Tuesday, April 25, 2017

Isu Agama dan Politik


DUNIA HAWA - Banyak yang menganalisis penyebab kekalahan Ahok-Djarot. Ada yang bilang Ahok harus kalah agar tidak ada demo terus menerus dan banyak alasan lain.

Saya salah satu yang kecewa. Bukan karena saya pendukung Ahok, apalagi Anies. Karena KTP saya bukan DKI, cuma saya sedang cari duit di DKI dan sedang cari peluang diluar DKI. Jakarta sudah terlalu padat. Biaya hidup tinggi. Tapi saya suka kejujuran dan keterbukaan Ahok selama jadi Gubernur. Jujur saja, di jaman sekarang kita belum pernah lihat Kepala Daerah seperti Ahok. Bukan hanya jujur, tapi dia berani membela mati-matian kepentingan rakyat daerah yang dipimpinnya.

Jadi, bukan Ahok secara pribadilah yang disukai pendukungnya. Tapi kebijakannyalah yang buat orang memilih dia. Karena orang seperti dia sudah langka di jaman hedonis ini. Saya yakin banyak juga pendukung Ahok yang kurang ‘sreg’ kalau Ahok lagi marah-marah. Tapi karena itu untuk kebaikan penduduk DKI juga orang yang cerdas tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang penting dia kerja yang benar, itu dalam hati pemilihnya.
Bagaimana orang bisa begitu buta melihat karyanya, kepeduliannya dan empatinya?

Penyebab utama saya kecewa adalah ternyata isu agama yang dimainkan itu berhasil. Bayangkan, Jakarta yang kaum intelektualnya paling banyak, masih bisa terhasut isu agama. Seolah Pilgub DKI adalah persaingan Agama. Hei, jangan bilang karena Ahok Kristen. Pak Jokowi seorang muslim yang taat juga dituduh macam-macam saat Pilpres kemarin. Sebentar lagi Pilpres lagi. Isu agama pasti dimainkan lagi. Aduh, rasanya kok capek. Kenapa bangsa Indonesia tiba-tiba jadi gini?

Saya punya banyak teman dari berbagai agama bahkan yang tidak beragama. Saya juga punya teman yang menurut agama saya aliran dia sesat dan tinggal di rumah saya beberapa bulan. Saya berteman berdasarkan perilaku orangnya. Yang seagama dengan saya juga pernah menipu saya. Yang penting orangnya baik saya tak peduli agamanya apa. Toh dalam setiap agama ada yang baik dan ada yang jahat. Apa anda mau berteman atau ngebelain orang yang jahat hanya karena agama di KTP-nya sama dengan anda? Bukan maksud saya bilang Anies-Sandi jahat, tapi isu agama dalam kampanyenya kental sekali dan tidak bisa disangkal kalau mereka melakukan pembiaran. Padahal mereka berdua bukan rohaniawan atau pemuka agama dan bukan pula dari kalangan radikal. Tapi mereka menggunakan jasa kelompok intoleran. Karena kampanye-kampanye seperti ini banyak terjadi perpecahan di kalangan pendukung masing-masing. Dan mereka tidak perduli itu.

Tidak semua pengusaha Kristen di DKI mendukung Ahok. Contohnya Hary T. Dulu saya kagum sama dia. Dia kaya tapi masih suka buat acara untuk membantu orang miskin. Sekarang kok sepertinya sibuk berpolitik. Apa kurang kaya?

Saya yakin, ada juga orang Kristen yang memilih Kepala Daerah berdasarkan agama, suku atau marga. Mungkin tidak banyak karena memang sedikit kesempatan bagi non muslim yang bisa maju sebagai kandidat di daerah yang multi etnis dan multi agama. Jujur saja. Sponsor juga tidak berani. Cuma buang-buang uang pertimbangan mereka. Ahok saja digituin. Dalam Pilkada DKI kali ini kebetulan saja Ahok bersih. Jadi bagi umat Kristen yang memilih berdasarkan agama tidak kelihatan.

Padahal pendukung Anies-Sandi juga berasal dari multi etnis dan berbagai agama, jadi kenapa bisa isu agama itu ditelan bulat-bulat. Adakah kebijakan Ahok yang merugikan umat muslim? Bukankah yang dia lakukan justru sebaliknya? Jangan-jangan orang yang pernah diuntungkan oleh program Ahok-pun ada yang tidak pilih Ahok karena beda agama.

Saya yakin, mereka yang mendukung berdasarkan agama akan kecewa. Seorang Hamba Tuhan saja bisa mengecewakan, apalagi politikus. Tidak percaya? Cobalah tinggal dengan seorang Hamba Tuhan sebulan saja, maka anda akan melihat kekurangan-kekurangan dia. Kita harus berharap sesuai kapabilitas seseorang. Tidak mungkin kita berharap tukang cat bisa memasang lantai keramik dengan rapi.

Kalau yang dicari perbedaan terus sampai kapanpun perbedaan tetap ada. Pertama agama, lalu suku, setelah itu marga, kemudian asal-usul atau kampungnya dan terus seperti itu. Kenapa sih suka sekali mengkotak-kotakkan diri sendiri?

Sewaktu kuliah di luar negeri kami menyebut warga Indonesia itu ‘anak Indo’. Bukan suku atau asal-usulnya.
Tapi herannya ada juga teman saya yang dulu satu kota dengan saya di Australia tiba-tiba sekarang jadi fanatik sekali. Entah apa yang membuatnya begitu.

Media sosial yang dulu penuh canda sekarang penuh kebencian. Banyak teman yang berubah menjadi ahli-ahli agama. Padahal kalau dibilang seorang yang taat tidak juga. Karena seorang yang taat tentunya bijaksana, penuh belas kasihan dan berbagai macam sikap yang meneduhkan, bukan ganas dan suka menghakimi orang, apalagi nyinyir.

Sejak Pilpres 2014 isu agama terus dimainkan. Nyinyir tak berkesudahan. Lucunya, yang memainkan isu agama bukanlah mereka yang dikenal hidupnya lurus, peduli sesama dan taat dalam ibadahnya. Mereka tega menghasut dan menaburkan benih perpecahan. Kenapa mereka memainkan isu agama, karena mereka tahu itu mempan. Banyak yang mulutnya mangap saja disuapin apapun. Jika rakyat negeri ini masih banyak yang bisa dibutakan dengan permainan isu agama maka isu ini akan terus dipakai oleh orang-orang yang gila kekuasaan. Jangan pikir hanya non muslim yang dirugikan. Karena mereka pakai ukuran sendiri mana muslim yang benar menurut mereka. Kalau penganut agama lain sudah tidak dianggap oleh mereka kecuali menguntungkan mereka.

Banyak yang berada ditengah-tengah. Memilih diam walau tak setuju. Ada juga yang bimbang, mereka berpikir jangan-jangan propaganda yang dilancarkan kaum radikal itu benar, karena mereka sendiri malas cari tahu tentang kebenaran agamanya sendiri. Inilah jumlah terbesar. Istilah kerennya silent majority. Padahal jika kelompok ini sekarang diam akan lebih sulit lagi nanti bila kaum radikal sudah lebih besar. Jangan sampai kengerian yang biasa kita lihat di televisi terjadi di negara kita.

Entah sampai kapan isu agama masih laku di negeri ini. Kalau penduduk London masih kemakan isu agama Sadiq Khan tidak akan jadi walikota. Begitu juga Janet Mikhail dan Vera Baboun yang pernah jadi walikota di Ramallah dan Bethlehem, Palestina. Dan banyak lagi.

Jadi, dari mana sebenarnya sikap intoleran ini datang? Mereka yang menggaung-gaungkannya belum tentu radikal. Tapi mereka menungganginya demi kekuasaan dan demi uang. Buat beli rumah mewah, mobil mewah dan membayar orang-orang di sekelilingnya yang menyenangkannya. Kaum radikal mengambil kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan. Mereka bukan bodoh. Mereka juga tau seperti Anies-Sandi itu juga didukung oleh orang-orang yang tak sejalan dengan mereka.

Memang pasti ada dari kaum intoleran yang tujuannya bukan uang, tapi kekuasaan. Karena mereka berniat memaksakan kehendaknya, seleranya, alirannya kepada orang-orang. Mereka tidak suka kepada Undang-Undang yang menjamin kebebasan orang memeluk keyakinannya sendiri. Dan mereka perlu kekuasaan untuk mewujudkannya. Mereka bukan mencari kehendak Tuhan. Mereka ingin berperan sebagai Tuhan.

Jika radikal, kenapa tidak radikal dalam kebaikan?

Radikallah dalam membantu orang-orang yang tak mampu.

Semudah itukah memecah bangsa ini? Yang toleran dibilang sesat. Kebaikan diabaikan karena tak sealiran.

Kita sudah pernah diadu domba jaman penjajahan dulu. Kita semua tau devide et impera.

Sebuta itukah?

@edward anugrah


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ahok Gubernur Bali?


DUNIA HAWA - Entah kenapa komen di tempat saya tiba-tiba dipenuhi dengan tema, "Ahok untuk Gubernur Bali 2018".

Saya heran, siapa yang memintanya? Apakah warga Bali sendiri?

Kalau warga Bali, saya jelas sarankan jangan. Karena sayang kalau Ahok itu terkurung di satu daerah saja. Lagian Bali itu sudah lumayan beres dari segi penataan kotanya dan tidak perlu Ahok lagi. Ahok lebih baik ngurusin nasional saja. Jadi Mendagri kek, Menteri Ekonomi kek dan lain sebagainya..

Tapi kok yang ngotot Ahok supaya mendaftar jadi Gubernur Bali banyak yang namanya abu-abu gitu. Biasanya ini kaum bumi datar. Kenapa ya?

Usut punya usut sampe bulu ketek kusut, ternyata ada rajanya bumi datar King Jon Ru yang giginya keriting papan. Itu ternyata gaya sindiran kepada warga Bali dengan, "Kenapa kok Ahok gak dicalonkan jadi Gubernur Bali aja, berani gak orang Bali?".

Ia ingin menyamakan situasi di Jakarta yang banyak muslimnya dengan Bali yang banyak Hindunya kenapa gak mau memilih Gubernur yang beda agama?

King Jon Ru dengan mahkota di hidung kelihatan bingung menganalogikan sesuatu. Masak dia tdk tahu, bahwa Gubernur itu harus mengajukan dirinya? Lha, masalahnya ada gak partai atau perorangan yang di Bali dari kalangan muslim? Kalau ada dan pede, ya boleh-boleh saja.

Saya yakin kalau pun ada, orang Bali tidak akan ngedit-ngedit video dengan caption "dibohongi dengan kitab sucinya". Lalu demo sampai berjuta-juta tumpah ruah sampe pinggir pantai Ketapang dan minta penjarakan hanya karena takut calonnya kalah..

No, saya tahu karakter orang Bali karena dua tahun tinggal disana. Mereka terbiasa menjaga orang shalat Jumat tanpa takut tergerus akidah. Jadi kalau memang ada partai yang merasa bahwa calon muslim itu menang, pasti akan dicalonkan. Masalahnya kan tidak ada ?

Lagian kalau faktor agama begitu sensitifnya bagi kaum bumi datar - karena disana agama ibarat tali kolor yang ukuran S meski pinggangnya XXL alias super ketat - apa mereka tidak baca sejarah ya ?

Tahun 1967 ada Gubernur Bali namanya Sukarmen, wong Blitar dan muslim. Dan tidak ada ada masalah tuh ? Sama seperti Jakarta dipimpin Henk Ngantung yang juga non muslim, juga tidak ada masalah.

Lalu masalahnya dimana?

Masalahnya sebenarnya ada di pertumbuhan organ kaum bumi datar.

Meski dunia semakin luas dengan adanya internet, tetapi otak mereka malah mengecil seupil karena picik dan rasis. Akhirnya melihat sesuatu itu cuman agama dan agama. Mabok, kayaknya. Kebanyakan dicekokin tequila yang diambil dari hasil perasan jenggot yang semalam basah terkena iler yang menetes liar.

Mereka tidak pernah berfikir tentang program, tentang konsep, tentang sistem dan banyak lagi yang menjadikan seseorang itu layak di posisinya atau tidak. Pokoknya agama dulu, ngecrit belakangan..

Memang mereka pikniknya kurang jauh. Kalau ngga kamar ya kamar mandi, balik kamar trus kamar mandi lagi. Begituuu terus seharian.. Keluar kamar mandi senyum2 tanda senang.

Mau seruput kopi tapi kok jadi keinget tequila tadi ya ? Geli-geli gimanaa gitu..

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Ahok Dizalimi Selama Lima Bulan, Pleidoi Hanya Lima Lembar? Begini Isi Lengkapnya


DUNIA HAWA - Pembacaan pleidoi atau nota pembelaan yang dilakukan oleh Pak Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pada hari ini menjadi klimaks pembelaan yang dilakukan. Pembacaan nota pembelaan ini dianggap sebagai pidato yang sangat singkat, karena hanya terdiri dari lima lembar. Bagaimana hanya melalui lima lembar, BTP dapat menghancurkan isu yang beredar dan membela diri dari fitnah yang dilancarkan terhadap dirinya selama berbulan-bulan (kurang lebih 5 bulan)?

“Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang melihat kunjungan saya, bahkan disiarkan langsung yang menjadi materi pembicaraan. Tidak ada satu pun yang mempersoalkan keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut,” – Basuki Tjahaja Purnama.

Basuki Tjahaja Purnama dalam tuntutan jaksa dikenai Pasal 156 KUHP mengenai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.

Pada akhirnya para pengacara buka suara mengenai apa yang terjadi pada perkataan di dalam melepaskannya di dalam jeratan yang dituntut oleh JPU. Di dalam perkataan yang diucapkan oleh BTP di Kepulauan Seribu, tidak ada sedikitpun indikasi sifat melawan hukum. Ini menjadi pembelaan yang dijelaskan dan dikatakan oleh pengacara BTP.

“Selama mengikuti persidangan, memperhatikan realitas yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta serta mendengar dan membaca tuntutan penuntut umum yang ternyata mengakui dan membenarkan saya tidak melakukan penistaan agama. Saya bukan penista atau penoda agama, saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun,” – Basuki Tjahaja Purnama.

Sebetulnya jika kita ingin bernalar, kemungkinan sangat besar untuk para hakim membebaskan BTP, mengapa? Karena memang betul-betul tidak ada niat untuk menista agama. Beberapa hal yang dibukakan adalah bagaimana JPU tidak jelas dan dianggap berimajinasi di dalam menentukan korban yang disebabkan oleh perkataan BTP di Kepulauan Seribu. Ulama dan umat Islam mana yang dinista seperti yang disebutkan?

Permohonan para pengacara cukup jelas, yakni mereka melakukan permohonan kepada majelis hakim dapat dengan arif dan penuh keberanian untuk membebaskan BTP. Juga dikarenakan Bhinneka Tunggal Ika tengah dipertaruhkan oleh proses pengadilan ini.

Sikap hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga disebut oleh para pengacara. BTP merupakan korban dari penggunaan pasal anti demokrasi. Hal ini merupakan ironi namun nyata. Karena pemerintah RI masih belum taat pada rekomendasi putusan MK dalam judicial review mengenai pencegahan penyalahgunaan penodaan agama. Majelis MK menyetujui bahwa ada permasalahan mengenai undang-undang penodaan agama, karena adanya permasalahan hal tersebut.

Lantas dari sikap hukum LBH, tentu bertujuan untuk meringankan tuntutan JPU kepada BTP. BTP yang sudah menjadi korban dari penyalahgunaan pasal “penistaan agama” tentu mendulang simpati dari orang-orang yang mengenal dan mengetauhi hukum.

Pernyataan Ahok di kepulauan seribu dianggap sebagai sebuah hal yang tidak memenuhi evil mind (itikad buruk) yang harus dibuktikan. Lantas, tidak ada pembuktian sama sekali. Bahkan seharusnya pernyataan BTP dilindungi oleh kebebasan berpendapat. Penyebarluasan tafsir negatif atas pernyataan BTP yang sesungguhnya merupakan penistaan agama. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok tanpa menyaksikan, mendengar, mengetahui, dan tidak mengalami langsung perkataan Ahok ini.

Bahkan melalui pelaporan kepada Ahok oleh para pelapor-pelapor yang tidak menghadiri lokasi kejadian langsung, membuat LBH harus menyatakan sikap. LBH menganggap perilaku dari para penuntut justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum demokrasi dan kebinekaan Indonesia. Hal ini merupakan wujud nyata dari proses pengadilan dan peradilan rakyat bumi datar yang sesat.

Pembacaan sikap LBH oleh tim kuasa hukum BTP


LBH meminta majelis hakim menjunjung tinggi penegakkan hukum dan HAM dalam memutus perkara Ahok, khususnya di dalam hak kebebasan berekspresi dan beragama yang sudah dijamin di dalam konstitusi. LBH meminta agar majelis hakim menerapkan hukum yang kontekstual yang sejalan dengan produk peradilan, yang mengacu kepada utusan MK. Majelis hakim juga diminta untuk menerapkan asas legalitas sehingga penggunaan pasal penistaan agama, menjadi jelas.

Pada akhirnya Jaksa Penuntut Umum pun tidak berkata banyak mengenai apa yang sudah dikatakan dan menjadi pembelaan dari tim kuasa hukum/ pengacara BTP.

Sidang selanjutnya akan dilakukan pada hari Selasa, tanggal 9 Mei mendatang, dengan agenda pembacaan putusan hakim mengenai kasus ini. Jadi sembari menunggu hasil putusan hakim, kita terus dukung pemerintahan Indonesia, khususnya di dalam menambal keretakkan bangsa di dalam berdemokrasi.

Betul kan yang saya katakan?

@hysebastian


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Pakde Jokowi, Api Sudah Sampai di Pintu Gerbang Rumah Kita


DUNIA HAWA  - Apa yang akan terjadi pada Pilpres 2019 nanti? Mari kita lihat bahwa pertarungan 2019 akan sama dengan 2014. Disana hanya akan ada dua kekuatan besar yaitu Prabowo dan Jokowi.

Kenapa begitu? Apakah tidak ada calon lain selain mereka? Tentu ada. Tetapi tidak akan muncul atau dimunculkan. Karena memang disainnya adalah membangun dua kekuatan besar lalu membenturkannya.

Sebenarmya Pilgub Jakarta kemaren adalah contoh kecil Pilpres nanti. Isu-isu agama akan kembali dimainkan dengan menggunakan masjid-masjid. Kali ini temanya adalah Islam vs PKI.

Jokowi pelan-pelan akan di stigmakan sebagai PKI.

Meskipun serangan ini mungkin bukan serangan langsung ke pribadi beliau, tetapi ini akan menghantam orang-orang disekitar beliau. Jokowi dikelilingi orang-orang PKI, begitu isu besarnya. Dan genderang perang ini sudah dibangun mulai sekarang melalui ceramah, di masjid, pengajian dsbnya.

Prabowo akan memainkan kembali isu sebagai muslim, terutama ketika dibelakangnya dia adalah Islam garis keras yang tidak perduli siapa pemimpinnya yang penting yang mudah ditunggangi. Persis seperti Ahok, yang dicari adalah momentum kesalahan Jokowi dan dibangun untuk memunculkan demo-demo besar.

Kali ini untuk meluncurkan demo akan jauh lebih mudah. Penguasaan Jakarta dengan menangnya Anies Sandi adalah keuntungan utama. Masjid Istiqlal akan dijadikan sebagai simbol perlawanan dan memudahkan pendemo dari berbagai wilayah menginap disana.

Seperti Ahok juga, Jokowi akan dihadapkan pada dua pilihan simalakama.

Jika kalah, maka negara kembali akan dikuasai para mafia dan sistem yang sudah dibangun susah payah hancur seketika.

Jika menang, maka kemenangan itu tidak akan diterima lapang dada. Mereka akan berteriak, "Jokowi tidak mungkin menang kecuali main curang.." Persis pilgub Jakarta, kan?

Beberapa partai yang awalnya berkoalisi dengan Jokowi dan PDIP akan pecah dan merapatkan barisan dengan Gerindra dan PKS. Terutama Golkar yang sekarang sedang terpecah dua. Juga PPP yang sudah merapat ke Gerindra. Nasdem liat-liat mana yang menguntungkan. Hanura tetap setia.

Pilpres 2019 akan menjadi pilpres terkeras yang kita lalui. Terutama karena disana banyak kepentingan yang saling berbenturan. Mulai penguasa, pengusaha, politikus dan tentara. Kemungkinan besar tentara akan mulai terpecah sesudah pilpres ini..

Ada yang bermain, ada yang memanfaatkan, ada yang mengamati dan yang paling berbahaya adalah yang menjadi penunggang setia.

Mereka yang nanti bertempur di pilpres, tidak sadar bahwa mereka sedang memainkan bola api besar yang panas sekali. Pikiran para politikus ini pendek, yang penting merebut kekuasaan tanpa melihat bahaya ke depan bahwa ada penunggan gelap di punggung mereka dengan jubah KHILAFAH.

Konsultan politik yang kemaren bermain permainan berbahaya dengan menggunakan masjid sebagai alat politik dan propaganda, juga tidak sadar bahwa ia sedang membangkitkan monster pelan-pelan.

Yang ada di pikirannya hanya uang dan bagaimana calon yang diusungnya menang. Tidak pernah berfikir bahwa apa yang dia lakukan itu suatu kesalahan besar yang akan disesalinya kemudian..

Semua elemen nasionalis harus duduk mulai sekarang dan memikirkan langkah apa yang harus dilakukan.

Sementara ini cuma Banser dan Ansor yang tampak aktif mencegat keberadaan HTI dimana-mana dengan logistik yang kurang. Belum lagi harus menghadapi FPI, FUI, MIUMI dan lain-lain yang tidak kalah ganasnya..

Pemerintahan Jokowi sekarang ini memang kelhatan sekali berada pada posisi bimbang. Jika si Islam garis keras dihantam, mereka akan teriak HAM. Jika didiamkan, mereka merasa bahwa mereka mendapat peluang.

Si garis keras ini memang pengecut sekali.

Mereka selalu bersembunyi dibaik kata "Islam dan Muslim". Kalau diatas angin, mereka gagah berkoar, "Kami umat muslim mayoritas.." Tapi kalau terpojok tereaknya beda, "Sesama muslim bersaudara, jangan kami diadu domba dengan NU wahai syiah.."

Apa yang saya paparkan hanya berupa kemungkinan dengan melihat pola yang sama yang mereka lakukan di Suriah dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Semoga ini bisa menjadi perhatian kita bersama bahwa kemerdekaan itu tidak diberikan begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Salam secangkir kopi.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Anehkah Tuntutan Jaksa yang "Ringan" kepada Ahok?


DUNIA HAWA - Akhirnya setelah menjalani sidang 18 kali, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman 1 tahun penjara dengan 2 tahun percobaan. 

Bagi kelompok yang sudah membenci Ahok dan memvonis Ahok jauh sebelum persidangan, setelah mendengar tuntutan Jaksa itu, langsung menuding tuntutan Jaksa: aneh, ganjil, terlalu ringan, dan lain-lain sebagainya. 

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku "heran dengan tuntutan Jaksa", Fadli Zon juga menganggap "tuntutan Jaksa kepada Ahok terlalu kecil". 

Lantas, Fadli Zon membandingkan kasus Ahok dengan kasus Rusdiati di Bali. 

"Kalau melihat dari apa yang dilakukan dan dampaknya, menurut saya itu ya terlalu kecil. Karena dalam kasus ibu Rusdiati di Bali, itu dia saja menjalani vonis 1 tahun dua bulan. Itu yang tidak menimbulkan dampak yang masif seperti sekarang ini," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/4/2017).

Saya heran, mengapa Fadli Zon membandingkan kasus Ahok dengan Rusdiati, atau pihak-pihak yang sudah membenci Ahok dengan kebencian yang berkarat seperti sudah menganggap kasus penodaan agama adalah kasus yang harus menjadi perhatian umum yang tidak pernah mereka lakukan terhadap kasus korupsi misalnya. 

Dalam kasus-kasus penodaan agama, adanya vonis ringan hingga bebas bukanlah hal yang aneh dan ganjil, kalau kita mau membaca deretan kasus-kasus penodaan agama yang akhirnya dibebaskan, misalnya 9 kasus dalam catatan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi ini “Kasus-kasus Penistaan Agama yang Dibebaskan dari Tuduhan/Dakwaan” 

Kalau seseorang memang tidak terbukti menodai agama setelah melalui sidang yang adil, maka memang sudah seharusnya dibebaskan, yang aneh dan ganjil adalah, kalau malah dipaksakan bersalah meskipun bukti-bukti persidangan mengatakan sebaliknya. 

Kasus Ahok dan Yusman Roy


Salah satu orang yang didakwa dengan pasal penodaan agama, 156a adalah Yusman Roy pada tahun 2005, karena mengajarkan shalat dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia. 

Setelah melalui proses persidangan, Yusman Roy tidak terbukti menodai agama seperti yang didakwakan, namun dia tetap divonis 2 tahun penjara dengan dakwaan subsider Pasal 157. Pasalnya, Yusman Roy merespon pihak-pihak yang tidak setuju dengan tindakannya yang shalat dengan dua bahasa dengan mengirimkan selebaran dan CD ancaman. 

Ahli-ahli yang dihadirkan di Persidangan khususnya dari ahli agama bisa memberikan bukti bahwa tindakan Yusman Roy yang shalat dan mengajarkan shalat dengan dua bahasa tidak menodai agama, dengan dikuatkan pendapat dari ahli fiqih, Imam Hanafi yang memperbolehkan shalat dengan bahasa Persia. 

Intinya, Yusman Roy adalah korban kriminalisasi dengan pasal penodaan agama, ia merespon dengan keras pihak-pihak yang mengecamnya dengan menodai agama namun dia malah kena jerat Pasal 157 sehingga ia divonis 2 tahun penjara. 

Bunyi Pasal 157: 

Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Sekali lagi, Yusman dihukum penjara bukan karena pelaksanaan shalat dua bahasa yang dituduh sebelumnya sebagai penodaan agama, tapi karena pamflet dan CD yang dia sebarkan sangat provokatif dan mengancam dan mereka yang tidak setuju dengan shalat dengan dua bahasa. Maka, tindakan ancaman dan permusuhan yang dilakukan Yusman Roy itu memenuhi unsur Pasal 157. Meskipun sebenarnya tindakan Yusman Roy itu merupakan reaksi terhadap tuduhan dan stigma sebagai penista agama yang dilayangkan padanya. 

Lantas bagaimana dengan kasus Ahok? Mirip seperti kasus Yusman Roy, bagi Jaksa, Ahok tidak terbukti menodai agama. Semua saksi fakta yang netral, yang hadir dalam Pidato Ahok 27 September 2016 di Kepulauan Seribu, saksi-saksi yang didatangkan oleh Jaksa sendiri, tidak ada yang menyebut kalau Ahok menodai agama dan bersaksi pula dari yang hadir tidak ada yang merasa Ahok menodai agama. 

Yang memberatkan Ahok hanyalah para saksi pelapor yang mereka memang sudah memiliki kebencian terhadap Ahok baik dari FPI seperti Novel Bamukmin, Muhsin Alatas, Muhammad Asroi dari Padangsidompuan atau mereka yang sudah terlibat dalam kelompok-kelompok intoleran. 

Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI terhadap Ahok pun tidak bisa dijadikan bukti di pengadilan, karena dalam kasus Yusman Roy tahun 2005, Kiai Ma'ruf Amin yang waktu itu Komisi Fatwa MUI juga mengharamkan dan menyesatkan shalat dua bahasa, pendapat beliau juga tidak dipakai oleh Majelis Hakim saat itu, karena ahli-ahli yang dihadirkan untuk meringankan Yusman Roy berhasil membuka wawasan dan meyakinkan Majelis Hakim bahwa tradisi shalat dengan non bahasa Arab juga dikenal dalam tradisi Islam. 

Artinya, meskipun ada fatwa MUI, tidak otomatis akan dipakai di Pengadilan, karena fatwa MUI bukanlah keputusan positif yang mengikat dan harus dipatuhi, apalagi oleh lembaga Yudikatif. 

Ahli-ahli agama yang dihadirkan oleh pihak Penasehat Hukum Ahok, meskipun datang sebagai pribadi bukan lembaga, tapi mereka bisa menunjukkan bahwa lembaga dan ormas Islam tidak satu suara untuk kasus Ahok. 

Kiai Ahmad Ishomudin, selain Dosen Fakultas Syariah di IAIN Raden Intan Lampung, juga Rois Syuriah di PBNU dan Wakil Ketua Komisi Fatwa di MUI Pusat. Kiai Masdar Farid, selain Rois Syuriah di PBNU juga Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Anggota Pertimbangan MUI Pusat. 

Prof Hamka Haq adalah Wakil Ketua Mustasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah--Perti dan Anggota Pertimbangan MUI Pusat. Dr. Sahiron, selain Dosen Tafsir di UIN Sunan Kalijaga juga Wakil Rais Syuriah PWNU Yogyakarta. 

Ahli-ahli agama yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum Ahok sepakat bahwa ucapan Ahok tidak menodai agama. 

Maka, bagi yang berakal sehat dan yang benar-benar mencermati fakta-fakta persidangan kasus penodaan agama yang didakwakan ke Ahok, pasti akan dengan mudah menyimpulkan bahwa Ahok memang tidak menodai agama. 

Malah, menurut saya, Jaksa harusnya menuntut bebas Ahok, karena seperti yang diutarakan Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri, Ali Mukartono yang menjelaskan, alasan jaksa mengenakan Pasal 156 bukan Pasal 156a KUHP karena Ahok pernah mengeluarkan buku dengan judul "Merubah Indonesia”.

Di dalam buku tersebut, yang dimaksud Ahok membohongi pakai Al Maidah ayat 51 itu adalah para oknum elit politik. Atas dasar itu, jaksa menilai pasal 156 lebih tepat digunakan pada Ahok.

"Nah di buku itu dijelaskan kalau yang dimaksud adalah si pengguna Al Maidah. Elit politik istilah beliau, bukan Al Maidah. Kalau demikian maksud beliau maka ini masuk kategori umat Islam. Pengguna Al Maidah tu siapa? Golongan umat Islam. Maka tuntutan jaksa memberikan di alternatif kedua," jelas Ali seperti yang dikutip kompas.com(20/04/2017).

Di sini lah letak Jaksa yang masih gagal paham tingkat lanjutan, setelah sebelumnya memahami bahwa Ahok tidak menodai agama dan "orang" yang dimaksud oleh Ahok adalah oknum elit politik, bagaimana Jaksa masih membawa ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada golongan Umat Islam? 

Harusnya Jaksa tidak lagi menuntut Ahok baik dengan Pasal 156a atau pun Pasal 156, karena maksud dari ucapan Ahok, ia mengkritik oknum-oknum elit politik yang memakai Al-Ma’idah 51 sebagai alat membohongi. 

Maka, bagi saya, memang aneh Jaksa masih menuntut ringan Ahok, harusnya Jaksa menuntut bebas Ahok dalam perkara penodaan agama ini.

Semoga Majelis Hakim yang mulia diberi keyakinan bahwa Ahok tidak menodai agama Islam atau menghina suatu golongan, karena yang dimaksud oleh Ahok adalah oknum elit politisi yang memakai Al-Ma'idah 51 sebagai alat untuk kebohongan

@muhammad Guntur Romli


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA