Dunia Hawa - Salah satu yang saya suka dari Semarang, tempat saya "nongkrong" sejak awal 1990-an, adalah "iklim keagamaan" yang cukup toleran di kota lumpia ini. "Wong Semarang" sepertinya memang kurang suka "ribut-ribut" soal agama. Kalau ada yang ribut, "kesemarangannya" berarti diragukan.
Sepertinya "wong Semarang" ini lebih cenderung "pragmatis" (bukan "idealis") dalam melakoni kehidupan. Beda dengan "kaum pragmatis", "kaum idealis" biasanya kurang bisa melihat lingkungan sekitar yang mempraktekkan sesuatu yang "berbeda dengan dirinya". Kalau tidak bisa dikelola dengan baik, watak "idealisme" ini bisa berpotensi menciptakan intoleransi dan bahkan kekerasan. Jadi idealisme itu bisa berdampak positif dan negatif. Dalam diri seseorang, ada potensi "pragmatisme" dan "idealisme" sekaligus. Ada yang sangat pragmatis luar-dalam, ada yang idealis luar-dalam, ada yang keluar idealis kedalam pragmatis, ada pula yang kedalam idealis keluar pragmatis. Ini hasil kontemplasi pribadi saja, belum tahu apa ada teorinya atau tidak.
Tetanggaku di Semarang masuk kategori "idealis kedalam pragmatis keluar" ini. Mereka saya amati orang-orang yang idealis dalam memegang prinsip hidup dalam beragama, berideologi, berpartai, dlsb. Tetapi pada saat yang sama mereka juga sangat pragmatis dalam bersosialisai dan bertetangga. Meskipun mereka berbeda-beda dalam beragama, berpartai, berideologi, beraliran dan seterusnya, tetapi bisa kumpulan RT bareng, siskampling bareng, tahlilan bareng, jenguk orang sakit bareng, Agustusan bareng dlsb. Ini artinya, sebagai "mahluk individu", mereka idealis tetapi sebagai "mahluk sosial" mereka pragmatis.
Seandainya para tetanggaku menerapkan idealisme kedalam dan keluar, tentu kehidupan akan macet alias "deadlock" karena mereka sangat warna-warni: ada "orang abangan" atau "Muslim KTP", ada yang Kristen, ada yang aktivis "Islam garis lurus", ada aktivis LDII, ada yang fanatik PKS, ada yang fans PDIP, ada pula yang seperti diriku terserah mau dibilang apa. Ada yang gak pernah berjilbab tapi ada pula yang berniqab / bercadar. Meskipun warna-warni, tetapi kami baik-baik saja dalam bermasyarakat, tidak pernah saling melecehkan, dan saling membantu satu sama lain.
Inilah yang saya maksud dengan "tetangga Pancasila". Begitulah seharusnya kita dalam menjalin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Silakan saja mau memeluk agama, partai, dan aliran apa saja tetapi harus ingat bahwa kita hidup dalam sebuah masyarakat yang majemuk, di planet bumi yang warna-warni. Karena itu toleransi menjadi penting untuk menjaga kerukunan umat dan keseimbangan kosmos ini.
Jabal Dhahran, Arab Saudi.
[prof.sumanto al qurtuby]
No comments:
Post a Comment