Friday, September 1, 2017

Makna Qurban dalam Iman Kristen


Latar Belakang dan Paralelisasinya  Agama - Agama Rumpun I brahim


Ashere adam ‘od bekha ma’a lot bi levavam

“Bahwa berbahagialah orang yang menguatkan dirinya di dalam Engkau, apabila hatinya berniat naik ke Sion”

(Mazmur 82:6)


DUNIA HAWA Menurut ketentuan Taurat Nabi Musa bani Israel diwajibkan untuk ‘aliyah (naik) ke kota suci Yerusalem tiga kali dalam setahun, sebagaimana umat Muslimin diperintahkan untuk naik hajj ke Mekah sekali dalam hidup apabila keadaan mampu. Dalam bahasa Ibrani, kata kerja yang dipakai untuk pergi ke Yerusalem adalah ‘alah (go up, “naik”) atau ‘aliyah (perjalanan naik), yang juga dilestarikan dalam ritual Islam “naik haji ke tanah suci.” Sedangkan kata Arab hajj juga berasal dari bahasa Ibrani hag (jamak:hagigah), suatu perubahan yang lazim sesuai dengan”korespondensi bunyi” dalam bahasa-bahasa rumpun semitik, seperti kata Ibrani gabriel menjadi jibril dalam bahasa Arab.

Berkaitan erat dengan kata ‘alah, maka orang-orang yang mengadakan ‘aliyah ke Yerusalem, disebutma’alah (Mazmur 84:6). Bentuk jamak dari kata itu ma’a lot, seperti tampak pada kata syir hamma’a lot (“a song of ascents”). Itulah judul-judul mazmur 120-133, suatu bagian mazmur yang secara khusus dinyanyikan waktu arak-arakan memasuki Yerusalem. Maksudnya, apabila diterjemahkan secara bebas “nyanyian pada waktu naik hag ke Yerusalem.” Karena itu, Today’s Arabic Version (TAV) menerjemahkannasid al-hujaj (nyanyian orang-orang ber-hajj). Terjemahan Baru (TB) Lembaga Alkitab Indonesia (1974) menerjemahkan “nyanyian ziarah”.

Doa Dan Pujian Saat Memasuki Kota Suci

Umat Islam juga mempunyai doa-doa pada waktu memasuki kota Mekkah, Bab as salam (gerbang damai) menuju Masjid al-Haram, dan secara khusus pada waktu mereka melihat Ka’bah. Tema-tema doa-doa tersebut antara lain, pujian atas kota suci, perdamaian dan keamanan, yang juga dinyanyikan orang Yahudi pada waktu hag (perayaan) di Yerusalem. Salah satu syir ha ma’a lot yang terdapat dalam Kitab Zabur (Mazmur)122:1-4, 6 dan 8-9 dalam bahasa Ibrani berbunyi:

Syir ha ma’a lot le Dawid

Samahti be omerim liy beit Adonay nelak;

‘amedut hayu reglayenu bi sye’arekha, Yerusalem

Yerusalem, habenuh ke ‘ir syehuberah la yahddau

Syesyam ‘alu syevatim syibeti yah;

Edut le yisrael le hodot le syam yhwh;

Syaalu syalom Yerusalem, yisyelahu ahevikha;

le ma’an ahi we re’ai edberahna syalom bekha

le ma’an Adonay elohenu avaqesah lekha 

1.   Nyanyian kenaikan dari Daud.

Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku:

“Marilah kita pergi ke Rumah TUHAN.”

2.   Kini kaki kami berdiri di pintu gerbangmu, Yerusalem

3. Yerusalem, yang didirikan sebagai kota yang mempersatukan semua di dalamnya;

4.   Kesanalah suku-suku naik, yaitu suku-suku TUHAN, sesuai dengan syahadat bagi Israel, untuk bersyukur kepada Nama TUHAN;

6. Berdoalah bagi perdamaian Yerusalem, kiranya orang-orang yang mencintai engkau mendapat keamanan

8. Oleh sebab saudara-saudaraku teman-temanku, aku hendak mengucapkan “syalom bagimu”.

9.   Demi Rumah ALLAH Tuhan kita, aku hendak mencari kebaikan bagimu.


Yerusalem Sebagai Kiblat Ibadah


Ungkapan Ibrani syehuberah llah yahddau (where in all associate together), lebih menunjuk Yerusalem sebagai “pusat pemersatu” atau kiblat dalam ibadah, ketimbang sekedar menunjuk bangunan-bangunan sebagaimana tampak dalam terjemahan Indonesia. Ini cocok dengan ayat 4 bahwa ke kota suci ini suku-suku naik untuk beribadah kepada TUHAN. Kota suci Yerusalem sebagai kiblat ibadah (1 Raja-raja 8:44) ini juga diakui umat Islam mula-mula. Menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari, selama kira-kira 16-17 bulan umat Islam salat dengan kiblat ke Yerusalem, sampai pada akhirnya dipindahkan ke Mekkah (Qs.al-Baqarah/2:142).

Seluruh pengagungan terhadap Yerusalem ini akhirnya diterapkan untuk Mekkah “kiblat baru” kaum Muslim, sebagaimana ditunjukkan dalam kalimat awal doa memasuki kota suci Mekkah: Allahuma hadza haramuka wa amnuka. “Ya Allah, kota ini adalah tanah suci-Mu dan tempat yang aman.” Dan seperti Mazmur 122:6 tidak hanya mendoakan Yerusalem melainkan orang-orang yang mencintainya, begitu pula dengan Mekkah dan kaum yang menghormatinya dengan hajj dan ummrah :

Allahuma zid hadzal bayta tasyrifan  wa ta’zhiman

Wa takriman mahabatan, wa zid man syarrafahu wa

Karamahu mim hajjahu aw’itamarahu tasyrifan

Wa ta’ziiman wa birra. 

Artinya: “Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, kehormatan, keagungan dan kehebatan pada Bait Allah ini, dan tambahkanlah pula pada kaum yang memuliakan, menghormati dan mengagungkannya diantara mereka yang ber-hajji atau ber-‘umrah padanya mereka dengan kemuliaan, kehormatan, kebesaran dan kebaikan.”

 Masih banyak kesejajaran yang bisa dikemukakan di sini, yang dengan jelas menunjukkan sumbernya dari ritus-ritus agama Yahudi. Konsep Masjidil al-Haram di Mekkah sebagai kota suci yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang Muslim (Qs, At-Taubah 9:28), sejajar dengan konsep disediakannya pelataran khusus bagi non-Yahudi yang tidak diperbolehkan memasuki ruang dalam bait Allah.

Berangkat dari klaim iman (agama) Ibrahim (the Abrahamic faith), maqam Ibrahim di tanah Moria (erets hamoriah) di lokasi bait Allah berdiri paralel dengan Jabal Marwah di Mekkah. Sedangkan orang-orang Samaria, yang sejak abad ke-7 sM memisahkan diri dari orang-orang Yahudi, membaca Kejadian 22:2 dalam qira’at (bacaan) mereka “More” (bukan Moriah) untuk membenarkan gunung Gerizim sebagai pusat ibadah mereka. Kata Arab maqam Ibrahim, berasal dari bahasa Ibrani ha maqom yang dipakai dalam Talmud. Arti kata maqom, “tempat suci” dan bukan kuburan seperti dalam bahasa Indonesia.

Dalam konteks perdebatan mengenai “kiblat” ibadah itulah, Yesus bersabda mengenai penyembahan Allah dalam roh dan kebenaran. “Percayalah kepada-Ku, wahai perempuan Samaria, “saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini (Gerizim, penulis) dan bukan pula di Yerusalem.” Alasan yang dikemukakan oleh Yesus, karena Allah itu Roh, maka haruslah kita menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Injil Yohanes 4:22-24).

Antara Hag (Perayaan) Di Yerusalem dan Hajj Ke Mekkah: Beberapa Paralel


Perintah ber-hag pertama kali, khususnya tiga perayaan utama Israel, disebutkan dalam Taurat, Keluaran (Syemot) 23:14 yang berbunyi: 

Syalosy regalim to-hag li ba syanah

Artinya: “Tiga kali setahun haruslah engkau mengadakan perayaan (hag) bagi-Ku.”

๐Ÿ˜‚ Pada zaman Nabi Musa, ketika syariat hag itu pertama kali diberikan, penyelenggaraan belum dipusatkan di Yerusalem. Barulah ketika Raja Daud merebut Yerusalem dari tangan kaum Yebus, dan raja Salomo (Sulaiman) merealisasikan pembangunan Bait Allah dan kota suci itu dijadikan pusat ibadah, hagdiadakan di Yerusalem. Selanjutnya, seperti disebutkan dalam Talmud, hag (jamak: ‘hagigah’) secara khusus menunjukkan perayaan besar yang diadakan di Yerusalem. Akhirnya kata ini diambil alih dalam bahasa Arab hajj (dalam makna syar’i-nya yaitu “sengaja ziarah ke tanah suci (Mekkah).”

Dalam Perjanjian Lama, 3 perayaan pokok (hagigah)di Yerusalem itu adalah:

๐Ÿ˜‚Hag Pesah atau perayaan Paskah, yang memperingati keluarnya bani Israel dari perhambaan Fir’aun di Mesir. Karena peristiwa Exodus ini, sebagai peristiwa utama, kata hagi (hari rayaku) dalam Keluaran 23:18 mula-mula secara khusus menunjuk Paskah, tapi kemudian menunjuk seluruh rangkaian hari-hari raya utama. Setelah Paskah langsung disusul dengan ham matstot (hari roti tak beragi) selama 7 hari. Paskah jatuh pada tanggal 14 Nisan dan ham matstsot jatuh pada tanggal 15-21 Nisan.

๐Ÿ˜‚ Hag syavu’ot (hari raya penuai), yaitu hari panen yang ditandai dengan perkumpulan kudus. Karena perayaan ini jatuh 50 hari setelah Paskah, maka kemudian hari ini disebut juga dengan bahasa Yunani “Pentakosta.” Hag syavu’ot jatuh pada tanggal 6 bulan Sivan, permulaan tuaian musim panas. Sejak abad 1 Masehi hari ini dikaitkan juga dengan nuzulnya 10 perintah Allah di gunung Sinai;

๐Ÿ˜‚Hag Sukkot atau hag ha’Asif, yaitu hari raya Tabernakel atau Pondok Daun. Perayaan ini jatuh tanggal 15-21 bulan Tisyri untuk memperingati pengembaraan bani Israel yang melelahkan di padang belantara pada waktu mereka menuju ke tanah perjanjian (Imamat 23:33-34).

Selain hagigah atau hari-hari raya besar yang diadakan di Yerusalem, masih ada hari-hari raya kecil yang diadakan pada hari-hari sesudah Paskah dan sebelum Pondok Daun. Dalam Misynah hari-hari raya kecil itu disebut mo’ed katan. Kata Ibrani mo’ed ini muncul dalam konteks perayaan kira-kira 20 kali dalam Perjanjian Lama. Dalam Targum (yaitu terjemahan komentar-komentar Aram dari Perjanjian Lama sebelum Kristus) menjadi ‘ida menjadi ‘eda (feast, festival) kemudian menjadi bentuk Arab ‘id, yang kini dipakai dalam Islam: ‘Id al-Adha, ‘Id al-Fithr, atau oleh orang-orang Arab Kristen: ‘Id al-Milad (Natal) dan ‘Id al-Fashha (Paskah).

Baik perayaan-perayaan besar (hag) di Yerusalem maupun haji ke Mekkah, terkait erat bahkan tidak dapat dipisahkan dengan kurban-kurban. Selanjutnya ritus-ritus hajj dalam Islam dibuktikan sejajar dengan 3 hari-hari raya besar Israel (hag), terutama dengan ritus hag hassukot (Tabernakel). Misalnya, dalam ritus Tabernakel atau Pondok Daun terdapat nisuh hammayim (upacara pembasuhan air) untuk memperingati mu’jizat air Meriba, dan kemudian thawaf (prosesi) mengelilingi Mezbah (Mazmur 26:6; 81:4-8). Dalam manasik haji ada pula tarwiyyah (penyiapan air zam-zam) dan thawaf mengelilingi ka’bah. Juga apabilahag Sukot (tabernakel) lebih paralel dengan ‘id al-adha, maka ritus yom kipur (hari penebusan dosa) yang sebelumnya diawali dengan tsaum gedalyah (puasa Gedalya), sejajar dengan ‘id al-Fithr yang sebelumnya diwajibkan shawn (puasa) bulan Ramadhan.

Manasik Hajji : Upaya Menggali Akar


Manasik Dan Unsur Kurban


Islam yang menghubungkan Ibrahim dengan ritual haji, mencatat doa khalil Allah itu, agar ia ditunjukkan manasik haji (Qs.al Baqarah/2:128). Menurut Noeldeke, akar kata “n-s-k” dalam bahasa-bahasa rumpun semitik “is propabably connected to the pouring of blood unto altars.” Dalam kitab Taurat, kata Ibrahim nesekh dipakai untuk menunjuk kurban curahan (Keluaran 29:40; 30:9). Sedangkan Qur’an, s.al-Hajj 22:34 memakai kata mansak juga dalam konteks ritus kurban :

Wa likulli ummatin ja’alna mansakal liyadzkurus

Ma’alahi ‘ala ma razaqakum min bahimatul ‘an’am

Artinya : “Dan tiap-tiap ummat telah kami tetapkan ibadah kurban (mansak), supaya mereka mengingat Allah atas pemberian binatang ternak.”

Karena itu, dalam konteks ibadah haji yang terkait erat dengan kurban, maka kata manasik akhirnya menunjukkan “ritual station.” Departemen Agama RI menerjemahkan “cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji. Menurut A.J.Wensick, pada periode Mekah sudah masuk beberapa terminologi Yahudi, beberapa diantaranya terkait dengan haji dan kurban. Misalnya, bahima (Qs.al-Hajj/23:34 berasal daribehema, “binatang kurban” (Immamat 1:2), kaffara (Qs. Al-Maidah/5:45) berasal dari bahasa kappara, “tebusan” (Immamat 23:28, Keluaran 30:10), suatu kata teknis yang berasal dari yom kippur (hari raya Penebusan Dosa).

Memang tidak semua ritus haji dapat dijumpai kesejajarannya dengan unsur agama Yahudi. Banyak juga yang bersalut erat dengan tradisi-tradisi budaya setempat dari zaman pra-Islam. Hadits Bukhari, yang dinisbahkan dengan Aisyah, isteri Muhammad, menceritakan bagaimana orang-orang kafir suku Quraisy dalam keadaan suci (ihram) memanggil dewi al-Latt. Pemujaan terhadap dewa-dewi kafir mereka, juga terkait dengan pengagungan Jabal (bukit) Safa dan Marwah. Jadi, ada juga ritual-ritual itu yang memang berakar dari budaya setempat.

Perayaan Yahudi Pada Bulan Tisyri

Sebelum menderetkan paralel antara ibadah haji ke kota Mekah dengan ritus-ritus-ritus hari raya besar Yahudi, berikut ini kita kutip Mazmur 81:4-5,8 yang menyinggung rangkaian perayaan pada bulan Tisyri:

Tiqe’u va-hodesh shofar ba-keseh le yom

Haggenu. Ki-hoq le-yisrael hu mishfat l’elohe

Ya’aqov, “ebehanekha ‘al-mayim Meribah, Selah”.

Syema’ ami we a’idah bekha ysrael im tishema’

Liy lo yihye bekha ‘el zar we lo-tisytaharweh le’el nekar

Tiuplah sangkakala pada bulan baru, pada bulan purnama, pada hari raya (“hag”) kita,

Sebab hal itu suatu ketetapan dari Allah Yakub;

“Aku telah memuji engkau dekat air Meriba,”.Sela.

Dengarlah hai umat-Ku, Aku hendak memberi peringatan Padamu. Hai Israel, jika engkau mau mendengarkan Aku:

“Janganlah ada ilah-ilah lain dan jangan engkau sujud menyembah kepada ilah asing.”

Ayat-ayat di atas mencakup perayaan-perayaan bulan ke-7 bulan Tisyri, mulai dari yom teru’a(peniupan shofar, sangkakala) tanggal 1 yang disebut juga rosh hasyanah (tahun baru), dan disebut juga pengujian air Meriba yang menjadi upacara nisuh hamayim yang dikemudian hari masuk menjadi rangkaian ritus-ritus Pondok Daun tanggal 15-21. Beberapa amalan ibadah haji yang paralel dengan hag hassukhot adalah pembasuhan air (minum air zam-zam) dan thawaf 7 kali mengelilingi Ka’bah.

Thawaf Dan Pencurahan Air


Diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, bahwa Nabi Muhammad setiba di Mekah langsung berwudhu’ dan mengelilingi Ka’bah/Bait Allah (bina qadima makkata innahu tawadhdha’a tsumma thawafa bi al bayt). Kebiasaan ini sejajar dengan Mazmur 26:6. “Aku membasuh tanganku tanda tak bersalah”,tulis pemazmur, “lalu berjalan mengelilingi mezbah-Mu, ya Tuhan.” Dalam urutan ritualnya berbeda, tetapi kedua unsur itu ada baik dalam upacara hag hassukot maupun haji ke Mekkah.

Mengenai persiapan haji, menurut kebiasaan mula-mula pada tanggal 8 Dzulhijjah dikenal sebagaiyaum al-tarwiyah (Hari untuk mempersiapkan air). Air zam zam ini diminum pada ritual thawaf mengelilingi ka’bah tanggal 10 Dzulhijjah. Sesuai dengan ketentuan, thawaf tersebut dilakukan sebanyak 7 kali, dan masing-masing putaran dengan doa-doa tertentu. Menurut riwayat Anas bin Malik dan ‘Abdullah bin Sa’ib, doa waktu thawaf berbunyi: Rabbana atina fi ad dunya hasanah, wa fi al-akhirati hasanah, wa qina ‘adzab an naar. Artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, berilah kami kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa api neraka.”

Selain seremoni nisuh hammayim dalam hag hassukot, menurut tradisi Yahudi pada zaman ‘Isa al-Masih, imam sambil membaca doa dari Mazmur 118:25 yang berbunyi: anna Adonay hosyi’ ahna. anna Adonai hatseliahna. Artinya: “ Ya Tuhan, berilah kiranya kami keselamatan. Ya Tuhan, berilah kiranya kami kebahagiaan.” Selanjutnya, pada hari ke 7 hag hassukot umat mengikuti thawaf (mengelilingi) mezbah sebanyak 7 kali, sambil meneriakan seruan hosyi’ahna yang diulang-ulang sebanyak 7 kali pula. Hari ke-7 dan ke-8 (Ibrani: “syemini atseret”) dalam rangkaian hosyi’ ahna rabba (hosana agung), dikenal pula upacara melambaikan lulav (palma). Menurut catatan Injil, Yesus dengan menunggang keledai memasuki Yerusalem dielu-elukan dengan lambaian pohon-pohon palam ini (Matius 21:1-11). Jelaslah klaim Kristen bahwa Yesus adalah Mesiah dibenarkan oleh tafsiran mesianis Yahudi pada zaman itu, yang mengaitkan ritual hag ini dengan kedatangan Mesiah (Zakaria 9:9).

Dalam Islam, ritual melambaikan daun-daun palma ini, tidak dikenal. Begitu pula, mendirikan rumah-rumah dari daun di pelataran Bait Allah, untuk memperingati pengembaraan di padang belantara, juga tidak dijumpai dalam ritual haji Islam. Tetapi ritual thawaf dalam Islam diteruskan. Menariknya, pada waktu mengelilingi ka’bah ditentukan bahwa posisi ka’bah harus di sebelah kiri, dan pada saat thawafmaupun sa’i jemaah mengangkat tangan menghadap Ka’bah. Kedua adab inipun dijumpai kesejajarannya dengan perayaan Pondok Daun, seperti syir ha ma’a lot dari Mazmur 134:1-3 yang berbunyi: 

hinneh bareku et adonay, kol ‘avedi adonay

ha ‘amedim be beyt adonay ba leilot,

sau yedekhem qodesy ubariku et adonay

Artinya: “Mari, pujilah TUHAN, hai semua hamba TUHAN yang datang melayani di rumah TUHAN pada waktu malam;

Angkatlah tanganmu ke tempat yang kudus, dan pujilah TUHAN.”

Sedangkan mengenai posisi Ka’bah yang harus di sebelah kiri, barangkali dapat dilacak asal-usulnya dari mazmur mesianis (yang ditafsirkan sebagai nubuat akan kedatangan Mesias). Mazmur 110:1 mencatat sabda TUHAN kepada raja imam yang disapa Adonai (Tuhanku): “Duduklah di sebelah kananKu.” Baik dalam bahasa Ibrani maupun Arab, kata yamin (tangan kanan, sebelah kanan) menunjukkan kuasa maupun ridha Allah. Ungkapan sebanding dijumpai pula dalam surah al-Mutdatsir 74:28, yang menunjukkan “kaum yang diridhai Allah”. Jadi, posisi Ka’bah di sebelah kiri, sekedar lambang bahwa orang beriman thawaf di sebelah kanan TUHAN, yang bersemayam di atas Rumah TUHAN.

Membuang Jumrah, Mengusir Setan


Mengenai jumrah (membuang batu) tanggal 10-13 Dzulhijjah di Mina sebagai lambang pengusiran setan, sejajar dengan ritus yom kippur walaupun lambangnya bukan batu. Setiap lontaran batu diiringi takbir dan doa demikian: 

Bismillahi Allahu akbar arjman li asy syaysthini

Wa ridhanu ar rahman. Allahuma aj’alhu hajjan mabrur

Wa sa’yan masykura wa dzanban maghfuran.

Artinya: “Dengan nama Allah, Allah Mahabesar. Kutukan bagi segala setan dan ridha Yang Maharahman. Ya Allah, jadikanlah hajiku sebagai haji mabrur, dan sa’i yang diterima, serta dosa yang diampuni.”

Dalam ritus yom kippur (penebusan dosa), dikenal pula pengusiran azazel (setan) yang dilambangkan dengan pelepasan kambing jantan “membawa kesalahan umat Israel ke padang gurun, kediaman roh jahat.” Bersamaan dengan itu, seorang Imam menyembelih kurban untuk penebusan umat di depan Allah. Jadi, ada seekor kambing jantan penebus dosa, yang dianggap sebagai kaffarat(tebusan) dosa-dosa umat Allah (Imamat 16:1-34).

Masih banyak lagi amalan-amalan haji yang bisa dideretkan sejajar dengan tradisi perayaan-perayaan (hagigah) Yahudi. Misalnya, para jemaah haji berpakaian putih dan dalam keadaan suci (ihram), sejajar dengan pakaian putih imam pada waktu berada di ruang mahakudus (Imamat 16:4). Demikian pula larangan mencukur rambut sebelum tahalul, sejajar dengan hukum kenadziran (Bilangan 6:5), yang secara khusus diatur dalam Misynah, traktat nedzarim.

Kurban, Yom Kippur dan Penebusan Dosa


Dalam penghayatan agama-agama semitik, kurban menduduki peranan penting. Kata Ibrani/Arabqurban berasal dari akar kata “q-r-b” (yang juga menjadi bahasa Indonesia “karib”), terkait dengan gagasan pendekatan diri kepada Allah. Hampir semua ritus Yahudi zaman Perjanjian Lama berhubungan dengan kurban, sedangkan dalam Islam ide-ide pokok tentang syariat kurban ini terus terpelihara, walaupun banyak ritus itu ditafsirkan baru dalam makna islami.

Dalam tafsiran-tafsiran para rabbi Yahudi, ritus kurban juga dikaitkan dengan Mesiah yang akan datang. Sementara itu, kekristenan yang merupakan penerus langsung dari iman Yahudi, mendasarkan seluruh bangunan doktrin keagamaannya dari Kitab Suci yang sama (Perjanjian Lama). Bedanya, Yahudi tetap melakukan semua ritual tersebut dalam terang pengharapan mesianis, tetapi kekristenan menganggap bahwa semua simbol itu telah digenapi dengan kedatangan Yesus, Mesiah yang diutus Allah (Ibrani 10:1-8). Kurban agung-Nya di Jabal Juljuta (bukit Golgota), yang satu kali untuk selama-lamanya menggantikan kurban-kurban tahunan, dengan segala detail ritualnya.

Dalam hal ini Islam justru mewarisi kerangka dasar ide-ide kurban Yahudi, tetapi menolak konsep teologisnya dan menyederhanakannya. Tetapi baik dalam Yahudi (yang kemudian dilanjutkan oleh Kristen) maupun Islam, sepakat bahwa syariat-syariat kurban yang benar yang diridhai Allah, antara lain seperti yang ditunjukkan pola kurban anak Habel bin Adam dan Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan kurban anak Adam maupun kurban anak Ibrahim tersebut, diterima berdasarkan keikhlasannya niatnya semata-mata kepada Allah.

Sekitar Kurban Anak Ibrahim Dan Makna Mesianisnya Dalam Agama Yahudi


Khususnya kurban anak Ibrahim, menempati posisi sentral dalam ritual Yahudi. Orang Yahudi sejak dahulu kala menyebut kurban Ishak ini ha ‘aqedah (pengikatan), dibaca pada ritus tahun baru (rosh hasyanah) yang ditandai dengan peniupan shofar (serunai) pada tanggal 1 bulan Tisyri. Kata ha ’aqedah ini diambil dari sefer Beresyit (Kejadian 22:9), Wa yi’aqeda et Yitzaq beno (diikatnya Ishaq, anaknya itu). Dalam Islam, peringatan atas peristiwa kurban anak Ibrahim ini, juga diperingati dengan hari ‘Idul adha, tanggal 10 Dzulhijjah. Peristiwa ini diterangkan dalam al-Qur’an, s. ash Shaffaat 37:100-113, tanpa menyebutkan siapa nama anak Ibrahim yang akan dikurbankan itu. Ada hadits-hadits yang meriwayatkan Ismail yang terbanyak dianut, akan tetapi ada juga hadits-hadits yang meriwayatkan Ishak. Bahkan Ibn Jarir ath-Thabari, dalam Jami’ul Bayan fi al-Tafsir al-Qur’an, sebagai tafsir tertua lebih mendukung riwayat Ishak. Dalam hadits-hadits itu, Ishak digelari dzabihullah (sembelihan Allah) dalam berbagai bagian (Keluaran 3:18; 5:17; Imamat 9:4, dsb). Dari akar kata yang sama, dibentuk kata mezbah (altar tempat penyebelihan kurban). Menurut Montgommery Watt, tafsir Ismail sebagai anak Ibrahim yang nyaris dikurbankan, baru muncul pada masa belakangan, pada masa kekalifahan ‘Abbasiyyah.

Mekhilta, yaitu sebuah koleksi tafsir-tafsir yuridis para rabbi Yahudi, mengidentifikasikan darah domba Paskah dengan kurban Ishak, anak Abraham, merupakan “prefigurasi” (gambaran) dari Mesiah yang akan datang. Karena itu, aqedah yang menjadi dasar yang diatasnya orang-orang Yahudi mempersembahkan kurban-kurban yang lain, juga menjadi gambaran kurban Mesiah yang akan datang juga keturunan Abraham.

Bertitik tolak dari pondasi yang sama maka orang-orang Kristen perdana, kemudian merinci setiap ritus-ritus kurban itu sebagai bayangan yang mengarah kepada hakikat yang sebenarnya. Misalnya, anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat (Ulangan 17:1), adalah lambang bahwa Dia yang tidak berdosa(Ibrani 9:14; 1 Petrus 1:19). Syarat-syarat domba sembelihan kurban yang semacam ini, dijumpai juga dalam Islam. Hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi juga jelas-jelas memuat larangan berkurban dengan binatang yang cacat.

Dalam setiap ritus kurban Yahudi, berhubungan erat dengan berbagai amal ibadah: kurban persembahan (minkha, Kejadian 4:3-4), Kurban buah sulung (re, syit, bikkurin) adonan peserta minggu dan dzakat. Sedangkan kurban darah, yang secara khusus terkait dengan penebusan: untuk dosa (khataf) atau untuk kesalahan (asyam). Akhirnya, pada masa-masa kemudian ditetapkan penanggalan yang tetap pada hari perdamaian (yom ha kiffurim). Ketentuan mengenai hari perdamaian ini, antara lain berbunyi sebagai berikut: 

Hayyom hazzeh, ki yom kiffurim hu le kaffer

Aleikhem li feni yhwh elehekhem 

Artinya, “Itulah hari Penebusan, untuk mengadakan penebusan bagimu di depan ALLAH Tuhanmu (Imamat 23:28)

Yom Kippur ini jatuh setiap tanggal 10 Tisyri, pada saat itulah umat Israel harus merendahkan diri, berpuasa dan puncak perayaan itu mempersembahkan kurban kepada Tuhan untuk penebusan dosa-dosa mereka. Bentuk upacara ini, dalam banyak detailnya dijumpai juga paralelnya dengan kedua hari raya Islam, yaitu ‘Id al-Fithr dan ‘Id al-Adha. Fakta sejarah mencatat, bahwa dari orang-orang Yahudi itu. Namun mereka tidak mengambilnya secara murni”.

Dari keterangan ini, kita dapat menjelaskan asal-usul penanggalan hijriah, khususnya tentang meresapnya pengaruh hari-hari raya keagamaan Yahudi. Setelah puasa Ramadhan menggantikan puasa Assyura’, kendati penanggalan sudah disesuaikan dengan nuzulnya al-Qur’an, tetapi hari raya ‘Idul Fitri masih menunjukkan kedekatannya dengan makna Yom Kippur Yahudi. Salah satu dimensi teologis yang menonjol dalam Yom Kippur, adalah penebusan dosa, seperti ditunjukkan dalam doa pengampunan: 

….’al hetea sehatanu le fanekha be-zilezul horim umorim.

“….bagi dosa kami dihadapanMu, yang ditunjukkan sikap tidak hormat untuk para pendahulu dan orang-orang yang takut padaMu.

Juga diriwayatkan oleh Hasyim dari Hafsah dari Ummu ‘Athiyyah sabda Nabi Muhammad agar setiap Muslim pada hari raya: fa yukabirna bitakbirim wa bad’una bi du’aihim yajurna barakatu dzalikal yawmi wa thuhratahu. “Hendaknya mengucapkan takbiran dengan mengikuti takbir orang banyak dan berdoa pula bersama-sama mereka, untuk mengharapkan keberkahan hari itu serta kesuciannya, sebab yang hadir itu akan disucikan Allah dari segala dosa.

Pada hari raya ‘Idul Fitri itu, wajib dibayar zakat fitrah dengan prosentase tertentu dan dibagikan kepada orang-orang miskin dan orang-orang lain yang berhak. Dalam Imamat 14:22-29, persembahan persepuluhan wajib diberikan ke Bait Allah, dan secara periodik harus diserahkan pula kepada “orang-orang asing, yatim dan janda”. Sedangkan tentang kurban binatang, menjadi peringatan secara khusus pada hari raya ‘Id al-adha. Secara khusus tema kurban putra Ibrahim (‘aqedah) diangkat, tetapi dengan membuang tafsiran-tafsiran mesianis yang lazim baik di kalangan Yahudi maupun Kristen. 

