Friday, May 19, 2017

Pasal Penodaan Agama Indonesia Dibahas di Dewan HAM PBB


DUNIA HAWA Mungkin karena imbas dari kasus yang menimpa Ahok soal Al-Maidah yang berbuntut dipenjaranya Ahok, dalam sidang Dewan HAM PBB, pemerintah Republik Indonesia mendapatkan rekomendasi untuk menghapus pasal penodaan agama. Ada 150 rekomendasi, namun sebanyak 75 rekomendasi masih akan dibahas pemerintah lantaran masih menjadi hukum positif di Indonesia dan harus melibatkan legislative.

Indonesia membawa laporan setebal 20 halaman untuk melaporkan perkembangan HAM di Indonesia. Laporan tersebut berisi masalah-masalah mengenai hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, salah satunya yaitu tentang kebebasan beragama, sedangkan isu lainnya yaitu mengenai rekomendasi penghapusan hukuman mati dan orientasi seksual.

Opini Saya


Saya pribadi tidak setuju dengan wacana penghapusan pasal penodaan agama di Indonesia. Semua hukum yang ada di Indonesia pada dasarnya sudah baik, namun yang membuat suatu produk hukum tampak cacat yaitu proses hukum yang dipelintir sedemikian rupa karena adanya kepentingan terselubung, baik itu keopentingan politik maupun kepentingan pribadi dan kelompok.

Bangsa ini merdeka karena nilai-nilai agama dan Bhineka Tunggal Ika. Jika sampai pasal penghinaan agama dihapus atau ditiadakan, semua orang , tanpa terkecuali, termasuk para pemimpin dan pemuka agama, politisi, artis, dan lain sebagainya akan bebas sebebas-bebasnya menghina agama lain. Ini yang bikin hancur Indonesia.

Dalam pandangan saya, kasus-kasus penodaan agama yang terjadi selama ini di Indonesia karena selain pemahaman seseorang akan agama sangat kurang, juga terjadi karena adanya faktor politik. Contoh yang paling nyata yaitu yang terjadi pada Ahok karena pelintiran elite politik.

Bagi saya pasal penodaan agama dan ujaran kebencian maknanya sama. Apa jadinya jika pasal penodaan agama atau ujaran kebencian di Indonesia diberangus, maka setiap orang bebas menghina dan menista agama orang tanpa ditindak. Lihat saja fakta-fakta yang terjadi selama ini, sekalipun ada ancaman hukum terhadap pelaku penodaan agama, namun tetap saja kasus penodaan agama marak terjadi.

Bangsa Indonesia dibangun atas nilai-nilai luhur keagamaan karena realitanya agama apapun yang ada di dunia ini selalu mengajarkan kebaikan, bukan permusuhan, tapi bukan berarti pasal penodaan agama hanya taajam kepada kaum minoritas, namun tumpul pada kaum mayoritas di negeri ini.

Contoh yang paling nyata yaitu penodaan terhadap agama Kristen yang dilakukan oleh Rizieq yang dengan raut wajah dan senyum negejek menanyakan jika Yesus lahir, bidannya siapa. Apakah Rizieq dipenjara sperti Ahok? Seolah-olah yang terjadi adalah kasus penodaan agama hanya berlaku bagi minoritas, yang mayoritas bebas menodai agama minoritas tanpa takut dipidana.

Kondisi ini seolah-olah di Indonesia hanya kaum minoritas saja yang dihukum, yang mayoritas boleh bebas mengejek dan menertawakan iman dan agama orang lain. Pasal penodaan agama dipermainkan semau-maunya tanpa ada kelanjutan proses hukum.

Saya rasa arahan Presiden Jokowi sudah jelas. Untuk menjaga konstitusi Jokowi telah menginstruksikan Kapolri untuk bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku jika ada pihak-pihak yang memecah belah masyarakat. Presiden Jokowi menghargai hak mengeluarkan pendapat dan berdemokrasi, tapi Indonesia juga negara yang berdasar hukum yang harus ditaati dan ditegakkan.

