Sunday, May 14, 2017

Hak Keberagaman dalam Khilafah adalah Mustahil


DUNIA HAWA - Setelah keran demokrasi dibuka pasca jatuhnya Orde Baru, besarnya geliat pengaruh organisasi pergerakan Islam transnasional di Indonesia, tak terkecuali HTI, biasanya dimulai dari kampus dan perkotaan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Di Indonesia, Hizbut Tahrir sebagai pengusung wacana Khilafah masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis aktivitas dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir semakin merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.

Hizbut Tahrir, menurut situs resminya, mengklaim diri sebagai organisasi politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial.

Definisi ini sangat bisa kita kritisi. Mengapa? Sebab kelak kita ketahui, bahwa terdapat ketidaksatuan antara definisi gerak keorganisasian dengan gerak mereka dalam memperluas sayap gerakan. Kenyataannya, mereka menggunakan alibi dakwah alih-alih sikap keterusterangan sebagai organisasi politik yang merongrong sistem kebinekaan NKRI.

Sebagai organisasi politik, kader HTI tidak pernah berterus terang pada calon target pasar mereka di awal “jualan” ide khilafah. Barangkali mereka memang kesulitan membumikan ide-ide politik khilafah ke dalam bahasa yang dapat diterima manusia awam Indonesia.

Seperti umumnya gerakan Islam transnasional lain, kader HTI akan memakai strategi indoktrinasi yang menyebut gerakannya sebagai dakwah yang ingin menegakkan syariah Islam sebab mereka percaya bahwa sumber-sumber kerusakan di bumi ini berlangsung karena syariah Islam tidak ditegakkan. Setelah itu, barulah mereka memberi provokasi bahwa demokrasi adalah haram, nasionalisme tidak ada dalilnya, dsb.

Mahasiswa muslim perkotaan yang belum tuntas belajar agama semasa kecil, biasanya akan menerima doktrin tersebut sebagai sebuah pencerahan yang datang di persimpangan usia mereka yang penuh hasrat dan kebimbangan. Mereka lalu menganggap, mendirikan khilafah adalah bagian dari jihad Islam.

Doktrin agama yang memuat halal dan haram serta pahala dan dosa memang sangat berbahaya jika digunakan sebagai alat politisasi atau alat untuk pertarungan merebut kekuasaan.

Padahal, asas dasar Indonesia, yakni Pancasila adalah sebuah dasar Negara yang telah jauh melampaui zaman ketika pertama kali dicetuskan pada tahun 1945. Jika kita hanya melihat Jawa, mayoritas yang kita lihat memang memeluk agama Islam. Tapi apakah kondisinya sama dengan Bali, NTT, Sulawesi, hingga Papua? Bahkan di Jawa pun, keragaman budaya dan perbedaan latar belakang masyarakat merupakan suatu hal yang nyata.

Meskipun utopis dan muluk bagi HTI untuk dapat mewujudkan cita-cita khilafah di Indonesia, apakah mereka telah berpikir sejauh ini? Mereka mestinya mengkhidmati bahwa Pancasila dan Konstitusi yang bahkan menjamin enam agama dan kebebasan mereka untuk menjalankan masing-masing perintah agama adalah diplomasi terbaik bagi kemanusiaan.

Laman hizbut-tahrir.or.id, pada Selasa (2/5/17), juga mengunggah ucapan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto yang menjawab tudingan bahwa HTI dengan konsep khilafahnya akan memecah-belah Indonesia.

Ismail mengatakan, “Salah satu substansi penting dari khilafah adalah persaudaraan (ukhuwah) yang diwujudkan dengan persatuan. Bagi HTI, persatuan itu penting sekali karena dengan persatuan kita menjadi kuat. Jadi, sangat tidak mungkin HTI dengan ide khilafahnya itu menghendaki perpecahan bangsa.”

Pernyataan tersebut adalah pernyataan cari aman belaka. Sudah jelas bahwa Hizbut Tahrir ingin melanjutkan kehidupan Islam ala era Daulah dan mengemban dakwah (politik) Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum muslimin kembali hidup dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Nantinya, seluruh kegiatan kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum Islam.

Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah. Daulah adalah wilayah yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat kaum muslimin untuk didengar dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitab Allah dan sunnah Rasul.

Sekali lagi, pernyataan tersebut juga harus kita kritisi. Jika persatuan yang mereka maksud adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), maka NKRI sejak lama mengusung ukhuwah wathoniyah (persaudaraan berbangsa).

Khalifah yang hanya mungkin dari seorang Muslim saja sudah bertentangan dengan cita-cita demokrasi Pancasila yang menjamin kesetaraan manusia di depan pendidikan, hukum, juga kebebasan berpendapat dan berserikat. Lalu, bagaimana dengan hal-hal lain? Sederhana saja, umat Kristen tidak mengharamkan babi, lalu apakah nanti umat Kristen tidak boleh makan babi di Negara Islam?

Kita juga tahu, bahwa dalam bingkai Pancasila saja umat beragama lain kadang masih kesulitan menjalankan ibadah, lalu bagaimana nasib mereka jika agama dijadikan alasan untuk kekuasaan?

Yakinkah jika motif berkuasa ini ketika diberi kekuasaan maka mereka dapat berlaku adil bagi kemanusiaan?

@bambang Anto


Memahami Sikap Jokowi yang Seorang Muslim Terhadap Kasus Penodaan Agama


DUNIA HAWA - Banyak analisa politik dipaparkan oleh teman-teman.

Hampir semua analisa melihat dari sudut persahabatan Jokowi dengan Ahok dan situasi perpolitikan yang sedang berlangsung saat ini. Setiap saya membaca semua analisa itu, saya merasa ada sesuatu yang masih belum teriungkap. Dan semua analisa berakhir dengan pertanyaan yang sama, “Kemana Jokowi selama ini?”

Sebelum saya memaparkan analisa saya, saya ingin berbagi apa yang saya pahami dari ceramah seorang Rizieq Shihab di Mekkah.

Sebenarnya untuk saya apa yang Rizieq Shihab lakukan di Mekkah itu lebih pantas disebut “curhatan” dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini ketibang sebuah ceramah keagamaan.

Setiap kata yang dia ucapkan adalah kebalikan dengan apa yang terjadi dilapangan. Rizieq Shihab mengatakan bahwa perlakukan Pemerintah Indonesia kepada kelompok Fundamentalis sangatlah buruk.

Rizieq menceritakan bagaimana Indonesia sekarang ini memperlakukan para ulama, para tokoh agama yang ada dalam wadah MUI yang dikerdilkan, yang dilecehkan, yang dihina-hina, lalu Pemerintah mencari kesalahan-kesahalan. Kalau tidak ada kesalahan, dibuatlah fitnah-fitnah yang bisa diterima oleh masyarakat. Rizieq mengatakan bahwa kelompok Fundamentalis mendapat perlakuan sebagai berikut di Indonesia:

1. Jangan pernah melibatkan kelompok Fundamentalis didalam mengambil kebijakan negara. Saya melihat pernyataan dia ini lucu. Yang membuat kebijakan negara itu adalah Legislatif dan Eksekutif. didalam badan Legislatif ada partai keagamaan. PKS, PPP, PKB. Kalau yang Rizieq Shihab maksud harus melibatkan ulama-ulama MUI, NU, Muhammidyah, FPI, FUI, HTI, artinya Rizieq Shihab tidak paham bahwa semua kelompok keagamaan yang saya sebutkan itu adalah Ormas! Tidak ada undang-undangnya sebuah Ormas dilibatkan dalam mengambil kebijakan negara.

2. Jangan pernah memberikan ruang kepada kelompok Fundamentalis dimedia-media resmi, media mainstream tingkat nasional. Tutup Semuanya.

3. Jangan pernah memberitakan kebaikan sebesar apapun kebaikan yang dilakukan kelompok Fundamentalis.

4. Setiap ada kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh kelompok Fundamentalis, harus diviralkan harus disebarluaskan, dan harus diulang-ulang supaya itu melekat dihati masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak layak untuk diberikan tempat di kita punya negeri.

5. Jangan pernah sebut mereka dengan rentetan gelar-gelar akademik mereka. Hanya sebut namanya saja untuk mengopinikan dimasyarakat bahwa kaum Fundamentalis itu kuper, bodo, tidak berpendidikan.

Padahal kalau kita lihat bagaimana kelompok Bumi Datar memperlakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan pendukungnya saat ini, kelima poin diatas sudah mereka lakukan semuanya pada Ahok dan pendukungnya.

Mengapa Jokowi Diam? Kemana Jokowi Selama ini?


Analisa saya, terdapat perbedaan perlakuan yang signifikan terhadap politik yang digerakan dengan latar ekonomi dan politik yang digerakan dengan latar agama.

Ketika Buruh berdemo, sebesar apapun demo itu, pihak pemerintah bisa dengan mudah mengirimkan utusan atau bahkan Presiden sendiri bisa dengan mudah muncul dan bersuara. Memutuskan atau menerima perwakilan mereka untuk membuat sebuah kesepakatan.

Kalau suara Presiden tidak memuaskan, mereka paling akan mendemo lagi dan membuat kerusuhan, tapi ruang pribadi apalagi ruang keyakinan seorang presiden tidak akan tersentuh. Ini semua masalah bagaimana otak memutar angka.

Tapi ketika politik digerakan oleh agama, maka ini akan menjadi sangat sensitive. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana Panglima TNI Gatot Nurmantyo, yang seorang Muslim, begitu hati-hati menjawab pertanyaan seputar kasus penodaan agama. Begitu pula dengan Presiden yang juga seorang Muslim, dia lebih memilih untuk tidak berkomentar dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengintervensi masalah.

Dalam kasus penodaan agama ini, setiap Pemimpin baik Presiden maupun Panglima TNI atau Kapolri, mereka seperti dihadapkan pada sebuah jeopardi atau buah simalakama. Kasus yang menyangkut agama sangat amat sensitive yang bisa menjungkalkan mereka.

Sebagai pribadi, mungkin saja Jokowi ingin menyampaikan bahwa tidak ada tindakan menodakan agama seperti yang dikatakan Imam Besar Mesjid Istiqlal. Apalagi Ahok adalah sabahatnya, Jokowi kenal betul dan tahu betul siapa dan bagaimana seorang Ahok.

Kita ingat siapa yang menuntut Ahok dipenjarakan, bukan? Yaitu MUI dengan fatwanya yang kemudian dikawal oleh FPI. Sebagai umat Muslim, jika Jokowi berpendapat dengan sejujur-jujurnya, maka dia akan langsung dianggap bertentangan dengan para Ulama karena menyatakan tidak ada tidakan penodaan agama.

Kita tahu bagaimana ganasnya kaum bumi datar, seperti yang dikatakan Rizieq Shihab di poin no. 4, Harus diviralkan, disebarluaskan, diulang-ulang agar melekat dihati dan pikiran masyarakat.

Sekecil apapun komentar Jokowi, pada posisi Jokowi sebagai Presiden dan seorang Muslim, akan menghasilkan hujatan yang maha dahsyat yang akan mampu membunuh tidak hanya karier tapi juga karakter presiden seketika.

Saya yakin, sebagai sahabat dekat, Jokowi dan Ahok sudah saling memahami, saling mensupport. Saya juga pikir, Jokowi setiap hari bicara dengan Ahok. Entah itu lewah burung merpati, entah lewat angin, entah pakai kode morse atau semapur atau lewat mimpi dan do’a. Tidak selalu harus lewat telpon atau menggunakan kecanggihan teknologi dan tidak harus bertatap muka.

Ahok tidak akan setegar itu tanpa dukungan jokowi. Ibu Veronica tidak akan setegar itu tanpa dukungan Jokowi dan Ibu Iriana. Apa yang menimpa Ahok dan Ibu Veronica adalah sesuatu yang maha dahsyat beratnya. Jokowi dan Ibu Iriana adalah orang yang terpenting untuk Ahok dan Ibu Veronica diluar keluarga besar mereka.

A friend indeed is a friend in need.


Jika Ahok dihadapkan bukan pada kasus penodaan agama, walaupun jokowi yang mereka bidik, dan kasus ini murni kasus pidana, saya yakin Jokowi tidak akan ragu untuk menyatakan dukungannya pada Ahok. Jokowi cukup memperlihatkan dukungan dia pada Ahok tentang banyak hal.

Ingat apa kata Buni Yani, “Semua produk yang ada label agamanya pasti laku dijual!”


Sisi keimanan Jokowi yang akan mereka serang habis-habisnya. Mereka akan mendokrin rakyat Indonesia dipelosok yang jauh dari informasi dan teknologi dengan cara no. 4 “Setiap ada kesalahan sekecil apapun yang dilakukan oleh Jokowi, harus diviralkan harus disebarluarkan, dan harus diulang-ulang supaya itu melekat dihati masyarakat bahwa Jokowi adalah seorang Presiden yang menentang agamanya sendiri, menentang agama Islam, seorang yang munafik, seorang kafir, seorang yang membela penoda agama.

Lalu mereka akan lakukan cara no. 3 “Jangan pernah memberitakan kebaikan Jokowi sebesar apapun juga. Tutup prestasi-prestasi dan hasil kerja jokowi dengan isu bobroknya keimanan dia”

Bayangkan!!

Harus kita sadari bangsa Indonesia masih belum pintar semua. Ah, tidak usah jauh-jauh, jakarta saja yang menjadi kota termodern se-Indonesia, dengan sangat mengejutkan ternyata yang pintar hanya 43% !!!

Sementara kita tahu pergerakan gerilya pasukan kaum Onta menyusup di tengah-tengah rakyat lewat langgar-langgar, mushola-mushola, mesjid sudah tentu. Pemuda mesjid, kampus-kampus, pengajian-pengajian ibu-ibu bahkan kaum intelektual.

Jangan pernah bertanya lagi “Kemana Jokowi selama ini?”. Kalau yang dimaksud dengan “Kemana” itu Jokowi secara lahir, maka jawabannya adalah “Jokowi ada di Istana sedang bekerja”. Tapi kalau yang dimaksud “Kemana” itu secara batin, maka jabawabnya adalah Jokowi selalu ada di dekat Ahok.  Saya yakin Ahok selalu ada dipikiran dan hati Jokowi! Saya yakin Ahok selalu ada dalam setiap do’a Jokowi.

Saya tidak akan pernah lupa pertemuan saya dengan seorang sahabat yang suaminya bekerja di perusahaan minyak Indonesia. Ketika kita bicara soal kasus penodaan agama, dengan lembut dia berkomentar, “Erika kan mendukung si penista agama!”. Jujur saya merasa tertampar walaupun itu benar. Dan saya tidak mau membela diri karena akan mengorbankan persahabatan, walaupun akhirnya saya menjaga jarak dengan dia.

Dalam pikiran seorang yang mengaku lulusan S2 yang terdokrin agama, tidak ada cerita tentang keadilan, kebhinnekaan, persatuan, nasionalisme, ketika kita bicara tentang kasus Ahok dengan tuduhan menistakan agama, mereka hanya bilang, “Kita cuma mau melihat Ahok dipenjara!”

Analisa sayapun saya yakin akan ada yang memprotes dan mengaitkannya pada Ayat Al Maidah 51 tentang pemahaman larangan menjadikan kafir teman dekat. Dan saya mengatakan, pemahaman ‘kafir’ setiap mazhab itu berbeda. Buat saya Ahok bukan seorang kafir. Ini pendapat pribadi dan saya tidak akan memperdebatkannya

@erika ebener


Konspirasi Politik Dibalik Vonis Dua Tahun Penjara Terhadap Ahok


DUNIA HAWA - Pada hari Selasa, 9 Mei 2016 seluruh rakyat Indonesia dibuat tercengang dengan vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap Ahok. “Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama”. Sontak putusan hakim tersebut membuat rakyat Indonesia tercengang, bahkan menyita perhatian dunia. Rakyat Indonesia dibuat teramat kecewa terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia yang sangat timpang dan diskriminatif. Kentalnya intervensi politik dibumbui dengan isu SARA membuat seolah-olah vonis Hakim terhadap Ahok sangat dipaksakan.

Yang Terjadi Sampai Saat Ini Jika Ahok divonis bebas


Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi jika Hakim memvonis bebas Ahok. Kaum bumi datar pasti akan kebakaran jenggot, tidak dapat dan tidak mau menerima hasil putusan hakim, mereka akan menuduh Jokowi mengintervensi dalam sidang Ahok. Dengan begitu aksi bela agama yang berjilid-jilid ini akan terus diperpanjang sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan, Negara akan terus bergejolak, perekonomian di Indonesia akan melemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terus melemah, seluruh aparat pengaman negara akan dikerahkan untuk mengawal dan mengamankan aksi ini sehingga fokus Presiden dan aparat penegak hukum akan terpecah belah dan lebih berfokus terhadap masalah stabilitas dan keamanan negara. Dengan keadaan ekonomi yang terus-terusan melemah maka dapat diperkirakan akan terjadi inflasi yang tinggi, turunya daya beli, dan kemiskinan akan meningkat. Jokowi akan dinilai gagal sebagai pemimpin dan dalam memajukan perekonomian negara, rakyat akan menuntut kesejahteraan dan dapat diperkirakan kondisi negara akan kacau diwarnai demonstrasi. Dengan begitu akan mudah bagi si “Penggerak Makar” ini untuk melancarkan aksinya, yaitu terus-terusan menggerakan massa dan melakukan kudeta dengan memaksa Jokowi turun tahta.

“Untungnya” Ahok Divonis Dua Tahun Penjara


Berikut akan sedikit saya bahas berdasar tingkatannya, peradilan di Indonesia terdiri atas sebagai berikut, yaitu Pengadilan tingkat pertama, yaitu pengadilan negeri; Pengadilan tingkat kedua atau banding, yaitu pengadilan tinggi; Pengadilan tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung.

Ahok divonis bersalah melakukan tindak pidana dan penistaan agama serta dikenai hukuman penjara selama dua tahun di pengadilan negeri. Dengan vonis yang dijatuhkan Hakim terhadap Ahok ini, sebagian besar kaum bumi datar pun merasa sangat terpuaskan, “akhirnya si kafir di penjara. Yess!!”, “Ahh, akhirnya doa kita terkabul!”, “usaha kita tidak sia-sia, si kafir masuk penjara, akhinya saya bisa tidur nyenyak di rumah!”.  maka untuk sementara waktu aksi bela agama yang berjilid pun dihentikan dan negara tenang untuk sesaat.

Sembari Jokowi dengan gerakan yang perlahan tapi pasti mulai memberantas dan membubarkan ormas-ormas radikal. Satu hari sebelum putusan sidang Ahok, pemerintah mengambil langkah tegas membubarkan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Kemudian dilanjutkan dengan penagkapan paranormal Ki Gendeng Pamungkas pada hari Rabu, satu hari setelah vonis dijatuhkan kepada Ahok. Penangkapan ini dilakukan karena Ki Gendeng Pamungkas menyebarkan ujaran kebencian bermuatan SARA melalui media sosial. Selanjutnya, polri akan terus mengusut kasus-kasus yang melibatkan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, bahkan Polri sudah mengambil ancang-ancang untuk melibatkan interpol jika ia masih mangkir dari pangilan untuk yang ketiga kalinya.

Dapat kita tebak apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pemerintah, yaitu satu persatu ormas-ormas radikal yang selama ini selalu membuat ricuh dan intimidasi serta meresahkan warga akan dibubarkan, mengadili para tersangka makar, mengusut para koruptor dan beberapa pejabat maupun orang berkepentingan yang terlibat kasus hukum serta memberikan hukuman yang seberat-beratnya untuk memberikan efek jera. Dengan divonisnya dua tahun penjara kepada Ahok ini, membuktikan kepada masyarakat bahwa sistem hukum di Indonesia sedikit demi sedikit akan diperbaiki dan hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu.

Dengan di vonisnya Ahok dua tahun penjara ini juga membangkitkan warga-warga yang masih memiliki logika dan hati nurani untuk melakukan perlawanan dan mengluarkan suara. Mereka yang selama ini hanya diam seribu bahasasa menyaksikan akhirnya bersatu melawan, diawali dengan aksi seribu lilin di depan Lembaga Permasyarakatan Cipinang tempat dimana Ahok ditahan. Tidak hanya di Kota Jakarta, seluruh Indonesia ikut berempati dengan menyalakan lilin untuk menuntut keadilan di Negeri ini. Bahkan dunia pun ikut menyoroti vonis kepada Ahok, dunia ikut bersimpati. Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik.

@gabriella herlian