Makna Kurban: Perbedaan Penafsiran dalam Yahudi, Kristen dan Islam


Diakui memang ada “batu sandungan” bagi orang Yahudi maupun Islam dalam memahami makna kurban dan penebusan dalam iman Kristen. Bagi umat Yahudi, persoalannya lebih pada soal interpretasi. Bersumber dari Perjanjian Lama yang sama, malahan juga dari latar belakang ritus-ritus yang sama, ditafsirkan secara berbeda. Konkritnya, penafsiran yang berbeda mengenai penggenapan dari janji-janji dalam Kitab Suci dan harapan-harapan mesianis yang sama. Orang Kristen memandang bahwa Yesuslah adalah pemenuhan segala harapan mesianik itu, sedangkan orang Yahudi masih menantikan Mesiah yang akan datang. Surat Ibrani, yang ditulis oleh orang Kristen berlatarbelakang Yahudi, ditulis dalam rangka memecahkan masalah ini.

Sedangkan dalam Islam, persoalannya bukan sekedar sumber kitab suci yang berbeda, tetapi juga seluruh ritus-ritus Islam sekali terkait secara tidak langsung dengan Yahudi dan Kristen, ide-ide pokok dari ritus-ritus itu sudah diinterpretasikan secara baru, Islam hanya mempertahankan kerangka ritualnya dan menolak tafsiran mesianisnya. Karena itu pula, berbeda dengan ‘aqedah Yahudi yang punya makna sakramental, ‘Id al-Adha dalam bersifat memorial saja, yaitu memperingati pengurbanan putra Nabi Ibrahim.

Selanjutnya, walaupun tafsiran-tafsiran Kristen tentang Perjanjian Lama tidak begitu saja diterima oleh orang Yahudi, tetapi tidak sulit membuktikan bahwa seluruh bangunan doktrin Kristiani didirikan diatas pondasi iman Yahudi. Gereja mula-mula, yaitu kerygma atau tradisi rasuli yang akhirnya melahirkan dokumen-dokumen Perjanjian Baru, mencatat peristiwa Yesus dan karya-karya-Nya yang menjadi final di dalam kebangkitan-Nya dari antara orang mati, dengan menempatkannya pada kerangka tema-tema Perjanjian Lama. Dengan demikian, seluruh tema-tema itu menjadi “terjelaskan” hakikat yang sebenarnya dengan kedatangan Kristus, makna ‘aliyah ke Yerusalem dirohanikan dan perayaan-perayaannya (hagigah) pun disublimasikan.

Demikianlah seluruh tema Perjanjian Lama diambil alih. Misalnya, hag Pesah bukan lagi sekedar pembebasan jasmaniah dari perbudakan fir’aun atas bene Yisra’el (anak-anak Israel), tetapi terutama pembebasan ruhaniah bene Adam (anak-anak manusia) dari perbudakan dosa oleh kuasa kebangkitan Yesus (Yohanes 4:24; 1 Korintus 5:7). Hag Syavu’ot (Pentakosta) juga bukan sekedar penuaian gandum, tapi turunnya Ruh Kudus terhitung 50 setelah Paskah Kristus, menandai berdirinya jemaah Kristen sebagai “Israel Baru”. Demikian juga, kita hanya bisa membaca sabda-sabda secara lebih jelas, apabila kita mengerti konteks perayaan-perayaan Yahudi itu. 

Yesus “Naik Haji” ke Yerusalem: Makna Dan Penggenapan Karya Allah Tentang Keselamatan


Dalam Injil Yohanes 7 dikisahkan bahwa Yesus turut merayakan hag hassukot (Perayaan Pondok Daun) di Bait Allah. Pada hari terakhir perayan itu (syemini asyeret), Yesus berseru: “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepadaKu dan minum”. Ucapan Yesus dalam konteks ritual nisuh hammayim(pencurahan air), yang memperingati mujizat Meriba. Doa pada saat pencurahan air ini: “Kiranya Allah mengirimkan Ruh-Nya kepada kita sekarang”. “Mengapa dinamai nisuh hammayim?”, begitu pertanyaan dalam Talmud Yahudi. “Sebab telah dicurahkan Roh Kudus-Nya, seperti yang dilambangkan dalam Yesaya 12:3 bahwa: “Kamu akan menimba dengan kegirangan dari mata air keselamatan”.

Jadi, keterangan Injil di atas cocok dengan tafsiran Yahudi yang lazim pada zaman Yesus, “bahwa yang dimaksudkannya disini ialah Ruh itu belum datang, sebab Yesus belum dimuliakan” (Yohanes 7:39). Menurut nubuat Nabi Yesaya, karya Mesiah akan disempurnakan oleh Roh Allah sendiri (Yesaya 11:2). Jadi, kejadiannya kira-kira dapat dibayangkan begini. Tatkala para hujjaj Yahudi berebut untuk mendapat cipratan air dari imam besar, sebagai lambang akan dicurahkan-Nya Ruh Allah, Yesus langsung menunjukkan siapakah Diri-Nya. Mengapa mereka yang haus itu harus datang kepada Yesus dan minum dari-Nya? Karena Yesus adalah Mesias sendiri, yang dalam Nama-Nya Roh Allah itu diutus ke dunia. “Tetapi Penghibur”, kata Yesus kepada murid-murid-Nya, “yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam Nama-Ku” (Yohanes 14:26).

Demikian juga dari latar belakang yang sama khususnya dari upacara Yom Kippur, kita dapat mengerti alam pikiran yang melatarbelakangi ide “penebusan dosa” (kaffarat) dalam Perjanjian Baru. Memang latar belakang lain, soal “denda tebusan” (Yunani: lutron) juga berperan. Tetapi latar belakang Yahudi-lah yang lebih berperan langsung. Dalam hukum Yahudi ditentukan, apabila seekor lembu menanduk orang sampai mati, lembu itu harus dirajam sampai mati dan pemiliknya bebas. Tetapi apabila pemiliknya sudah sering diperingatkan tentang bahaya lembu itu tetapi tidak menjaganya, apabila lembu itu menanduk orang sampai mati lagi, maka bukan hanya lembunya, melainkan pemiliknya juga harus dihukum mati. Ia bisa dibebaskan dengan cara membayar uang tebusan (kofer) sebagai ganti (tebusan) nyawanya (Keluaran 21:28-30). Inti dari ketentuan ini adalah hukum balasan setimpal yang adil, tapi lebih dari itu adalah ditekankan pengampunan (Keluaran 21:23-27; Imamat 19:17-18).

Azas pembalasan setimpal itu  (qishash): we nathathah nefes tahat nefes, ‘ayin tahat’ ayin syen. Maksudnya, “bahwa engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi” (Keluaran 21:23-24). Tetapi pada saat yang sama ditekankan agar berdasarkan kasih, supaya setiap orang tidak menuntut balas (Imamat 19:17-18). Azas tersebut hampir secara harfiah diterima dalam sistem hukum Islam, seperti disebut dalam Qs. al-Maidah /5:45 demikian:

Wa katabna ‘alaihim fiha annan nafsa bi an-nafsi, wa al-‘aina bil ‘aini, wa al-anfa bi al-anfi wa al-udzuna fa man tashsddaqa bihi fahuwa kaffratulahu 

Maksudnya: “Dan telah Kami tetapkan kepada mereka dalam Taurat bahwa nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka pun dibalas dengan setimpal. Namun barang siapa rela melepaskan hak balasnya, maka perbuatan itu menjadi kaffarat (penebus dosa) dosa baginya”.

Mengenai perbuatan tidak sengaja yang menyebabkan kematian, seperti pada kasus lembu yang menanduk mati tersebut, pada pokoknya ada kewajiban memberikan tebusan (Ibrani : kofer, Arab: kaffarat). Sistem “kaffarat” ini sangat lazim juga dikenal bahkan cukup berkembang dalam fiqh Islam. Misalnya, mengenai kaffarat membunuh secara tak sengaja orang Islam ialah memerdekakan hamba mukmin, atau berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tanda pertobatan kepada Allah (Qs.an-Nisa’ 4:92). Di dalam bidang ibadah, seorang yang melanggar larangan berjima’ (bersetubuh) suami istri di bulan suci Ramadhan, kaffaratnya ialah puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.

Dalam Yudaisme zaman Alkitab, selain dikenal gagasan penebusan dalam sistem hukum mereka, secara khusus cukup berkembang pula dalam pandangan teologi. Karena itu dikenal perayaan khusus untuk penebusan, Yom Kippur (hari penebusan dosa) yang terkait dengan adanya kurban berdarah. Alasannya, karena nyawa makhluk ada dalam darahnya, karena itu darah mengadakan penebusan dengan perantaraan makhluk hidup (Imamat 17:11). Bahkan, TUHAN (Yahweh) sendiri disebut Penebus dalam Taurat, Mazmur dan Nabi-nabi (Ulangan 7:8; 24:18; Mazmur 107:2; Yesaya 48:20)

Perlu dicatat disini, Islam juga mengenal sistem penebusan dalam hukumnya, tetapi tidak mengembangkannya dalam teologinya. Jadi, ide kaffarat dalam hukum Islam ini, mestinya dapat menjembatani doktrin Kristen tentang penebusan. Dalam hukum Yahudi maupun Islam tersbut, pembayaran suatu harga untuk pembebasan adalah hal azasi yang didasarkan atas prinsip keadilan. Karena itu, berangkat dari segi antropologis bahwa kealphaan, kelalaian dan kesalahan itu bukan sekedar bersifat kasuistik melainkan berakar dari sifat kodrati manusia, maka sangat logis dan rasional apabila ide kaffarat bukan hanya diterapkan di dalam bidang hukum, tetapi juga menjadi tema sentral dalam teologi Kristen.

Catatan Penutup 


Oleh karena itu pula, yang disebut doktrin kejatuhan (doctrine of fall) menjadi “titik pancang teologi Kristen”. Berangkat dari kenyataan bahwa kelemahan itu inherent selalu melekat pada kodrat manusia, konsep penebusan ini begitu bermanfaat, bahkan menjadi satu-satunya jalan keluar yang paling logis. Dalam gereja mula-mula, tentu saja perumusannya antara lain tidak lepas dari metafor-metafor yuridis tersebut. Orang berdosa adalah hamba atau budak dari dosa (Yohanes 8:34), secara kodrati manusia “bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa” (Roma 7:14). Dari sudut pandang yuridis, Taurat Musa menentukan bahwa orang berdosa harus mati.

Karena itu harus ada kaffarat sebagai harga yang harus dibayar untuk hak hidup yang sebenarnya sudah tidak ada, yang bagi iman Kristen seluruhnya telah menjadi final, melalui kurban agung Kristus, sekali untuk selama-lamanya (Ibrani 10:12). Sekedar perbandingan, antropologi Qur’ani sebenarnya lebih sehat memotret kondisi dan tabiat kodrati manusia, ketimbang sadurannya dalam tulisan-tulisan polemik Islam-Kristen. Al-Qur’an mengakui, bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah. Wa khaliqa al-insanu dhaifa (Qs. an-Nisa/4:28). Dan seperti diakui Rasul Paulus, ada rangsangan dalam jiwa manusia yang cenderung berbuat kejahatan, al-Qur’an menegaskan pula : an nafsa la ammaratum bisu’i. Artinya: “Nafsu itu memang merangsang berbuat jahat” (Qs. Yusuf/12:53).,

Menurut Nurcholish Madjid, sebenarnya Islam juga mengakui kejatuhan (Arab:hubuth) Adam dari surga, tetapi tidak menjadikan “titik pancang” atau bagian pokok dalam sistem keimanannya. Dari sistem hukum Islam yang mengenal kaffarat dan antropologi Qur’an yang mengakui kelemahan sebagai sifat kodrati yang inherent melekat pada manusia, saya kira sudah waktunya teologi Islam merenungkan kembali penolakannya pada doktrin penebusan. Barangkali, khususnya dalam hal ini, teologi Syi;ah dalam beberapa hal lebih dekat dengan Iman Kristen, khususnya pandangannya tentang makna kematian syuhada’ bagi orang-orang beriman.

@bambang noorsena via angelfire.com

Pentingnya Profesionalisme Manajemen Haji


DUNIA HAWA  - Seiring meningkatnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan serta "kesalehan beragama" umat Islam di Indonesia, meningkat pula gairah dan jumlah peserta pendaftar haji setiap tahunnya.

Membengkaknya jumlah pendaftar haji, menyebabkan semakin panjangnya antrean untuk mendapatkan kesempatan berangkat haji ke Tanah Suci Mekah. Bahkan di sejumlah kota besar, antrean itu bisa mencapai 10 hingga 30 tahun.

Meskipun mereka sudah lunas membayar seluruh biaya naik haji, tidak secara otomatis mereka bisa berangkat secepatnya. Karena adanya keterbatasan kuota jemaah haji di setiap negara.

Mulai 2017 ini, kuota haji Indonesia bertambah dari 168.000 menjadi 221.000 jamaah. Peningkatan jumlah kuota itu didapat setelah Kerajaan Arab Saudi mengembalikan "kuota normal" Indonesia sebelum 2013 sebesar 211.000 dan menambah 10.000 sesuai permintaan Pemerintah Indonesia.

Bisa dibayangkan jatah kuota 221.000 jelas jauh dari cukup untuk ukuran Indonesia yang pada 2016 berpenduduk lebih dari 257 juta jiwa. Apalagi karakter masyarakat Muslim Indonesia, sejak zaman dahulu kala (hingga kini), tergolong masyarakat yang "gemar berhaji".

Pada zaman Belanda dulu, pemerintah kolonial sempat dibuat kerepotan karena besarnya minat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sementara ibadah satu ini, oleh Belanda, dipandang membahayakan keamanan dan otoritas politik karena berpotensi bisa mengimpor ideologi Pan-Islam yang anti-kolonialisme (lihat artikel Anthony Reid dalam Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia).

Oleh Pemerintah Belanda, "Haji" (selain ulama) adalah aktor yang dianggap berbahaya, karena bisa mempengaruhi masyarakat untuk melawan dan memberontak terhadap mereka.

Meskipun dipersulit perizinan haji oleh Belanda dan ditambah perjalanan ke Mekah yang mahaberat, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan perjalanan lewat laut dengan kapal layar, dan berisiko kematian karena serangan penyakit kolera, kelaparan, atau dibegal di jalan oleh kaum perompak dan perampok, antusiasme umat Islam Nusantara untuk berhaji tak surut.

Pada akhir abad ke-19, bahkan konon jumlah jemaah haji dari Nusantara sempat memecahkan rekor yang terbanyak di Mekah.

Jika dulu yang sangat sulit saja, kaum Muslim begitu semangat berhaji, apalagi sekarang ketika semua serba mudah dan cepat. Perjalanan ke Mekah kini cuma ditempuh sekitar 9 jam menggunakan pesawat terbang yang nyaman, tidak perlu berbulan-bulan dan terapung-apung di laut dan samudera.

***

Tetapi apa boleh buat, meskipun minat umat Islam untuk berhaji begitu besar dan membara, haji harus dibatasi. Karena area Mekah, khususnya kawasan untuk berhaji juga terbatas.

Jika setiap negara tidak dibatasi jumlah pendaftar haji, maka Mekah tidak bisa menampung jemaah haji. Jika dipaksakan, justru bisa berdampak negatif bagi keselamatan umat Islam. Maka, sistem kuota sudah merupakan jalan terbaik untuk mengatur masalah haji supaya lebih tertib dan nyaman.

Sekarang tinggal bagaimana setiap negara mengelola mekanisme haji ini dengan baik dan bijak agar semua (atau minimal sebagian besar umat Islam) bisa berkesempatan menunaikan ibadah haji.

Salah satu cara terbaik adalah dengan membatasi haji. Misalnya dengan melarang orang yang sudah berhaji untuk menunaikan haji lagi atau minimal menunda sekian tahun ke depan.

Di Arab Saudi misalnya, pemerintah membuat peraturan warga yang sudah berhaji tidak boleh berhaji lagi selama 5 tahun ke depan (kecuali jika mereka mendampingi istri atau anak perempuan yang merupakan muhrim).

Identitas penduduk orang yang sudah berhaji akan terdeteksi di sistem. Misalnya, saya tidak bisa mendaftar haji lagi (yang dilakukan secara online) dalam lima tahun karena kartu identitas saya sudah terdeteksi pernah berhaji dua tahun lalu. Pemerintah Malaysia konon juga melarang umat Islam untuk bolak-balik berhaji.

Semua itu dilakukan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang belum berhaji. Panjangnya daftar antrean dan lamanya daftar tunggu jemaah calon haji di Indonesia itu, lantaran banyak orang yang sudah berhaji kemudian ikut mendaftar haji lagi untuk kesekian kalinya.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini, Kementerian Agama, memang pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 29 Tahun 2015, yang merupakan revisi atas Peraturan Menteri Agama No. 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.

Dalam PMA Pasal 3 ayat 4 disebutkan, jemaah haji yang pernah menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftaran haji setelah 10 tahun sejak menunaikan ibadah haji terakhir. Ketentuan ini tidak berlaku untuk jemaah haji yang merangkap sebagai pembimbing haji.

Tapi sayang, peraturan ini masih belum maksimal dijalankan atau bahkan realitasnya tidak bunyi sama sekali di lapangan. Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) perlu tegas mengatur dan mengimplementasikan soal pembatasan haji untuk memberi peluang atau memprioritaskan kepada mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji.

Kasihan mereka yang sudah menunggu puluhan tahun untuk berhaji, terganjal dan tertunda terus hanya karena banyaknya umat Islam yang sudah berhaji ikut mengantre lagi.

Lagi pula, untuk apa haji berkali-kali? Nabi Muhammad SAW sendiri hanya menunaikan ibadah haji sekali dalam hidupnya, yaitu pada tahun 10 H. Tiga bulan kemudian beliau wafat sehingga haji beliau disebut haji wida atau haji perpisahan.

Jika haji adalah ibadah yang sangat fundamental dalam Islam, beliau tentu tidak menunaikannya sekali saja. Kenyataannya tidak demikian. Itu artinya ibadah haji, bagi beliau, bukan ibadah yang "penting-penting amat". Haji memang diwajibkan hanya bagi umat Islam yang sudah mampu (secara fisik dan finansial). Itupun sekali seumur hidup.

Menurut almarhum Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub, yang juga mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, ibadah haji (juga umrAh) tergolong ibadah qashiroh atau ibadah individual, dengan manfaatnya hanya dirasakan oleh individu atau pelaku yang bersangkutan.

Sementara Islam, menurut beliau, lebih menekankan pada ibadah muta'addiyah" atau "ibadah sosial", yaitu ibadah di mana manfaatnya bisa dinikmati oleh dirinya dan orang lain.

Contoh jenis perbuatan yang masuk kategori ibadah muta'addiyah adalah menyantuni fakir-miskin, menyayangi anak yatim, pengentasan kemiskinan, pemberian beasiswa pendidikan, pemeliharaan alam-lingkungan, dan sebagainya.

Islam memang agama antroprosentris, dengan manusia yang menjadi pusat perhatian utama. Karena itu ayat-ayat Alquran, Hadis, dan tauladan Nabi Muhammad didominasi atau bertaburan dengan hal ihwal yang berkaitan dengan masalah sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan, bukan ritual-ritual individual seperti haji. Wallahu'alam.

@prof. sumanto al qurtuby