Saturday, June 3, 2017

Amin Rais Pasti Mangkir Kembalikan Uang Negara Rp 600 juta


DUNIA HAWA Amin Rais dulu jadi idola saya dan mungkin termasuk kalian.     Keponakan saya juga idolakan Amin Rais , sampai tes masuk ke FISIPOL ( Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik ) Universitas Gajahmada di mana Amin Rais sebagai dosen FISIPOL.     Sayangnya tes keponakan saya gagal.

Betapa (amat) jantannya Amin Rais tampil berani lawan Diktator Presiden RI kedua, Bp Soeharto pada tahun 1996.     Terpengaruh orasi Amin Rais yang menyihir, banyak orang terpicu dan berani terjun ke jalan untuk berdemo menuntut presiden Soeharto turun.     Sebenarnya tidak hanya karena Amin Rais saja, masih banyak faktor lain yang menyebabkan demo berhasil menurunkan presiden Soeharto.    Jasa dan peran Amin Rais yang berhasil menjungkalkan pemerintah / rezim Soeharto , layak mendapat predikat terhormat ‘ Bapak Reformasi ‘ dari publik.

Lama-lama perilaku kenegarawanan Amin Rais kayaknya mengalami kemunduran.     Malah kelihatan jelas amat ambisi “serakah” Amin Rais di dunia perpolitikan Indonesia dengan menggusur presiden Gus Dur dan sempat mempermainkan Megawati sehingga tidak layak terpilih sebagai presiden dengan alasan wanita tidak boleh jadi pemimpin / presiden menurut Islam versi Amin Rais .    Walaupun Megawati dan PDI Perjuangannya menang telak dalam pemilu.     Pada waktu itu presiden dipilih oleh MPR , bukan rakyat.    Di dalam MPR, Amin Rais sebagai ketua MPR mainkan politik licik bernuasana agama bahwa presiden harus laki-laki dengan dalil menurut hukum Islam.    Politik Amin Rais berhasil, Gus Dur terpilih sebagai presiden oleh mayoritas anggota MPR , sedangkan Megawati terpaksa melorot jadi wakil presiden.

Ulah Amin Rais lagi, presiden Gus Dur berhasil dilengserkan dengan dalil korupsi dana ( skenario entah siapa ).    Amin Rais mengira , seiring lengsernya gue Dur dan Megawati otomatis jadi presiden dan Amin Rais akan menjadi wakil presiden.    Ternyata Hamzah Haz lah yang diangkat jadi wakil presiden , bukan Amin Rais.

Permainan licik Amin Rais sudah diketahui publik. sehingga saat Amin Rais coba-coba jadi calon presiden RI dan kurang laku.     Dua kali gagal masuk istana kepresidenan , kasihan Amin Rais ya.     Hehehe tanya dulu, perlu tidak kita kasihani Amin Rais ?

Omong-omong, kok otak cangkok saya ngelantur kemana-mana sampai lupa topik uang 600 juta sesuai judul diatas.     Seperti kita semua sudah tahu, jaksa KPK sebutkan bahwa Amin Rais menerima uang Rp 600 juta yang dicurigai ada kaitannya dengan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan dengan terdakwa mantan menteri , Siti Fadilah Supari.

Amin Rais gerah dibuatnya.    Sehingga beri bantahan / klarifikasi lewat konferensi pers di kediamannya , Jalan Gandaria, Jakarta Selatan, pada hari Jumat kemarin.     Klarifikasi yang Amin Rais sampaikan yaitu uang Rp 600 juta merupakan bantuan dana operasional dari Soetrisno Bachir, bukan dari aliran dana kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.

Sayangnya tidak ada tanya jawab.    Amin Rais mirip bapak mantan presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, tidak suka berkomunikasi dua arah , di mana terjadi timbal balik dalam komunikasi dua pihak berlawanan seperti konsultasi , tanya jawab.     Malah Amin Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono hanya berpidato saja tanpa memberi kesempatan bicara kepada orang lain.

Kita pasti bertanya-tanya, apabila uang Rp. 600 juta ternyata memang benar dari aliran dana kasus pengadaan alat kesehatan, apa Amin Rais bersedia kembalikan uang kepada negara ?

Sebelum menjawab, perlu dibeberkan dulu tentang karakter Amin Rais.    Tentu saja terlalu sedikit , karena kita tidak terlalu mengenal Amin Rais. Tetapi yang sedikit lah bisa mengungkapkan kemungkinan kejadian di masa besok yang dilakoni Amin Rais.

Dulu Amin Rais pernah bernazar kalau Jokowi menang dan terpilih sebagai presiden Indonesia ketujuh, Amin Rais berjalan kaki Ari Yogyakarta ke Jakarta.    Sampai sekarang nazar masih belum terpenuhi , bahkan satu dua meter saja belum pernah.

Teman saya yang satu punya tali persaudaraannya dengan Amin Rais .    Kalau tidak salah , teman saya itu keponakan Amin Rais.     Teman saya sudah besar, kok tega-teganya dikasih duit cuma sepuluh ribu rupiah.

Nah , kedua hal di atas yaitu nazar Amin Rais dan uang sepuluh ribu mencerminkan sifat Amin Rais arogan , meremehkan nazar dan terlalu menyayangi uang.

Maka saya bertaruh, Amin Rais pasti mangkir kembalikan uang negara , entahlah bagaimana caranya agar tidak dituntut mengembalikan uang negara.

Amin sering kasih uang loh sama saya. Pokoknya baik…baik …dermawan pasti. Amin yang kumaksud bukan Amin Rais melainkan Amin Udin.

@winarno

Pengagum Rizieq Ini Ancam Tito Dijadikan Adonan Pempek, Tapi Kena Ciduk


DUNIA HAWA Ada sebuah kisah yang sangat heroik. Saking heroiknya, sehingga tidak pantas diteladani apalagi ditiru. Hanya orang bodoh yang mau meniru apa yang dilakukan orang yang satu ini. Ceritanya bermula dari sini. Cyber Crime Polda Lampung menangkap seorang pria bernama M Ali Amin Said di rumahnya di daerah Lampung.

Polisi menangkap orang ini karena telah menghina Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di laman Facebook-nya. Kalau saya lihat sih, lebih tepatnya mengancam, meski ancamannya hanya berupa gertak sambal yang tidak pedas sama sekali.

Dan satu info mengenai orang ini, ternyata orang ini adalah seorang pengagum Rizieq lho. Dia menghina Kapolri karena tidak terima dengan tindakan kepolisian yang mengusut kasus chat mesum Rizieq Shihab. Seperti yang kita ketahui, Rizieq telah menjadi tersangka dalam kasus chat mesum, kelanjutannya tinggal menunggu kepulangan Rizieq kembali ke Indonesia. Orang ini tidak terima pujaannya diperlakukan seperti itu, tapi caranya sok heroik, disertai dengan ancaman pula. Kalimat ancaman itu berisi kata-kata dalam bahasa Palembang yang isinya sebagai berikut.

“Tito jika kau berani penjarakan ulama kami (Habib Rizieq Shihab), maka Demi Allah berarti kau sedang menggali liang kubur kau dewek. Jangan lari kau Mang Tito. Dak lamo lagi palak kau itu nak ku giling ku jadike adonan pempek. Tunggu bae kagek ado cerito pempek Palembang rasa Tito.”

Saya hanya bisa tertawa, karena sungguh lucu sekaligus bodoh. Saya malah merasa ancaman di tulisan itu tidak ada unsur ngerinya, melainkan lebih condong ke lawakan basi. Entah kenapa harus pakai analogi pempek, sehingga terkesan kurang garang maknanya. Tapi tak ada cerita, ini sudah masuk dalam bentuk ancaman, terlepas sengaja atau main-main, ini tak bisa dibiarkab. Kalau pun hanya iseng, kalau dibiarkan seperti ini, orang-orang akan berpikir ini hal yang biasa. Lama-lama mereka akan berani menebar ancaman.Orang ini juga pernah ikut pengajian Rizieq Shihab dan juga pernah ikut aksi-aksi yang digagas Rizieq beberapa waktu lalu.

Saya kadang berpikir, kenapa ada sebagian orang yang seperti ini, sungguh berani dan nekat menebar ancaman: kadang ancam polisi, bahkan pemerintah? Ini kalau di luar negeri, sudah dipastikan minimal ditangkap, dijadikan rempeyek atau bahkan kepala terbang entah ke mana. Mentang-mentang berlindung di balik agama dan demokrasi, lantas bisa sesuka hati dalam bertindak. Jago kandang di negeri sendiri bukan prestasi yang membanggakan. Coba saja lakukan hal seperti ini di Thailand atau kalau mau uji nyali lakukan ini di Korea Utara. Jaminan dan garansi dirudal sampai jadi abu. Kalau tidak senang, kritik dengan pedas, bukan dengan nyebar hoax, ancam atau pun intimidasi. Itu adalah pola yang selalu dijadikan panduan bagi seorang pengecut yang tak lebih dari seorang peresah masyarakat.

Dan lucunya ketika pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku intimidasi, penyebar teror, kebencian atau hoax, semua itu dianggap sebagai bentuk kezaliman pemerintah. Di mana letak kewarasan dari pikiran seperti itu? Mau jadi apa negara ini kalau intimidasi, teror, hoax dan ujaran kebencian jadi santapan sehari-hari, bebas dilakukan tanpa ditindak?

Kebanyakan dari mereka memiliki pola perilaku yang sama, sama bodohnya, sama sumbu pendeknya. Sering gunakan cara yang menyimpang, tapi dianggapnya benar, sehingga melawan kalau pemerintah menindak tegas, padahal apa yang mereka lakukan sudah jauh menyimpang. Mungkin ide yang bagus kalau mereka ini dikelompokkan, dikumpul lalu dipindahkan ke sebuah pulau kosong dan biarkan mereka dirikan negara yang sesuai dengan kemauan dan yang cocok dengan pola perilaku mereka. Karena apa yang mereka lakukan ini kadang sulit dicerna oleh akal sehat kita.


Mungkin penangkapan ini terkesan keras, tapi tak ada pilihan lain. Karena pembiaran yang terus berlanjut akan menyebabkan makin banyaknya gerombolan sumbu pendek yang tingkahnya makin bikin mual. Setidaknya, jika terus konsisten, mereka akan berpikir ribuan kali sebelum bertindak, meski saya yakin akan ada beberapa yang tetap bandel dan tetap pada perilakunya yang seperti itu.

@xhardy

Persekusi FPI


Foto : Mario korban persekusi anggota FPI

DUNIA HAWA Saya sendiri baru tahu artinya "persekusi". Yaitu perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga untuk disakiti. Itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Itulah yang dilakukan FPI dan rekan-rekannya sekarang. Mereka memburu beberapa warga yang berbeda pandangan dengan mereka terutama pada masalah Habib Rizieq yang memang sekarang menjadi bulan-bulan sesudah menjadi tersangka chat porno.

Perbuatan arogan ini disosialisasikan kemana-kemana di dalam jaringan mereka. Mereka bahkan sudah menyusun daftar siapa saja yang harus dikunjungi dan diintimidasi.

Saya untungnya tidak masuk dalam daftar itu, karena mereka sadar bahwa saya punya ilmu langit yang tidak main-main. Baru saja mereka meluncurkan pengumuman 720 pengacara untuk mengintimidasi saya, besoknya -jreeeng- HRS jadi tersangka.

Apalagi ada isu bahwa mata saya bisa mengeluarkan api kalau marah dan tubuh membesar menjadi hijau lalu memporak-porandakan mereka. Cuman saya jarang pake ilmu ala Hulk ini, karena sudah kehabisan banyak celana.

INTIMIDASI, itulah yang bisa mereka lakukan sekarang ini. Sesudah berhasilnya mereka dalam "memenjarakan" Ahok dan seorang dokter di Balikpapan, mereka menganggap bahwa itu cara yang terbaik dalam melawan dan menguasai media sosial.

Apalagi dalam kasus dr FieraLovita di Solok, kelompok intoleran pendukung HRS ini seperti didukung oleh pemerintah dan aparat daerah yang dengan bahasa malu-malu kambing mengatakan bahwa "intimidasi itu hoax". Makin jumawa-lah mereka..

Sayangnya, perlakuan mereka mendapat perlawanan dari masyarakat. Viralnya pesan dr Fiera Lovita dan video intimidasi terhadap anak usia 15 tahun, membuat aparat pun jengah. Mereka lalu bergerak mengamankan pelaku intimidasi untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan rasa aman dari masyarakat.

Hal ini juga tidak terlepas dari koordinasi antaraGP Ansor dan pihak kepolisian. Perilaku main hakim sendiri ini dinilai membuat masyarakat resah. Apalagi ditambah tayangan menampar dan memukul terhadap seorang anak yang masih berusia 15 tahun.

Dari perilaku mereka, kita sadar ada yang berbahaya ketika model peng-intimidasi kelak menguasai negeri ini nanti. Mereka akan menghakimi sendiri apa yang tidak mereka sukai.

Saya jadi teringat kejadian di Mesir ketika Mohammad Morsy dari Ikhwanul Musliminmenjadi Presiden. Serentak para pendukungnya melakukan persekusi dan intimidasi kepada mereka yang berseberangan dengan mereka. Bahkan ada seorang kepala keagamaan yang diseret dan dipukuli sampai mati hanya karena mereka tidak menyukai cara berceramahnya yang memerahkan telinga mereka.

Dari peristiwa ini, kita sudah mulai harus bisa mengidentifikasi siapa yang kita pilih di 2019 nanti. Jangan sampai mereka menguasai negeri ini melalui pemimpin yang terpilih. Bisa mengerikan dampak yang kita dapati.

Dan cara mengidentifikasi yang benar adalah, siapapun calon pemimpin yang mendapat dukungan dari kelompok intoleran, wajib untuk tidak dipilih. Sekian, saya permisi mau minum kopi..

@denny siregar

Pernyataan Setya Novanto, Teroris Tak Punya Agama, Menyesatkan Publik


DUNIA HAWA Setya Novanto membuat pernyataan aneh: teroris tidak punya agama. Benarkah teroris tidak punya agama? Faktanya, lain. Pelaku pemboman, yang disebut para pengantin, melakukan aksi teror karena keyakinan agama. Bahkan diajarkan dengan menjadi pelaku bom bunuh diri mereka akan segera masuk surga dan mendapatkan 72 bidadari yang hot. Itu keyakinan agama, meskipun sesat bukan berarti keyakinan agama pelaku pemboman bisa dinafikan begitu saja.

Fakta lainnya adalah para teroris pun menjalani deradikalisasi menurut agama tertentu, mereka 100% beragama Islam. Ini menunjukkan para teroris beragama. Teroris melakukan perbuatannya karena keyakinan agama – meskipun salah. Itu tujuan deradikalisasi yang di Indonesia gagal total. Keberhasilan deradikalisasi teroris hanya kurang dari 1% saja. (Maka tindakan Densus 88 dan Polri serta TNI untuk membunuhi tersangka teroris patut didukung dan langkah tepat memberantas terorisme di Indonesia.)

Senyatanya, banyak orang tidak berani mengakui, terutama politikus, bahwa teroris bertindak atas nama agama, ideologi, dan keyakinan atau tujuan tertentu.

Simplifikasi alias penyederhanaan tentang terorisme dan radikalisme dengan mengatakan teroris tidak punya agama patut dipertanyakan. Seperti pernyataan Setya Novanto, seperti diberitakan di Tempo.com, pada 29 Mei 2017, bahwa teroris tidak punya agama sama sekali tidak berdasar. Bahkan pernyataan seperti itu bisa tendensius sifatnya.

Penyematan gelar kehormatan bagi pelaku kekerasan, pembunuhan, teror, pemboman, pembajakan, dan bahkan persekusi dan bully bernama teroris sering dilakukan dari sudut pandang seberang, dari sudut pandang dan perspektif lawan. Perspektif para korban teror. Sejumlah fakta menunjukkan para teroris memiliki agama, bukan harus Islam atau Yahudi atau Kristen atau Hindu atau Buddha atau bahkan atheist, atau Shinto sekali pun.

Para pelaku pemboman, teror bom di Indonesia dan dunia, dan perang di Ambon, di Syria, Iraq, Amerika Serikat, di Marawi, semuanya memiliki agama dan menganut agama dan keyakinan tertentu.

Teroris yang menggunakan gas sarin untuk meneror penumpang kereta api pada 27 Juni 1994 adalah kelompok Aum Shinrikyo beragama gabungan Shinto dan Buddha.

Pada Desember 2016 dan sebelumnya, dunia dikejutkan oleh aksi teror bahkan genosida yang dilakukan oleh tentara Myanmar yang beragama Buddha. Bahkan ada tokoh agama Buddha Ashin Wirathu yang selalu mengajak untuk melakukan teror. Di Indonesia ada teroris punya agama, agama Islam seperti Abu Bakar Ba’asyir.

Para tentara Israel yang disebut oleh Hamas sebagai teroris memiliki agama Kristen, Islam atau Yahudi. Hamas pun dicap sebagai teroris oleh Israel, yang pengikut Hamas mayoritas beragama Islam atau Kristen.

Para teroris yang membunuhi pengikut Sikh pada tahun 1 Juni 1984 dilakukan oleh tentara India yang beragama Hindu atau Islam. Pemboman oleh IRA di Irlandia Utara dan Inggris beragama Katolik.

Para pengikut ISIS dari seluruh dunia beragama Islam seluruhnya. Para pengikut teroris Abu Sayyaf juga beragama Islam. Para pelaku pemboman di Paris, London, San Bernardino, Belgia, Jakarta, Bangladesh, Spanyol, Moskow, Iraq, Afghanistan, Mali, Kenya, Syria, Libya, Tel Aviv memiliki agama pula, Islam.

Di Indonesia, para teroris pelaku pemboman jelas beragama Islam seperti Imam Samudera, Gufron, Hambali, Abu Bakar Ba’asyir, Imron bin Muhammad Zein, dan sebagainya.

Maka menyebutkan bahwa para teroris tidak memiliki agama akan semakin memberikan angin kepada para teroris dan simpatisan teroris; bahwa agama mereka tidak disentuh. Fakta nyata tentang semua teror dilakukan atas dasar dan mengatasnamakan perjuangan (1) ideologi, (2) agama, (3) keyakinan, dan (4) tujuan lainnya seperti kebangsaan.

Teroris yang meledakkan diri dengan meneriakkan slogan keagamaan untuk menghancurkan diri dan orang lain jelas memiliki agama dan keyakinan. Para pengantin, istilah bagi para pelaku pemboman dan amaliyah jelas beragama Islam. Soal para pelaku taat atau tidak taat terhadap agama yang dianut oleh para teroris itu bukan menjadi persoalan. Yang jelas dan faktual adalah mereka beragama atau berkeyakinan.

Jadi pernyataan para politikus, tokoh agama, pengamat, dan publik yang menyebut para teroris tidak punya dan tidak beragama adalah menyesatkan. Pernyataan itu sesunguhnya adalah sebuah denial, atau pengingkaran atas fakta nyata.

Tujuan dari pernyataan bahwa teroris tidak memiliki agama adalah untuk mengaburkan kenyataan kejahatan atas nama atau mengatasnamakan agama. Selain itu jelas pernyataan tersebut adalah upaya untuk membohongi diri dan publik atau masyarakat.

Pernyataan itu bersifat denial  (pengingkaran ) dan memiliki hidden agenda (agenda tersembunyi) itu bertujuan antara lain (1) tidak mau membawa-bawa agama pelaku teror, karena (2) bisa melukai para penganut agama pelaku teror, (3) simpati dan menyetujui dalam hati terhadap perbuatan teror yang dilakukan oleh orang yang beragama sama, (4) untuk membela secara politik sentimen dukungan dalam hati para pengikut agama yang menyetujui terorisme.

Maka dalam rangka melawan teroris, sepatutnya para politikus tidak perlu menutup-nutupi kenyataan bahwa teroris bertindak memiliki motif dan keyakinan.  Keyakinan itu juga bisa menjadi alasan seseorang penganut keyakinan untuk melakukan teror. Keyakinan tersebut bisa berupa agama atau ideologi lainnya.

Untuk itu, ketika bom diledakkan oleh orang yang jelas beridentitas agama tertentu, entah itu Yahudi, Kristen, Katolik, atheist, Islam, Hindu atau Buddha, para politikus tidak perlu membuat pernyataan konyol: teroris tidak memiliki agama.

Pun pernyataan itu justru mengaburkan kekerasan atas nama agama dan bisa menjadi picuan karena menjadi permisif. Ketika fanatisme berdasar agama atau ideologi menjadi alasan untuk melakukan teror, sementara politikus semprul menyebutnya sebagai ‘teroris tidak memiliki agama’ maka itu hanya pengingkaran dan pembodohan, atau permisifisme terhadap teror. Kontra produktif.

Maka ketika ada teror, politikus tidak usah membuat pernyataan konyol yang kontra produktif, yang justru terkesan mendukung terorisme atau bersimpati pada kekerasan dan teror – sebagia perjuangan ideologis. Maka pernyataan normatif seperti yang disebutkan oleh Setya Novanto itu tak perlu didengarkan dan diulangi oleh politikus lain. Pun dengan identifikasi pelaku bom dari penganut agama tertentu akan menjadi alat untuk introspeksi dan melakukan tindakan tepat. Tanpa mengenali dengan jelas agama pelaku teror alias teroris dipastikan tidak akan bisa melakukan deradikalisasi, atau tindakan preventif atas teror.

@ninoy karundeng