Paus Fransiskus mencium kaki sejumlah pengungsi, termasuk tiga pria Muslim, saat ritual pencucian-kaki di pusat pengungsi Castelnuovo di Porto dekat Roma, Italia, Kamis (24/3). ANTARA FOTO/REUTERS/Osservatore Romano/Handout via Reuters
Dunia Hawa - “Saya sekali lagi ingin menekankan pentingnya dialog dan kerja sama di antara kaum beriman, terutama Kristen dan Muslim.” Itu ucapan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada kaum Muslim menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2013, hanya beberapa bulan setelah dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik.
Seorang pemangku otoritas tertinggi agama Katolik menyapa umat Muslim dengan sebutan kaum beriman tentu punya makna penting, apalagi dilihat dari sejarah hubungan Muslim-Kristen yang kompleks. Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), sikap Gereja Katolik (dan juga Protestan) terhadap Islam memang mengalami perubahan signifikan.
Dalam dokumen Nostra Aetate, yang merupakan deklarasi hubungan Gereja dengan agama-agama lain, disebutkan secara eksplisit “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi.”
Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir? Saya seringkali mendengar orang-orang bilang, “Ya, nggak apa-apa kita sebut mereka kafir, wong orang Kristen juga sebut kita kafir.”
Bagaimana reaksi mereka setelah tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman? Mungkin mereka akan berdalih, soalnya bukan pantas atau tidak pantas, tapi bagaimana agama kita mengajarkan cara bersikap terhadap umat agama lain.
Mari kita diskusikan, walaupun serba singkat, bagaimana sikap Islam terhadap kaum Kristiani dari dua aspek: Apa yang dikatakan Kitab Suci dan apa yang terjadi dalam sejarah.
Siapa Orang Kafir?
Tentu saja kata “kafir” dan berbagai derivasinya muncul banyak sekali dalam al-Qur’an, dan para ulama berdebat tentang identitas siapa orang-orang kafir itu. Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir di antara ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Ini untuk menunjukkan bahwa ahlul kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir.
Menurut Cak Nur, kata “di antara ahlul kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh ahlul kitab.
Saya ingin lebih jauh menafsirkan sebuah surat dalam al-Qur’an yang jelas-jelas menggunakan kata itu, yakni surat al-Kafirun. Saya akan ajukan dua model tafsir, yang satu berdasar pada temuan mutakhir atas naskah-naskah al-Qur’an kuno, dan yang kedua pada metode tafsir klasik menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Model tafsir pertama boleh jadi akan memunculkan kontroversi karena dianggap “mengutak-atik” teks al-Qur’an yang sudah diterima luas. Tapi kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang.
Ortografi teks al-Qur’an awalnya tidak disertai harkat atau diakritik dan bacaan panjang biasanya tidak ditandai dengan alif. Belakangan muncul penelitian serius yang khusus menelisik naskah-naskah al-Qur’an kuno, seperti dilakukan oleh François Déroche, Keith Small, dan Gerd-R Puin.
Sarjana yang disebut terakhir secara lebih khusus meneliti pembubuhan alif ke dalam teks al-Qur’an kuno, dan tafsir saya ini pun didasarkan pada temuannya. Sebenarnya apa yang dilakukan Puin juga bukan skandal. Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif ditambahkan ke dalam al-Qur’an.
Nah, bagaimana kita membaca surat al-Kafirun? Salah satu problem dalam surat ini ialah pesannya yang tidak sinkron. Ayat terakhir “lakum dīnukum wa-liya dīn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, “Wahai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.”
Untuk menyinkronkan pesan toleransi surat ini, maka kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang dibaca panjang perlu dibaca pendek sebagai bentuk penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena alif baru ditambahkan belakangan.
Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir
(2) sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Itulah toleransi yang sejati: Walaupun kita sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, silakan Anda mengimani agama Anda, dan aku mengimani agamaku.
Jika tafsir model ini tidak memuaskan Anda, mari tafsirkan surat al-Kafirun dari perspektif “tafsir al-Quran dengan al-Qur’an.” Logika sederhana surat di atas ialah, bahwa Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim. Lalu, apa yang dikatakan al-Qur’an tentang Tuhannya kaum Kristiani?
Memang, al-Qur’an mengkritik beberapa aspek dari keyakinan teologis Kristen, terutama konsep Trinitas dan ketuhanan Yesus. Ini persoalan cukup kompleks yang perlu didiskusikan tersendiri. Namun, kendati mengkritik, al-Qur’an mengafirmasi secara eksplisit bahwa kaum Muslim dan Kristiani percaya dan menyembah Tuhan yang sama.
