Monday, May 8, 2017

HTI Bubar, Masalah Selesai?


Akhirnya HTI pun dibubarkan.


DUNIA HAWA 
Menkopolhukam Wiranto mengumumkannya tadi menindak-lanjuti perintah Presiden untuk meninjau kembali organisasi yang ingin merubah Pancasila.

Terimakasih pemerintah..

Pertanyaannya, selesaikah permasalahan dengan dibubarkannya HTI ? Belum. Itu baru langkah mendasar dan permukaan.

Yang paling berbahaya selain organisasinya adalah ideologi mereka. Ideologi HTI yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah, sudah merasuk di banyak tempat, di pengajian, masjid, dakwah di tivi dan lain sebagainya.

Lebih parah lagi di pendidikan.

Sejak TK, banyak anak yang dicuci otak dengan doktrin. Kebanggaan berlebih terhadap agama dengan menjatuhkan agama lain yang berbeda, menjadikan kebencian setahap demi setahap dipupuk di otak mereka.

Ideologi HTI ini terus berkembang seperti parasit yang menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan. Mereka terpelihara karena banyak kepentingan dan menetap di banyak tempat dengan nama berbeda, seperti FPI, FUI, MIUMI dan lain2.

Beda organisasi, satu tujuan. Beda badan, satu kepala.

Inilah yang menjadi PR besar pemerintah karena ideologi yang dipakai HTI sudah menyebar kemana-kemana. Ibarat kanker, mereka sudah ada dimana-mana. Dimatikan satu, masih banyak biangnya.

Yang harus dilakukan pemerintah sesudah membubarkan adalah menangkal ideologinya.

Cara paling dekat adalah pemerintah mulai membersihkan "rumahnya" dari ideologi seperti yang dimiliki HTI.

Masjid-masjid di BUMN dan lembaga negara seperti TNI dan Polri harus sudah mulai disapu dari ustad2 radikal dan diganti dengan mereka yang mempunyai pemahaman kebangsaan yang kuat. 

Paling mudah, berikan fasilitas buat dai-dai muda NU masuk dan menjadi pengurus masjid-masjid disana.

Kemudian, kepala sekolah dan guru agama di sekolah negeri. Ganti kepala sekolah yang berpahaman radikal dengan mereka yang punya wawasan kebangsaan. Guru agama juga begitu, kasih saja pada dai muda NU utk mengajarkan agama Islam.

Ketika gerakan "pembersihan ideologi" ini dimaksimalkan, lalu populerkan supaya bisa menjadi gerakan bersama di masjid-masjid lain. Harus ada gerakan besar di awal untuk memicu gerakan-gerakan kecil lainnya yang massif.

Ini memang gerakan radikal yang bisa dilakukan pemerintah. Tapi toh harus begitu, radikal di lawan radikal juga. Sudah bukan saatnya lagi sopan santun dan ramah tamah terhadap ideologi luar yang menginjak-injak rumah kita.

Jangan sabar sabar mulu.. si sabar dah ketinggalan kereta.

Dan untuk HTI, kalau bisa jangan hanya dibubarkan tetapi dicap TERLARANG.

Populerkan pelarangan ini melalui media massa dan media sosial, karena meski sudah dibubarkan dan dilarang tanpa sosialisi, tentu saja mentah. Ini juga bisa menjadi shock therapy buat gerakan sejenis lainnya..

Sekali lagi, saya harus angkat secangkir kopi untuk Jokowi dan Wiranto yang sudah berani memutuskan sesuatu yang tidak berani dilakukan pemerintah sebelumnya.

Saya yang lagi mikir tentang nasib ustad Harry Mukti, yang dulu penyanyi.

Mungkin sekarang sedang bersedih karena HTI dibubarkan dan menyanyi di ruangan sepi, "Hanya satu kata... Ketika HTI tiada.."

Ngopi dulu, stad.

@denny siregar


Bubarkan HTI, PBNU Harga Mati


DUNIA HAWA - Isu pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kian menguat. Semakin getolnya ormas ini lakukan pawai, konvoi, deklarasi, atau apalah nama-nama aneh dari kegiatannya, semakin getol pula nada-nada pembubarannya muncul dari ragam kalangan.

GP Ansor dan Banser NU misalnya, di mana-mana mereka tolak HTI hanya karena gerak lakunya yang usung khilafah. Bukan soal penyebutan khilafahnya yang tampak islami, tapi karena tujuannya yang tidak mencerminkan nafas keislamian sendiri.

Ya, pembentukan khilafah adalah bentuk nyata dari penyimpangan ajaran Islam. Sejauh yang saya pahami, ajaran yang dikenal sebagai rahmat sekalian alam ini tak punya aturan tegas soal pendirian negara Islam, termasuk penerapan aturan bakunya sekalipun berupa formalisasi syariatnya.

Tapi mengapa HTI getol sekali mengusung hal-hal yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam? Untuk ini kita patut merujuk pada sejarah terbentuknya HTI sendiri. Dari sana kita kemudian mendapati bahwa gerak lakunya yang radikal itu sebenarnya bersumber dari kepentingan politik.

Organisasi Terlarang


Sejak berdirinya Hizbut Tahrir (HT) di tahun 1953, ormas HT tampil sebagai organisasi terlarang di negeri asalnya sampai hari ini. Pelarangan HT sendiri lebih bersumber dari ide-gagasan pendirinya Taqiuddin Nabhani yang secara tegas anti-demokrasi.

Jika dibandingkan dengan gerakan Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin) yang berjuang di wilayah perbaikan sumber daya manusia, sebagai anak organisasi, prinsip HT sangat berbeda. Pendirinya, Taqiuddin, justru bersikukuh untuk terus melakukan perjuangan bersenjata.

Taqiuddin berpendapat bahwa kekalahan Islam, merujuk runtuhnya kekhalifaan di era Kemal Attaturk, sebagai akibat dari adanya penjajahan oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Alasan inilah yang mungkin mendorong Taqiuddin menulis satu buku berjudul Democracy: The Law of Infidels (Demokrasi: Hukum Kafir).

Lambat laun, buku itu kemudian menjadi semacam “pegangan hidup” aktivis HT seluruh dunia, termasuk juga HT di Indonesia. Bisa dikatakan, rujukan mereka bukan ajaran Islam, melainkan bertolak dari pemikiran Taqiuddin sebagai “sang nabi”.

Karena HT di fase perkembangannya kemudian lebih menonjolkan ideologi khilafah islamiyah, sementara di negaranya sendiri sudah terbentuk secara sah negara nasional, maka tak salah jika ormas ini jadi organisasi terlarang. Apalagi gerakan HT secara terang menilai bahwa nasionalisme merupakan produk jahiliah modern.

Secerca kisah HT di atas saya kira patut menjadi inspirasi pemerintah kita di Indonesia. Di sini kita sudah ada Pancasila sebagai dasar/ideologi negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyannya, NKRI sebagai bentuknya, dan UUD 45 sebagai aturan mainnya—empat pilar ini saya singkat jadi "PBNU".

Sehingga masuknya HT ke Indonesia dengan agenda khilafah dan formalisasi syariat Islam, ini jelas bertentangan dengan PBNU sebagaimana HT bertentangan dengan format pemerintahan di negeri asalnya sendiri.

PBNU Harga Mati


Di awal saya sudah katakan bahwa tujuan HTI tidaklah mencerminkan nafas islami. Tujuan yang hendak dicanangkan di Indonesia hanya satu bentuk lain dari upaya pemufakatan makar. Bukankah tidak islami jika HTI mencoba meruntuhkan pemerintahan sah yang sebelumnya sudah dipilih secara permusyawaratan (demokratis)?

Sejauh yang saya pahami, ajaran kita sendiri menekankan permusyawaratan sebagai tolok ukur memilih pemimpin. Tak diperkenankan dalam ajaran kita jika ada satu kelompok, terlebih yang mengatasnamakan Islam, lalu menolak hasil dari proses yang demikian.

Tujuan HTI itu tentu jelas mengancam keutuhan PBNU. Berbekal syariat Islam sebagai pelengkapnya, nuansa makarnya justru kian kental. Inilah yang kita patut waspadai.

Secara ide juga tujuan, saya sendiri sangat sepakat jika HTI dienyahkan saja dari bumi pertiwi. Meski kesannya melanggar satu nilai dari demokrasi (kebebasan), tapi tohitu hanya kesan belaka. Sebab membubarkan HTI, saya kira, itu justru merupakan upaya menegakkan nilai demokrasi sendiri.

Ingat-ingat kembali bagaimana HTI sudah sejak dalam kandungan itu anti-demokrasi. Melalui pengaruh kuat dari Taqiuddin, HT dan HTI eksis sebagai pencela ulung sistem yang membebaskan bernama demokrasi. Karena ancaman nyatanya, tak ayal kiranya jika banyak pihak mendesak pemerintah untuk mengenyahkan saja HTI.

Ya, dalam sistem demokrasi, yakni di masyarakat yang berkondisi bebas, tak boleh kiranya ada toleransi terhadap mereka yang intoleran. Sekali itu terjadi, itu berarti melanggar nilai dari paham yang dikandungnya sendiri.

Secara prinsip, tak ada memang larangan bagi siapapun (warga negara) untuk sampaikan pendapatnya di muka umum di negeri yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Hanya saja, jika itu menyangkut soal ke-bhinneka-an, konstitus, bentuk dan ideologi bangsa, apalagi sampai membahayakannya, maka pada titik itulah langkah intoleransi Indonesia butuhkan.

Bukankah masyarakat yang bebas itu adalah sekumpulan orang yang leluasa melakukan apa saja dengan syarat tak melanggar hak atau kebebasan orang-seorang pun di dalamnya? Kalaupun melanggar, tidakkah ia diwajibkan untuk menanggung risiko berupa pertanggungjawaban?

Dalam konteks gerak HTI, tujuan peng-khalifah-an Indonesia dan pem-formalisasi-an syariat Islam sebagai dasar aturan mainnya jelas merupakan satu bentuk nyata dari sikap intoleransi. Mengingat bangsa ini bernaung dalam semboyan bhinneka tunggal ika, maka upaya HTI tersebut sama sekali tak bisa kita mungkinkan. Hematnya, PBNU itu harga mati.

Bagaimana bisa bangsa Indonesia harus eksis dengan sistem pemerintahan yang usung kepentingan hanya dari satu golongan tertentu saja? Mayoritas kita memang muslim (umat Islam), tapi tetap saja itu tidak bisa jadi alasan khilafah bisa dan harus termanifestasi.

Meski muslim secara mayoritas, tapi untuk urusan khilafah dan formalisasi syariat Islam, sangat mungkinlah para pendukungnya bisa dihitung jari.

Sialnya, hanya segelintir dari “mayoritas diam” saja yang bersuara lantang beri pertentangan. Itu sebabnya gaung tentang HTI serasa gaung mayoritas publik. Hanya karena kerasnya suara, lalu itu dinilai tampak representatif adanya. Padahal sebenarnya tidak, bukan?

Memangnya siapa yang bisa menjamin kalau sistem khilafah dengan formalisasi syariat Islam benar-benar akan memberi rasa adil di negeri yang ber-PBNU? Jelas mereka lupa diri bahwa tidak semua warga muslim yang berpendapat demikian. Kalaupun iya, lantas bagaimana dengan mereka yang non?

HTI bisa jadi berdalih bahwa mereka tidak akan meniadakan kepentingan warga-warga yang non. Mereka bisa berdalih akan memperlakukasuratmn semua warga secara sama di depan hukum. Hanya saja, yang patut dijawab, apakah yang non juga akan merasa demikian? Jangankan mereka, yang muslim seperti saya saja tidak yakin.

@maman Sutarman


“Premanis Agama” yang Tuli dan “Macan Asia” yang Mengembek


DUNIA HAWA 
Singkat saja, aku ingin menuliskannya!

Musuh-musuh Jokowi dan Ahok paling utama bisa dilihat sejak awal adalah dari kalangan borjuis birokrat di kalangan DPRD yang adalah para mafia anggaran. Mereka merupakan sub-mafia saja dari mafia yang lebih besar yang tentunya juga tinggal di Jakarta. Karena itu kita bisa lihat seru dan hiruk-pikuknya Pilkada Jakarta tahun 2012 ketika Jokowi menghadapi Foke, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dengan Pilkada Jakarta sekarang. Musuh-musuh Jokowi dan Ahok masihlah sama, yaitu rezim oligarki rente Jakarta, yang sebenarnya representasi saja dari rezim oligarki rente nasional. (Bonie)

Cagub terpilih DKI Anis-Sandi, tentu kita semua tahu yaitu mewakili kekuatan Prabowo, PKS, “Premanis Agama”, dan simpatisannya para capital. Jelas sekali pertentangan ini adalah kelanjutan dari pertentangan di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Yang kemudian juga akan berlanjut pada tahun 2019 dalam Pilpres dengan orang-orang lama.

Suhu politik Nusantara yang memanas sebenarnya tidak terlepas juga dari opini yang ramai, dan perang dimedia. Tentunya masing-masing saling menyuarakan kepentingan sekaligus keberpihakan. Keadilan pun bisa disebut sebuah kepentingan, namun hal demikian akan menjadi indah jika untuk kemaslahatan umat (publik) bukan diatas kepentingan sepihak.

Lalu kenapa yang muncul ke permukaan adalah ormas masyarakat yang dalam konteks keagamaan seperti Front Pembela Islam yang populer dengan tindakan barbar? Hal ini sudah dijawab dalam histori, dimana pertentangan-pertentangan ataupun kontradiksi sebelumnya, ormas yang cenderung premanisme, dengan bertopeng agama, merupakan alat paling ampuh dalam memobilisasi massa yang juga sekaligus sangat mudah sekali dibakar sentimen-sentimen SARA.

Bisa kita lihat dalam orde baru, saat platform partai dan militer tidak lagi bisa terlalu diandalkan, maka untuk melanggengkan kekuasaan mengangkat Isu SARA dan primordial. Bedanya dengan saat ini, Isu SARA di orde baru untuk mempertahankan dominasi, kalau sekarang ini untuk merebut demokrasi. Ironisnya pelakunya sama saja, yang juga pernah menjadi bagian Orba, jikapun tidak ada juga yang mengkhianati perjuangan reformasi itu sendiri.

Ormas “premanis agama” akan selalu menggunakan sentimen agama melawan apa yang mereka anggap “kafir” (versi mereka), seperti menjadi pembenaran tunggal. Para borjuis oligarki produk dari sistem captalistik termasuk juga imperialisme global, paham betul bahwa hal demikian bisa dijadikan alat untuk adu domba agar dapat mendominasi kekuasaan termasuk Proxy War, bisa kita lihat dalam perang di Timur Tengah.

Belakangan ini mengenai fenomena peradilan yang bisa disebut sesat adalah atas nama penodaan agama yang ditujukan kepada Ahok (Cagub DKI)? Yang mana hal ini juga dikaitkan dengan tumbuhnya komunis baru, bahkan presiden Jokowi sendiri difitnah secara keji.

Saya pribadi melihat pada kenyataannya rezim hari ini bisa disebut sebagai simbol dari perjuangan untuk menaklukan borjuis oligarki. Melawan kekuatan borjuis rente yang terus menerus merusak bangsa untuk kepentingan sepihak serta menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Nusantara.

Borjuis oligarki yang haus kekuasaan tentunya akan selalu menggunakan cara apapapun dalam melawan yang bisa kita sebut kaum reformis sejati. Termasuk dengan cara berkeluh kesah ataupun mengumbar kebaperan di depan publik yang tak lain untuk membangun emosional masyarakat. Kontradiksi saat ini dapat menentukan jalannya histori Nusantara untuk ke depan. Dan hal ini akan berlanjut hingga Pilpres 2019 nanti.

Mereka bisa kita sebut buta dan tuli, menganggap mayoritas dizalimi oleh kekuasaan saat ini, sementara pada kenyataannya tidak demikian. Dan Agama kembali dijadikan kekuatan untuk membangun emosional, sementara nawaitunya adalah merebut kekuasaan karena ruang mereka mulai terasa sempit.

Mereka benar-benar buta dan tuli. Mari kita belajar melihat realita dengan welcome.

Nusantara saat ini hampir 88 juta masyarakat memegang Kartu Indonesia Sehat dan hampir 19 juta memegang Kartu Indonesia Pintar, dan semoga jaminan ini masuk dalam konstitusi dasar. Akan tetapi jaminan ini hendaknya diimbangi dengan pelayanan yang berkualitas yang baik dan menindaki petugas yang korup. Jaminan seperti ini adalah salah satu prestasi gemilang rezim saat ini.

Ketika Jokowi ke Hongkong, menemui buruh migran, ada salah satu buruh yang mengucapkan terima kasih, karena orang tua nya di Lampung, berobat tanpa biaya. Jika tidak memiliki kartu KIS harus terbeban biaya sampai 7 juta, buruh migran ini juga menyebutkan hal ini baru terjadi di rezim Jokowi.

Kemudian yang paling mengharukan lagi rezim saat ini, adalah membangun pinggiran, pedalaman, serta pemerataan harga BBM sampai ketimur. Indonesia tidak bisa hanya fokus pada Jawa, harus setara seluruh Indonesia. Semua ini memang belum sempurna tapi dengan pelan mandat Founding Father pendiri bangsa mulai dijalankan, yang belum dijalankan pada rezim sebelumnya.

Lalu BUMN mulai dijadikan pilar ekonomi, yang sesuai dan seperti mandat Nawacita dan Trisakti Bung Karno. Karena dengan menjadikan BUMN sebagai pilar ekonomi, hal ini dapat menaklukkan oligarki dalam sistem capitalistik. Hingga bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.

Umat mana yang mau dibangkitkan, mayoritas yang mana yang sangat dizalimi, bukankah semua mulai merasakan betapa merakyatnya rezim hari ini, mereka benar-benar buta dan tuli. 

“Premanis agama” menyebutkan pemimpin saat ini antek komunis yang atheis. Lah Soekarno itu piyedengan Nasakom nya? Soekarno tidak atheis, Tan aja pandai mengaji bahkan al-hafiz, Soe hok Gie aja nasrani, para pendiri bangsa semua beragama, yang menghendaki bangsa ini berkeadilan sosial (sosialis), jadi atheis piye Zik? 

“Premanis agama” tak peduli, karena mereka tuli, dan mereka tetap teriak mari tegakkan khilafah untuk kebangkitan umat. Kita fundamental di adu domba dengan Islam tradisi. “Kom” gaya baru sudah muncul lagi, mereka kafir atheis.

Sejauh mana mereka memahami Pancasila, hingga sanggup meneriakkan tegakkan khilafah untuk kebangkitan umat. Ini pemahaman yang dangkal sekali, justru mereka mengembalikan Islam ke era primitif bukan pada kejayaan.

Rezim sebelum-sebelumnya, ribuan aktivis dan mahasiswa yang sering turun kejalan menuntut keadilan sosial, luh pade kemane saat itu? Sementara yang dituntut pada rezim sebelumnya jelas strategis oleh berbagai aktivis dan kawan-kawan mahasiswa, karena begitu banya ketimpangan yang dilakukan oleh dominasi kekuasaan pada saat itu. Gak ada mereka yang antusias ikut demo seperti yang mereka lakukan sekarang, mereka tak peduli karena sudah tuli oleh oligarki, dan dibelakangnya Macan Asia mengembek tak mengaum, karena tuli dia pun mau berlaga lagi.

Rezim hari ini harus segera mengambil sikap tegas, ini bukan saja untuk tetap mempertahankan kekuasaan, melainkan lebih dari itu yaitu mempertahankan keutuhan NKRI. Mereka tak peduli dengan kepentingan publik yang mulai dibangun, mereka tak peduli jaminan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, mereka tak peduli pemimpin yang merakyat, mereka tak peduli untuk memberantas korupsi dan pungli, mereka tak peduli apa itu Pancasila dan apa itu kemajemukan, mereka tak peduli untuk Indonesia mandiri dan bermatoabat, mereka tak peduli tentang keadilan sosial yang mulai berjalan.

Yang mereka peduli mewujudkan kepentingan oligarki, Neokolonial dan imperial untuk menguasai politik-ekonomi guna kepentingan golongan. Dengan menggunakan “Premanis Agama” yang sama seperti mereka yaitu buta dan tuli.

Isi bumi Indonesia cukup untuk rakyatnya bahkan bisa lebih, akan tetapi tak kan cukup untuk satu orang yang serakah.

@losa terjal


Balon untuk Ahok: Doa Mengangkasa


DUNIA HAWA - Jika pepatah mengatakan “katakanlah dengan bunga”, maka hal itulah yang telah jadi ejawantah para pendukung Ahok-Djarot. Ribuan karangan bunga membanjir di Balai Kota. Doa-doa tersemat dalam bermekarannya bunga-bunga.

Komunikasi politik yang ditunjukkan oleh para pendukung Ahok-Djarot dari awal sebenarnya sangat kreatif. Usai kekalahan Ahok-Djarot, komunikasi politik yang dibangun oleh para pendukung dan simpatisan Ahok-Djarot terus berlanjut.

Bunga-bunga yang berdatangan, sambil terangkai doa, harapan, kekecewaan, dan itikad untuk “tak mau move on”, mewarnai Jakarta yang terancam seragam karena kemenangan gubernur yang didukung kaum takfiri. Sebagai minoritas, Ahok khususnya, terus mendapat dukungan moril yang membanjir.

Bentuk komunikasi politik timbal balik dari pendukung Ahok-Djarot, adalah simbolisme. Ini akan memuat banyak tafsir. Khusus untuk lawan politik Ahok, seperti misalnya Fadli Zon, sampai memberikan pernyataan yang tidak cerdas untuk orang sekaliber dia.

Ribuan! Ribuan karangan bunga dan dituduh sebagai pencitraan murahan. Sikap reaksioner dari Fadli Zon itu yang justru membuat pendukung Ahok terus mengirimkan karangan bunga hingga mencapai jumlah spektakuler.

Ucapan terima kasih disertai doa-doa dari karangan bunga itu, membuat Jakarta berwarna. Sampai pendukung lawan Ahok-Djarot ada yang bilang, “meski ribuan bunga, tetap saja tidak akan mengubah apa yang terjadi di Jakarta”, atau ada juga yang bilang “satu suara lebih baik dari seribu bunga.”

Tapi, ekspresi syukur yang terus mengalir dan ucapan terimakasih kepada Ahok-Djarot yang telah membuat Jakarta berubah jadi lebih baik, terus berdatangan. Betul, satu suara dalam bilik suara itu akan lebih berguna dari pada seribu bunga.

Tapi seribu bunga itu terus akan membarakan semangat Kebhinekaan, sebagai sebuah harapan untuk melawan kaum takfiri yang mendukung lawan Ahok-Djarot, yang memahami demokrasi hanya sebatas kotak suara. Mereka tak memahami bahwa demokrasi juga termasuk menghargai pluralisme dan keberagaman.

Karena itu, diantara mereka pasti akan ada yang bilang bahwa “satu suara lebih baik dari seribu bunga.” Pemahaman mereka itu cupet, sulit untuk diajak mikir yang memanjang dan melebar untuk masa depan Indonesia. Demokrasi sebagai proses untuk meraih masyarakat madani, dipahami oleh mereka hanya sebatas kotak suara.

Jadi, kalau pun ekspresi komunikasi politik, sebagai sebuah ungkapan terimakasih, juga doa, yang mengejawantah dalam bentuk simbolisme, mereka ini tentu bakal sulit untuk mikir. Paling mentok ya memberi tafsiran negatif.

Tapi setelah banjir karangan bunga, kini ada lagi yang heboh. Balon-balon juga berdatangan. Balon-balon dipesan untuk Ahok-Djarot dari perorangan tapi jumlah balon mencapai ribuan.

Seakan belum cukup puas untuk menyemangati Ahok-Djarot, para pendukung Ahok-Djarot tak henti mengucap terimakasih dan syukur lewat beragam cara. Jika kemarin adalah bunga, kini adalah balon yang didominasi oleh balon berwarna merah-putih.

Balon-balon itu juga dilengkapi dengan berbagai ucapan dari para pendukung Ahok-Djarot yang setia. Warna balon yang didominasi merah dan putih, juga memberi simbol yang nyata akan warna bendera negeri ini.

Saya tak habis pikir, bagaimana sebenarnya para pendukung Ahok-Djarot ini? Apa mereka belum cukup membuat “gila” lawan politik? Hahahaha

Kita semua tahu bagaimana sewotnya para pendukung Anies-Sandi saat banjir karangan bunga memenuhi Balai Kota untuk Ahok-Djarot. Bahkan, terdapat selentingan kabar bahwa ada orang yang mengorganisir akan menyainginya dengan jutaan karangan bunga untuk Anies-Sandi. Terlepas kabar itu benar atau hoak, tapi jika itu betul, sungguh mereka memang tak punya imajinasi kreatifitas.

Jika bunga-bunga yang masih banyak terlihat itu tersemat doa-doa yang bermekaran, balon-balon dengan ucapan kekaguman para pendukung Ahok-Djarot kemungkinan akan mengangkasa. Terbang ke langit, disertai dengan gas helium kebahagiaan para penjual balon, langit bisa jadi bakal mendengar kebahagiaan-kebahagiaan itu.

Entah bagaimana nanti tanggapan para lawan politik Ahok-Djarot. Apakah mereka akan kembali sewot, ataukah mereka akan juga meniru. Tapi yang jelas, para pendukung Ahok-Djarot yang memahami demokrasi bukan sebatas kotak suara, pasti akan tetap setia mengawal gagasan keberagaman dan penghargaan yang besar atas perbedaan dibawah warna “merah-putih.”

Jadi bukan cuma sebatas ekspresi ke-berterimakasih-an kepada Ahok-Djarot yang selama ini memimpin Jakarta secara Bersih Transparan dan Profesional lewat bunga dan balon, tapi juga teap menghargai seseorang atas kinerja dan perilaku yang tanpa diskriminasi, tanpa pandang suku, ras, agama, golongan.

Saya membayangkan, doa dan harapan dalam gas helium dalam balon itu mengangkasa, dan meledak di sana, sehingga doa-doanya berhamburan menyejukkan bumi Jakarta dan Indonesia!

@slamet Wicaksono


Salut! Ahok Tak Pernah Lintasi Jalur Busway Meski Macet, Teladan untuk Anies Sandi


DUNIA HAWA - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan bahwa tidak pernah sekalipun ia menerobos jalur busway meskipun mengalami macet. Ini merupakan salah satu teladan yang diberikan oleh seorang pemimpin kepada warga Jakarta. Bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa tidak boleh ada kendaraan apapun yang dapat melintasi jalur TransJakarta selain bus TransJakarta, ambulans, dan mobil berpelat RI.

Pengakuan Ahok ini tentu merupakan sebuacerminan dari seorang pemimpin yang berada di atas peraturan, sebaliknya, ia juga dinaungi oleh hukum yang dibuatnya sendiri. Harusnya lumrah jikalau kita melihat bahwa Ahok sebagai Gubernur berhak untuk menggunakan jalur busway. Namun ia tetap tidak melakukan penerobosan jalur busway. Salut kepada Ahok dengan konsistensinya dan integritasnya! Sungguh berlawanan dengan Anies Sandi.

Menurut Ahok, ia merasa tidak konsisten jika pembuat peraturan, justru melanggar peraturan. Ini merupakan contoh yang justru tidak mendisiplinkan warga. Pada prinsipnya, Ahok merasa bahwa bagaimana atasan bertindak, tentu akan memengaruhi bawahannya. Ing ngarso sung tulodo, begitulah kalimat yang diucapkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Artinya di depan memberikan teladan.

Selain untuk TransJakarta, Ahok mengatakan bahwa hanya ambulans dan mobil berpelat RI yang boleh melintasi jalur TransJakarta. Ahok kembali menegaskan bahwa dia tidak pernah menggunakan jalur TransJakarta, sebagai bentuk edukasi. Ini bentuk permainan politik yang sangat elegan dijalankan oleh Pak Ahok.

“Kan kita ngelarang orang masuk jalurbusway, ya kita sendiri harus disiplin. Bahkan Pak Jokowi, kita kasih yang pelat RI, itu boleh masuk busway. Pak Jokowi pun nggak pernah masuk. Kita ingin semua steril. Kalau busway itu steril, orang akan suka naik bus. Saya aja kalau macet mau ke (Jakarta) Selatan, saya berapa kali naik TransJakarta. Justru kita kesal kalaubusway macet di jalanan,” – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Di sisi lain, kita melihat bagaimana Anies Sandi beberapa kali terpergok melintasi jalur TransJakarta. Ini bukanlah contoh yang baik diperlihatkan kepada warga Jakarta. Mereka yang belum terpilih saja sudah bisa seenaknya masuk jalur TransJakarta, bagaimana jikalau sudah terpilih? Ini adalah sebuah contoh yang buruk, saking buruknya, sikap dan tindakan mereka menyerupai preman jalanan yang bermimpi dapat menguasai jalanan.

Anies Sandi yang selama ini menikmati Jakarta hasil bikinan Pak Ahok, sekarang mulai merasa memiliki sedikit kekuasaan untuk melanggar dan merasa seenaknya. Lihat saja para pendukungnya yang mulai menempati beberapa titik Jakarta dan membuka lahan parkir liar. Kalijodo salah satu contohnya, para preman yang kemungkinan besar merupakan bawahan Daeng Azis sempat memenuhi kawasan parkir RPTRA Kalijodo, Jakarta.

“Itu (busway) hanya khusus pejabat yang RI. Saya pun gubernur nggak boleh pakai. Jadi kita nggak berani. (Tujuannya) untuk ngajarin edukasi, itu aja,” – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Tentu para pembaca sungguh tidak bisa membayangkan apa jadinya Jakarta ke depan ketika dipimpin oleh pasangan Anies Sandi. Kita melihat Jakarta yang selama ini diperjuangkan teratur oleh Ahok Djarot sudah menjadi sebuah hal baik yang dilakukan. Namun sayangnya keteraturan ini diprediksi hanya sebentar dan tidak berlangsung lama. Per Oktober 2017, saya memprediksi bahwa akan ada sebuah kemunduran pesat yang berlangsung di Ibu Kota Indonesia tercinta kita Jakarta.

Ini bukan masalah yang sederhana, ini adalah masalah karakter dan kepribadian dari calon pemimpin kota DKI Jakarta. Kota yang dipimpin oleh pemimpin yang merasa lebih tinggi dari warganya, justru akan membawa kotanya tidak maju, dan bahkan mundur.

Pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh Anies Sandi terhadap para pendukungnya yang liar, barbar, dan radikal, menjadikan pendukungnya semakin merasa seenaknya. Ini harus menjadi perhatian kita bersama. Melihat dari cara kepemimpinan Ahok Djarot, tidak heran jika kita melihat para pendukung Ahok Djarot yang disebut Ahokers tertib. Di sisi lain, melihat kepemimpinan Anies Sandi dan karakter mereka, tidak heran jika para pendukungnya liar, barbar, rasis, dan suka menggunakan isu SARA.

Jadi siapkah kita menerima pemimpin kita yang mendiamkan para pendukungnya untuk menjadi liar, barabar, dan radikal? Selamat kepada warga Jakarta untuk pilihan Anda!

@hysebastian