Dunia Hawa - “Kami hanya ingin menjalankan syariat Islam sesuai perintah agama kami. Apa salah kami? Itu kan hak kami?” keluh sejumlah orang. Beruntunglah mereka, karena konstitusi negara ini memang melindungi hak-hak orang untuk beragama dan menjalankannya. “Tapi masih banyak syariat Islam yang tidak bisa kami tegakkan,” lanjut mereka.
Oh ya? Mereka lupa, jadi perlu diingatkan, bahwa hak-hak manusia itu boleh dijalankan sebebas-bebasnya, tapi ada batasnya. Di mana batasnya? Ketika pelaksanaan hak itu berbenturan dengan hak-hak orang lain. Di situ perlu ada kompromi. Misalnya, orang Islam ingin menerapkan hukum pidana Islam. Orang Islam boleh saja merasa hak untuk menjalankannya ada di tangan mereka. Tapi, bagaimana dengan non-muslim? Mereka juga berhak menolak. Karena itu perlu ada kompromi.
Kompromi itulah yang dilakukan oleh bapak-bapak kita dulu. Mula-mula ada hak istimewa bagi umat Islam untuk melaksanakan syariatnya. Istimewa maksudnya karena disebut secara khusus. Disebut khusus tidak bermakna bahwa hanya umat Islam saja yang berhak untuk melaksanakan ajaran agamanya. Karena ada peluang untuk salah tafsir di masa depan, akhirnya bapak-bapak kita itu berkompromi. Kata-kata yang mengistimewakan umat Islam akhirnya dicoret. Beberapa kali ada usaha untuk menghadirkannya kembali, tapi tidak berhasil. Bangsa ini memilih untuk tetap pada konstitusi lama, yang tidak mengistimewakan salah satu umat.
“Tapi kan itu hak kami sebagai umat Islam…………,”
Sssssst, puk puk, cuba cuci muka dulu sana. Yang Islam tidak cuma kamu. Yang dulu mencoret 7 kata itu juga muslim, kok. Yang akhirnya menolak 7 kata itu masuk kembali ke konstitusi juga muslim kok. Mereka adalah tokoh-tokoh organisasi Islam yang mumpuni dalam ilmu agama, juga banyak kontribusinya untuk bangsa ini. Sudahlah, jangan banyak bunyi lagi. Seolah kamu saja yang muslim dan paling tahu soal Islam.
Apakah dengan mematuhi konstitusi hak-hakmu sebagai umat Islam terampas? Coba, kamu mau apa? Salat boleh. Puasa boleh. Zakat disediakan lembaganya. Haji juga dibantu. Kurang apa lagi?
“Tapi maksiat masih meraja lela. Orang dibebaskan minum khamar….,”
“Kamu nggak mau minum? Silakan, nggak ada orang yang menyuruh kamu.”
“Tapi orang lain masih boleh…”
“Biarkan saja. Yang penting kamu tidak minum, kan? Kalau kamu masih ngotot soal ini, kamu sebenarnya tidak sedang memperjuangkan hakmu, tapi kamu cuma ingin merampas hak orang lain.”
Banyak di antara orang-orang itu yang begitu tekun menuntut hak, tapi mereka sangat abai dalam kewajiban. Mereka ribut menuntut ini itu atas nama hak, tapi mereka lalai dalam menghormati hak orang lain yang merupakan kewajiban mereka. Tak jarang mereka ini dengan enteng melanggar berbagai peraturan. “Ini hanya hukum buatan manusia, bukan hukum Allah,” kata mereka. Itulah mereka. Mau hidup di negara ini, mau cari makan di sini, tapi enggan untuk bekontribusi, sekedar mematuhi aturan pun mereka enggan. Ibaratnya, mau tinggal di sebuah rumah, cuma numpang makan. Menyiram taik bekas mereka berak pun mereka enggan. Manusia macam apa itu?
Tak sedikit pula dari mereka itu yang hidup di sini sambil memaki-maki sistem pemerintahan negara ini. Lalu sistem seperti apa yang baik menurut mereka? Sistem Islam. Oh ya, di mana sistem itu sedang diterapkan? Mari kita nilai, baik atau tidaknya. Kalau baik, apa salahnya kita ambil. Oh maaf, sistem itu tidak wujud di alam nyata. Ia masih dalam proses pembuatan di angan-angan.
Bagi saya mereka cuma sekedar manusia bebal yang tidak bisa hidup bersama manusia lain, melalui seperangkat aturan. Mereka cuma ingin hidup menurut aturan mereka sendiri. Karena itu mereka menciptakan sistem khayal dalam angan-angan. Dalam sistem khayal semua serba baik belaka. Hak setiap orang bisa dipenuhi dalam sistem khayal, jadi tidak perlu ada kompromi.
[ DR. Hasanudin Abdurakhman]
http://abdurakhman.com/konsitusi-vs-syariat-islam/
No comments:
Post a Comment