Dunia Hawa - "Bang, sekarang namanya sudah bukan gusur, tapi relokasi.."
Begitu komen seorang teman dalam statusku. Ah iya, benar juga. Ternyata ada perbedaan mendasar antara gusur dan relokasi.
Gusur menggusur terkenal saat zaman orba. Ini zaman ketika kekuatan benar2 digunakan sebagai senjata oleh penguasa. Konsep gusur itu memang konsep hantam keras, tidak perduli bagaimana nasib rakyat penghuni lawan selanjutnya, bongkar dan ratakan dengan tanah.
Perubahan besar2an Jakarta pada masa itu, ketika berkembang ke arah metropolitan, meninggalkan banyak jejak ketidak-manusiawian. Mulai dari ancaman, kekerasan fisik sampai pembakaran kompleks mewarnai penggusuran. Negara cukup menyewa preman, yang terkenal adalah gang berlan pada waktu itu, untuk mengawali pengusiran.
Jika menentang, maka tinggal teriaki saja, "Dasar PKI !" maka habislah dia. Entah yang digusur itu mau mati, mau kelaparan, mau tinggal di kolong jembatan, bukan urusan negara. Urus dirimu sendiri sana, sapa suruh datang Jakarta ?
Beda dengan masa sekarang.
Penggusuran digeserkan maknanya menjadi relokasi. Tetap digusur, tetapi manusianya di-manusiakan. Disiapkan tempat pindah beserta isinya, yang bahkan jauh lebih layak drpd tempat sebelumnya. Dibuatkan tempat usaha, bahkan kalau perlu ada bis sekolah khusus yang mengantar anak2 mereka spy bs tetap ke sekolah lama.
Jadi beda gusur dan relokasi ada di perlakuan terhadap manusianya, mereka yang dulu tinggal disana.
Ketika satu lokasi digusur, tentu selalu ada penghuni yang nangis2, doa bersama, melawan, berontak sampe ngancam telanjang. Itu sudah biasa dari dulu, gada perubahan. Jadi gak perlu terlalu lebay menyikapinya dengan tiba2 merasa tenggorokan tercekat, menyebut nama Tuhan seakan2 hati teriris dan menyebarkan gambar2 wajah2 sedih sambil mata berair dan ingus mengalir.
Yang perlu ditanyakan, apakah tenggorokannya juga tercekat, nama Tuhan disebut2 sambil ingus mengalir, ketika membayangkan bertahun2 warga disana hidup dalam kesumpekan, penyakit, penindasan oleh preman, buang air besar dan sikat gigi di air yang sama ?
Apakah juga mata berair ketika membayangkan anak2 kecil dipaksa hidup dalam kemiskinan dan ketidak-layakan oleh orangtuanya yang bodoh dan tidak mau merubah dirinya ? Apakah hati teriris membayangkan anak2 kecil itu ingusan, korengan, TBC sampai DBD karena hunian yg tidak layak dan tidak memenuhi standar kesehatan ?
Jadi manakah yang lebih kejam, pemerintah sekarang yang ingin merubah standar hidup warganya atau anda yang - dengan lebaynya - ingin mereka tetap pada kondisi seperti itu selamanya ?
Lihat, apa yang terjadi ketika mereka yang dulu kanak2 tinggal disana dan besarnya tetap disana menjadi bandit, pengedar dan pecandu narkoba dan pelacur karena hancurnya harapan dan terkondisi oleh ketidak-layakan. Manakah yang lebih kejam ?
Apa yang dilakukan pemerintah sekarang sudah jauh lebih baik, memanusiakan manusia bukannya menjadikan manusia sebagai pajangan kemiskinan.
Bukan anda yang berterima-kasih kepada pemerintah, tetapi anak2 itu satu saat nanti yang berterima-kasih karena terbebas dari konsep kemelaratan yang dipelihara orangtuanya seperti sebuah kutukan.
"Adil-lah sejak dalam pikiran.." Begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Dengan menerapkan adil dalam pikiran, maka kita akan memandang jauh lebih luas dan obyektif. Kalau masalah teriak, ketika pemerintah berlaku tidak adil, Iwan Fals sudah sejak lama teriak. Tapi, si abang itu paham. Dia dulu tukang teriak karena memang dulu pemerintahnya bajingan.
Karena itu, sebelum menghakimi sesuatu, apalagi menghakimi karena membela cagub tertentu, belajarlah dulu minum kopi dengan tenang dan buka sudut2 pandang lain supaya paham.
Jangan menjadi Sonya kedua, "Kutandai kau, Ahok.. Awas, kutandai kau.." Eh, ternyata ketika yang di-relokasi sdh menempati rusunawa, dan senang disana, anda tetap berfikiran seperti zaman orba bahwa relokasi dan gusur adalah hal yang sama???
Ini sudah tahun 2016, saudaraku yang tercinta.. Bukan lagi tahun 19 delapan puluh sekian...
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment