Dunia Hawa - Mereka yang aktif dalam dialog lintas agama, terutama antara Muslim dan Kristen, pasti kenal dengan istilah “agama Ibrahim.” Nabi Ibrahim dianggap sebagai figur pemersatu tiga agama yang acap kali bersitegang, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.
Istilah “agama-agama Ibrahim” (Abrahamic religions) diperkenalkan oleh sarjana Prancis, Louis Massignon, yang terkesima dengan tasawuf al-Hallaj. Romo yang lahir 25 Juli 1883 itu punya kontribusi signifikan terhadap rumusan dokumen penting Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, dan Nostra Aetate, yang mengubah sikap Gereja Katolik terhadap Islam.
Saya tidak bermaksud mendiskusikan pikiran dan kontribusi Massignon, tapi mengevaluasi sejauh mana “agama Ibrahim” dipersoalkan dalam kesarjanaan mutakhir. Sejak Konsili Vatikan II 1962-1965, figur Ibrahim begitu sering dimunculkan sebagai titik temu ketiga agama, baik dalam karya akademis maupun populer.
Benarkah Ibrahim itu figur pemersatu? Bagaimana “bapak agama monoteisme” itu berperan dalam sejarah perkembangan Yahudi, Kristen, dan Islam?
Figur Pemecah Belah?
Dalam lima tahun terakhir, minimal ada tiga karya serius yang mempersoalkan kegunaan kategori “agama Ibrahim” dalam wacana lintas agama. Pasalnya, figur Ibrahim digunakan oleh ketiga agama tersebut untuk berpolemik satu sama lain, bukan menyatukan.
Karya-karya tersebut ialah Inheriting Abraham: The Legacy of the Patriarch in Judaism, Christianity and Islam karya Jon Levenson (2012), Abrahamic Religions: On the Use and Abuse of History karya Aaron Hughes (2012) dan The Family of Abraham: Jewish, Christian, and Muslim Interpretations karya Carol Bakhos (2014).
Saya tidak memasukkan karya Michael Lodahl, Claiming Abraham: Reading the Bible and the Qur’an Side by Side (2010), karena buku itu tidak fokus pada figur Ibrahim. Lodahl hanya mendiskusikan bagaimana Ibrahim dipresentasikan dalam Bible dan al-Qur’an dalam satu bab. Selebihnya, dia membahas figur-figur lain.
Levenson adalah profesor di Harvard yang sebelumnya mengajar di Chicago. Tesisnya sebagai berikut: Walaupun agama Yahudi, Kristen, dan Islam menjadikan Ibrahim sebagai model seorang beriman sejati, tapi figur ini digambarkan begitu berbeda seolah-olah ketiga agama tersebut tidak berbicara orang yang sama.
Dalam perdebatan awal antara Yahudi dan Kristen, figur Ibrahim acap kali dijadikan acuan untuk mengeksklusi satu sama lain.
Bagi kaum Yahudi, Ibrahim ialah kakek-moyang mereka, bahkan disebut “seorang Yahudi pertama.” Mereka menyebutnya “bapak kami” dalam pengertian harfiah karena kaum Israil berasal dari keturunannya, Ishaq, dan cucunya, Ya’qub, yang kemudian diberi gelar “Isra’il.” Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada agama Yahudi tanpa Ibrahim.
Kristen juga menjalin koneksi dengan keturunan Ibrahim seperti halnya dalam tradisi Yahudi, tapi melalui Yesus. Umat Kristiani menganggap diri-mereka sebagai pewaris Ibrahim, bukan hanya karena Yesus lahir sebagai seorang Yahudi dan dari keluarga besar Yahudi, melainkan— yang lebih utama—karena mereka melihat Ibrahim sebagai model kesalehan atas dasar iman (faith). Sebelum 10 Firman Tuhan (Ten Commandments) diturunkan, Ibrahim terlebih dahulu mengedepankan keimanan. Dan model keimanan Ibrahim itu memungkinkan kalangan non-Yahudi (Gentiles) menjadi bagian dari kaum pilihan Tuhan.
Seperti kedua agama sebelumnya, Islam juga mengklaim Ibrahim khusus untuk dirinya. Walaupun garis keturunan Muhammad dapat dilacak pada Ismail, anak Ibrahim, Islam tidak menekankan aspek biologis, melainkan memposisikan dirinya untuk merestorasi ajaran Ibrahim yang mengalami “penyelewengan.” Dengan nada cukup polemis, al-Qur’an (QS 3:67) menepis bahwa Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, tapi seorang yang berserah diri (muslim).
Karena itu, menurut Levenson, menyebut ketiga agama itu “Abrahamic religions” sebagai upaya untuk mendorong dialog antar-agama sungguh tidak berdasar. Sebab, hal tersebut akan mengikis keunikan masing-masing agama dan menghalangi diskusi yang subtil terkait keyakinan yang berbeda secara fundamental.
Berikut saya kutipkan kesimpulan Levenson yang cukup tajam: “Given conflicting interpretations of the supposedly common figure, the claim that Abraham is a point of reconciliation among the three traditions increasingly called ‘Abrahamic’ is as simplistic as it is now widespread. Historically, Abraham has functioned much more as a point of differentiation among these three religious communities than as a node of commonality.”
Menimbang Kembali “Agama Ibrahim”
Memang, semakin kita mengenal narasi ketiga agama tersebut tentang Ibrahim, semakin kita menyadari bahwa figur penting itu tidak pernah digambarkan netral dari kepentingan ideologis. Poin inilah yang didiskusikan oleh Aaron Hughes dan Carol Bakhos.
Hughes mengambil sikap lebih radikal dibanding Bakhos. Bagi Hughes, istilah “agama Ibrahim” bukan hanya tidak pernah digunakan secara netral, tapi juga tidak berguna secara analitis maupun historis. Istilah tersebut murni bersifat ideologis. Ketika agama Yahudi, Kristen, dan Islam mengaitkan dengan Ibrahim sebagai pewarisnya, itu tak lebih dari klaim teologis yang tak punya basis historis. Sebagai argumen teologis, masing-masing agama ingin menonjolkan Ibrahim versi mereka lebih baik dari yang lain.
Melalui pelacakan historis, profesor Universitas Rochester ini menyorot adanya pergeseran dalam penggunaan figur Ibrahim pada pertengahan abad ke-20, yang dirintis oleh Massignon. Konsili Vatikan II yang bermaksud meningkatkan dialog lintas agama menggunakan Ibrahim dalam tiga fungsi: garis keturunan yang sama, titik temu agama-agama, dan kesamaan doktrin monoteisme.
Istilah “agama Ibrahim” menjadi lebih populer lagi setelah tragedi 11 September, sebagai dasar kerja-kerja ekumenis dan dialog antar-iman untuk menangkal ketegangan dan kebencian. Bagi Hughes, semua itu menggambarkan betapa problematiknya konsep “agama Ibrahim” karena penuh dengan muatan ideologis-teologis ketimbang analitis-historis.
Bakhos setuju dengan Hughes bahwa figur Ibrahim adalah mitos belaka. Tak bisa dibuktikan secara historis. Namun demikian, guru besar di University of California Los Angeles (UCLA) ini tidak sama sekali menampik kegunaan “agama Ibrahim” sebagai sebuah kategori analisis.
Sampai batas tertentu, Bakhos mencoba menemukan jalan tengah antara mereka yang menolak istilah “agama Ibrahim” dan mereka yang mempromosikannya. Di satu sisi, istilah tersebut memang sebuah modern invention yang dapat menyesatkan. Tapi, di sisi lain, ia dapat digunakan sebagai starting point bagi kajian perbandingan historis-teologis untuk menyingkap aspek kesamaan dan perbedaan.
Yang perlu dihindari, kata Bakhos, ialah homogenizing effects (dampak yang menyamaratakan) seolah-olah keunikan narasi dalam masing-masing tradisi keagamaan tidak signifikan bagi keragaman pengalaman spiritualitas. Dengan memperhatikan partikularitas itu, kita akan memahami bagaimana “narasi-narasi Bible dan al-Qur’an disesuaikan untuk konteks yang berbeda supaya bermakna dan relevan bagi audiensnya masing-masing.”
Dengan membeberkan problem “agama Ibrahim”, sebagaimana didiskusikan tiga sarjana di atas, saya tidak mengusulkan supaya kategori itu dibuang ke tong sampah saja. Tapi kita harus sadar bahwa mencari akar kesamaan pada figur Ibrahim menunjukkan kedangkalan paradigma dan tidak realistis. Saya kira akan lebih berguna apabila para penganut agama-agama belajar atau mencoba memahami perbedaan signifikan dalam tradisi mereka masing-masing untuk meningkatkan saling pengertian antar-agama.
Istilah “agama Ibrahim” itu muncul dalam konteks tertentu di tengah upaya mengawali babak baru hubungan Islam-Kristen yang dirintis Vatikan II. Yakni, mengeksplorasi hal-hal yang bisa menjadi titik temu, misalnya, dengan menelusuri kesamaan asal-usul pada figur Ibrahim.
Belakangan, keterbatasan paradigma ini mulai dirasakan sehingga dalam berbagai inisiatif dialog antar-agama, seperti dirintis Building Bridges Seminar yang digelar setiap tahun dalam 15 tahun terakhir di Universitas Georgetown, perbincangan mulai mengarah pada persoalan-persoalan yang lebih substantif.
Dalam Building Bridges Seminar yang saya ikuti baru-baru ini (6-11 Mei 2016) tidak sekalipun “agama Ibrahim” muncul dalam perbincangan. Kita justru berdiskusi serius untuk saling memahami kenapa Muslim dan Kristen meyakini apa yang mereka yakini dengan berbagai kompleksitasnya.
Ini bukan soal menerima apa yang diyakini komunitas agama lain, melainkan untuk mengerti (to make sense) bahwa yang mereka yakini memiliki argumen tekstual dan rasionalnya sendiri. Bukan sampah belaka! Jangan karena menghindari kompleksitas berteologi, kita memaksakan persamaan.
[mun'im sirry/ geotimes.co.id]
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA
No comments:
Post a Comment