HALAMAN

Friday, June 24, 2016

Budak-Budak Perempuan Sebagai Properti Seksual Dalam Quran



Dunia Hawa - Maukah anda menganut sebuah agama yang mengijinkan pria untuk berhubungan seks dengan para budak perempuan mereka selama perempuan-perempuan itu diperbudak – jika agama ini meneguhkan tindakan tersebut dalam kitab sucinya?

Umumnya, kebanyakan orang di Barat (dan di tempat- tempat lain) yang berpaling kepada Islam adalah kaum wanita. Saya baru saja mendapat surat elektronik dari seorang wanita Muslim yang mengatakan bahwa ia memeluk Islam 2 tahun yang lalu. Akankah para wanita melakukan hal ini jika mereka mengetahui SEGALA hal mengenai agama ini? Para wanita yang waras harus berhenti dan berpikir dua kali sebelum mengambil langkah yang serius seperti itu (tetapi sebaliknya jika mereka meninggalkan Islam, maka – di banyak negara Islam – mereka akan dihukum mati).

Islam lebih dari sekadar “Lima Rukun” (Five Pillars) yang tidak berbahaya. Islam mempunyai banyak kebenaran yang tidak menyenangkan, yang mengintip dari balik teks- teks sakralnya. Tujuan dari artikel ini adalah untuk memunculkan sisi-sisi lain dari kebenaran-kebenaran ini, sehingga orang dapat mengambil keputusan berdasarkan sebanyak mungkin informasi dari semua fakta yang ada.

Akankah Tuhan yang sejati menginspirasi 600 ayat berikut ini setelah Yesus menunjukkan pada kita jalan yang lebih baik?

Seks dengan budak- budak perempuan di masa damai.

ura 23 diwahyukan semasa hidup Muhammad di Mekkah sebelum Hijrahnya dari tanah kelahirannya ke Medina pada tahun 622 M. Dalam masa-masa awal pelayanannya, ia tidak pernah mengobarkan perang terhadap siapapun, sehingga ini adalah masa- masa damai, walaupun ia menderita banyak penganiayaan.

Dalam Quran, Sura 23:5-6 mengatakan:
[Terutama orang-orang beriman] . . . dan orang- orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada bercela (Bandingkan: Sayyid Abul A’La Maududi, The Meaning of the Quran, vol. 3, h.237).

Kata-kata kuncinya adalah “budak-budak yang mereka milik” (terjemahan lain: “those who are legally in their possession”). Maududi (1979) adalah komentator Quran yang sangat disegani, dan ia menafsirkan makna asli dari klausa tersebut, ia mengatakan bahwa berhubungan seks dengan para budak perempuan adalah sah.

Maududi menulis:
Dua kategori wanita telah dikesampingkan dari perintah umum untuk menjaga bagian-bagian tubuh yang bersifat pribadi (kemaluan) yaitu: (a) para istri, (b) para wanita yang secara sah dimiliki oleh seseorang, yaitu para budak perempuan. Oleh karena itu ayat tersebut dengan jelas menetapkan hukum bahwa orang diijinkan untuk melakukan hubungan seks dengan budak perempuannya seperti halnya dengan istrinya, atas dasar kepemilikan dan bukan pernikahan. Jika pernikahan adalah persyaratannya, maka si budak perempuan akan dimasukkan ke dalam status sebagai istri, dan tidak perlu menyebutkan mereka secara terpisah. (Ibid. p.241, note 7).

Pokok utama dari bagian ini, yang terlewatkan oleh Maududi atau yang enggan dikritik, adalah bahwa Muhammad sendiri menganjurkan bukan hanya keseluruhan institusi perbudakan, tapi juga seks antara majikan pria dengan para budak perempuan mereka di dalam institusi ini. Tapi bagaimana bisa ia dan juga orang-orang Muslim yang tawakal mengkritik nabi mereka tanpa merusak Islam secara serius? Namun orang-orang Muslim harus melakukannya, jika mereka berpikir secara jelas dan kritis, dan demi kemanusiaan.
disini

Harus diperhatikan bahwa Sura 70:29-30, yang juga diwahyukan di Medina, menggunakan kata-kata yang hampir identik dengan Sura 23:5-6. Para pria harus menjaga kemaluan mereka dari semua orang kecuali para istri dan para budak perempuan mereka; yang berarti bahwa pria boleh berhubungan seks dengan para wanita dari kedua “kategori” tersebut (perkataan Maududi).

Seks dengan budak- budak perempuan dalam masa perang

Kini Muhammad telah hijrah dari Mekkah ke Medina. Pada saat Sura 4 diwahyukan, dan berikut ini kita akan membahas ayat yang ada di dalamnya, ia telah melakukan banyak perang dan kejahatan. Sebagai contoh, ia memerangi orang-orang Mekkah dalam Perang Badr pada 624 M dan sekali lagi terhadap orang-orang Mekkah di Perang Uhud pada 625 M. Ia juga membuang suku-suku Yahudi Qaynuqa pada tahun 624 M dan Nadir pada 625 M. Ia melanjutkan kebijakan seksnya antara para majikan pria dengan budak-budak perempuan mereka di Medina, kotanya yang baru, dengan menambahkan perbudakan para wanita tawanan perang dan mengijinkan para prajuritnya untuk berhubungan seks dengan mereka. Untuk informasi lebih lanjut mengenai konteks historis dan topik literal dari Sura berikut ini, silahkan ketik di sini (disini)

Dalam Quran, Sura 4:24 berkata:
Dan diharamkan bagi kamu istri-istri yang masih menikah dengan orang lain kecuali mereka yang telah jatuh ke tanganmu (sebagai tawanan perang)... (Maududi, vol. 1, h. 319). Lihat juga Sura 4:3 dan 33:50.

Oleh karena itu, para tawanan wanita kadangkala dipaksa untuk menikah dengan para majikan Muslim mereka, tanpa mempedulikan status pernikahan wanita tersebut. Tepatnya, para majikan diijinkan untuk berhubungan seks dengan budak yang adalah properti mereka.

Maududi mengatakan dalam komentarnya terhadap ayat tersebut bahwa adalah sah bagi para pejuang Perang Suci Muslim untuk menikahi para tawanan perang wanita, sekalipun para suami mereka masih hidup. Tapi apa yang terjadi jika para suami ditangkap dengan istri-istri mereka? Maududi mengutip satu mazhab hukum yang mengatakan bahwa orang- orang Muslim tidak boleh menikahi mereka, tetapi dua mazhab lainnya mengatakan bahwa pernikahan antara suami dan istri yang adalah tawanan perang dibatalkan (catatan 44).

Namun mengapa timbul perdebatan mengenai kekejaman ini? Jawabannya sangat jelas bagi orang-orang yang memahami keadilan sederhana. Tidak boleh ada hubungan seks antara para tawanan perang wanita yang telah menikah dengan orang-orang yang telah menangkap mereka. Pada kenyataannya, tidak boleh ada hubungan seks antara para tawanan wanita dengan para majikan Muslim mereka dalam keadaan apapun.

Ketidakadilan seksual ini tidak dapat diterima, namun kehendak Allah tidak terbantahkan – demikianlah yang dikatakan Quran.

Dapat diramalkan, Hadith mendukung Quran – menginspirasi imoralitas/penyimpangan moral.

Hadith adalah laporan- laporan mengenai tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan Muhammad di luar Quran. Kolektor dan editor Hadith yang paling dapat dipercayai adalah Bukhari (870). Hadith menunjukkan bahwa para jihadis Muslim sesungguhnya berhubungan seks dengan para tawanan wanita, tak peduli apakah mereka menikah atau tidak. Dalam kutipan berikut ini, Khumus adalah seperlima dari rampasan perang.

Ali, keponakan Muhammad dan juga menantunya, baru saja selesai mandi relaksasi. Mengapa? Nabi mengutus Ali ke Khalid untuk membawa Khumus (dari rampasan perang) dan...Ali mandi (setelah berhubungan seksual dengan seorang budak perempuan dari Khumus itu).

Apakah tanggapan Muhammad terhadap orang yang membenci Ali oleh karena tindakan seksual ini? Apakah kamu membenci Ali oleh karena hal ini?... Janganlah membencinya, karena ia pantas mendapatkan lebih dari itu [dari] Khumus itu. (

Apakah tanggapan Muhammad terhadap orang yang membenci Ali oleh karena tindakan seksual ini? Apakah kamu membenci Ali oleh karena hal ini?... Janganlah membencinya, karena ia pantas mendapatkan lebih dari itu [dari] Khumus itu. Apakah tanggapan Muhammad terhadap orang yang membenci Ali oleh karena tindakan seksual ini? Apakah kamu membenci Ali oleh karena hal ini?... Janganlah membencinya, karena ia pantas mendapatkan lebih dari itu [dari] Khumus itu. (bukhari)

Dengan demikian, Muhammad meyakini bahwa para budak wanita adalah bagian dari seperlima rampasan perang yang dapat diperlakukan sebagai properti seksual. Ali adalah seorang pahlawan Muslim. Ia adalah suami Fatima, putri Muhammad dari Khadija istri pertamanya. Jadi akankah nabi teladan bagi dunia mengolok menantunya sendiri karena telah behubungan seks dengan seorang budak perempuan? Lagipula, para budak adalah permainan seksual yang adil. Quran berkata demikian.

Tambahan lagi, para jihadis suci tidak boleh mempraktekkan persenggamaan terputus dengan para wanita yang mereka tangkap, tapi bukan karena alasan yang dapat diterima orang: keadilan sederhana.

Dalam suatu penyerangan militer dan jauh dari istri mereka, para jihadis Muslim “menerima tawanan dari antara orang-orang Arab dan kami menginginkan perempuan dan selibat adalah hal yang sulit bagi kami dan kami suka melakukan persenggamaan terputus”. Mereka bertanya pada nabi suci mengenai hal ini, dan penting kita perhatikan apa yang tidak dikatakannya.

Ia tidak mengolok mereka atau melarang mereka melakukan hubungan seks apapun, menyatakannya haram. Namun, ia tersesat dalam teologi dan doktrin yang membingungkan mengenai takdir:

Lebih baik bagimu untuk tidak melakukannya [praktek persenggamaan terputus]. Tidak ada orang yang telah ditakdirkan untuk eksis, tetapi akan mempunyai eksistensinya, hingga Hari Kebangkitan. (BUKHARI; untuk Hadith- hadith paralel lihat (disini) dan (disini)

Itu berarti, orang Muslim wajib berhenti melakukan persenggamaan terputus, dan tetap melanjutkan hubungan seks dengan budak-budak perempuan yang menjadi obyek seks. Takdir mengontrol siapa yang akan dilahirkan. Muhammad tidak melarang praktek yang sangat tidak bermoral ini padahal waktunya sangat tepat untuk melarangnya.

Lain perkara jika ada tentara dalam pasukan manapun yang menyerang dan memperkosa karena kemauannya sendiri. Semua pasukan mempunyai prajurit- prajurit kriminal yang melakukan perbuatan bejat seperti itu. Namun apa yang dilakukan Muhammad adalah menetapkan perkosaan dalam suatu teks sakral.

Islam menetapkan dan mengesahkan perkosaan.

Sangatlah mengecewakan melihat Quran tidak menghapuskan kejahatan seksual ini dengan pernyataan yang sejelas- jelasnya: Kamu tidak boleh berhubungan seks dengan para budak perempuan dalam keadaan apapun!

[ahlulbaitnabisaw]

No comments:

Post a Comment