Kita bisa simak surat al-Ankabut ayat 46 yang memerintahkan pengikut al-Qur’an untuk tidak mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik, dan diperintahkan untuk mengatakan “Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu.” Al-Qur’an juga menegaskan, nama Allah yang disebut di masjid, gereja, synagog atau biara ialah Allah yang sama (Q.22:40).
Dengan demikian, ahlul kitab (termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan menyembah Tuhan yang sama. Karena itu, surat al-Kafirun tidak terkait dengan umat Kristiani karena yang menjadi audiens surat itu ialah mereka yang menyembahkan Tuhan yang berbeda dari Tuhannya kaum Muslim.
Sebagian mufasir menelusuri asbab al-nuzul surat itu terkait orang-orang musyrik. Walaupun saya skeptik dengan historitas asbab al-nuzul, jika benar itu justeru mendukung tafsir yang tidak mengasosiasikan umat Kristiani dengan kekafiran.
Iklim Polemik
Sejak kapan umat Kristiani disebut kafir? Penyebutan mereka sebagai kafir merupakan produk sejarah, lebih khusus lagi, terkait proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an dalam iklim polemik. Memang sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah cenderung menggambarkan Islam sebagai agama yang sudah sempurna seperti kita lihat saat ini sejak zaman Nabi. Jadi, sejak awal hanya ada dua kategori: Muslim dan kafir.
Dalam buku Kontroversi Islam Awal, saya sudah jelaskan proses gradual Islam menjadi agama yang kita saksikan sekarang. Sebenarnya proses kristalisasinya berlangsung lebih perlahan dari yang kita asumsikan. Di zaman Nabi dan beberapa dekade setelahnya, pengikut al-Qur’an dan penganut agama lain seperti Yahudi dan Kristen berada di bawah tenda besar, yang disebut kaum beriman. Fred Donner menjelaskan fenomena ini cukup bagus dalam Muhammad dan Umat Beriman (2015).
Ketika perlahan para pengikut al-Qur’an dan Nabi memisahkan diri dari komunitas beriman itu, maka proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an melibatkan eksklusi umat agama lain, termasuk Kristen. Maka, konstruksi dikotomis antara “menjadi Muslim” dan “menjadi kafir” mulai diperkenalkan.
Iklim polemik dari proses pembentukan identitas ke-Muslim-an ini dapat dibaca bukan hanya dari sumber-sumber Muslim, tapi juga non-Muslim. Iklim polemik yang dimaksud di sini ialah situasi di mana beragam agama berupaya menonjolkan superioritas masing-masing, sehingga berkecamuk polemik.
Seorang teolog Kristen awal yang lama bekerja di bawah pemerintahan khilafah Umayyah di Suriah, Yuhanna al-Dimasqi (675-753), menulis deskripsi polemis tentang Islam sebagai agama sempalan dari Kristen. Dia menggambarkan Nabi Muhammad diajari oleh seorang biarawan Kristen, tapi kemudian membentuk agama sempalan (heresy) sendiri.
Bisa kita bayangkan, dalam iklim polemik semacam itu para pengikut Nabi tentu bereaksi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama wahyu yang dibawa Muhammad untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Nabi tidak diajari penganut agama lain. Justeru mereka yang menolak ajaran Islam adalah orang-orang kafir (infidels). Kategori kafir yang semula hanya dikaitkan dengan kaum musyrik mulai diperluas cakupannya.
Maka, dalam karya-karya ulama belakangan kaum kafir dikelompokkan dalam sedikitnya tiga kategori: musyrik, ahlul kitab dan semi-ahlul kitab. Bahkan, ada yang membedakan antara musyrik Arab dan non-Arab. Masing-masing kategori ini memiliki implikasi hukumnya sendiri. Di sini terlihat betapa pengkategorian ahlul kitab sebagai kafir merupakan produk sejarah, sebuah kebutuhan di tengah proses formasi dan konsolidasi identitas keagamaan untuk membedakan satu sama lain.
Pernyataan polemis seperti dikemukakan tokoh Kristen Juhanna al-Dimasqi sekarang tidak lagi menjadi kebijakan Gereja. Sejak Vatikan II semangat ekuminisme mewarnai hubungan Muslim-Kristen seperti terlihat dalam pesan Idul Fitri Paus Fransiskus. Dalam Lumen Gentium, konstitusi dogma gereja yang juga dihasilkan Konsili Vatikan, disebutkan “Rencana Tuhan untuk keselamatan juga meliputi mereka yang mengakui sang Pencipta, terutama kaum Muslim.”
Kini saatnya umat Muslim juga melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani.
[mun'im sirry/ geotimes]
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA.
No comments:
Post a Comment