Friday, May 12, 2017

Orang Orang Kalah


DUNIA HAWA - Sehabis mendengarkan vonis hakim atas Ahok di pengadilan tinggi Jakarta, saya berjalan pulang.

Saya mampir di sebuah rumah makan dan duduk disana. Tidak lama kemudian, gerombolan pemuda datang dan memenuhi halaman rumah makan.

Mereka berhenti disana menunggu kelompok pro Ahok lewat. Anak-anak muda usia belasan tahun berbaju dan celana putih. Beberapa diantaranya siap dengan kayu dan tiang bendera yang digenggam erat seakan ingin dihantamkan.

Dari baju mereka ada lambang hijau bertuliskan FPI. Sebagian diantara mereka menutup mukanya dengan kain putih sehingga hanya tampak matanya.

Mereka bersiap layaknya pemuda Palestina di jalur Gaza yang sedang berjuang. Teriakan-teriakan provokatif membahana diselingi tangan terkepal di udara, "Takbir.. AllahuAkbar !!" Begitu ucapan keras mereka berkali-kali.

Entah kenapa saya melihat model bonek - penggemar sepakbola Surabaya - disana. Siap perang, siap menumpahkan amarah kepada pendukung lawannya. Identitas mereka hanya baju yang mereka pakai berbeda dengan baju lawannya.

Mereka belum tentu mengenal siapa yang disampingnya. Pokoknya, hari itu yang memakai baju seperti mereka, berteriak seperti mereka adalah saudara.

Dulu saya bertanya kepada seorang teman psikolog, "Kenapa mereka bisa begitu beringas ketika berada dalam kelompok besar ?"

Temanku menjawab, "Karena dalam kelompok itu, dalam seragam itu, mereka menemukan eksistensi diri mereka.

Banyak penelitian mengatakan, bahwa seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari kalah oleh kehidupan, mencari jati diri mereka dalam kelompok besar.

Mereka jika sendiri dalam kehidupan biasa tidak dianggap sebagai siapa-siapa. Tetapi ketika berada dalam kelompok dan seragam yang sama, mereka mempunyai nama.

Dan ketika berada dalam kelompok itulah mereka ingin menunjukkan jati diri mereka. Mereka harus menunjukkan kepada kawanan kelompoknya bahwa mereka berarti. Karena itu - ditambah rasa aman karena merasa dilindungi oleh kelompok yang sama - mereka cenderung beringas.

Tetapi ketika sampai di rumah, mereka kembali bukan siapa-siapa ,yang cemburu dengan kehidupan orang lain yang lebih bagus dari mereka. Mereka kembali menjadi manusia tanpa nama.

Dan mereka kembali akan bergabung dalam kelompok untuk mencari siapa diri mereka. Seperti candu, saat mereka berilusi menjadi seorang yang berjuang dalam peperangan dan mendapat penghargaan.

Itulah kebahagiaan termahal yang mereka punyai dalam waktu yang singkat saja. Seperti mimpi dan tidak mau bangun tidur karena terlalu indah..."

Aku mengangguk menyetujuinya. Tersisih karena tidak mempunyai nilai lebih dalam kehidupan sehari-hari memang menyakitkan. Mereka terus cemburu dan menanjak menjadi iri melihat kekalahan diri mereka dibandingkan yang lainnya.

Kecemburuan itu harus berwujud sesuatu sebagai identifikasi. Karena itulah mereka mewujudkan bentuk itu dalam konsep kafir, cina, kristen dan sebagainya.

Dan kecemburuan itu secara otomatis juga akan menaikkan emosi yang lain yaitu kebanggaan. Mereka mewujudkannya dalam bentuk "bahwa dia pribumi yang harusnya mendapat pengakuan lebih", golongan mayoritas, pasti akan menjadi penghuni surga dan lain sebagainya.

Padahal emosi itu abstrak, hanya permainan dalam pikiran mereka saja.

Sehari-hari mereka harus minum kopi pahit, karena tidak mampu membeli gula untuk memaniskannya. Ia hanya mampu mencicipi rasa manis untuk menyeimbangkan diri dari kepahitan hidupnya dengan berkelompok bersama orang-orang yang sama.

Meski hanya sementara, cukuplah. Dan itu menjadi candu yang harus diulangi dan diulangi lagi.

Dan perasaan ini bukan hanya berlaku bagi orang yang miskin secara materi atau harta. Tetapi juga berlaku bagi seorang Profesor yang tidak diakui oleh kelompok Profesor yang selevel dirinya.

Profesor yang mempunyai nilai lebih berusaha terus mencari nilai dirinya dengan karya, sedangkan biasanya Profesor yang kalah hanya bisa mencari pengakuan dari orang yang gelarnya di bawahnya dan kagum terhadap gelar yang ia sandang sekarang.

Begitu juga ulama. Ada ulama yang memang diakui secara keilmuan dan dihormati di kalangan berilmu lainnya. Ada juga ulama yang secara kemampuan ilmu kurang, sehingga untuk menaikkan harga dirinya dia menjual kemampuan ilmunya yang standar dan menjualnya dalam bentuk dagang ayat.

Sama, hakim juga begitu. Harus pandai menjilat dan berani berbuat salah untuk mendapat promosi. Kalau ngga, ya begitu-begitu aja hidupnya. Lah kok jadi ke hakim ya ? Seruput dulu ah, sebelum dituduh menista..

@denny siregar


Habibie Akan Serahkan Dokumen Tragedi Mei 98? (Bakal Ada yang Kejang)


DUNIA HAWA - Presiden ke-3 Republik Indonesia BJ Habibie tidak mengetahui permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini sehingga penyelesaian peristiwa Mei tahun 1998 masih tersendat.

Habibie meminta keluarga dan pendamping korban peristiwa tersebut untuk mengumpulkan dokumen-dokumen tragedi kemanusiaan tersebut. 

“Nanti serahkan dokumennya ke Komnas Perempuan, saya yang sampaikan langsung ke Presiden Jokowi,” kata Habibie dalam acara bertajuk Pidato Kebangsaan di Lokasi Pemakaman Massal Korban Tragedi Mei 98, di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, pada Senin 8 Mei 2017.

Acara itu diadakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Habibie diundang karena dianggap sebagai tokoh yang mau mendengarkan dan menanggapi keresahan para korban.

Habibie juga dinilai sebagai tokoh yang menolak kekerasan, menyatakan permintaan maaf kepada korban, dan mengupayakan pembentukan tim pencari fakta ketika menjabat Presiden RI.

Menurut Habibie, penyelesaian tidak dilakukan di masa jabatan pemerintahnya dengan alasan persatuan bangsa. Saat itu bangsa Indonesia masih dalam masa transisi.

“Dari sistem otoriter ke demokrasi,” ujar Habibie.

Menurutnya jika dipaksakan kondisi Indonesia akan seperti Uni Soviet yang akan terpecah. Negara adidaya ini pecah menjadi 17 negara saat transisi. Padahal mereka tidak semajemuk Indonesia.

“Prediksi bisa terpecah 20-30 negara jika kita paksakan,” ujarnya.

Habibie juga mengkritik mereka yang ingin menganti ideologi dengan berbasiskan agama. Pancasila merupakan ideologi persatuan kita. Agama harus bersinergi dengan budaya yang majemuk. “Keyakinan yang bernama NKRI,” katanya.

Tragedi Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Jakarta dan beberepa daerah lain pada 13-15 Mei 1998. Satu hari sebelumnya, empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. 

Setidaknya akan ada beberapa nama yang akan kembali menjadi isu hangat di Nusantara, menanggapi berita diatas, salah satunya adalah Prabowo.

Nusantara memang penuh luka sejarah, ketika peristiwa peralihan kekuasaan dari rezim Soeharto (Orde Baru) yang digulingkan atau bisa kita sebut reformasi, adalah sikap dari hampir semua elemen yang muak dengan para oligarki dan tirani yang menguasai negeri ini selama 32 tahun lamanya. Kemudian, setelah Soeharto lengser, puncak kekuasaan jatuh kepada Habibie, yang kala itu menjad wakil presiden.

Namun pada kenyataannya dimasa peralihan kekuasaan, tidak sedikit yang menginginkan posisi jabatan itu (Presiden), hingga banyak oknum ataupun personal yang berusaha untuk “mengambil-alih” tampuk kekuasaan. Hingga melahirkan banyak tragedi, akan tetapi hingga saat ini tragedi yang terjadi, masih meninggalkan tanya. Dan penuh praduga, salah satu yang diisukan atau disinyalir ikut terlibat adalah Pangkostrad Letjen Prabowo.

Dalam sejarah yang tercatat dan sempat menjadi buah bibir yang hangat pada masyarakat Indonesia, bahwa Prabowo terkena dua tuduhan yang cukup serius di era peralihan kepemimpinan 1998 yang penuh tragedi.

Dari sumber indocropcircles dikabarkan dua tuduhan itu meliputi:

Tuduhan yang pertama, Prabowo disangka menjadi dalang kerusuhan yang terjadi di bulan mei 1998 yang banyak merengut nyawa dan terjadinya penjarahan, Kerusuhan yang sangat terindikasi melibatkan konflik yang terjadi di internal tubuh ABRI.

Bahkan Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mencari keterlibatan Prabowo dalam kerusuhan 1998. Hingga sampai saat ini hasil dari temuan TGPF tidak pernah disampaikan ke masyarakat luas secara jelas, apa dan seberapa besar keterlibatan Prabowo pada kerusuhan yang terjadi di tahun 1998 itu.

Tuduhan yang kedua, Prabowo dicurigai akan mengambil alih paksa kekuasaan pasca tergulingnya Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digantikan oleh Presiden Habibie.

“Kecurigaan itu berawal dari laporan Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jendral Wiranto melapor ke Presiden Habibie bahwa ada konsentrasi pergerakan pasukan Kostrad dibawah komando Prabowo di sekitar kediaman Habibie…”

Pergerakan pasukan Prabowo ini sangat dicemaskan oleh Presiden Habibie, karena Prabowo sebagai Panglima Kostrad membawahi pasukan sebanyak 11.000 personel tentara yang oleh Presiden Habibie disikapi dengan memerintahkan Wiranto untuk memberhentikan Prabowo sebagai Pangkostrad dan diganti dengan Pangkostrad yang baru agar bisa menarik mundur pasukan kostrad yang sudah memasuki kota Jakarta pada waktu itu.

Pada pilpres 2014, tuduhan terhadap Prabowo kembali mencuat kepermukaan. Bahkan disinyalir juga terlibat penculikan terhadap beberapa aktivis. Dan dia membantahnya. Hal ini juga ramai dimedia pada pilpres 2014. Berikut saya sajikan diantaranya :

Mantan Panglima ABRI Jenderal Purn Wiranto buka-bukaan terkait kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo Subianto pada Mei 1998. Bagaimana tanggapan capres nomor urut 1 itu terkait manuver Wiranto?.

Dalam salah satu pernyataannya, Wiranto menyebut Prabowo terlibat dalam aksi kerusuhan Mei 1998. Ia juga membenarkan bahwa mantan Panglima Kostrad itu diberhentikan dari jabatannya.

Ditanya konfirmasi mengenai pernyataan mantan atasannya itu, Prabowo tidak berkomentar banyak.

“Nggak, nggak. Tanya saja mereka,” kata Prabowo ketika ditemui di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis (19/6/2014).

Sebelumnya, Wiranto yang pernah menanyakan langsung kepada Prabowo mengungkap, keputusan untuk menculik sejumlah mahasiswa itu merupakan inisiatif Prabowo. 

Namun Prabowo membantahnya, bahkan sebagian pendukungnya sebut bahwa dia adalah kambing hitam. Salah satu yang membela Prabowo pada saat Pilpres 2014 adalah Kevlin Zen.

Kivlan mengungkapkan, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, ada sekelompok orang yang merencanakan kerusuhan di suatu daerah. Ketika itu, Presiden Soeharto sedang menunaikan ibadah haji.

“Mereka melakukan itu (kerusuhan) dan mengendalikannya dari Bogor dengan telepon. Kalau saya buka ini akan jadi aib bangsa,” ungkap mantan Kepala Staf Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) itu.

Tak hanya itu, Kivlan juga menuturkan, Prabowo yang saat itu menjadi Panglima Kostrad berusaha menjaga Jakarta yang kondisinya sudah sangat genting.

“Kita kerahkan pasukan, dan dalam waktu dekat, berhenti terjadi pembakaran. Kalau tidak ada Prabowo, Jakarta sudah hancur,” tukas Kivlan. (Kompas)

Mei 1998 memang penuh tragedi kemanusiaan, diantaranya peristiwa trisakti, penculikan aktivis, rasialis etnis tionghoa, pembunuhan, dan seterusnya. Maka jika dikabarkan bahwa Habibie akan serahkan dokumen tragedi mei 1998 ke Jokowi, hal ini akan sangat menarik.

Karena tidak sedikit masyarakat yang menginginkan kejelasan dalam luka sejarah.

Untuk diketahui, bahwa isu yang marak mengenai SARA belakangan ini, jika kita lihat orang-orangnya, tidak sedikit diantaranya adalah pernah menjadi bagian dari kekuasaan otoriter rezim orba.

Di ruang yang lain, sebetulnya dalam vonis terhadap Ahok, ada sisi positif yang harus kita ketahui. Bahwa masyarakat kontemporer urban ataupun di kota-kota kecil di Nusantara, jadi peka terhadap persoalan bangsa, yang selama ini tertidur. Ibu Pertiwi seperti membangunkan ketertiduran selama ini. Lihatlah betapa banyak antusias masyarakat dan mencoba untuk peduli dengan apa yang terjadi, yang paling membanggakan adalah kaum perempuan yang kembali bersuara.

Hal ini adalah kebangkitan Indonesia dalam konteks kesadaran untuk peka terhadap persoalan bangsa. Selama ini semua diam, jika pun ada ketimpangan, yang paling kerap turun jalan ataupun bersuara adalah aktivis, mahasiswa, LSM, dst. Dan saat ini kesadaran masyarakat terbangun dengan sendirinya oleh berbagai peristiwa. Apapun teorinya, perlawanan yang baik adalah perlawanan yang muncul dari kesadaran sendiri untuk bergerak, bersuara, bukan oleh ajakan ataupun penunggangan. Bayangkan saja, emak2 bisa ngamuk saat ini karena mereka bilang “itu tidak adil” (kekekeke). Bayangkan juga begitu banyak yang ingin tahu sejarah Nusantara saat ini, termasuk tragedi 98. Mungkin Ibu pertiwi membangunkan ketertiduran panjang selama ini melalui sosok Basuki sekaligus Jokowi.

Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan dan warna-warni kita menjadi satu.

Saya tekankan sekali lagi, bahwa isu yang marak mengenai SARA belakangan ini, jika kita lihat orang-orangnya, tidak sedikit diantaranya adalah pernah menjadi bagian dari kekuasaan otoriter rezim orba. Jika dokumen tragedi 98 akan diserahkan ke Jokowi menjadi kenyataan, ini sungguh menarik.

@losa terjal


Teruntuk Pak Prabowo, Saya Adalah ‘Korban’ Kerusuhan Rasial Anti-Cina


Kerusuhan Rasial Anti-China Tahun 1980 (November)


DUNIA HAWA - Saya adalah WNI dari etnis Tionghoa, dan dapat dikatakan seluruh masa muda saya hanya mengenal satu presiden saja, yaitu alm. Pak Harto. Saat ada kerusuhan anti-China di Solo dan kemudian menyebar sampai ke Semarang, saya masih duduk di bangku SMA. Itulah pengalaman pertama saya mengalami secara langsung kerusuhan anti-China. Saya harus berlari pulang ke rumah dengan melewati jalan kampung.

Saya sudah cukup besar untuk bisa mengingat peristiwa itu, tetapi sekaligus belum cukup dewasa untuk mencerna penyebab semuanya itu. Yang masih saya ingat, saat terjadi kerusuhan, murid-murid dipulangkan lebih awal dengan pesan harus segera pulang ke rumah, karena ada kerusuhan.

Sampai di rumah, saya melihat beberapa tetangga menutupi kaca-kaca jendela dengan tripleks. Mama saya memutuskan untuk membiarkan kaca jendela rumah kami tidak ditutup.

Ada 2 alasan mengapa Mama memutuskan demikian. Pertama: ada seorang tetangga yang dihormati (baca: dituakan) di kampung kami (orang Jawa), yang sudah mengatakan kepada Mama bahwa beliau yang akan menjaga depan rumah kami, bila perusuh-perusuh tersebut sampai masuk ke kampung kami, dan melempari kaca jendela dengan batu. Kedua: Mama malah merasa lebih aman bila kaca jendela rumah kami tidak ditutupi, karena malah akan dikira bukan rumah milik WNI etnis Tionghoa [hebat sekali nyali Mama saya, kan Pak.]. Mama begitu yakin akan keamanan keluarga kami, karena percaya dengan tetangga kami tersebut. Nyali Mama itulah yang mungkin membuat kami, anak-anaknya, tidak mengalami trauma berat yang berkepanjangan akibat kerusuhan tersebut. (ternyata lebih dari 10 tahun kemudian baru saya menyadari betapa saya mengalami sebuah trauma yang cukup parah, tanpa saya sadari)

Saya masih ingat bahwa setelah itu, untuk sementara waktu, kami (saya dan kakak-kakak) harus selalu membawa kaos dan topi dalam tas sekolah kami. Bila kerusuhan terulang dan kami harus dipulangkan dari sekolah lebih awal, kami menyamarkan diri di balik kaos dan bisa menyembunyikan wajah di balik topi. Sejauh yang bisa saya ingat, sekolah pernah kembali dibubarkan lebih awal beberapa waktu kemudian.

Isu Kerusuhan Semasa Kuliah Di UGM


Seingat saya juga, saat saya masih kuliah di UGM, pernah satu kali muncul isu kerusuhan anti-China lagi. Sebenarnya saya tidak mengetahui hal itu sama sekali. Saya berangkat kuliah seperti biasa, dan saat di parkiran motor, seorang teman (orang Jawa) malah heran melihat saya datang kuliah hari itu. Dari dia-lah saya tahu tentang isu tersebut. Saya pilih tetap masuk kuliah sesuai jadwal, karena memang saya tidak tahu apakah informasi dari teman tersebut benar atau tidak. Bapak tahu apa yang dilakukan teman saya itu? Saat bubaran kuliah, dia bilang akan menemani saya pulang ke kos, sekedar memastikan bahwa saya sampai di kos dengan selamat! Padahal kami tidak akrab sama sekali, hanya kenal-kenal biasa sebatas sebagai teman kuliah saja. Waktu itu yang terpikir oleh saya hanya : ‘Gusti Allah mboten sare, tapi selalul menjaga keselamatan saya, bahkan saat saya tidak mengetahui ancaman yang saya hadapi. DIA mengetuk hati teman kuliah saya untuk menjaga keselamatan saya.’ Apakah isu tersebut benar atau tidak, saya tidak mengetahuinya; dan saya tidak terlalu peduli. (saya pikir/kira saya tidak mengalami trauma akibat kerusuhan rasial saat saya di SMA, karena saya bisa hidup secara ‘normal’ tanpa rasa takut berlebihan. Ternyata saya keliru besar!!!)

Naif, Skeptis, Apatis


Di masa saya kuliah, berita tentang anak-anak alm. Pak Harto yang merambah dunia bisnis sudah begitu masif terdengar. KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) sudah menjadi rahasia umum dan saya tidak peduli sama sekali. Dalam artian: saya masih tetap percaya dengan pemerintahan alm. Pak Harto. Ketidak-adilan tersebut tidak mengusik hati saya, ibaratnya apa yang dilakukan oleh anak-anak alm. Pak Harto tidak merugikan saya, koq. Sangat naif sekali, ya Pak?

Di masa awal saya bekerja, walau berita negatif tentang bisnis anak-anak alm Pak Harto makin kenceng, saya masih tidak peduli dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal saat muncul BPPC-nya Tommy, perusahaan rokok tempat saya bekerja sangat merasakan imbasnya. Perusahaan kami harus membeli cengkeh dengan harga berlipat-lipat dibanding sebelum BPPC diberlakukan. Di pihak lain, petani cengkeh sangat dirugikan karena harga jual ke BPPC lebih murah dari menjual langsung ke pabrik rokok atau penampung di luar BPPC. Dan saya masih tidak peduli!!! Ini dalam artian: saya tidak merasa ada yang salah dengan pemerintahan alm. Pak Harto. [bila sekarang saya melihat semua itu, betapa mengerikannya pengkodisian yang sudah dilakukan selama puluhan tahun itu, dengan jumlah korban yang sangat banyak]

Kalau saya pikirkan lagi sekarang, betapa naif/skeptis/apatis-nya saya dahulu, sebelum terjadi peristiwa kerusuhan Situbondo.

Hikmah Peristiwa Kerusuhan Situbondo 1996


Peristiwa kerusuhan di Situbondo itu (yang menyebar ke beberapa daerah di sekitarnya) adalah peristiwa yang mengguncangkan jiwa saya, menggugah rasa keadilan dalam diri saya. Saya bekerja di Surabaya dan mengikuti dengan cermat berita tentang penyebab kerusuhan di Situbondo, bagaimana gereja dan sekolah Kristen/Katolik yang dihancurkan dan dibakar karena kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh seorang yang juga beragama Islam. Saya masih ingat bagaimana Gur Dur memerintahkan NU dan GP Ansor untuk membantu warga Kristen/Katolik untuk membersihkan puing-puing sisa kerusuhan. Kesadaran bahwa sudah terjadi usaha membenturkan umat Islam dengan umat Kriten/Katolik di balik kerusuhan Situbondo, sungguh mengguncangkan hati saya, pak Prabowo.  Seingat saya, rumor (gossip) kuat berhembus kala itu adalah: ada usaha membenturkan umat NU dengan umat Kristen/Katolik agar muncul ketidakstabilan di Jawa Timur. (mungkinkah peristiwa kerusuhan di Poso dan di Ambon terjadi seperti kerusuhan Situbondo??). Syukurlah dengan kenegarawanan Gur Dur, kerusuhan Situbondo bisa segera di atasi.

Hikmah dari peristiwa kerusuhan tersebut adalah di Jawa Timur ikatan batin antara umat Islam dan umat Kristen/Katolik malah makin menemukan bentuknya, khususnya antara umat NU dan umat Kristen/Katolik. Syukurlah ikatan batin tersebut makin menyebar ke daerah lain. Dan bagi saya pribadi, hikmahnya juga sangat besar : kesadaran berbangsa dan bernegara dengan benar dalam saya jadi tergugah dengan sendirinya.

Terperangkap Di Tengah Lautan Warga Nadliyin


Sebenarnya ada peristiwa lain yang mungkin mengawali tergugahnya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam diri saya. Peristiwa itu terjadi beberapa bulan sebelum pecah kerusuhan di Situbondo. Secara tidak sengaja saya terjebak di tengah-tengah lautan massa Nadliyin di Surabaya.

Sejauh yang saya bisa ingat, saya memang tidak suka berada di tengah kerumunan massa (tanpa menyadari bahwa itu tanda saya mengalami trauma), baik itu massa sepak bola, kampanye ataupun kegiatan keagamaan.

Entah bagaimana, saya tidak membaca berita di koran bahwa akan ada acara keagamaan oleh NU (saya tidak tahu acara apa – yang jelas banyak massa dengan membawa bendera NU). Saya heran (masih heran sampai sekarang), bagaimana mungkin saya menyetir mobil tanpa memperhatikan sekeliling (tidak menyadari adanya kerumunan massa tersebut), dan baru tersadar saat mobil saya sudah terjebak di tengah massa yang banyak sekali itu.

Saat itu saya sangat ketakutan. Saya makin ketakutan saat saat ada seseorang dengan ikat kepala bersimbol NU menempelkan wajahnya ke kaca mobil saya. ‘Dia pasti bisa melihat wajah saya dengan jelas!. Melihat wajah saya yang bermata sipit ini!!’ .

Orang itu berteriak “mau kemana?”, dan saya jawab “keluar … keluar…” (maksud saya saya ingin keluar dari jalan Tunjungan, tempat saya terjebak). Orang itu kemudian memandu: berusaha membuka jalan di depan saya agar mobil saya bisa maju dan berbelok ke luar dari jalan Tunjungan, masuk ke jalan lain.

Begitu terbebas dari jalan Tunjungan dan dari kerumunan massa Nadliyin, saya langsung menepikan mobil. Saya harus menenangkan diri karena saat itu saya sangat gemetaran dan kepanikan saya belum mereda. Suatu pengalaman ‘hororable’ yang tak pernah saya bayangkan akan saya alami. Saya hanya bisa bersyukur kepada Allah, karena saya ‘selamat’. [Kepada teman-teman Nadliyin, mohon maaf bila saya memakai kata ‘hororable’, itu adalah pengalaman saat saya belum mengenal NU dengan para Nadliyin-nya). Belum terpikirkan oleh saya bahwa warga Nadliyin adalah warga yang humanis. Walau kala itu saya mempunyai kesan positif terhadap Gur Dur dan Cak Nur, tetapi NU, Nadliyin dan politik bukanlah hal yang saya pedulikan.

Kerusuhan Situbondo 1996


Tidak begitu lama, terjadilah peristiwa kerusuhan Situbondo yang mengguncangkan hati (batin) saya itu. Dengan mengikuti secara cermat peritiwa Situbondo, memperhatikan sepak terjang Gus Dur dalam mengatasi situasi di Situbondo, saya menjadi sedikit demi sedikit makin mengenal NU dan bagaimanakah ‘wajah’ NU yang sesungguhnya (di mata saya). Sejak itu saya malah merasakan ketenangan yang luar biasa bila melihat bendera NU … warna hijau dengan gambar kepulauan Indonesia. Walaupun sampai saat ini, saya tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan ormas NU ataupun seorang Nadliyin-pun,  saya selalu merasa bahwa NU ada dalam hati saya (dan saya tetap 100% Katolik). Yang saya rasakan bukan lagi  mengenai agama mayoritas yang melindungi minoritas, ataupun warga mayoritas yang melindungi warga minoritas. Tidak, bukan seperti ltu. Yang saya rasakan adalah saya merasa diperlakukan sebagai sesama manusia. No more, no less. tanpa embel-embel ataupun stempel-stempel apapun.

