkan mengolok-olok semua jenis busana tradisional atau pakaian adat Nusantara warisan leluhur yang mereka anggap "tidak Islami", "tidak syar'i", "tidak surgawi" dan seterusnya.
Didorong oleh rasa keprihatinan mendalam khususnya atas maraknya gerakan "hijabisasi masyarakat" inilah, sekelompok perempuan di Jogja "mendeklarasikan" sebuah aksi atau gerakan "Perempuan Berkebaya" yang kini bukan hanya di Jogja saja tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Jawa. Mereka bukan hanya berwacana tetapi juga berkebaya kemana-mana di tempat-tempat publik sehingga menarik perhatian banyak pihak.
Memang agak aneh sebetulnya jika ada orang merasa aneh dengan warisan tradisi dan budayanya sendiri. Tapi itulah sebagian fakta sosial di masyarakat kita. Karena hijab dan jubah sudah menjadi semacam "industri agama" yang berskala transnasional dan ditopang oleh berbagai kelompok lapisan masyarakat yang berkepentingan: politisi, dai, birokrat, pengusaha pakaian, dlsb, maka berbagai jenis pakaian adat-tradisional yang berskala lokal menjadi terancam eksistensinya. Ibaratnya, pakaian adat-tradisional itu seperti "home industry" yang sedang menghadapi gempuran hijab dan jubah sebagai "multinational corporation".
Dalam konteks inilah, gerakan "Perempuan Berkebaya Jogja" hadir yang bukan hanya sebagai "kritik wacana" atau "kritik sosial" atau "perlawanan budaya" semata atas "hegemoni hijab" atau dominasi "pakaian Arab", melainkan sebagai bagian dari upaya untuk "mengingatkan publik" agar mau merawat atau melestarikan warisan tradisi dan kebudayaannya sendiri. Sebuah usaha yang tentu saja patut diapresiasi. Jika tidak diingatkan dan diantisipasi sejak dini, maka generasi yang akan datang akan menganggap "antik" dengan pakaian adatnya sendiri.
Apa yang telah dilakukan oleh kelompok "Perempuan Berkebaya Jogja" ini tentu saja perlu "dikloning" oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Perlu ada gerakan-gerakan serupa sesuai dengan pakaian adat-tradisional masing-masing daerah: baju bodo di Bugis, baju cele di Maluku, nggembe di Sulawesi Tengah, sarung sutra mandar di Sulawesi Barat, pesa'an di Madura, ulos di Sumatra Utara dan seterusnya. Di Arab Saudi sendiri, pakaian-pakaian adat-tradisional khas masing-masing suku yang beraneka ragam mulai punah digerus oleh "pakaian Barat" maupun "pakaian Saudi". Jangan sampai hal itu terjadi di negara Indonesia yang kita cintai...
[prof.sumanto al qurtuby]
No comments:
Post a Comment