Syiah hadir sejak awal Islam masuk Nusantara. Bahkan, Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah
Dunia Hawa - SYIAH hadir sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Bahkan, menurut beberapa sejarawan, kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah: Kerajaan Perlak. Bukti arkeologisnya makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur.
Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, meyakini Islam yang sampai di Asia Tenggara paling dahulu ialah aliran Syiah. Aliran Syiah dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab ke pantai timur Sumatra, terutama ke Perlak dan Pasai, dan mendapat dukungan dinasti Fathimiah di Mesir.
Pada tahun 800 Masehi, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.
Sejak itu, mereka kerap datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam, termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah),” simpul Hasjmy.
Dalam perjalanannya terjadi perebutan kekuasaan antara Sunni dan Syiah di Kerajaan Perlak. Sehingga Kerajaan Perlak terbelah dua: Perlak pesisir untuk Syiah dan Perlak pedalaman untuk Sunni.
Persengketaan terhenti ketika mereka menghadapi musuh bersama; Sriwijaya, yang menyerang Perlak pada 986 Masehi. Pada tahun 1006, perang usai karena Sriwijaya harus perang melawan kerajaan Medang yang dipimpin Dharmawangsa. Karena Sultan Perlak pesisir gugur, kerajaan Perlak dipimpin Sultan Perlak pedalaman. Sejak itu, Sunni berkuasa dalam waktu lama.
Pengaruh Syiah merambah kerajaan Samudra Pasai. Kerjaaan ini didirikan pada 1042 oleh Meurah Giri, kerabat Sultan Mahmud dari kerajaan Perlak yang menganut Sunni. Meurah Giri jadi sultan pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah. Keturunannya memerintah Pasai sampai 1210. Pascakematian Sultan Al-Kamil yang tak meninggalkan putra mahkota, terjadi perang saudara.
Pada 1261 Meurah Silu, juga keturunan Sultan Perlak, mengambil-alih kekuasaan Pasai. “Meurah Silu adalah seorang Islam sejak awal, bukan diislamkan kemudian. Akan tetapi Islamnya adalah Islam Syiah, yaitu mazhab yang berkembang di Perlak,” tulis Ahmad Jelani Halimi, sejarawan Universitas Sains Malaysia, dalam Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu.
Namun Dinasiti Fathimiah rontok pada 1268. Terputuslah hubungan antara kaum Syiah di pantai timur Sumatra dan Mesir. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di Mesir dan beraliran Syafii, mengirim Syekh Ismail ke pantai timur Sumatra untuk memusnahkan aliran Syiah. Syekh Ismail berhasil membujuk Meurah Silu untuk menyeberang ke aliran Syafi’i. Hubungan dengan Mamluk di Mesir jelas terlihat dari gelar yang dipakai Meurah Silu, Malikul Saleh. “Gelar ini merupakan gelar pendiri kerajaan Mamluk Mesir, Sultan Malik al-Saleh Najmuddin al-Ayyubi,” tulis Ahmad Jelani.
“Selama Sultan Malikul Saleh berkuasa, agama Islam aliran Syiah ditindas,” tulis Slamet Muljana.
Sultan Perlak terakhir meninggal pada 1292. Setelah itu, Perlak menjadi bagian dari kerajaan Samudra Pasai di bawah Sultan Malikul Zahir, anak Malikul Saleh.
Menurut Hasjmy, kaum Syiah yang terjepit di Perlak berusaha menguasai Pasai. Usahanya berhasil dengan naiknya Arya Bakooy bergelar Maharaja Ahmad Permala menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu (1400-1428). Perang kembali pecah antara pengikut Sunni dengan Syiah. Arya Bakooy tewas dalam suatu pertempuran. Syiah pun tersingkir dari arena politik di Samudra Pasai. Tetapi, sebagai suatu aliran politik dan agama, ia masih terus hidup, teristimewa sekali sebagai suatu aliran tasawuf, tarekat, dan filsafat.
Portugis yang telah menguasai Malaka, menebarkan ancaman. Kerajaan-kerajaan Islam: Perlak, Samudra Pasai, Beunua (Teumieng), Lingga, Pidie, Daya, dan Darussalam, bersatu menjadi kerajaan Aceh Darussalam pada 1511 di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. “Di kesultanan ini, kelompok Ahlusunah dan Syiah dapat secara bebas menyampaikan akidah dan pemikiran tasawuf mereka meskipun terkadang terjadi perselisihan di antara mereka,” tulis Muhammad Zafar Iqbal, doktor sastra Persia dari Universitas Tehran Iran, dalam Kafilah Budaya.
Selama Samudra Pasai di bawah perdana menteri Arya Bakooy, tokoh besar Syiah Syekh Abdul Jalil berangkat ke Tanah Jawa. Di daerah Jawa dia kemudian dikenal sebagai Syekh Siti Jenar. Di Jawa, dia harus berhadapan dengan sejumlah wali dalam perebutan pengaruh agama dan politik. Siti Jenar akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Syiah juga menjalar ke Minangkabau. Namun kemudian mendapat tentangan dari kaum adat, terutama tiga haji yang baru kembali dari Mekah: Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Ketiga tokoh Wahabi tersebut membentuk gerakan untuk menentang aliran Syiah dan pemurnian agama Islam.
Di Aceh sendiri, pada abad ke-16 dan 17, tokoh-tokoh ulama Syiah dan Ahlusunah dari Arab, Persia, dan India silih-berganti datang. “Di antara para penganjur aliran Syiah yang utama di pantai timur Sumatra ialah penyair Hamzah Fansuri dari Barus dan Syamsuddin al-Sumatrani pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Aliran Syiah di kesultanan Aceh itu pun kemudian dibasmi oleh para pengikut aliran Syafi’i yang dipimpin oleh Syekh Nuruddin Ar-Raniri,” tulis Slamet Muljana.
Dalam pengantar buku Syi’ah dan Politik di Indonesia, Azyumardi Azra, direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di Nusantara. Dia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan sumber-sumber sejarahnya.
Terlepas dari masih diperdebatkan, yang jelas Syiah bagian dari kita: Indonesia.
[Hendri F. Isnaeni/historia.id]
No comments:
Post a Comment