Pasal penodaan agama tetap harus ada, tapi diperbaiki sehingga tidak dijadikan senjata politik atau alat untuk menghancurkan orang lain, seperti apa yang dialami oleh Ahok saat ini. Selain itu sanksi hukumnya juga harus tegas, tidak tebang pilih, terhadap siapa saja.

Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, hak beribadah, hak menganut agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa hinaan dan pelecehan dari kaum mayoritas terhadap minoritasm begitu pula sebaliknya. Jika hukum tidak ditegakkan secara adil dan merata tanpa terkecuali, maka manusia akan , maka cenderung berbuat kejahatan.

Pemahaman akan nilai-nilai keagamaan dan iman umat beragama bukan untuk dipamerkan kepada orang lain, akan tetapi esensinya lebih ditjukan kepada Tuhan. Intinya, intinya baik mayorias maupun minoritas tidak boleh saling menghina agama dan kepercayaan orang lain. Penodaan agama tidak akan terjadi jika setiap pribadi saling menghargai dan saling mengerti. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Itu saja clue-nya. Simple.

Kura-kura begitu.

@argo


Presiden Bilang “Gebuk!” Kelompok Radikal dan Khilafah Langsung Bungkam


DUNIA HAWA Pilkada DKI telah usai, beberapa cerita mengerikan sudah kita lewati, dan sebagian sempat menjadi tanda tanya apakah ini bisa selesai atau akan memecah belah bangsa kita?

Seperti yang kita ketahui bersama, pada Pilkada DKI, ada beberapa elemen yang bersatu dengan masing-masing agenda atau kepentingannya. Mereka bergabung karena memiliki momentum yang kuat untuk dimanfaatkan, kemudian menarik massa sebanyak-banyaknya. Tak ada yang menyangka kalau PKS, HTI, FPI, FUI bisa bergabung satu langkah untuk turun ke jalan; mendemo Ahok

Tak hanya ormas dan partai saja, tokoh-tokoh politik juga ikut andil di dalamnya. Tak perlu lah saya sebutkan nama-namanya, intinya kita semua sudah tahu mereka-mereka yang ikut turun ke jalan untuk berdemo.

Kebencian terhadap Ahok tidak hanya soal karena dia China dan kafir, tapi juga karena kebijakan-kebijakannya menyulitkan banyak pihak yang selama ini nyaman dengan perilaku korup. Dan kebetulan ada Pilkada, sehingga lawan-lawan politiknya juga ikut memanfaatkan kesempatan tersebut.

Mereka yang tak membenci Ahok, juga ikut memanfaatkan kesempatan ini untuk mendemo Jokowi. Inilah kenapa ada seruan “lengserkan Jokowi.” Siapa mereka? tentu saja kelompok yang gagal move on, kelompok barisan sakit hati yang sejak 2014 sudah berharap Presiden Jokowi lengser atau dimakzulkan.

Saya melihat semua kelompok yang tergabung ini, mereka semua tidak melihat bahaya luar biasa yang mengancam negeri ini. Bukan sekedar soal makar, tapi tentang mengubah sistem negara kita menjadi khilafah. Mereka tampak tak peduli dengan agenda besar ini dan yang merupakan penyumbang massa terbanyak dalam aksi 411 ataupun 212.

Mereka hanya berpikir soal uang dan kekuasaan. Tanpa mau berpikir atau mengukur diri, jika negeri ini chaos, apakah mereka masih mampu mengendalikan kelompok-kelompok lainnya? Terutama kubu pro khilafah.

Situasi yang panas ini berhasil membuat banyak investor menahan dananya untuk masuk ke Indonesia, hold. Beberapa orang juga berpikir ini adalah awal dari kehancuran NKRI. Seruan-seruan khilafah menggema di mana-mana, bahkan diikuti oleh beberapa tokoh-tokoh nasional.

Kepercayaan diri para kelompok radikal dan pro khilafah yang tidak mengakui pemerintah Indonesia, serta ingin mengubah UUD45 dan Pancasila semakin meningkat karena mereka berhasil berkumpul dalam jumlah yang sangat besar. Dan kitapun bertanya-tanya “ada apa dengan negeri ini? di mana Presiden?”

Tiga hari yang lalu, tanpa disangka-sangka Presiden Jokowi hadir melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh lintas agama dan memberikan pernyataan pers. Sangat lantang pernyataannya:

“Semua orang Indonesia adalah saudara sebangsa. Jika dalam beberapa waktu terakhir ini ada gesekan antarkelompok dalam masyarakat, mulai saat ini saya meminta hal-hal tersebut untuk segera dihentikan!

Jangan saling hujat karena kita adalah saudara. Jangan saling menjelekkan karena kita ini adalah saudara. Jangan saling fitnah karena kita ini adalah saudara. Jangan saling menolak karena kita ini adalah saudara.

Saya telah memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk tidak ragu-ragu menindak tegas segala bentuk ucapan dan tindakan yang mengganggu persatuan dan persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi upaya kita bersama.”

Tak cukup sampai di situ, hari ini Presiden kembali memberikan pernyataan yang sangat keras. “Sekali lagi, negara Pancasila itu sudah final. Tidak boleh dibicarakan lagi. Kalau ada ormas yang seperti itu (mengganggu ideologi Pancasila), ya kita gebuk!”

Jokowi Angkat Bicara, Kelompok Radikal dan Khilafah Bungkam


Pernyataan-pernyataan keras Presiden Jokowi belakangan ini rupanya berhasil membungkam kelompok radikal dan khilafah. Jika dulu kita kerap disuguhi gerakan bela Islam, bela ulama dan seterusnya, sekarang rasanya sudah tak terdengar lagi. Bahkan kalaupun ada banner aksi-aksian, mereka tak lagi berani turun ke jalan.

Suara-suara penolakan terhadap pembubaran HTI pun hanya mendapat penolakan dari segelintir pengurus HTI saja. Tak ada yang berani ikut membela HTI dan kemudian menyalahkan Presiden Jokowi. Malah ketua umum PBNU secara terbuka mengucapkan terima kasih terhadap pemerintah karena mau membubarkan HTI. Bahkan FPI yang sebenarnya sempat bersama-sama dalam romantika parade tauhid ataupun aksi-aksi togel, dengan tegas menyatakan bahwa FPI berbeda dengan HTI.

Seketika, suara-suara pro khilafah juga berangsur luntur. Tak ada perlawanan, tak ada yang berani melawan pernyataan Presiden Jokowi. haha luar biasa.

Kecerdasan Jokowi


Pernyataan yang sangat keras seperti di atas sebenarnya sangat beresiko untuk diucapkan oleh seorang Presiden. Pembubaran HTI pun sebenarnya sangat beresiko, mengingat kelompok mereka sudah cukup besar dan memiliki dukungan dari banyak pihak. Tapi dua keputusan tersebut nyatanya tak mendapat perlawanan yang serius.

Saya melihat ini karena Presiden berhasil memainkan tempo dan menganalisis situasi. Andai Presiden memberikan pernyataan “gebuk!” saat masih aksi 411, mungkin sekarang beliau sudah lengser. Andai pemerintah membubarkan HTI saat masih aksi 411, 212 atau saat masih ramai-ramainya Pilkada DKI, pasti lawan politiknya sudah mengusulkan pemakzulan, memanfaatkan emosi massa yang terkumpul.

Tapi Presiden Jokowi memilih sabar. Dengan telaten meminta Jenderal Tito dan Gatot untuk bertahan mengayomi masyarakat. Mereka berdemo, Polisi diminta tidak melawan sedikitpun. Berkorban. Banyak korbannya, ada yang kepalanya bocor dan luka-luka karena aksi tusuk-tusukan oleh massa GNPF menggunakan bambu pengikat bendera.

Dan sekarang ini pemerintah ambil tindakan tegas. Presiden tak tanggung-tanggung dalam memilih kata, “gebuk!”

Ini merupakan pelajaran penting bagi kita semua. Bahwa keputusan untuk melawan, seharusnya diikuti oleh kondisi yang mendukung. Jika tidak, itu akan berbalik menyerang diri kita sendiri.

Presiden Jokowi sengaja menunggu Pilkada dan vonis Ahok usai, untuk balik melawan radikalisme dan pro khilafah demi mempertahankan NKRI. Presiden sepertinya sangat sadar bahwa kelompok-kelompok radikal dan pro khilafah tidak akan berkutik, dan bukanlah siapa-siapa jika tanpa dukungan politik dan logistik…Begitulah kura-kura.

@alifurrahman


Saat PKI dan Islam Radikal Digebuk Jokowi, Ada Satu Ideologi Berbahaya Lagi Yang Dibiarkan


DUNIA HAWA Saking daruratnya Indonesia dengan paham Anti-Pancasila, Joko Widodo (Jokowi) sampai menggunakan istilah ‘gebuk’ untuk mengungkapkannya.

“Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu,” ujar Jokowi saat bersilaturahmi dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Jokowi bukanlah tipe presiden yang kebanyakan mikir, dia adalah seorang yang banyak melakukan aksi. Keberanian Jokowi tak bisa dipandang sebelah mata. Dibalik sikap cool Jokowi, ada sebuah keberanian memuncak dalam dirinya.

Inilah presiden yang dibutuhkan negara Indonesia saat ini. Negara butuh aksi, bukan hanya sebuah janji yang tidak terealisasi. Dibalik sikap dinginnya seorang Jokowi, dia merupakan seseorang yang tegas. Tegas dalam arti yang positif. Terbukti, sudah dua jilid reshuffle kabinet dilakukan oleh Jokowi. Ada isu berhembus bahwa Jokowi bakal melakukan reshuffle jilid 3.

Jokowi juga sosok presiden yang nekat. Nekat disini dalam arti yang positif juga. Ini juga berbanding lurus dengan slogan yang selalu dibilang oleh Jokowi yaitu : kerja, kerja, kerja. Beberapa mentri yang kurang nekat bakal dan sudah Jokowi lempar dari Istana.

PKI dan organisasi Islam radikal yang ingin mendirikan Khilafah di negeri ini ditanggulangi dengan serius oleh pemerintahan Jokowi. Tapi ada satu yang kurang lengkap, yaitu Nazi. Nazi atau Nationalsozialismus adalah sebuah partai kenamaan asal Jerman yang dipimpin oleh sangfuhrer, Adolf Hitler.

Ideologi partai Nazi adalah Nazisme. Bukan najisme, jangan salah. Ideologi ini terkenal sangat rasis dan menganggap bahwa Ras Arya adalah ras terbaik dibelahan dunia ini. Di zaman modern sekrang ini, ada juga neo nazi yang terutama tumbuh di Amerika Serikat. Jika dulu saat perang dunia 2 Nazi menganggap Ras Arya adalah yang terbaik, sekarang giliran Ras Kulit Putih. Mereka terkenal dengan slogan white supremacy.

Sebenarnya penulis juga ragu apakah Nazisme itu berbahaya di tanah air ini. Tapi sudahlah kuy kita bahas. Mengapa penulis mengatakan bahwa ideologi Nazisme ini berbahaya di tanah air? Karena simbol nazi yang berupa swastika yang berotasi 45 derajat tersebut beredar luas.

