Dunia Hawa - "Bisa tolong di jelaskan kenapa ada yang meyakini jihad mendapatkan 72 bidadari?"
Ini pertanyaan yang banyak saya temui, apalagi ketika ada teror bom terjadi. Sekali sekali kita bedah secara teknis ya..
Impian akan mendapatkan 72 bidadari ini disebutkan dalam hadits riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma’di. Rasulullah bersabda, “Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya.”
Saya kutip dari tulisan Neneng Maghfirah, peneliti hadits di el-Bukhari Institute dan alumni pesantren ilmu hadits Darus-Sunnah Ciputat di suaranetizen.com, hadis itu dinilai Hasan oleh banyak ulama. Hasan adalah sebutan untuk hadits yang hafalan salah satu perawinya tidak sekuat hadits shahih. Posisinya terletak antara shahih dan dhaif (diragukan).
Dari sisi periwayat hadis ( sanad ), Nu’aim bin Hammad adalah orang yang sangat jujur tapi sering melakukan kesalahan dalam periwayatan. Oleh karena itu, banyak juga ulama yang mendhaifkannya. Namun di sisi lain, para ulama, seperti Ibnu Ma’in, memuji ketangguhannya membela sunnah Nabi.
Sedangkan dari sisi redaksionalnya (matan), ceritanya lebih dalam lagi.
Dalam literatur Islam, keindahan surga dinarasikan dengan sebuah tempat yang indah, penuh pepohonan, ada sungai yang mengalir, dan disediakan pula bidadari-bidadari cantik untuk para penghuninya. Gambaran ini tak jauh berbeda dengan pemandangan lokasi-lokasi wisata yang ada di Indonesia. Bagi orang Indonesia mungkin narasi seperti ini tidak terlalu fantastis, karena kita sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu.
Namun lain ceritanya jika ilustrasi ini disampaikan kepada orang Arab, dulu ketika al-Qur’an diturunkan negeri mereka masih gersang, tandus, dan panas. Sehingga, gambaran tentang pohon, sungai, plus bidadari cantik ialah ilustrasi paling pas untuk menggambarkan keindahan surga. Impian menikah dengan bidadari kelihatannya merupakan iming-iming yang sangat menggiurkan bagi masyarakat Arab yang masih kental dengan pernikahan antar sesama klan dan mahar tinggi.
Dari aspek bahasa, kata hur al-‘ain (yang diterjemahkan dengan bidadari oleh banyak penerjamah) terdiri dari dua kata, hur artinya wanita yang putih, sementara al-‘ain diartikan wanita yang memiliki mata bulat yang indah. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa wanita paling cantik menurut bangsa Arab waktu itu ialah wanita yang berkulit putih dan bermata bulat. Standar ini tentu sangat relatif, masing-masing daerah memiliki standar yang berbeda-beda mengenai kecantikan perempuan.
Andaikan kisah tentang bidadari itu faktual, pertanyaan lanjutannya, siapa yang berhak memilikinya? Siapa yang dimaksud dengan syahid dalam hadis di atas?
Syahid bisa diartikan dengan “yang banyak disaksikan”, sebab kelak Allah dan para malaikat akan menyaksikan mereka masuk surga dan mereka juga akan menyaksikan kenikmatan yang dijanjikan Allah kepadanya. Sementara secara terminologis, syahid berati orang yang meninggal di jalan Allah karena membela agama Allah. Ingat, membela di jalan Allah, bukan di jalan Sarinah!
Kemudian syahid juga identik dengan jihad, yang berati mencurahkan kemampuan, usaha, dan seluruh tenaga. Berikutnya, kata jihad ini mengalami perkembangan makna.
Jihad selalu diidentikkan dengan perperangan dan pertumpahan darah. Padahal bila diperhatikan dalam al-Qur’an dan hadits, jihad tidak hanya sekedar perang. Ibnu Umar mengatakan bahwa jihad adalah perbuatan baik (ihsan) dan perbuatan baik tidak selalu berarti berperang. Apalagi melakukan aksi terorisme dan menganggu ketertiban umum, semisal bom bunuh diri. Dalam hadits lain juga disebutkan, orang yang meninggal karena sakit perut pun dapat dikategorikan mati syahid.
Jadi bisa dipahami bahwa hadis ini sebenarnya hanyalah penggambaran reward yg dibahasakan kepada orang arab jaman dulu yang masih jahiliyah, bodoh dan buta huruf. Pada masa itu, perlu narasi narasi seperti ini untuk menggambarkan "hasil" dari ketakwaan, supaya mereka mau bertakwa. Seperti mengajarkan anak PAUD, begitulah.
Nah, lucunya anak PAUD itu ada di sini pada masa sekarang, dicekoki pemahaman tekstual oleh ulama karbit yang cinta uang sehingga makna syahid kemudian di sempitkan hanya kepada jihad perang. Padahal Nabi Muhammad SAW tidak pernah berperang kecuali mempertahankan diri.
Jadi kalau anda ingin coba coba jadi "pengantin" bom bunuh diri, pahami dulu kebenarannya jangan asal telan saja dengan kebodohan. Niat mau dapat bidadari cantik 72 orang, malah nanti dikasi 1 bidadari usia 72 tahun.
Lagian bukan bidadari yang mau sama orang yang anggota badannya hilang, kecuali Valak bidadari yang tertukar...
Minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin.. Seruput kopinya nanti aja ya kalau udah berbuka, kecuali yang musafir...
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment