Sunday, May 7, 2017

HTI Dibubarkan, Mending Jadikan Organisasi Terlarang


DUNIA HAWA - Akhir-akhir santer terdengar tentang pembubaran dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal tersebut disebut oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo. Begitu juga dengan Menko Polhukam, Wiranto. Namun, hal yang paling membahayakan setelah dibubarkan mereka bisa membangun kembali organisasi dengan nama lainnya yang tetap mengusung Khilafah.

Pada akhirnya, mereka akan berkembang dan lebih banyak. Bahkan kembali merekrut anggota lainnya. Kalau begitu sama saja bukan?

Mengenai bentuk peran negara, tercermin dalam perananya menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam banyak dimensi. Di antaranya, dimensi yang menyangkut kekayaan umu, pengembangan solidaritas dan persaudaraan dalam masyarakat. Serta menegakan keadilan. Pemerintah sebagai representasi dari negara harus mampu mengembangkan tugasnya yang diamanatkan kepadanya.

Terkait pembubaran HTI, alangkah baiknya jika pemerintah mengambil langkah tegas sebelum pembubaran. Salah satunya, menyatakan organisasi tersebut sebagai organisasi terlarang. Begitu juga dengan bagi organisasi lainnya yang mengusung Khilafah. Apapun bentuknya.

Secara konsep tanpa harus disebutkan juga organisasi yang mengusung Khilafah sangat kontra dengan Pancasila. Akan tetapi, pernyataan terlarang tersebut harus dipertegas oleh pemerintah. Hal ini sebagai langkah nyata dari pemerintah untuk menghentikan organisasi yang merusak NKRI dan keberagaman di Indonesia.

Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga telah melakukan hal yang sama. Yakni, mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) organisasi terlarang. Hingga saat ini, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Begitu juga dengan organisasi basis lainnya yang berbau dengan PKI. Di antaranya, Gerwani, Lekra dan CGMI.  Dengan sensitif juga, masyarakat akan sangat takut pada sejumlah gerakan-gerakan tersebut.

Salah satu contohnya, Habib Rizieq yang sangat sensitif kepada salah satu logo palu arit di dalam logo mata uang. Hal yang lainnya, bersangkutan dengan keputusan Menteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung. Di mana ketiganya menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam. Begitu juga dengan menyatakan Syiah bukan Islam. Dengan himbauan seperti itu, kontruksi masyarakat akan berubah. Serta akan menjauhi organisasi-organisasi yang bertolak belakang dengan Pancasila. Hal tersebut adalah langkah ampuh bagi masyarakat untuk tidak ikut campur dan terlibat dalam organisasi tersebut.

Selain itu, kalaupun ada Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia, mereka tidak akan menyebar luaskan. Hanya itu, konsumsi pribadi dan konsumsi komunitasnya saja. Sehingga, perkembangan Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia tidak terlalu cepat. Hal ini bermaksud mengunci organsasi-organisasi tersebut.

Untuk itu, jika hanya melakukan pembubaran, mereka tidak dapat dikunci untuk menyebarannya. Mereka akan tetap menyebaran faham Khilafah dalam bentuk lainnya. Sehingga, hal yang paling adalah mematikan kaderisasi organisasi tersebut.

Hidupnya suatu organisasi karenanya anggota dan kader di dalamnya. Lebih jauh, organisasi akan berkembang karena adanya kader yang masif dan militan. Hal tersebut tercermin pada organisasi mahasiswa dengan basis Islam. Di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Lebih jauh, berbicara tradisi bukanlah sehimpun nirma yang dapat dengan mudah ditunjuk. Ibarat rambu, tradisi adalah tanda yang bentunya tidak tentu, remang dan kabur. Makna dari tanda itu tergantung pada siapa yang menafsirkanny. Wacana pemikiran keagamaan yang beredar dan berkembang di masyarakat sering menempatkan warisan intektual muslim masa lampau itu sebagai warisan baku dan tradisi yang mapan. Sehingga tidak bisa diungkit dan diutak-atik kembali. Kecuali hanya sebatas dibaca dan diikuti.

Dalam perjalanan yang panjang sejarah pemikiran keislaman dapat dicermati apabila tradisi sebagai warisan budaya intelektual masa silam dalam bentuk teks-teks agama keagamaan itu dijadikan perpektif untuk menilai modernitas, yang muncul adalah sikap keberagaman yang cenderung fundamentalis, radaikal-fanatik dan menafikan arti modernitas itu sendiri. Di mana dalam sebuah proses perkembangan sejarah yang ada harus disikapi dengan menimbang aspek kemaslahatan.

Pada era globalisasi ini, ilmu dan budaya, hampir semua sendi kehidupan mengalami perubahan. Pada saat yang sama, pengetahuan mansia tentang realitasjagat raya juga berkembang dengan pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.  Ketika peradaban ilmu pengetahuyan dan teknologi modern, mengantarkan manusia pada era globalisasi. Secara otomatis, akan mempengaruhi dan mengubah pola pikir keberagaman yang lama.

Warisan intektual atau tradisi agama bukanlah suatu yang otoritatif dalam menilai fenomena modernitas dan posmodernitas. Sebaliknya, modernitas sebagai sejarah pun tidak memiliki kekuatan yang absolut untuk menafikan tradisi keagamaan. Keduanya perlu berdialog secara adil dalam kontek keberagaman.

@nurdiani latifah


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ternyata Amien Rais Takut Ahok Jadi Menteri


DUNIA HAWA - Akhirnya terjawab sudah kenapa Amien Rais getol sekali mendorong agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, petahana Gubernur DKI Jakarta, divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga mengikuti aksi simpatik 505 yang juga diikuti sejumlah tokoh nasional.

Di hadapan ribuan massa, Amien menyampaikan orasi. Dia tetap menuntut Ahok dihukum atas kasus penodaan agama. Jaksa Penuntut Umum di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara hanya menuntut  Ahok atas kasus menyulut kebencian atas suatu kelompok dengan tuntutan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Hakim baru akan memutuskan pada sidang 9 Mei Selasa esok.

“Saya tidak menerima apa pun. Kalau [Ahok] tidak dihukum gimana? Jadi saya mengatakan, ‘Wahai hakim, wahai Pak Jokowi, sudah cukup kita belajar dari kasus-kasus masa lalu. Bukan apa-apa, kalau tidak dihukum, nanti bisa jadi Menteri Dalam Negeri, bisa jadi Menkumham,’” kata Amien, Jumat 5 Mei 2017.

Menurutnya, keputusan yang adil adalah Ahok harus dijerat dengan Pasal 156a KUHP sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.

“Jadi bukan apa-apa. Selama (putusannya) adil, kami akan dukung. Tapi selama zalim kita akan turun lagi,” ujarnya.

Lah ternyata takut to kalau Ahok jadi Menteri? Memangnya kalau Ahok jadi menteri kenapa? Apakah Amien dan sekutunya takut jika Ahok kemudian membuat peraturan yang tegas, benar, dan pejabat-pejabat yang tak becus kerjanya akan dihempaskan?

Apa jangan-jangan gerombolan ‘Asal Bukan Ahok’ pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 juga menyimpan spirit seperti Pak Amien? Pokoknya Ahok tidak boleh jadi pejabat. Begitu kah?

Sekarang sepertinya terlihat jelas bahwa yang membuat Ahok dikoyak-koyak kanan kiri bukan karena dia keturunan Tionghoa, bukan karena dia non-muslim, tapi karena dia kerjanya benar. Karena benar kerjanya itu maka yang selama ini ngawur dan salah terlihat nyata dan dapat dibandingkan. Masyarakat juga jadi terbuka bahwa banyak hal yang seolah tak bisa terjadi di pemerintahan daerah pada masa lampau di jaman Ahok semua jadi mungkin terwujud. Masifnya serangan ke Ahok adalah karena mereka tak ingin Ahok menjadi lebih besar dan menempati posisi lebih tinggi karena membahayakan golongannya.

Sebagai tokoh reformasi seharusnya Amien Rais bangga karena Ahok adalah anak bangsa yang bisa melanjutkan perjuangannya di tahun 1998 saat menggulingkan 32 tahun berkuasanya Soeharto. Seharusnya Amien senang karena banyak sosok-sosok yang muncul di era reformasi membawa perubahan dan spirit menuju Indonesia yang lebih baik. Bukankah itu tujuan saat reformasi dulu? Lah sekarang saat ada orang baik dan benar berkuasa kenapa diganggu terus?

Ketakutan Ahok bisa meraih posisi lebih tinggi dari sekedar jadi Gubernur ini sesungguhnya adalah pengakuan terselubung Amien bahwa Ahok punya kemampuan untuk itu. Lah kalau menurut dia Ahok bodoh dan tidak bisa bekerja dengan baik tentu Amien tidak perlu sampai punya ketakutan seperti itu.

Mungkin Ahok sendiri sudah menyadari ketakutan orang-orang seperti Amien Rais ini atas potensi dirinya maka Ahok pun mengatakan bahwa setelah tidak jadi Gubernur Ia tidak terjun ke politik praktis lagi.

“Saya sudah putuskan selesai ini, saya akan jadi pembicara saja. Enggak masuk partai politik, enggak mau jadi menteri, enggak jadi staf Presiden, semua enggak,”

“Aku mau bikin Ahok Show dengan salah satu stasiun televisi. Tapi dengan revenue sharing. Ya, jadi kalau terima iklan berapa, bagi saya lah 20%-30%. Kita ngajar aja, jadi mendidik aja,”

Ditanya soal kabar rencanaya untuk maju jadi bakal calon presiden di 2019, Ahok menjawab sambil tersenyum. “Mau jadi gubernur aja susah, ini lagi mau jadi wapres. Kafir mana boleh jadi pejabat di sini,”

Pahit rasanya, namun inilah realita yang terjadi pada masyarakat dan politikus kita. Kalau kamu salah belum tentu kamu disalahkan selama kamu membantu kepentingan orang-orang kuat, kalau kamu benar belum tentu kamu tidak disalahkan. Entahlah mungkin reformasi hanya sekedar nama, namun spiritnya ternyata tidak merasuk dalam diri tokoh-tokoh politik lawas kita.

@rahmatika


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Pilkada DKI berakhir, Giliran Anies-Sandi Memenuhi Hasrat Para Tuannya


DUNIA HAWA - Aksi 55 merupakan aksi penutup dari serangkain aksi bela Islam yang berlangsung sejak awal November tahun lalu. Hal ini diungkapkan oleh Waketum Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI) Zaitun Rasmin. Zaitun menyatakan aksi 55 merupakan aksi terakhir yang berkaitan dengan kasus Basuki T Purnama.

“GNPF tidak akan lagi melakukan aksi-aksi dalam kasus penistaan agama oleh Ahok,” ucap Zaitun kepada massa di Masjid Istiqlal, Jum’at (5/5/2017).

“Ini aksi penutup daripada aksi menuntut penista agama. Selain aksi dijalan, kita lakukan dialog sampai kepada bapak wakil presiden (Jusuf Kalla),” ujar Zaitun.

Aksi yang dipicu oleh beredarnya potongan video kunjungan kerja gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama ini telah menyita perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukan hanya media lokal, bahkan media internasional juga ikut menyoroti hal ini. Potongan video yang digoreng dengan kalimat SARA oleh Buni Yani berhasil menggiring opini publik.

Sejak saat itu, Ahok menjadi bulan-bulanan massa yang terprovokasi oleh pernyataan Buni. Akibat ulahnya, Buni pun harus berurusan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, disisi lain justru orang-orang yang selama ini benci dengan Ahok, seperti mendapat angin segar. Secara beramai-ramai opini pun dibangun dengan menyerang karakter Ahok.

Melalui aksi bela Islam yang berlangsung sampai berjilid-jilid, secara membabi buta mereka menuntut Ahok dipenjara dan dicopot jabatannya. Mereka tidak mau tahu, meski kasus hukum Ahok masih berlanjut dipersidangan. Hal ini pun memantik reaksi dari kalangan yang pro terhadap Ahok. Mereka menganggap, kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, syarat akan kepentingan politik, mengingat pada waktu itu masih dalam nuansa pilkada DKI.

Terlepas dari itu, banyaknya jumlah massa yang hadir dalam aksi justru menimbulkan spekulasi lain, selain unsur politik yang dibangun untuk menyudutkan Ahok, ada pihak yang sengaja mendanai dan mengakomodir aksi tersebut. Sebagaimana kita tahu, dalang dibalik aksi itu merupakan lawan-lawan Ahok yang sejak lama sudah membidik Ahok.

Meski aksi berhasil diredam dengan mempreteli beberapa koordinator lapangan terkait upaya makar, namun tak menggoyahkan semangat mereka untuk melancarkan aksi berikutnya. Dan seperti yang kita lihat, aksi 55 adalah penutup dari serangkaian aksi yang berlangsung. Perjuangan pun tak sia-sia, upaya kotor yang mereka lancarkan berhasil menempatkan pasangan Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta terpilih.

Melihat hasil perolehan suara pasangan Anies-Sandi yang cukup drastis diputaran kedua, maka terjawab sudah politik SARA yang mereka bangun berhasil menumbangkan Ahok. Tentu hal ini tak lepas dari orang-orang berada dibelakang Anies-Sandi.

Banyak kalangan yang menyayangkan berlangsungnya aksi tersebut. Mereka yang selama ini berada dibelakang Ahok, menganggap kekalahan Ahok sebagai kekalahan demokrasi. Jika memang benar Ahok menistakan agama, kenapa aksi yang mereka anggap untuk membela Islam, justru berakhir ketika syahwat politiknya tercapai?

Berikut kesimpulannya :


Pertama, Tujuan mereka murni untuk memenangkan pasangan Agus-Sylvi maupun Anies-Sandi. Terbukti, ketika Agus tumbang diputaran pertama, sudah ada deal-deal politik yang dibangun untuk memenangkan pasangan Anies-Sandi. Maka tak heran, suara yang diperoleh pasangan Anies-Sandi pada putaran kedua, berubah secara drastis dibandingkan putaran pertama. Itu artinya, sebagian besar suara Agus berpindah ke suara pemilih Anies.

Dan hal itu juga diungkapkan oleh Zulkifli Hasan, yang menjadi tim pemenangan sekaligus pimpinan partai koalisi pendukung Agus-Sylvi maupun Anies-Sandi. Pada awalnya, baik partai pengusung Anies maupun Agus ingin membentuk koalisi untuk mengalahkan Ahok.

Namun, saat itu pihak SBY sudah terlanjur mau mengumumkan akan mengusung AHY dan Sylviana Murni. Sehingga pihak SBY dan Prabowo tak berada di satu koalisi. Meski demikian, kesepakatan tetap dibangun antara partai pengusung Anies-Sandi maupun partai pengusung Agus-Sylvi bahwa harus ada perubahan di Jakarta.

“Karena kami enggak sanggup gubernur yang gaduh terus, sudah enggak sanggup dah. Orang Betawi bilang udah enggak tahan dah. Jadi sepakat kita mesti ada gubernur baru,” ucap Zulkifli.

“Jadi kalau kami menang, yang sana gabung. Kalau sana menang, kami yang gabung. Janji laki-laki,” tuturnya.

Kedua, dengan berakhirnya aksi bela Islam, berarti berakhir pula dana yang dikucurkan untuk kepentingan tersebut. Sebagaimana kita tahu, dana yang dikeluarkan jumlahnya tak sedikit, mengingat jumlah massa yang diokomodir begitu banyak. Tak hanya biaya konsumsi, dari info yang beredar dana transportasi pun ditanggung oleh pihak panitia.

Yang menjadi pertanyaan, apa alasan adanya aksi 55, mengingat tujuan mereka sudah tercapai?

Begini penjelasannya, mereka hanya ingin membuang image bahwa aksi tersebut bukan semata-mata untuk kepentingan pilkada. Maka setelah pilkada pun aksi tetap digelar, mereka ingin menunjukkan kepada publik dengan adanya aksi 55 tujuannya murni untuk bela Islam.

Ketiga, dengan banyaknya pihak yang terkait sebagai penyandang dana, akan ada deal-deal politik sebagai upaya balas jasa. Langkah Anies-Sandi pun akan lebih sulit dibanding Ahok-Djarot yang murni dipilih melalui demokrasi sehat, karena mereka akan dijadikan wayang untuk memenuhi kepentingan para tuannya. Bisa dipastikan kebijakan yang dibuat akan lebih condong pada kepentingan orang-orang dibelakangnya daripada kepentingan rakyat Jakarta.

Keempat, dalam politik simbol, kedekatan yang terjalin antara Jokowi-Ahok, menjadi isyarat dukungan Jokowi kepada Ahok. Meski tidak terlihat secara terang-terangan dan tanpa bukti-bukti yang akurat, publik pun sudah bisa membaca akan hal ini. Lebih lanjut, upaya yang dilakukan untuk menggulingkan Ahok adalah upaya untuk penggebosan kekuatan politik yang dimiliki Jokowi.

Sehingga tak heran, aksi-aksi yang berlangsung lebih diidentikkan dengan upaya makar oleh sekelompok orang yang memiliki tujuan politik. Sebagaimana kita tahu, Jokowi adalah lawan terberat yang harus dihadapi dalam pilpres 2019 mendatang. Jakarta yang selama ini dianggap sebagai barometer politik nasional, sering dikait-kaitkan dengan pertarungan pilpres.

Siapa yang berhasil merebut Jakarta, maka dialah yang keluar menjadi pemenangnya. Dan itu sudah dibuktikan oleh Jokowi. Dengan demikian, langkah mereka untuk merebut kekuasaan dari tangan Jokowi akan semakin terbuka.

Untuk itu, harapannya masyarakat harus lebih melek politik daripada sekedar ikut-ikutan hal yang belum jelas tujuannya. Bagi saya, kemenangan Indonesia adalah kemenangan demokrasi oleh rakyat yang masih waras.

Begitulah kura-kura,


@handoko suhendra


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ibu Susi Tumbal Politik PKB untuk Pilgub Jateng 2018


DUNIA HAWA - Prestasi Ibu Susi Pujiastuti sebagai salah satu menteri terbaik di Kabinet Kerja Presiden Jokowi tidak kita ragukan lagi kehebatannya. Berbagai survey dan penghargaan dengan kinerja terbaik selalu menempatkan namanya. Tidak hanya berani menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, data BPS juga menyebutkan di bawah kepemimpinan Ibu Susi Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil meningkatkan nilai ekspor perikanan tahun 2016 mencapai US$ 2 miliar, naik 4,3 persen.

Selain itu, program seperti asuransi nelayan, pemberdayaan kawasan pesisir dan pelarangan alat tangkap tidak ramah lingkungan mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sayangnya, prestasi-prestasi tersebut mulai diganggu oleh para politisi, salah satunya perlawanan terhadap pelarangan alat tangkap cantrang oleh Cak Imin ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketegasan tanpa kompromi Ibu Susi untuk melindungi laut dijadikan tumbal oleh elit partai demi kepentingan politik dengan dalih membela hak-hak nelayan. Moratorium penggunaan alat tangkap cantrang yang semestinya berakhir bulan Juni harus diperpanjang lagi sampai akhir tahun 2017.

Seperti mendapatkan durian runtuh, para pemilik cantrang di Pantura Jateng yang sebenarnya sudah mulai mengganti alat tangkapnya, kembali mengeruk isi laut menggunakan cantrang dengan rakusnya. Pembelaan yang dilakukan PKB sebenarnya bukan untuk membela para nelayan tetapi para pengusaha pemilik kapal cantrang, nelayan yang sesungguhnya justru menjadi buruh murah di kapal-kapal tersebut. Ribuan nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya dari alat tangkap tradisional kembali menjadi korban.

Motif Politik untuk Pilgub Jateng


Data dari BPS menyebutkan bahwa per 16 Januari 2017 jumlah penduduk miskin di Jateng sebanyak 4.493.750 jiwa nomor dua secara nasional. Dengan kondisi tersebut, isu tentang kesejahteraan akan menjadi tema kampanye paling menarik untuk Pilgub 2018. Program seperti ketersediaan lapangan kerja, peningkatan infrastruktur, kemudahan berinvestasi, dan masalah lingkungan akan menjadi perhatian masyarakat di Jateng.

Isu SARA seperti yang terjadi dalam Pilkada DKI beberapa waktu yang lalu diyakini tidak akan laku di Jateng. Sebagai basis Islam Nusantara, umat Islam di Jateng tidak mudah diprovokasi oleh isu-isu murahan yang dihembuskan oleh kelompok intoleran.

Salah satu isu tentang kesejahteraan yang sudah mulai dimainkan adalah mengenai pelarangan penggunaan cantrang di kalangan nelayan. Isu ini dimainkan oleh Cak Imin ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menyambut Pilgub Jateng 2018.

Penggunaan cantrang merupakan isu sensitif di wilayah Pantura Jateng yang berdampak sosial tinggi, tidak heran saat Cak Imin mengangkat masalah ini langsung menjadi pemberitaan nasional dan Presiden Jokowi pun sampai harus turun tangan. Di tingkat lokal dukungan Cak Imin terhadap penggunaan cantrang telah merubah peta politik di Jawa Tengah.

Wilayah Pantura tidak hanya menjadi lumbung suara, tetapi menjadi daerah ‘lahan basah’ bagi para politisi untuk menghimpun dana dari para pengusaha untuk modal di ajang pilkada. Bayangkan dari daerah-daerah pengguna cantrang tersebut mampu menghasilkan omzet ratusan milyar dari aktivitas mengeruk isi laut setiap bulannya. Jadi apa yang dimainkan oleh Cak Imin saat ini  merupakan kolaborasi yang sangat strategis untuk Pilgub Jateng 2018. 

Marwan Jafar adalah tokoh yang dijagokan sebagai kandidat gubernur Jateng dari PKB. Sebagai mantan menteri, sosok ini seperti ‘cantrang’ bisa mengeruk suara apa saja dari yang kecil sampai yang besar, dari nelayan, buruh, petani sampai  pengusaha.

Informasi yang diperoleh penulis dari jaringan nelayan di Pantura, pasca diperpanjangnya moratorium penggunaan cantrang sampai Desember 2017, nama Marwan Jafar menguat di kawasan Pantura dari Brebes sampai Rembang. Tidak hanya di kalangan pengusaha kapal cantrang, sebagai mantan menteri yang menangani masalah desa, Marwan Jafar cukup mengakar di desa-desa di Jawa Tengah.

Masalah kemiskinan yang tinggi, pengangguran terus meningkat dan pembangunan yang tidak jelas arahnya di era Gubernur Ganjar membuat peluang Marwan Jafar semakin kuat. Harus diakui, popularitas Ganjar Pranowo di kalangan akar rumput Jawa Tengah terus menurun. Pembelaan membabi buta terhadap pabrik semen di Rembang, pencitraan di berbagai media dan pembiaran terhadap kelompok intoleran membuat kecewa berbagai kalangan, mulai dari petani, kelas menengah perkotaan, dan kelompok Islam tradisional.

Pengkhianatan ‘Partai  Hijau’


Pembelaan Cak Imin terhadap penggunaan cantrang yang tidak ramah lingkungan merupakan pengkhianatan terhadap PKB sebagai partai hijau, kita tidak akan lupa pada tahun 2007 PKB telah mendeklarasikan dirinya sebagi partai hijau di Indonesia.

Sebagai partai hijau, seharusnya PKB mendukung upaya pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Almarhum Gus Dur sebagai pengagas Kementerian dan Kelautan tentunya juga sangat kecewa cita-citanya mewujudkan laut sebagai sumber kesejahteraan rakyat Indonesia telah dirusak oleh partai yang didirikannya.

Alasan Cak Imin bahwa pelarangan penggunaan cantrang merugikan nelayan sungguh tidak mendasar. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah cantrang di Jawa Tengah sudah mencapai 10.758 unit, sudah over kapasitas. Selain merusak ekosistem laut, para pemilik cantrang juga tidak membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dengan modus menurunkan kapasitas kapal (Markdwon). Akibatnya, negara kehilangan potensi PNBP mencapai 550,70 Milyar.

Yang lebih memprihatinkan, merekalah yang selama ini mengambil hak-hak nelayan kecil dengan menggunakan BBM bersubsidi. Bukan rahasia lagi para pemilik cantrang adalah orang-orang kaya yang selama ini dimanjakan oleh ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuat peraturan. Pembiaran tersebut telah menimbulkan konflik horizontal antar nelayan kecil dengan pengguna cantrang di berbagai tempat.

Dari data-data di atas, sungguh pembelaan yang dilakukan oleh PKB telah melukai nelayan-nelayan kecil. Padahal nelayan kecil di sepanjang pantura Jawa Tengah mayoritas adalah warga NU. Mereka selama ini kurang diperhatikan, miskin, SDM rendah dan tanpa akses modal. Prinsip keadilan sosial yang seharusnya dijunjung tinggi oleh partai hijau telah diabaikan oleh PKB demi ambisi politiknya.  

Sebagai partai yang lahir dari rahim NU, sudah saatnya PBNU turun tangan untuk menjewer PKB yang sudah tidak konsisten lagi membela rakyat terutama para nahdliyin yang menjadi nelayan kecil. PBNU mengambil alih peran PKB dalam menangani masalah nelayan melalui badan otonom.

Selain bisa melakukan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, PBNU juga harus mendukung upaya pemerintah menjaga kelestarian laut dari penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan demi masa depan umat yang lebih baik. Kini sudah saatnya kita tenggelamkan cantrang dan beralih ke alat tangkap ramah lingkungan yang lebih beradab.

@didik Fitrianto


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA