Thursday, May 11, 2017

Dunia Luar Prihatin Dengan Vonis Ahok, Akhirnya Wajah Sumbu Pendek Makin Dikenal Dunia


DUNIA HAWA - Saya memang tahu bahwa Ahok makin dikenal dunia karena pilkada dan terutama kasus yang menimpanya. Tapi saya sungguh tidak menyangka akan menjadi polemik di dunia Internasional. Popularitas Ahok melejit berkali lipat dan mendapatkan simpati yang makin luas.

Kasus penistaan agama yang menyeret Ahok ke jeruji besi menjadi sorotan internasional. Sejumlah organisasi internasional menyampaikan keprihatinannya atas kondisi HAM di Indonesia pasca vonis 2 tahun penjara terhadap Ahok.

PBB mendesak Indonesia untuk meninjau ulang hukum yang menjerat Basuki. “Kami memperhatikan hukuman penjara untuk Gubernur Jakarta atas tuduhan penodaan agama Islam. Kami mendesak Indonesia untuk meninjau ulang hukum penistaan,” demikian pernyataan Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR) melalui akun Twitter resmi mereka.

Amnesty International juga menyatakan bahwa putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara bagi Basuki alias Ahok merupakan cerminan ketidakadilan di Indonesia.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan meskipun menghormati institusi demokrasi Indonesia, AS menentang UU penistaan agama dimana pun karena membahayakan kebebasan fundamental termasuk kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat.

Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia juga menyerukan pada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan tradisi toleransi dan pluralisme yang selama ini dikagumi dunia. Uni Eropa secara konsisten menyatakan bahwa undang-undang yang mengkriminalisasikan penistaan agama apabila diberlakukan secara diskriminatif dapat menjadi penghambat kebebasan mengemukakan pendapat dan beragama.

Baru kali ini Indonesia begitu disorot dunia karena seorang Ahok. Ada orang yang main game online, chat dengan pemain lain dari luar negeri, dan ditanya mengenai kasus Ahok. Ada teman yang sekolah di luar negeri juga mengatakan kasus Ahok sangat disorot. Intinya kasus ini sudah menjadi konsumsi dunia internasional. Banggakah kita, terutama gerombolan sumbu pendek yang merasa sudah menang karena keadilan sudah ditegakkan?

Masih mending Indonesia dikenal karena prestasi positif, ini malah dikenal karena gejolak kasus yang bahkan orang luar pun heran. Tidak heran kalau ada yang bilang kasus Ahok adalah salah satu yang teraneh di dunia. Wajar, karena gerombolan sumbu pendek otak tipis ikut terlibat. Pemikiran mereka tentunya sulit ditangkap dan dipahami. Pokoknya apa yang dilakukan mereka rasanya sulit dipahami dan dicerna.

Saya takkan bahas dari sisi hukum ataupun membela. Tapi yang jelas, Indonesia makin dikenal dunia. Bukan hanya hukumnya dengan segala peraturannya yang tumpang tindih, tapi juga wajah dan perilaku sebenarnya dari gerombolan sumbu pendek akhirnya diketahui orang luar. Wajah mereka sudah dikenali dunia. Apa yang mereka wakili? Jadi jangan salahkan dunia luar kalau dicap jelek dan mendapat stigma negatif. Mereka sendirilah yang telah membuat kerusakan ini. Mereka pikir telah menang, tapi tidak sadar telah menjelekkan agama dan negara ini dengan perilaku mereka sendiri. Mereka pikir keadilan telah ditegakkan, tapi sebenarnya dunia luar malah menganggap ini ketidakadilan.

Dunia luar mungkin sudah menilai bahwa pluralisme, toleransi dan kebhinnekaan di negara ini hanya fatamorgana yang terlihat jelas dari jauh, tapi sebenarnya tidak ada saat dilihat dari dekat. Saya tertegun ketika membaca komentar salah satu netizen yang mengatakan bahwa ketika sentimen Islamophobia sedang menghangat di luar, apa yang terjadi di Indonesia ini telah membenarkan (menjustifikasi) alasan mereka untuk semakin menguatkan sentimen ini. Gerombolan sumbu pendek mungkin merasa bangga, tapi sebenarnya menambah imej buruk.

Mereka mungkin berpikir, apa urusan orang luar sok kepo? Namanya juga sumbu pendek, dipikirnya dunia ini cuma milik mereka, tak butuh dunia luar dan merasa powerful dan sanggup hidup sendiri. Sebuah ilusi bodoh, yang mungkin menjadi kenyataan kalau ini bumi datar. Kelakuan mereka bukan hanya mencoreng wajah sendiri, tapi juga telah mencoreng negara dan orang lainnya secara keseluruhan. Mereka yang waras pun kena getah karena ulah sumbu pendek yang cuma segelintir ini. Gara-gara sumbu pendek segelintir, hancur satu Indonesia di mata dunia.

Dunia luar sibuk memikirkan cara menghuni planet lain, bagaimana mengembangkan teknologi yang belum ada untuk memperbaiki kehidupan manusia, bagaimana mencari penawar untuk penyakit kronis, bagaimana mengatasi pemanasan global yang sudah merusak dunia. Di sini, di negara ini, yang diributkan malah isu SARA yang tidak ada manfaatnya.

Sebagai pencerahan, bahkan untuk jumlah publikasi jurnal ilmiah saja, Indonesia kalah jauh dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand meski Indonesia berpopulasi terbesar keempat di dunia. Jangan bandingkan dengan Cina, Eropa apalagi Amerika, bisa nangis darah. Untuk sekarang saja Indonesia sangat ketinggalan di berbagai bidang. Ini gerombolan sumbu pendek malah dengan bangganya mempertontonkan kebodohannya di dunia Internasional. Kapan mau maju? Kapan-kapan lah. Selamat kepada gerombolan sumbu pendek yang telah membuat Indonesia makin terkenal lewat ilusi bodohnya sendiri.

Bagaimana menurut Anda?

@xhardy


Terbukti: Ahok di Penjara, Tidak Tamat, Ia Semakin Bercahaya


DUNIA HAWA - Ahok sudah tamat. Begitulah pernyataan para lawan Ahok. Prabowo Soenirman, anggota DPRD DKI Jakarta dari Gerinda syukuran. “Selamat Ahok di penjara”, begitu bunyi tulisan yang ditaruh di atas nasi tumpeng. Kesimpulan bahwa ketika Ahok dipenjara, ia tamat, sepintas lalu ada benarnya. Terlalu banyak fakta yang mendukung kesimpulan itu.

Ahok tamat ketika ia kalah di Pilkada DKI oleh Anies Baswedan. Ahok tamat ketika ia divonis dua tahun penjara. Namanya sudah masuk ke dalam jurang. Ia disebut sebagai terpidana dan penista agama. Ahok tamat karena ia berasal dari double minoritas, Kristen dan Tionghoa dan tidak mungkin bertarung di negeri yang mayoritas Muslim. Ahok tamat karena ia sudah tidak dibela Jokowi yang lemah dan tunduk pada tekanan demo.

Ketika Ahok dipandang sudah tamat dan bahkan sudah mati, Amin Rais bersorak, AA Gym bersujud syukur, Lius Sungkharisma telanjang, Rizieq Umroh alias kabur, Prabowo  mimpi kursi RI-1, Fadli Zon menari, Fahri Hamzah ketuk-ketuk palu, Ahmad Dhani bernyanyi, Lulung bersiul-siul di Tanah Abang dan Muhammad Taufik sibuk mencium aroma sedap APBD DKI. Apakah benar Ahok telah tamat?

Selang dua hari setelah Ahok divonis dua tahun oleh kelima hakim, di antaranya ditenggarai ada fans HTI, Ahok ternyata tidak tamat. Di penjara Cipinang, nama Ahok terus berkibar. Di Makob Brimob, nama Ahok berkumandang. Cahaya lilin Ahok di Tugu Proklamasi kemarin malam (10/5/2017) menyinari pekatnya malam. Nama Ahok berkumandang di seantero negeri mulai dari Batam, Nias, Yogyakarta, Menado, Semarang, NTT, entah dimana lagi.

Di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Australia, Inggris hingga di PBB nama Ahok semakin berkibar. Tak kurang parlemen Belanda meminta Menteri Luar negeri mereka untuk membawa kasus Ahok di badan PBB dan Uni Eropa. Apa yang terjadi ke depan? Kita tidak bisa memprediksi.

Fakta pada acara perayaan lilin di Tugu Proklamasi kemarin, ada doa-doa yang dilantunkan oleh beberapa pemuka agama berbeda. Dari Islam ada Gus Nuril, seorang pendekar sekaligus ulama. Ada banyak tokoh lintas agama yang siap menjamin Ahok di penjara. Islam, Kristen, Budha, Hindu bahkan agama kepercayaan pun datang, berbaur menjadi satu dalam kata cinta akan kebenaran.

Siapa yang menggerakkan mereka semua? Jelas ada tangan Tuhan yang menyatukan mereka. Saya merinding melihat nyala lilin yang membentuk lautan cahaya kedamaian di Tugu Proklamasi itu. Mereka yang datang dari jauh  tidak dibayar. Mereka berkumpul di titik yang sama, berjuang melawan pemerkosaan ketidakadilan putusan hakim. Nama Ahok pun terus bergemuruh.

Ketika Ahok di penjara, ternyata Ahok tidak tamat.  Berbeda dengan para terpidana lainnya, Ahok di penjara justru semakin berkibar. Sejak ia kalah Pilkada, nama Ahok beriak mewangi di antara bunga-bunga dahsyat di balai kota. Namanya terukir indah ketika ia bersama Djarot berhasil menyabet rekor MURI sebagai peraih parade bunga terpanjang di Indonesia.

Jika melihat jejak Ahok dalam karis politiknya maka salah besar jika Ahok dikatakan sudah tamat atau mati. Ketika Ahok kalah di Pilgub Bangka Belitung, karir politik Ahok bersinar di DPR Senayan. Ketika ia menjadi cagub Jokowi, namanya terus berkumandang. Saat dia menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi, nama Ahok merasuk pelosok Jakarta.

Ketika Ahok kalah di Pilkada DKI oleh dentuman SARA, lalu divonis penjara dua tahun, pelosok Indonesia bangkit meneriakkan namanya. Para pendukung Ahok mulai bermunculan. Nama Ahok yang dikira sudah tamat, malah justru semakin meroket tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri.

Sekarang Ahok mulai menjelma sebagai simbol penegakkan NKRI, simbol kebhinnekaan, simbol perlawanan. Ahok berubah menjadi simbol perlawanan intoleransi, simbol gerakan keadilan, simbol sosok yang dizalimi oleh gerakan radikalisme berbaju agama. Ahok kini dengan cepat mengubah dirinya dari terpidana menjadi simbol perjuangan cita-cita proklamasi, calon pemimpin 250 juta rakyat Indonesia yang beragam suku, bahasa dan agama di masa depan.

Jelas Ahok di penjara bukanlah akhir dari karir Ahok. Dua tahun di penjara dipotong remisi dan hanya wajib menjalani hukuman 2/3, maka Ahok akan dengan cepat bebas. Itupun kalau bandingnya ditolak. Kalau ia dihukum lebih ringan lagi oleh pengadilan yang lebih tinggi, maka Ahok lebih cepat keluar penjara. Ketika Ahok keluar penjara, Ahok akan menjadi simbol utama sebuah gerakan politik yaitu Kemanusiaan, Persamaan Hak dan Keadilan. Sebuah simbol pergerakan politik yang tertinggi.

Ada potensi Ahok berubah dari zero to hero. Simbol-simbol perlawanan Ahok lewat pendukung fanatiknya terbukti tidak berhenti pada vonis 9 Mei 2017 lalu. Saya yakin ke depan, nama Ahok akan terus menjadi bingkai perlawanan kepada kaum intoleransi, kaum radikalis. Ahok akan menjadi sosok pejuang pencari kebenaran. Ahok yang terbukti dizalimi, menjadi tumbal politik kotor,  akan menjadi bibit di berbagai penjuru di Indonesia yang menginginkan Ahok sebagai pemimpin baru ke depan.

Vonis 2 tahun kepada Ahok terlihat  menjadi momentum titik balik perlawanan Ahok. Vonis dua tahun itu justru menempatkan Ahok memiliki momentum untuk menyamakan dirinya dengan Nelson Mandela, pejuang yang mencari kebenaran dan keadilan di tanah kelahirannya yang diskriminatif. Dan itulah yang mulai terlihat sejak 9 Mei lalu. Nama Ahok terus bergemuruh. Ia tidak tamat, ia tidak mati. Idenya membangun negeri ini terus tumbuh di benak banyak orang.

@asaaro lahagu


Meniru Aksi 98 yang Antiklimaks


DUNIA HAWA - Aksi Bela Islam nampaknya sudah tidak akan ada lagi. Divonisnya dua tahun terdakwa penistaan agama Basuki Tjahja Purnama menjadi puncak atas aksi tersebut. Namun, ada sejumlah sejumlah kemiripan dari Aksi Bela Islam dengan tragedi 98. Dua agenda tersebut sama-sama agenda makar. Bedanya, agenda makar pada aksi 98 dilandasi dengan pemerintahan yang rusak. Untuk makar di Aksi Bela Islam ini jelas untuk merusak pemerintahan.

Alasan makar ini hanya ingin memenjarakan Ahok-sebutan akrab Basuki. Ada beberapa orang yang berang karena status terdakwa Ahok tidak membawanya dipenjaranya. Bahkan, dari kasus tersebut Ahok malah masih bisa menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Keadaan ini membuat sejumlah orang gerah. Termasuk rival politik Ahok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut Fadli Zon geram. Sejumlah anggota DPR membuat hak angket atas kejadian tersebut.

Tidak jauh dari agenda itu, kejadian makar diungkap oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto mengatakan, polisi terus melakukan penyidikan dalam kasus dugaan pemufakatan makar. Hal tersebut dilansir di kompas.com, Rabu (7/12/2016). Dia menyebutkan, Polri telah mengantongi nama dari bukti transfer terkait rencana makar itu.

Meski demikian, Rikwanto enggan menyebutkan siapa saja nama-nama tersebut. Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya juga masih menelusuri aliran dana terkait kasus ini. “Aliran dana ini masih kami telusuri, masih kami pertajam, dari mana, untuk apa dan untuk kepentingan apa,” ujar Rikwanto.

Menurut Rikwanto, aliran dana tersebut diduga akan digunakan saat aksi damai pada 2 Desember 2016. Saat aksi itu, akan dibuat kerusuhan dan mengambil keuntungan dengan menduduki Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kejadian rusuh tersebut juga mengingatkan pada tragedi Mei 1998. Di mana pada saat itu, sejumlah elemen berhasil menggulingkan pemerintahan Soharto.

Aksi Bela Islam yang diusung oleh Front Pembela Islam (FPI) dan GNPF – MUI diawal aksi yang menggunakan angka cantik itu mengusung aksi damai. Memang pada awal aksi para masa aksi tanoa ada kekerasan sedikit pun. Lalu, pada aksi 212 lihatlah para masa aksi sangat brutal. Di mana menjarah sejumlah minimarket dan toko lainnya.

Menurut laporan Nairn, tujuh staf intelijen/militer aktif dan pensiunan menyatakan kepada saya bahwa SBY memang menyumbang untuk aksi protes FPI, tetapi menyalurkannya secara tidak langsung. Salah satu informan tersebut adalah Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto—bukan pendukung gerakan makar—mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN). “SBY menyalurkan bantuannya lewat masjid dan sekolah,” kata Soleman.

Hampir semua pensiunan tentara dan sebagian tokoh militer, menurut Soleman, mendukung tindakan SBY tersebut. Ia mengetahui hal ini karena—selain keterlibatannya di dunia intelijen—jenderal-jenderal pro makar adalah rekan dan kawan-kawannya, banyak di antara mereka berhimpun dalam grup WhatsApp “The Old Soldier”.

Menurut Soleman, para pendukung gerakan makar di kalangan militer menganggap Ahok cuma pintu masuk, gula-gula rasa agama buat menarik massa. “Sasaran mereka yang sebenarnya adalah Jokowi,” katanya.

Caranya tentu bukan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan kudeta lewat hukum. Hanya, kali ini publik tidak berada di pihak pemberontak. Skenario lain: Aksi-aksi protes yang dipimpin FPI bakal menggelembung kelewat besar, membikin Jakarta dan kota-kota lain kacau-balau, lalu militer datang dan menguasai segalanya atas nama menyelamatkan negara.

Kejadian tersebut dibuat mirip dengan kerusuhan Mei 1998. Keadaan sedikit mencekam. Di mana perekonomian sulit terkontrol. Namun, aksi 212 ternyata masih dapat terkendali. Sejumlah harga tidak naik. Dalam hal ini, pemerintah berhasil mengontrol harga dan ketersedian barang-barang pokok. Pada zaman reformasi dulu, semua sudah tertata dengan rapih. Aksi demo yang melibatkan seluruh mahasiswa di seluruh Indonesia terjadi ketika Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke luar negeri.

Untuk kali ini, semua tindakan menuju ‘reformasi’ baru antiklimak. Semua tuntutan dari masa Aksi Bela Islam sudah terpenuhi. Yakin, divonisnya Ahok dengan hukuman penjara dua tahun. Dimungkinkan gerakan tersebut akan redam dengan sendirinya.

Lebih jauh, kegiatan makar hanya ingin menarik kiblat Indonesia kembali ke Amerika Serikat. Semenjak ke Jokowi menjabat haluan politik internasional saat ini sudah tidak terlalu berkiblat ke AS. Apalagi, Indonesia pada 2019 sedang mengincar Dewan Keamanan (DK) PBB.

@nurdiani latifah


Saudara dalam Kemanusiaan


DUNIA HAWA - Seorang teman menyapa, "Datang ya nanti di tugu proklamasi. Malam ini doa bersama untuk Ahokdan matinya keadilan".

Sayapun berangkat. Entah apa yang menggerakkan kaki ini.

Masuk ke pintu gerbang, lautan manusia sudah berkumpul. Sempit berdesak-desakan, ditambah cuaca panas. Saya menerobos mendekati panggung dimana sedang disampaikan doa oleh beberapa pemuka agama berbeda. Dari Islam ada Gus Nuril, seorang pendekar sekaligus ulama.

Saya duduk dan mengamati lalu lalangnya manusia. Merinding dibuatnya. Mereka datang dari jauh -tanpa dibayar- dan berkumpul di titik yang sama.

Keindahan tampak dari begitu banyak ras dan suku yang berbeda dalam satu wadah. Seperti pelangi, tidak pernah bosan melihatnya. Karya agung Tuhan dalam penciptaan manusia dengan berbagai golongan dan warna kulit yang tidak sama.

Lalu apa yang menggerakkan kami kesini ?

"Cinta.." Kata temanku Eko Kuntadhi.

Kecintaan kita akan negara ini yang baru saja diperkosa oleh ketidak-adilan putusan seorang hakim yang seharusnya menjadi "tangan Tuhan" dalam perkara hukum manusia, menggerakkan kami. Islam, Kristen, Budha, Hindu bahkan agama kepercayaan pun datang disana.

Ketika kami spontan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, tampak jelas kami melebur menjadi satu, anak Indonesia. Semua hapal, semua menyanyi dengan semangat di dada. Tidak tampak apa suku kami, ras kami apalagi agama kami.

Lalu, setan apa yang ingin mengoyak keindahan ini? Yang hanya ingin melihat semua dalam warna hitam dan putih?

Ah, Ahok... Terima kasih. Jika bukan karenamu, kami belum tentu menjadi satu. Kebaikan mengandung magnet untuk menarik kebaikan. Manusia berkumpul dengan jenisnya, begitu juga kejahatan.

Lilin menyala di Jakarta. Begitu juga di Jogja, Semarang, Manado, NTT, Batam dan entah di mana lagi. Semua menangisi dan mengutuk manusia yang mempermainkan hukum hanya karena kebencian.

Seharusnya manusia itu seperti sebatang lilin. Ia menerangi sekitar dengan cahayanya yang terbatas, untuk kemudian lumer dan hilang ditelan masa. Tetapi cahayanya akan selalu diingat.

Teringat perkataan Imam Ali pada satu waktu, "Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.."

Kita semua sesungguhnya adalah saudara, kawan.

@denny siregar



Islam dan Pancasila Tidak Ada Kontradiksi, Negara Agama Tak Ada Pada Islam


DUNIA HAWA - Pada zaman sahabat sahabat nabi dalam memimpin suatu negara, negara pada saat itu bukan dinamakan negara agama atau negara Islam, negara agama adalah negara yang dipimpin oleh pemimpin agama juga, itu hanya mungkin pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw memimpin, karena beliau adalah Rosul yang menerima wahyu. Beliau mempunyai otoritas agama dan pemerintahan. Walaupun begitu, itu tetap dikatakan “negara bangsa” bukan negara agama karena kepemimpinan nabi disepakati oleh semua kalangan yang kebetulan juga Nabi Muhammad saw seorang messenger of God serta berbagai jenis etnis dan keyakinan lain juga diayomi dibawah payung ”negara bangsa” itu.

Mengapa Islam tidak pernah mengajarkan negara agama?. Itu semata mata karena Islam menghargai kemajemukan dan keberagaman dan hanya dengan itu dapat terciptanya ketertiban dan kemajuan bersama. Jika negara agama Islam misalkan, maka mufti akan menjadi kepala pemerintahan, itu akan tidak adil bagi pemeluk agama non Islam, begitu juga sebaliknya jika negara dipimpin pendeta. Pada zaman Khulafa rasyidin (sahabat 4 nabi), Khalifa hanya memimpin pemerintahan sedangkan kebebasan beragama diserahkan kepada rakyat, pada masa itu pula kekuatan yudikatif berjalan sendiri dan berlepas dari eksekutif, serta setiap agama mempunyai pemimpin atau tokoh sendiri sendiri, berbeda dengan pemimpin negara yang mengurusi jalannya negara dan interaksi ketentraman antara berbagai pemeluk agama itu.

Pada dasarnya, Islam sudah mengajarkan cara berbangsa dan bernegara dengan bermacam macam suku dan agama didalamnya. Sangat toleran sudah kan? Ini mirip Pancasila yang sudah berhasil merekatkan persatuan di Indonesia. Jadi pancasila sudah islami tidak perlu dirubah rubah. Pada zaman nabi memimpin pun walau beliau pemimpin agama dan pemerintahan, tetapi tatanan negaranya sangat bhinneka, dengan adanya piagam Madinah sebagai konstitusi yang menyatakan umat Kristen, Yahudi satu umat dengan muslimin, jika diserang salah satunya wajib semuanya saling melindungi. Kesimpulannya, jika ada yang anti pancasila, sebenarnya dia juga anti islam menimbang kesamaan pancasila dengan apa yang sudah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.

Salam NKRI

@alief Ilham


Manuver Sektarian Tommy


DUNIA HAWA - Siapa bilang kasus Ahok apolitis? Buktinya ada banyak politisi yang bergembira saat hakim mengetuk palu untuk menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara bagi sang gubernur DKI fenomenal itu. Dan untuk sampai pada titik ini, ada banyak manuver politik yang segera disebar oleh politisi yang turut mengambil untung dari kekalahan Ahok itu. Salah satunya adalah putra mantan penguasa Orde Baru, Tommy Soeharto.

Hutomo Mandala Putra atau yang akrab dipanggil Tommy Soeharto mengatakan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menyatukan umat Islam dari pelbagai golongan. Dia meminta umat Islam terus mempertahankan persatuan itu demi kebaikan bangsa (Tempo, 10 Mei 2017).

Pendapat bahwa Ahok telah menyatukan umat islam sebenarnya tak memiliki tolok-ukur sahih, karena tak ada batasan angka partisipatif untuk bisa dijadikan kesimpulan sebuah aksi adalah mewakili umat, semuanya hanya asumsi. Bahkan bagi mereka yang senang merujuk angka partisipasi umat pada rombongan aksi berjilid-jilid (212, 411, 313, dan 505), kenyataannya tak ada angka persisten, justru jumlahnya kian menyusut.

Tapi, apalah guna sebuah persatuan jika diikat oleh tali rapuh bernama sentimen, kemarahan, kebencian. Lantas, kepentingan agama ada di mana saat teriakan lantang “sesat”, “bunuh”, “gantung” diumbar laiknya keluar dari mulut kotor dari umat yang ingkar?

Definisi persatuan yang rapuh nan tentatif adalah kenyataan yang tak mungkin terelakkan, bahwa golongan, sekte, aliran atau mazhab memang ada dan akan tetap ada. Mimpi menyatukan semua golongan dalam sebuah agama sama halnya mengingkari kodrat Tuhan yang bernama akal.

Dengan akal, ilmu dan pengetahuan manusia berkembang berbeda-beda (fakultatif). Dengan akal, manusia menemukan jalan masing-masing untuk meneguhkan keimanannya. Tanpa akal, manusia pasti dilahirkan satu jenis saja, dan lagi-lagi tak menjamin mereka tak menarik diri membentuk kelompok atau golongan.

Dalam hal apa umat Islam diperintahkan bersatu? Pada sebuah hadist populer, disebutkan bahwa umat islam diperintahkan untuk bersekutu dalam hal kebaikan dan taqwa, bukan saling menguatkan untuk perbuatan sia-sia dan nista.

Jadi, persatuan umat islam jelas diorientasikan pada hal-hal positif, mendukung kebaikan, meneguhkan iman, bukan dalam hal menghukum orang atau kelompok tertentu. Sungguh, sebuah pengingkaran bila ajakan persatuan umat dimanfaatkan demi sebuah kepentingan untuk menjatuhkan hukuman pada seorang, alih-alih menggunakannya (persatuan umat) demi kepentingan politik.

Manuver Tommy: Minoritas vs Mayoritas 


Dalam acara silaturahim Partai Berkarya di Hotel Singgasana, Surabaya, Rabu, 10 Mei 2017, Tommy mengatakan, "Kasus Ahok ada baiknya dan ada jeleknya. Baiknya, umat Islam bersatu untuk membela kepentingan agama Islam. Ini harus dipertahankan."

Menurut anak bungsu mantan Presiden Soeharto itu, kasus Ahok, sapaan Basuki, membuat umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia menjadi minoritas. "Tidak malah menjadi minoritas seperti sekarang," kata Tommy. (Tempo, 10 Mei 2017)  

Apa yang ada di dalam benak Tommy saat membuat pernyataan sektarian itu? Ahok telah dipenjara, dalam pengertian hukum positif dia sudah bersalah dan inilah yang disimpulkan Tommy dengan kata jelek. Lalu Tommy menganggap sisi baik dari kasus Ahok adalah persatuan. Dengan mengatakan bahwa Islam telah menjadi minoritas, karenanya perlu bersatu agar bisa kembali menjadi mayoritas. Inilah propaganda bernada sektarian yang selama menjadi pemicu mengerasnya konflik bernuansa SARA.

Kita bisa membayangkan jika para politisi tak segan-segan menggunakan identitas primordial sebagai senjata propaganda, maka pertikaian ini tak akan pernah selesai. Jangankan dibenturkan dengan kelompok dari agama lain, di dalam Islam sendiri telah ada sekat kelompok yang dengan entengnya disulut untuk saling dibenturkan.

Bagaimana jika propaganda sektarian itu diteriakkan ke umat agama lain? Bagaimana jika benturan identitas itu juga dihembuskan ke kelompok suku? Ribuan suku yang bermukim di atas tanah air Indonesia, dengan keragaman tradisi, karakter budaya masing-masing, semuanya adalah kekayaan terbesar yang dimiliki Indonesia, tanpa perlu menempatkan mayoritas sebagai penguasa dan minoritas sebagai pihak yang ‘dikuasai’.

Mengorek Luka dengan Isu PKI


Tommy juga mengatakan bahwa saat ini kekayaan Indonesia 80 persen dikuasai kaum minoritas. Dengan menyinggung paham komunisme yang menurutnya belakangan ini mulai bangkit di Jawa Timur. Kebangkitan komunis, kata Tommy, salah satunya bisa diketahui dari lambang palu-arit yang ada di mata uang rupiah pecahan Rp 100 ribu.

"Kita punya uang rupiah ternyata ada lambang yang tidak pancasilais," katanya. Menurutnya, hal itu memang sepele namun perlu diperhatikan.

Inilah manuver berbahaya yang dilancarkan oleh Tommy. Tentu bukan persoalan jika Tommy ingin jadi presiden atau gubernur sepanjang memenuhi syarat dan sehat walafiat. Tapi, yang perlu dicermati adalah cara yang ditempuhnya, salah satunya dengan menggoreng isu PKI.

Bersama Partai Berkarya, tokoh yang juga disebut dalam naskah Allan Nairn sebagai pihak penyokong makar ini tampaknya berusaha memungut kembali serpihan kepercayaan dirinya, setelah sebelumnya dicokok pihak kepolisian terkait banyak kasus.

Partai Berkarya yang didirikan pada Juli 2016 dan mendapatkan legitimasi hukum dan sah sebagai partai politik di Indonesia pada tanggal 13 Oktober 2016, memang didirikan untuk mengatrol kembali sisa-sisa kekuatan trah Soeharto. Jika agenda berjalan lancar, maka partai Berkarya ini akan dijadikan sebagai kendaraan bagi Tommy untuk mendaulatnya sebagai Capres 2019.

Bisakah Tommy berpikir sedikit lebih waras, tanpa menggoreng isu PKI dan propaganda umat mayoritas?

@subarman Salim