Terutama tukang becak. Tukang becak sering mengecat becaknya dengan simbol nazi. Penulis juga bingung, kenapa tukang becak sering memakai logo Nazi? Mungkin tukang becak terinspirasi dari kepercayaan diri Adolf Hitler. Atau tukang becak malah tidak tahu apa-apa tentang lambang swastika tersebut. Yang penting keren!!!!

Di negara barat sendiri, Nazi layaknya PKI di tanah air. Apapun sesuatu yang bersifat Nazi adalah sebuah tindakan ilegal. Mulai dari lambang Swastika sampai salam ikonik Hitler. Hal ini bahkan sampai ke bidang olahraga, bidang yang begitu jauh dari politik. Pada tahun 2013 lalu seorang pemain sepakbola Yunani melakukan salam Nazi saat melakukan selebrasi gol. Tak tanggung-tanggung sanksi yang diberikan kepada pemain ini adalah seumur hidup!

Pesepakbola muda, Giorgos Katidis, mendapatkan sanksi membela timnas seumur hidup dari federasi sepakbola Yunani, EPO. Perayaan gol pemain 20 tahun itu dengan salam ala nazi menjadi penyebabnya.

Mengapa di Indonesia pemerintah seperti acuh tak acuh dengan Nazi padahal simbolnya secara nyata ada ditengah masyarakat? penulis punya beberapa pemikiran :

Indonesia Tidak Ikut Perang Dunia 2


Ini alasan pertama yang penulis pikirkan. Ya, saat perang dunia 2 dahulu, Indonesia tidak ikut andil dalam peperangan yang merupakan salah satu yang perang paling besar dalam sejarah peradaban manusia tersebut.

Tidak Terkena Dampak Secara Langsung


Masih berkaitan dengan perang dunia ke 2. Berbeda dengan Amerika Serikat dan sekutu yang merupakan musuh Nazi dan fasisme lain dalam perang dunia 2. Akibatnya di Amerika Serikat, nazi adalah hal yang ilegal.

Membunuh Yahudi


Ini juga salah satu alasan kenapa Adolf Hitler malah dielu-elukan disini. Ya karena sang fuhrermelakukan genosida (banyak yang bilang juga kata ‘genosida’ terlalu hiperbolis katanya korban tak sebanyak itu dan akal-akalan Yahudi untuk playing victim) kepada Ras Yahudi. Apalagi bagi seorang muslim, fakta ini bakal didukungnya.

Padahal jika saja Nazi berhasil berkuasa, maka setelah Ras Yahudi berhasil mereka berantas, giliran Ras Melayu yang notabane kebanyakan Ras di Indonesia mereka berantas. Ingat, Nazisme bukan hanya sekedar ideologi anti-semit, Nazism juga merupakan ideologi rasisme secara keseluruhan. Ini kutipan Hitler kesukaan muslim :



Kesimpulan


Apa pendapat anda? apakah Nazisme harus diberantas sampai ke akar (atribut dll) seperti halnya PKI dan ormas anti-pancasila lainnya? Jangan pernah anggap remeh ideologi ini. Mungkin saja ideologi Nazism diam-diam sedang merencanakan aksi secar sembunyi-sembunyi. Atau bahkan neo-nazi disini sudah ada dengan ideologi yang menganggap bahwa Ras Melayu adalah Ras Superior.

Sudahlah, mungkin penulis kurang piknik jadi menganggap bahwa nazism berbahaya di tanah air hehe. Terimakasih sudah meluangkan waktu membaca artikel saya, SALAM 

@galih primadona


Menangkal Intoleransi


Perdamaian dan Ancamannya


DUNIA HAWA Kehidupan yang damai merupakan harapan bagi setiap orang, tanpa perdamaian kehidupan akan terasa penuh gelisah dan kedamaian salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Kehidupan yang beragam kelompok sosial, suku, agama, ras dan budaya terkadang memicu konflik horizontal yang berakhir pada kekerasan bahkan pembunuhan. Seperti yang terjadi di beberapa negara bahkan di negara kita khususnya di daerah/kota dengan berbagai alasan baik idiologis maupun  pragmatis.

Perdamaian bukanlah persoalan kata yang terhenti dalam wacana. “Aku lebih suka memelukmu, daripada menghafal kalimat memeluk. Aku lebih suka mendekapmu, daripada menghafal kalimat mendekap” Sujiwo Tejo, budayawan Indonesia dengan nada sinis dalam puisinya mencibir “Jangan Menghafal Pancasila”. Ini mengartikan bahwa tindakan lebih penting daripada menghafal sekedar kata, kalimat atau wacana yang menguap begitu saja.

Alloh  Swt. dalam firmannya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S Alhujuraat: 13).

Firman Alloh di atas, penulis dapat mengambil point penting, pertama kata mengenal; kedua, mulia dan; ketiga taqwa. Mengenal berarti mengetahui sesuatu, dengan mengetahui adanya perbedaan dan perbedaan merupakan suatu kenyataan yang harus siap hidup berdampingan dengan damai di tengah perbedaan tersebut. Kedua, mulia merupakan keluhuran budi. 

Allah Swt Yang Maha Tahu, mulia atau tidaknya seseorang dengan ukuran ketaqwaannya. Ketiga, taqwa yaitu menjaga diri untuk selalu menjalankan perintah Alloh dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi ketika dalam kehidupan sosial yang dihadapkan dengan perbedaan yang seharusnya saling mengenali dan memahami  justru terjadi konflik karena ego kelompok. Maka di sanalah tidak menghadirkan Tuhan dalam kehidupannya, dengan kata lain ketiadaannya taqwa.

Negara kita saat ini telah diguncang gelombang masa yang melakukan gerakan pressure terhadap pemerintah untuk mengambil kebijakan, baik yang dilakukan kaum mayoritas, seperti yang kita kenal aksi 411 dan 212. Aksi masa ini yang oleh Oliver Roy (dikutif dalam Ahmad Suaedy) sebagai imagined identities, yaitu suatu gerakan yang didasarkan pada kesamaan identitas yang tunggal dan seragam bangsa atau agama.

Presiden Joko Widodo yang didampingi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian, mengadakan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa siang (16/5/2017, dimuat Kompas.com) melakukan dialog dengan para tokoh agama (MUI, NU, Muhammadiyah, Konfrensi Wali Gerja Indonesia, Persekutuan Gereha Indonesia, perwakilan umat Buddha Indonesia, Hindu Dharma Indonesia dan Majelis Tinggi Konghucu Indonesia) untuk berkomitmen semua umat beragama terus menjaga persatuan, persaudaraan, perdamaian dan tolera antar umat, antar kelompok dan golongan. 

Mengantisipasi dan merajut kembali akibat gesekan antar agama yang berdampak terhadap ekonomi, budaya, bahkan politik. Sejalan dengan Suaedy bahwa eksklusif sosial terhadap mereka bukan hanya dalam praktek agama dan keyakinan, melainkan kemudian berimflikasi pada terbatas dan terhalangnya akses ekonomi, hak-hak politik dan penunaian hak-hak sebagai warganegara lainnya serta terabaikannya perlindungan keselamatan bagi mereka bahkan eksklusif sosial ini dapat mengancam NKRI. Hidup damai dan toleran hanya sebuah angan-angan saja apakah akan terjadi?

Intoleransi Berujung Diskriminatif


Kabupaten Kuningan sendiri tercatat sebagai salahsatu daerah intoleran. Komnas HAM melaporkan data akhir tahun 2016 menemukan adanya diskriminasi pencatatan perkawinan bagi warga Sunda Wiwitan (agama monotheisme dan sangat menghormati leluhur) di Cigugur, Kecamatan Kuningan dengan alasan mereka tidak memiliki organisasi yang tercatat oleh pemerintah. Ini dibenarkan oleh Kinanti Suarsih (20 Tahun) warga Sunda Wiwitan yang sedang mengikutiWorkshop bersama penulis yang diselenggarakan YBAW di Hotel Ayong Jl. Linggarjati No. 14, Cilimus, Kabupaten Kuningan (12-15 Mei 2017). Kinanti pun menambahkan (dengan mata berkaca-kaca), bahwa warga tersebut susah mendapatkan Akte dan KTP yang berpengaruh terhadap hak berpendidikan dan mendapat pekerjaan.

Belum lagi pada tahun 2010 warga Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana ratusan orang atas nama ormas islam merusak bangunan dan melukai warga Ahmadiyah di sana. Selain itu warga Ahmadiyah pun sulit untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), sedangkan KTP merupakan kartu identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Jumlah warga Ahmadiyah yang tidak punya KTP pada tahun 2016 berjumlah 1.772 orang, dikatakan Kepala Disdukcapil Drs. H. Zulkifli, Msi. kepada Rakyat Cirebon usai mengikuti rapat tertutup bersama MUI dan Bupati Kuningan di kantor Bupati, Kamis (21/7/2016, dimuat 22 Juli 2016). Sedangkan warga Ahmadiyah di Kota Cirebon itu bisa mendapatkan KTP tanpa dipersulit apa pun, sesuai apa yang disampaikan Ardian dan Zariqoh aktivis dari PELITA (Pemuda Lintas Iman) Kota Cirebon.

Melihat persoalan di atas, tentu kita harus memikirkan supaya kehidupan yang intolerasi bergeser menjadi toleran baik di daerah maupun di nasional, baik toleran antara masyarakat dengan masayarakat lain maupun masyarakat dengan pemerintah. Yayasan Bani KH. Abdurrahman Wahib (YBAW), menyelenggarakan kegiatan “Workshop Menulis dan Riset untuk Perdamaian Di Kabupaten Kuningan” yang bertempat di Hotel Ayong Kuningan, 12-15 Mei 2017, diikuti 20 orang peserta didominasi aktivis kampus yang berlatar belakang berbeda agama.

Workshop tersebut merupakan salah satu langkah kongkrit membangun peradaban  dalam memberikan penyadaran terhadapcivitas academica untuk menebar perdamaian melalui karya tulis. Tingkat kesadaran level-nya lebih tinggi dibanding pengetahuan, karena kesadaran merupakan suatu tindakan atau sikap seseorang antara hati dan akal menyatu ‘tak pecah kongsi sehingga memunculkan sikap responsif terhadap setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi khususnya mengenai intoleransi dan diskriminasi di Kabupaten Kuningan. Untuk membuat perubahan itu tidak perlu merubah pisiknya, tetapi pemikirannya secara bijaksana dan manusiawi.

Dengan kesadaran ini kita bisa memaknai sebagaimana yang dinyatakan Mikhail Gorbachev pemenang Nobel Perdamaian pada tahun 1990 ”Perdamaian bukanlah persatuan dalam persamaan, namun persatuan dalam perbedaan.” Menyatukan perbedaan ini tentunya tidak mudah, diperlukan ruang-ruang atau wadah berdialog, penyadaran masyarakat baik melalui pendidikan maupun media-media lainya seperti media sosial, media online, cetak dan sebagainya tanpa hoax yang bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat.

Hal senada disampaikan Barack Obama Presiden Amerika Serikat ke-44, “Istilah perdamaian dapat dinegosiasikan oleh para pemimpin politik, namun nasib perdamaian terserah pada diri kita masing-masing”. Elit politik atau pemerintah hanya dapat menyelesaikan secara temporer yang muncul dipermukaan tanpa menyentuh lubuk yang paling dalam baik hati maupun pikiran, karena pemerintah ‘tak lain sebuah mediator, bukan aktor. Masyarakatlah yang menentukan nasib perdamaian apakah menginginkan perdamaian itu terus berjalan atau terinterupsi dan hilang.

@arip samsul aripin