Friday, September 22, 2017

PKI Lagi, PKI Lagi ..., Bosan Ah ...


DUNIA HAWA Sepert biasa menjelang 30 September diramaikan lagi isu PKI. Entah kenapa masalah ini gak ada habis-habisnya seakan kita harus terus dihantui dengan peristiwa lama dimana banyak negara yang sudah melupakannya.

Uni Sovyet yang dulu dikenal sebagai penjaga paham komunis sudah pecah menjadi beberapa negara. Rusia bahkan fokus untuk menaikkan gengsinya di mata dunia sebagai penjaga perdamaian, merebut citra yang selama dipegang oleh seterunya - AS.

Bahkan Cina dalam prakteknya lebih kapitalis dari AS sebagai mbahnya. Mereka dalam beberapa hal bekerjasama sampai masalah hutang piutang.

Di negeri kita beda lagi..

Dengan jargon "menolak lupa", Isu PKIdibangkitkan lagi oleh beberapa kelompok yang merasa paling tahu bahwa masalah PKI itu adalah rekayasa. Muncul tulisan-tulisan bahkan perkumpulan untuk mengingatkan kembali ada sesuatu di balik pembantaian para Jenderal dahulu.

Padahal mereka lahir saja belum pada masa itu..

Di sisi yang berbeda, ada kaum ekstrim yang juga paranoid dengan isu PKI. Mereka seperti kambing kebakaran jenggot kalau ada simbol-simbol palu ma arit. Dengan gaya "sok menjaga negeri", mereka memburu, bahkan mempersekusi siapapun yang mereka tuding PKI.

Padahal mereka membedakan komunis dan atheis saja gak bisa. Masih ditambah tudingan bahwa ada kapitalis dan komunis yang bekerjasama untuk menghancurkan negeri ini. Padahal kapitalis dan komunis jelas ideologi yang bertentangan.. hwarakadah...

Saya inget dulu pernah membuat surat terbuka untuk mantan Jenderal yang berhalusinasi bahwa ada 15 juta PKI di Jakarta. Dan saya diserang habis-habisan oleh para pendukungnya yang beronani dengan pikiran yang sama..

Entah kenapa di negeri ini semua harus berada dalam koridor pro dan kontra. Nyindir ma yang selalu membangkitkan isu PKI, dibilang kontra. Nyindiri yang selalu paranoid PKI, dibilang pro..

Padahal dunia ini sedang bergerak maju dengan cepatnya..

Negara2 yang dulu berseteru tentang ideologi komunis, sudah berlomba-lomba bersaing dalam masalah teknologi. Ada yang udah keluar angkasa, ada yang udah menemukan teknologi layar seperti lembaran kertas.

Dan kita? Masih sibuk dengan yang itu-itu saja. Permasalahan tahun 1960-an yang gak kelar-kelar sampai sekarang. Kapan majunya?

Peristiwa Gerakan 30 September adalah bagian dari sejarah gelap kita. Namanya sejarah gelap ya sudah lupakan, ambil sebagai bagian dari pelajaran. Bukannya terus berkutat di masalah siapa yang benar dan siapa yang salah..

Masih banyak ruang terang di depan, seperti bagaimana ekonomi kita bisa menjadi nomer satu se Asia Tenggara. Itu jauh lebih penting daripada terus menerus berantem masalah lama yang - bahkan - yang mengalami peristiwanya sudah banyak yang meninggal dunia.

Sebagai generasi penerus seharusnya kita harus lebih pintar dari generasi terdahulu, karena kita diberi fasilitas tehnologi terdepan. Jangan tehnologinya yang maju ke depan, manusianya selalu mundur ke belakang...

Indonesia, Gak Malu Apa Sama Rwanda?

Tahun 1994, terjadi genosida di Rwanda, sebuah negara di Afrika. Diperkirakan lebih dari satu juta orang tewas dalam beberapa bulan, akibat kebencian. Peristiwa Rwanda dipicu oleh kebencian yang terus menerus ditiupkan untuk membangkitkan kebanggaan suku Hutu terhadap suku Tutsi.

Pada masa itu sangat sulit menjadi suku Tutsi karena mereka dicari dan diburu oleh suku Hutu. Genosida itu akhirnya dihentikan sesudah Front Patriotik Rwanda masuk dan menghentikan genosida. FPR dipimpin oleh Paul Kagame -yang notabene dari suku Tutsi- yang sekarang masih menjadi Presiden Rwanda.

Tahun 2014, Rwanda memperingati 20 tahun genosida itu. Menarik bahwa Rwanda tidak pernah mempermasalahkan "siapa yang benar dan siapa yang salah" pada waktu genosida itu.

Mereka hanya menyesalkan "tragedi kemanusiaannya".

Dan itu menjadi atraksi yang menarik dalam pagelaran mengingat kembali peristiwa 1994, sebagai bagian dari sejarah gelap kemanusiaan di Rwanda. Sejarah gelap ini perlu diingatkan, sebagai pembelajaran untuk menghargai kembali nilai-nilai kemanusiaan di Rwanda, apapun sukunya..


foto : pagelaran mengingat kembali peristiwa 1994, 

Indonesia pernah mengalami situasi yang mirip dengan Rwanda..

Tahun 1965 - lebih tua dari genosida Rwanda - terjadi genosida di seluruh negeri terhadap mereka yang dituding komunis. Dimana-mana terjadi pembantaian. Sungai dikabarkan pada waktu itu berwarna merah karena darah dan tubuh tanpa kepala mengapung di mana2.

Genosida tahun 1965 juga memakan korban - diperkirakan - sampai sejuta orang. Peristiwa menyakitkan ini adalah sejarah gelap dalam bangsa kita, bahwa kita pernah lupa jika kita ini adalah manusia.

Apa yang berbeda antara Rwanda dan Indonesia ? Yang berbeda ternyata adalah cara menyikapinya.

Rwanda memperingati tragedi 1994 itu dengan tema "kemanusiaan", sedangkan Indonesia masih berkutat di "siapa yang benar dan siapa yang salah".

Itulah kenapa kita sulit menjadi negeri maju, karena jari sibuk menuding sana sini. Ada kelompok yang sibuk ingin "meluruskan sejarah siapa dalang pembantaian PKI" dan ada kelompok lain yang "paranoid PKI".

Kedua kubu ini sama-sama ekstrim, tanpa pernah berusaha melihat sisi lain yaitu tragedi kemanusiaannya. Kita sibuk #save tragedi kemanusiaan di negeri lain, tapi tidak sibuk #save tragedi kemanusiaan di negeri sendiri..

Mungkin Presiden Joko Widodo bisa memulai hal ini, memperingati tragedi 1965 dari sisi kemanusiaannya, bukan dari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kita bersatu untuk "tidak lagi mengulang hal yang sama". Bahwa nilai kemanusiaan jauh lebih tinggi dari apapun di dunia..

Indonesia itu negara besar di Asia Tenggara, masak kalah dewasa dengan negara kecil di Afrika seperti Rwanda?

Cobalah sekali-sekali minum kopi biar terbuka pikiran. Banyak-banyak berpikir ke depan biar gak terjebak pada masalah di masa lampau..

Apa, Jon? 'Mau ngomong PKI lagi??

"Sa sa saya...." Bletak !! "Ja ja jangan di getok gitu dong, gi gi gigi gua udah ompong nih..."

@denny siregar