Kesimpulan


Itulah dua pengalaman buruk kerusuhan anti-china yang saya alami di masa sekolah/kuliah.Pengalaman diskriminatif semasa Orde Baru yang mengakibatkan trauma sekitar 16 tahun.

Dan itulah dua pengalaman traumatis lainnya saat saya sudah mandiri secara total. Ternyata dua kali mengalami peristiwa yang menggoncangan batin dalam waktu berdekatan, malah membuat saya sembuh dari trauma masa lalu (yang sebelumnya tidak saya sadari). Saya merasakan seperti ada beban yang terlepas.

Hikmah dari semua pengalaman-pengalaman tersebut adalah: keinginan kuat untuk ‘berjuang’ agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami peristiwa traumatis seperti yang saya alami (dan juga dialami oleh banyak WNI lain (tidak hanya sebatas WNI dari etnis Tionghoa saja). Kerusuhan Mei 1998, walau target utama adalah WNI etnis Tionghoa, penulis percaya bahwa banyak WNI lain yang hilang/terbakar sia-sia di dalam mal-mal yang dibakar dengan brutal.

Penutup


Banyak orang berpikir bahwa saya terlalu naif, karena saya berpendapat bahwa pak Prabowo adalah orang yang bisa membantu (mem-back up) Presiden Jokowi dan pak Basuki. Suara hati saya selalu berkata bahwa sebenarnya Bapak adalah orang yang bisa menjadi 3 serangkai baru yang membawa Indonesia ke masa kejayaan kembali. Tentu saja dengan perannya masing-masing dan tanpa Bapak menjadi Presiden Republik Indonesia, bapak bisa menjadi negarawan. Kadang ambisi pribadi perlu dilepaskan.

Pilihan ada di tangan Anda, pak Prabowo.  Itu pilihan/kehendak bebas yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Tentu saja untuk suatu tindakan besar, ada godaan yang biasanya jauh lebih besar : ‘iming-iming’ jabatan/kekuasaan yang ‘seolah-olah’ sudah tersedia di depan mata. Jika sesuatu bukanlah menjadi Rencana Allah, maka hal itu tidak akan terwujud. Dengan satu dan banyak cara Allah hanya akan memberikan kekuasaan kepada orang yang dikehendaki-NYA.

Kembali saya mengutip kisah dalam Kitab Suci kami (agama Katolik), kisah Daud. Dalam keadaan apapun, Daud tidak pernah berusaha mencederai Saul, sebaliknya Daud selalu memperhatikan keselamatan Saul. Mengapa? Karena Daud sadar bahwa Saul adalah Raja yang diurapi oleh Allah. Pesan pentingnya adalah : Daud hidup seturut rencana Allah. Daud lebih mendahulukan rencana Allah daripada pemikiran/kehendaknya sendiri. Hasilnya: Allah meninggikan Daud sesuai dengan Rencana-Nya. Allah berbicara kepada kita melalui peristiwa-peristiwa dan orang-orang di sekitar kita. Dari kita dibutuhkan kebeningan batin dan ketenangan hati, untuk menemukan peristiwa mana dan siapa orang yang membawa’ pesan-Nya.

@irianti Indriani


Isu PKI, Daging Bangkai Berkalang Tanah


DUNIA HAWA - Semenjak Pemilihan Presiden 2014, masyarakat terpolarisasi, Indonesia terbelah menjadi dua kubu. Namun menariknya, ada isu usang yang kembali dihidupkan untuk melumpuhkan kelompok lainnya, yakni bangkitnya komunisme (baca: Partai Komunis Indonesia/PKI). Dasar tuduhan mereka adalah serbuan pekerja ilegal dan membanjirnya produk-produk asal Tiongkok.

Isu PKI itu sudah usang dimakan jaman. Seberapapun lantang mulut menuduh sana-sini, tidak akan menjadi sebuah keyakinan dan kesepakatan mayoritas bangsa Indonesia sebagaimana yang terjadi di tahun 1965-1966. Selain bukti yang sangat lemah dan sangat minim fakta, juga cenderung mengada-ngada yang sengaja disebarkan oleh beberapa elit politik (demagog).

Jangan dilupakan juga bahwa situasi dan kondisi internasional selalu mempengaruhi gerak arah perpolitikan atau perjalanan sejarah suatu negara di dunia ketiga, Indonesia khususnya. Berikut ini saya coba paparkan argumentasi saya.

Saat kejadian 1965, situasi internasional sedang mengalami “Perang Dingin”/Cold War. Antagonisme yang berlangsung adalah antara Kapitalisme dan Imperialisme (Blok Barat) dengan Komunisme (Blok Timur). Indonesia yang saat itu di bawah pemerintahan Sukarno sebenarnya bersikap netral/Non-blok.

Namun dikarenakan ada kecenderungan bangsa barat tidak ramah kepada Sukarno, maka adalah konsekuensi logis apabila Sukarno cenderung dekat kepada negara-negara blok timur, khususnya Tiongkok karena merasa lebih dihargai. Bukan tanpa sebab juga Sukarno dimusuhi oleh kubu Blok Barat, dikarenakan dia sangat menentang imperialisme yang menjadi garis kebijakan luar negeri Blok Barat.

Meskipun Sukarno dekat dengan Blok Timur dengan ideologi Komunismenya, namun Sukarno tidak pernah merasa menjadi seorang Komunis atau membawa Republik Indonesia menjadi negara Komunis, ia seorang Nasionalis sejati. Sukarno adalah seorang Pancasilais karena dialah sang penemu Pancasila.

Meskipun dengan rendah hati dia mengatakan bahwa dia bukanlah penemu Pancasila, dia hanya menggali Pancasila dari nilai-nilai yang sudah lama hidup di dalam jiwa setiap insan Nusantara, ada di dalam jiwa seluruh rakyat Republik Indonesia yang dia cintai. Bahwa setiap jiwa orang Indonesia adalah insan yang berketuhanan Yang Maha Esa, menjungjung rasa kemanusiaan, terikat rasa senasib sebagai bangsa Indonesia, menjunjung musyawarah untuk mufakat, dan senantiasa bergotong-royong saling membantu sesama tanpa membeda-bedakan.

Tahun 1965, pada saat itu tensi perpolitikan dalam negeri sedang tinggi, di antaranya adalah perseteruan antara Tentara Nasional Indonesia, khususnya Angkatan Darat (TNI AD), dengan PKI semakin meruncing. Klimaksnya adalah penolakan usul PKI, yakni membentuk Angkatan kelima yang terdiri dari kaum buruh dan tani yang dipersenjatai ditolak mentah-mentah oleh Jenderal Ahmad Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) waktu itu.

Usul Angkatan Kelima sebenarnya bukan ide tanpa dasar. Usul tersebut adalah berkenaan Indonesia yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Menurut Sukarno, pembentukan negara Malaysia (waktu itu bernama Federasi Malaysia) adalah provokasi pihak Inggris dan dianggapnya “boneka Inggris” sebagai kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru. Alasan lainnya adalah Angkatan Kelima merupakan pelaksanaan konsep Bela Negara sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk membantu tentara regular bertempur melawan Malaysia yang dibantu koalisi Inggris, maka rakyat (yang menurut interpretasi PKI adalah terdiri dari kaum buruh dan tani) diikutsertakan dengan menjadi sukarelawan. Usul itu tetap ditolak oleh Jenderal Ahmad Yani dengan alasan tidak efisien. Meski demikian, seorang Sukarno berhasil menggelorakan semangat patriotisme rakyat Indonesia dengan menyerukan Komanda Ganyang Malaysia (KOGAM).

Inggris yang saat itu merupakan salah satu negara utama pendukung Blok Barat bersama sekutu utamanya adalah Amerika Serikat, merasa Sukarno-lah penghalang utama kepentingan-kepentingan mereka di wilayah Asia Tenggara. Maka mereka selalu mencoba melakukan operasi terselubung untuk menjatuhkan Sukarno.

Di mulai dari akhir tahun 50an sampai awal tahun 60an; menyokong persenjataan gerakan separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), sampai mengirim pesawat pembom ke wilayah udara Indonesia dengan tujuan membom istana negara yang dipiloti seorang tentara bayaran berkebangsaan Amerika bernama Allen Pope, semua itu diduga merupakan operasi terselubung yang dirancang oleh Central Intelligence Agency (CIA).

Sebagaimana kita bangsa Indonesia mengetahui bahwa pada tahun 1965 terjadi sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September. Mereka melaksanakan Gerakan 30 September menamakan kelompok mereka dengan nama Dewan Revolusi. Gerakan tersebut menculik dan membunuh para Jenderal yang dituduh tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan makar dengan menjatuhkan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu.

Kejadian tersebut adalah menjadi klimaks dari tensi politik dalam negeri Indonesia yang sedang memanas kala itu. Akhirnya, sejarah Indonesia mencatat bahwa rakyat yang anti PKI didukung penuh oleh TNI AD berhasil memenangkan “pertarungan” dengan memberangus PKI dan memberantas orang-orang yang dituduh PKI dengan cara dieksekusi tanpa pengadilan dan dikirim ke kamp tahanan di Pulau Buru.

Sebagai puncak rentetan dari peristiwa itu, Presiden Sukarno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1967 dan mengantarkan Jenderal Suharto sebagai penggantinya.

Menurut versi Orde Baru di bawah rezim Suharto, adalah PKI dengan paham komunismenya yang berada di belakang Gerakan 30 September. Namun demikian, tidak sedikit peneliti sejarah baik dari Indonesia sendiri maupun luar negeri yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai bahan kajiannya. Beberapa hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa ada keterlibatan Amerika Serikat di bawah kordinasi CIA berada di belakang peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada jatuhnya Sukarno di tahun 1967.

Suharto ketika menjadi presiden mengubah kebijakan koalisi luar negeri Sukarno. Suharto cenderung dekat kepada Blok Barat, khususnya Amerika Serikat. Kebijakan Suharto lainnya adalah mengejar ketertinggalan dalam pembangunan/percepatan pembangunan Indonesia dengan cara mengajukan bantuan dana (hutang luar negeri) kepada lembaga moneter/keuangan yang berasal dari Amerika Serikat yakni Bank Dunia (World Bank).

Demikianlah jika ditelaah dari perspektif global. Perang Dingin di Indonesia antara Blok Barat dengan Blok Timur akhirnya dimenangkan oleh Blok Barat (baca; Amerika Serikat).

Angin perubahan dunia kemudian berubah, ditandai dengan tembok Berlin yang memisahkan Jerman Timur (berhaluan Blok Timur) dengan Jerman Barat (berhaluan Blok Barat) pada Januari 1990 resmi dirobohkan. Reunifikasi Jerman tersebut mengubah bentuk pemerintahan tersebut menjadi Republik Parlementer.

Kemudian negara yang menjadi rival utama Amerika Serikat dalam Perang Dingin sebagai negara adikuasa yang dianggap pemimpin Blok Timur yang berhaluan komunis yaitu Uni Sovyet akhirnya bubar pada bulan Desember 1991, kemudian pecah menjadi 12 negara. Penggunaan nama Uni Sovyet pun dirubah menjadi Rusia dengan bentuk negara tidak lagi komunis melainkan Federasi.

Dengan robohnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Sovyet tersebut dapat diartikan bahwa Perang Dingin telah berakhir, Blok Timur dengan komunismenya telah hancur, dan Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adikuasa, dan dianggap satu-satunya negara super power. Lalu pertanyaannya, apakah sebagai negara super power kini Amerika Serikat bebas menjalankan kebijakannya dan memaksakan kepentingannya di seluruh dunia? Jawabannya ternyata TIDAK.

Kebijakan Amerika Serikat di Jazirah Arab yang pro negara Zionis Israel mendapat tentangan dan perlawan dari negara-negara Islam sebagai bentuk solidaritas kepada bangsa Palestina yang negaranya diambil alih oleh bangsa Yahudi dengan mendirikan negara Israel. Penentangan dan perlawanan yang paling keras tentu saja dilakukan oleh kelompok Islam garis keras.

Kelompok Islam garis keras ini paham betul bahwa tidak mungkin menghadapi Amerika Serikat secara perang frontal terbuka karena akan kalah secara teknologi. Mereka menjalankan bentuk perang dan perlawanan lain, yakni melalui ideologi yaitu dengan menanamkan dan menyebarkan paham Radikalisme Islam dan strategi perang dengan cara Terorisme.

Peristiwa dihantamnya menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 dengan pesawat yang dibajak diyakini didalangi oleh Al-Qaeda menegaskan Amerika Serikat akan musuh besar baru mereka, yaitu kelompok Radikal Islam. Amerika Serikat melancarkan sebuah propaganda dalam menyerang negara-negara pendukung kelompok Islam Radikal dengan jargon War On Terrorism.

Kembali ke Indonesia, dengan kondisi terkini berhembusnya isu bangkitnya PKI yang tujuan utama sebenarnya adalah melancarkan fitnah untuk membunuh karakter lawan politik. Cara itu tak ubahnya seperti kembali memakan daging yang sudah sangat lama dikubur dalam peti, meski sudah tidak berbentuk utuh bahkan nyaris hancur berkalang tanah tetap dipaksakan memakannya.

Namun tidak sedikit pula yang percaya daging itu masih segar dan menelannya mentah-mentah. Mereka lupa bahwa PKI komunisme sudah “tidak laku di pasaran” karena rakyat sudah cerdas memahami bahwa komunisme bersifat totaliter yang pemerintahannya dijalankan secara diktaktor, perekonomian yang stagnan karena dikelola sentralistik segalanya diputuskan pemerintah dan tidak ada kebebasan yang sifatnya individual.

Bangsa-bangsa dunia saat ini tidak ada yang benar-benar murni dan konsekuen menjalankan komunisme, bahkan di Republik Rakyat Cina/Tiongkok. Saat ini perdagangan produk Tiongkok bersaing menguasai pasar internasional. Itu berarti berarti Tiongkok semakin bersifat kapitalis.

Hanya tinggal Korea Utara yang masih menjalankan komunisme ala Mao Zedong, itupun negara mereka sangat tertutup dan menarik diri dari pergaulan internasional dan lagi-lagi tidak murni dan konsekuen dengan komunismenya. Mereka menjalankan ideologi tradisional Korea yang disebut Juche.   

Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:


1. Hadirnya Komunisme di jaman Kolonial Belanda, terkhusus di Indonesia sejak tahun 1914 adalah konsekuensi logis sebagai anti-tesis/lawan dari musuh ideologinya; Imperialisme dan Kolonialisme yang saat itu mencengkram Indonesia sebagai bangsa jajahan, sebagaimana kebanyakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika. Saat ini tidak ada lagi bangsa-bangsa yang dijajah oleh bangsa lain.

2. Semenjak Perang Dingin berakhir, maka berakhir pula komunisme sebagai ideologi yang dianut suatu bangsa.

3. Komunisme, Marxisme dan Leninisme saat ini semata-mata sebatas kajian sejarah, kajian keilmuan dan alat analisa.

4. PKI di Indonesia telah kalah dan mati di tahun 1966 tidak terlepas dari situasi dan kondisi global saat itu, yakni era Perang Dingin (Cold War), yang dimenangkan Blok Barat yang representasikan oleh Amerika Serikat. Kalahnya Blok Timur ditandai dengan robohnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Sovyet.

5 Jaman telah berganti, Amerika Serikat hingga saat ini memiliki musuh baru, bukan lagi komunisme, melainkan Radikalisme Islam dan Terorisme.

@bobby revolta


Politik Munafik: Penjarakan Basuki, Kunjungi, Lalu Sindir Jokowi


DUNIA HAWA - Tak ada yang paling ingin membuat saya muntah selain mereka yang sudah lama berusaha mematikan kita, lalu tiba-tiba mendadak iba hanya untuk menyerang orang lain yang tidak mereka suka. Dan hari ini, saya menemukan kemunafikan yang mewabah itu. Dibungkus dengan sedikit kalimat manis, atas nama “rekonsiliasi”, orang-orang semacam ini hanya mau memanen simpati bagi diri mereka sendiri.

Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mereka benar-benar berempati ketika dengan gamblang mereka kedapatan merayakan pemenjaraan Pak Basuki? Yang terus menekan proses pemenjaraan Pak Basuki, seperti Habiburokhman (melalui ACTA), juga terafiliasi dengan kelompok mereka. Lalu tidak ketinggalan, si “Raja Singa” yang lagi takut-takutnya pulang ke Indonesia juga terafiliasi dengan ketua Gerindra melalui banyak foto dan video di sosial media.

Kegeraman saya ini timbul ketika membaca sebuah berita yang menyatakan bahwa Waketum Gerindra, Arief Poyuono ingin menjenguk Pak Basuki di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, besok (13/05/2017). Tentu kalau mau ngeles akan sangat mudah membuat alasan. “Loh, kita mau menunjukkan empati kepada mantan kader yang sedang kesusahan. Kita hanya mau silaturahmi. Apa salahnya?”. Berikut saya petik pernyataan resmi yang beredar di media massa.

Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengatakan ingin menjenguk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, esok hari. Arief beralasan kunjungannya untuk menjaga silaturahmi.

“Saya besok mau besuk Ahok di Mako Brimob. Ya untuk melihat keadaan Ahok di Mako Brimob, apapun tidak boleh perbedaan garis politik lalu kita menghilangkan silahturami, apalagi Ahok kan dulu pernah di partai yang sama dengan saya,” ujar Arief dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (12/5/2017).

“Ahok sekarang mengalami hal yang mungkin sangat tidak diinginkan terjadi pada setiap orang,” lanjutnya.

Dengan kunjungannya besok, Arief berharap lawan politik Ahok dapat melakukan hal serupa. Dia meminta agar semua pihak menghapus dendam dan benci terhadap mantan kolega satu partainya itu.

“Jangan kita simpan dendam dan terus menyudutkan Ahok, ini tidak baik bagi kehidupan politik dan sebagai sesama anak bangsa, apalagi pilkada sudah usai,” terang Arief.

Selain itu, Arief berharap Presiden Joko Widodo bisa menjenguk Ahok. Hal tersebut dinilainya perlu dilakukan sebab selama ini Ahok diketahui cukup dekat dengan Jokowi.

“Saya juga berharap Pak Joko Widodo di saat tidak sibuk jenguklah Ahok sebagai sahabatnya Pak Joko Widodo. Nggak perlu lebay takut popularitasnya menurun,” tutur dia.

Dulu mengupayakan pemenjaraan Basuki mati-matian, sekarang tiba-tiba menyatakan dukungan dan rasa iba, yang ternyata di akhir pernyataan publiknya  malah “memprovokasi” dan “menyindir” Pak Jokowi. Pret sekali. Tentu kalau kita menceraikan seluruh konteks perjalanan relasi antara Gerindra-Basuki-Jokowi, maka kunjungan dan pernyataan di atas memang tidak ada masalah. Namun, masyarakat tidak bisa lupa bahwa sayap-sayap kelompok inilah yang selama ini menyerang Basuki dan Jokowi.

Kita tidak lupa bukan dengan pernyataan-pernyataan di ruang publik yang meneriakan “intimidasi” bahwa Presiden selama ini melindungi Pak Basuki? Atau seperti pernyataan bahwa Presiden tidak netral? Cih, inilah yang saya sebut politik kemunafikan tingkat tinggi. Mereka benturkan duo sejoli, sahabat karib, rekan seperjuangan side-by-side, Jokowi dan Basuki. Lalu mereka giring opini ini kepada massa Pro Basuki yang sedang kecewa dan berduka. Mereka bakar kemarahan massa Pro Badja untuk diarahkan kepada Pak Jokowi. Luar biasa, mereka ini sebenarnya manusia macam apa?

Maka dari itu, rekan-rekan seperjuangan yang mendukung Pak Basuki, mari jangan mau diprovokasi. Karena itu memang skenario mereka, skema propaganda mereka, dan mereka melakukannya secara masif. Mereka yang telah mati nuraninya sejak lama.

Berduka memang lumrah ketika kita melihat orang seperti Pak Basuki, yang telah membayar semua untuk mengabdi bagi negeri, sekarang malah dibalas dengan bui. Tapi jangan sampai duka kita dimanfaatkan oleh orang-orang hina macam mereka! Merekalah yang memenjarakan Pak Basuki, dan yang kemudian malah merayakannya.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca . Rapatkan barisan, Jokowi-Basuki adalah satu paket putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa. Pak Basuki mendukung Pak Jokowi sepenuh hati. Mereka itu sudah saling mengait seperti saudara sendiri. Setelah menang pilkada dan Pak Basuki dipenjara, eh mereka masih tidak puas dan sekarang malah berusaha menjatuhkan Presiden.

Hanya ada satu kata untuk mereka, “Lawan!”. Bagaimana perlawanan itu? Kuatkan saudara/i kita yang sedang kecewa atau putus asa kepada bangsa ini. Topang mereka, pulihkan kembali semangat mereka untuk berjuang bersama. Kita dukung kembali Jokowi. Rangkul mereka saudara/i kita yang sedang lelah, dan jangan lupa, tendang mereka yang sedang menyamar sebagai serigala berbulu domba di tengah-tengah massa. Salam perjuangan, merdeka!

@nikki tirta


Kemana Jokowi?


DUNIA HAWA - Pertanyaan terbanyak yang saya dapat pasca peristiwa vonis Ahok adalah "kemana Jokowi ?"

Mereka bukan bertanya tentang Jokowi ada dimana, tapi apa yang dilakukannya terutama ketika sahabatnya Ahok di penjara.

Pertanyaan itu berkembang menjadi kekesalan ketika foto-foto Jokowi tampak sedang santai naik motor trail di Papua. Akhirnya terjadilah umpatan-umpatan untuk tidak memilih Jokowi di Pilpres nanti dan makian lainnya.

Bahkan saya dengar seorang pelaku medsos berpengaruh di twitter menyalahkan Jokowi terhadap situasi ini.

Mengamati langkah Jokowi memang tidak mudah. Bahkan seorang Ahok pun mengakui itu. Langkah Jokowi terkesan lambat, tetapi track record selama menjadi Presiden menyelesaikan masalah KMP vs KIH dan Polri vs KPK, menunjukkan bahwa caranya efektif.

Vonis terhadap Ahok bisa dibilang adalah kekalahan langkah Jokowi dan saya yakin ia pun kaget dengan hasil akhir itu. Dengan konsep tidak ingin intervensi dan biarlah masyarakat yang menilai hasil pertandingan, ternyata langkah itu malah membuat gol untuk lawan.

Tetapi Jokowi tetaplah Jokowi. Ia tidak seperti SBY yang langsung tampil mencitrakan diri dan bergaya simpati.

Jokowi terlihat seperti "tidak terjadi apa-apa". Gaya yang membuat kesal para kawan juga lawan. Lha kok lawan juga kesal ? Ya iya, karena lawan tidak bisa menebak langkah apa yang kemudian ia lakukan.

Ciri khas Jokowi -berdasarkan apa yang sudah pernah ia lakukan- adalah diam. Jokowi hanya tampak emosional saat demo 411 yang berpotensi rusuh. Tetapi tidak lama kemudian ia berhasil menguasai dirinya dengan menghadapi demonstran di 212. Lalu ia mendekati Prabowo kemudian SBY.

Langkah pertama yang ia lakukan adalah memindahkan Ahok dari Cipinang ke Mako Brimob sel tahanan yang sekelas hotel melati. Dan itu ia lakukan sambil maen tril-trilan di Papua.

Bahkan perintah pembubaran HTI dilakukan sebelum putusan vonis Ahok, yang menandakan bahwa Jokowi sudah menyiapkan kemungkinan terburuk.

Kenapa pembubaran HTI dilakukan sebelum vonis Ahok? Supaya tidak memperbesar isu bahwa itu balas dendam Jokowi karena vonis Ahok. Jokowi berusaha menghindarkan target senjata ke arahnya. Dia berusaha meredam isu yang akan diperbesar lawannya bahwa ia "memusuhi Islam".

Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan sesudahnya, karena Jokowi adalah orang tertutup. Langkahnya tidak ia beberkan bahkan kepada orang di lingkaran satunya, apalagi kepada orang nomer dua yang suka curi-curi dengar.

Biasanya kita baru mengerti langkahnya sesudah ia melakukan langkah..

Jadi lebih baik menunggu dengan kepercayaan bahwa Jokowi tidak kemana-kemana dan ia melakukan tugasnya. Karena memaki situasi juga tidak akan menyelesaikan masalah.

Tugas kita adalah terus melakukan tekanan kepada semua elemen pemangku jabatan untuk membuka mata bahwa telah terjadi ketidak-adilan hukum dan masalah intoleransi di negeri ini yang harus diselesaikan.

Senjata lawan memang ingin menggerus suara terhadap Jokowi dan tampaknya berhasil. Banyak pendukung Ahok yang mulai menyalahkan Jokowi karena tidak berbuat apa-apa.

Maaf teman, membaca Jokowi bukan seperti membaca buku Enny Arrow yang langsung to the point terengah-engah. Membaca Jokowi itu seperti membaca novel Sidney Sheldon, kita baru tahu apa yang terjadi sesudah itu terjadi. Tahu Sidney Sheldon? Gak tau? Coba seruput kopi dulu...

@denny siregar