Bang Yos Sutiyoso mulai menunjukkan taringnya.
Dunia Hawa - Sesudah sempat kepleset dengan memilih Banyu Biru sbg salah satu anggotanya, ia langsung masuk gigi 4 untuk membayar kesalahannya.
Hasilnya ? Dua orang koruptor besar yang selama ini tidak terjamah, dilibas. Dan bukan itu saja, ia sudah mengeluarkan ancaman kepada 33 koruptor lainnya untuk mengejar mereka ke ujung dunia, dimanapun mereka berada.
Bang Yos mematahkan gigi mereka yang dulu meremehkannya, sebagai seorang yang berada pada posisi kepala BIN karena "berjasa" kepada Jokowi waktu pilpres. Seakan2 kursi BIN itu hanya sebuah hadiah belaka, tanpa meihat kapasitasnya.
Hal yang sama terjadi pada Budi Waseso.
Buwas banyak dilecehkan dan di bully ketika ia menjabat sebagai kepala Bareskrim. Ia seperti "attack dog" yang hanya menerima perintah majikannya. Kacamata kuda Buwas sudah banyak memakan korban dalam bentuk kriminalisasi, terutama pada beberapa pimpinan KPK waktu itu. Memang aneh sekali Buwas kala itu.
Keanehan Buwas bukannya menghantam dia karena dianggap "melawan" perintah Presidennya. Ia malah ditarik keatas dan ditempatkan pada posisi yang tepat. "Mengonggonglah disana sekeras2nya..", begitu pesan yg tersirat.
Dan Buwas bukan hanya menggonggong ketika menjadi kepala Badan Narkotika, ia menggeram, mengejar, menghantam transaksi2 narkotika besar di seluruh Indonesia. Harga barang haram itu melambung sangat tinggi ketika Buwas menggantikan Anang Iskandar, yang sama gilanya. Gemetar lutut bandar2 itu dibuatnya. Dan lihatllah, Bareskrim yang sekarang dipimpin Anang Iskandar pun kembali tenang dan profesional.
Apa yang menarik disini ?
Yang menarik adalah kemampuan Jokowi menempatkan orang2 pada tempatnya. Ia mampu menempatkan buah2 catur sesuai posisinya yang tepat dengan meihat karakter dan kapasitasnya.
Jokowi bukan orang yang sibuk menyerang balik ketika ia diserang. Ia dingin. Ia mengamati dulu situasinya, meng-kalkulasinya, mengenali orang2nya dan kemudian menempatkan bidak pada posisi sempurna. Ia menata kuda, benteng dan peluncur pada posisi yang tepat dan - tanpa disadari musuh - itu menjadi kekuatan.
Dengan penempatan yang strategis seperti itu, siapapun yang dulu meremehkannya, mulai berhitung dengan cermat. Mau menyerang darimana ? Jangan2 serangan malah jadi skak mat.
Jokowi merangkul orang2 yang pantas dirangkul, meski secara politik, orang itu sempat berseberangan dengan dirinya.
Menariknya, kepada koruptor besar-pun ia menggunakan strategi yang cerdas. Ia tidak langsung menghantam mereka, karena ketika diancam untuk dihantam, maka hilang-lah uang negara yang dulu pernah dirampok. Ia menggunakan taktik "pengampunan bersyarat", terutama pada masalah lama. Anda kembalikan uangnya dulu, sesudah itu mari bicara keringanan.
Dan lihat, Samadikun Hartono koruptor BLBI lama berjanji akan mengembalikan 169 miliar rupiah hasil rampokannya. Begitu juga kepada pengemplang pajak yang menempatkan uangnya di luar negeri. Jokowi memegang nama2 mereka. Ia menaruh jaring pengampunan pajak, asal mereka kembali membawa uangnya ke Indonesia. Ambil peluang bagus ini, atau kami sikat. "Ini masalah kewibawaan pemerintah, " kata Bang Yos.
Apa yang dilakukannya mirip dengan China. China menerapkan hukuman mati kepada koruptor baru, bukan koruptor lama. Yang lama diberikan pengampunan bersyarat. Tetapi yg korup sesudah UU hukuman diberlakukan, maka eksekusi segera.
Ini sebenarnya menjawab pertanyaan seorang teman, "kenapa abang tidak pernah menyerang kebijakan Jokowi ?" Kebijakan Jokowi tidak bisa dirasakan langsung pada hari ini. Orangnya visioner dan kita baru bs merasakan dampaknya di kemudian hari. Menyerang kebijakannya pada waktu ia mengeluarkan kebijakan, sama saja menelan paku. Ketika ternyata ia benar, paku itu nyangkut di tenggorokan. Susah nelan jadinya.
Ah, jadi pintar awak gegara nonton pakde maen catur ini. Perlu bercangkir kopi untuk memahami langkah2nya yang dingin. Secangkir kopi, cukuplah untuk pemanasan..
Seruputtt, pakde....
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment