Monday, April 24, 2017

Belajar dari Kekalahan Ahok


DUNIA HAWA - Saya masih ingat dulu ada ajang adu vokal pertama kali di Indosiar. Namanya Akademi Fantasi. Meskipun judulnya adu vokal, tetapi latar belakang pesertapun dijadikan bahan. Dan akhirnya kita melihat bahwa yang menang -berdasarkan voting penonton- ternyata bukan karena kualitas vokal, tetapi karena kasihan melihat latar belakang pemenang yang anak tukang becak.

Begitu banyak tayangan baik itu sinetron dan ajang adu-aduan yang lebih mengandalkan jualan emosi daripada rasionalitas. Dan selama puluhan tahun kita dicekoki oleh tayangan yang mengaduk emosi mulai dari ketakutan lewat film kuntilanak dan airmata yang terkuras seorang ibu yang dizolimi anak kandung.

Pengaruh itu terasa sampai sekarang..

Dan dari semua perkiraan kenapa Ahok kalah, buat saya perkiraan inilah yang terbaik. Bahwa pemilih di Jakarta, seberapapun modern-nya ia sehari-hari, tetap saja ia adalah penonton sinetron ala Raam Punjabi.

Ada yang tidak memilih karena terpengaruh tidak seiman. Ada yang tidak memilih karena terpengaruh penistaan agama. Bahkan di kalanganChinese perkotaan yang mapan, banyak yang tidak memilih karena ditakut-takuti akan terulang lagi peristiwa 98.

Politik kita masih politik emosional, bukan rasional. Itulah kenapa seberapa bagusnya pun jualan program yang menaikkan tingkat kepuasan terhadap kinerja seorang Ahok, tidak mempengaruhi tingkat elektabilitas atau keterpilihan dia. Ahok tidak terpilih karena emosional bukan rasional.

Kekalahan Ahok mirip dengan kekalahan Hillary Clinton yang lebih jualan rasionalitas daripada emosional seperti Trump. Trump berhasil menang karena menjanjikan menaikkan kembali kebanggaan dan kepemilikan Amerika hanya untuk orang Amerika.

Disinilah celah yang dilupakan banyak orang, bahkan tidak terpikirkan. Kita masih belum sampai pada taraf jualan keberhasilan program-program. Ahok boleh populer, tetapi tidak menjamin ia dipilih karena ia tidak mampu menjual emosi.

Timses Ahok yang banyak berasal dari kalangan perkotaan dan terpelajar belum mampu turun ke bawah dan menggali sisi emosional pemilih dengan tingkat pendidikan yang rata-rata. Kalaupun akhirnya mereka sadar, seperti saat mencoba menaikkan Djarot untuk menggali emosi, sudah terlambat karena orang sudah punya keputusan untuk memilih.

Dan model ini juga yang banyak diterapkan di banyak pemilihan kepala daerah. Tinggal survey apa yang dibutuhkan mereka, dan gali sisi emosionalnya. Makanya banyak kepala daerah yang terpilih bukan karena kapasitasnya tetapi karena mampu bermain di sisi emosional pemilihnya.

Ini juga akan berlaku di pilpres 2019 nanti...

Dulu - di 2014 - Jokowi dan Prabowo memainkan sisi emosional pemilihnya. Jokowi sebagai seorang yang bukan siapa-siapa melawan Prabowo yang ada apa-apanya. Dan menangnya Jokowi karena ia mewakili banyak orang yang bukan siapa-siapa dan mengharapkan akan membela mereka. Emosi kalangan "bukan siapa-siapa" ini berbaur dengan emosi mereka yang ingin perubahan secepatnya.

Meski begitu, Jokowi mesti berhati-hati di 2019 nanti, karena ia sekarang bukan lagi orang yang "bukan siapa-siapa".

Belajar dari kasus Ahok, Jokowi akan sulit jika hanya jualan program apa yang sudah dibangunnya. Ia akan diserang oleh lawan dengan membangkitkan sisi emosional masyarakat kelas bawah yang ketakutan akan bangkitnya PKI, meski buat kita yang rasional PKI itu sudah mati.

Strategi membangun emosi para pemilih Jokowi harus dirancang mulai sekarang. Jangan kebanyakan nonton film Hollywood, sekali-sekali orang dibelakang Jokowi harus nonton sinetron Indonesia biar tahu bagaimana suksesnya mereka menaikkan rating dengan modal hanya jualan emosi saja.

Bahkan televisi sekelas TV One yang dulu jualan berita, gak kuat bertahan sehingga harus melacurkan diri untuk jualan sinetron yang murah meriah yang penting banyak airmatanya.

Ya, mungkin dibangun cerita dimana Jokowi sakit kanker serviks sehingga tubuhnya yang dulu gemuk menjadi kurus kering dan akhirnya sembuh dengan kegigihannya. Atau Jokowi pernah dipenjara ketika ia terpaksa mencuri hanya karena supaya dapat makan sehari dan mengasuh ibunya yang terbaring di rumah tak berdaya.

Menggelikan ya? Tapi, masih begitulah kualitas masyarakat kita. Meskipun buat kita yang rasional ini model-model begitu menggelikan, tapi -apa mau dikata- model gituan yang laku dan ratingnya tinggi.

Sambil seruput kopi saya geli sendiri membayangkan Ahok yang kaku itu tiba-tiba harus berperan menjadi tukang sayur untuk meraih simpati para pemilih.

Kok saya jadi ingat mantan Jenderal yang dulu bareng pak Hari saat Pilpres tiba-tiba muncul jadi satpam dan tukang becak ya? Kalau itu memang terlalu nggilani. Penonton sinetron pun pasti pindah channel kalau tayangan begituan diulang lagi.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Banser dan GP Ansor, Serigala itu Bangun dari Tidurnya


DUNIA HAWA - Ancaman radikalis berbaju agama memang menakutkan. Negara-negara di timur tengah sudah banyak dikuasai mereka. Di Nigeria ada Boko Haram yang kerjaannya menculik wanita dan anak2 untuk dijadikan budak. Di Afghanistan masih ada ketakutan kembalinya Islam garis keras Taliban. Irak terjadi bom bunuh diri setiap pekan. Suriah sudah hancur berantakan.

Semua negara yang hancur adalah negara dengan penduduk muslim mayoritas. Ironisnya, yang menghancurkan juga mereka yang mengaku muslim. Situasi ini menjadikan perang makin sulit karena tidak mudah mengenali musuh dari dalam.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar juga sedang mengalami proses pembusukan. Tumbuhnya ormas2 garis keras dimana-mana dengan baju FPI, FUI, MIUMI, HTI dan banyak lagi bukanlah sesuatu yang datang tanpa perencanaan.

Gerakan mereka massif dalam doktrin dan kekerasan. Mereka menguasai masjid2, pesantren, pengajian bahkan acara tivi agama Islam dan melakukan pembodohan dengan melemahkan akal dan meninggikan kebanggaan akan golongan.

Kenapa pemerintah tidak membubarkan mereka?

Tidak mudah. Ketika mereka dihantam, mereka akan memainkan peran sebagai korban. Ini berbahaya sekali dan memang sedang mereka tunggu. Ormas2 Islam garis keras ini sejatinya sudah ada selama puluhan tahun di Indonesia. Mereka bergerak senyap dan banyak dipelihara oleh mereka yang punya kuasa dan kepentingan.

Jadi untuk menghadapi mereka, pemerintah butuh waktu tidak sebentar. Mereka menyusup di dalam ormas2 itu dan berusaha merebut tongkat kepemimpinan untuk kemudian melemahkan dari dalam.

Tetapi itu butuh proses yang tidak instan. Cukupkah waktu kita sebelum Indonesia meledak?

Sedangkan mereka sudah banyak mendapat simpati masyarakat yang tidak tahu apa2 terhadap tujuan jangka panjang panjang mereka untuk mendirikan negara khilafah di Indonesia..

Disinilah peran Banser dan GP Ansor...

Banser dan GP Ansor sudah bergerak satu komando dalam menghalau mereka. Tetap sesuai hukum dan tidak terpancing untuk melakukan kekerasan.

Pesan GP Ansor sangat jelas waktu pilkada DKI. "Kami tidak mendukung calon Gubernur yang didukung kelompok radikal.." Dari pernyataan ini, terlihat bahwa GP Ansor sudah berhasil mengidentifikasi akar masalah.

Dan Banser juga GP Ansor harus menunjukkan kekuatannya supaya terlihat bahwa mereka ada sebagai penjaga NKRI.

Di Makassar mereka baru saja bentrok dengan HTI. Di Bogor, GP Ansor mengeluarkan pernyataan menolak forum internasional khilafah HTI. Di Jombang, Tulungagung, Jember, Sidoarjo dan Surabaya sudah menyatakan dengan keras, "Tidak ada ruang bagi HTI dan FPI di Jatim.."

Di Cilacap, Banser dan GP Ansor menyerukan HTI untuk kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya. Di KarangAnyar mereka longmarch menolak keberadaan HTI dan FPI disana.

Di Takalar GP Ansor dan Banser, gagalkan konvoi HTI. Di Bandung, mereka menolak deklarasi HTI. Di Purbalingga, GP Ansor dan Banser hampir saja bentrok dengan HTI. Di Rembang, tempatnya Gus Mus, GP Ansor dan Banser menyatakan sikap menolak HTI.

Massif sekali gerakan GP Ansor dan Banser. Singa itu sudah bangun dari tidurnya. Ancaman terhadap NKRI sudah begitu nyata.

Hanya merekalah pilar yang tersisa sekarang ini ketika gelombang virus radikalisme menyerbu negeri ini.

Felix Siaw -salah satu pentolan HTI- bahkan dalam tweetnya menyindir gerakan GP Ansor sebagai gerakan yang bertentangan dengan Islam. Meskipun ia tidak menyebut nama organisasi, tampak jelas bahwa ia juga ketakutan setengah mati.

Memantau pergerakan GP Ansor dan Banser di banyak wilayah membuat kepercayaan diri saya tumbuh kembali. Bahwa NKRI tidak mudah di Suriah kan, seperti yang mereka inginkan. Indonesia ada penjaganya...

Sambil seruput kopi, saya boleh sedikit memberikan saran untuk teman2 yang non muslim. Entah anda perorangan atau mempunyai kelompok, coba bergabunglah dengan GP Ansor dan Banser di wilayah anda. Karena NKRI ini milik kita bersama, tanggung-jawab kita bersama dan harus kita jaga bersama, datangilah dan duduklah bersama mereka dalam satu kesatuan. Karena ini bukan masalah apa agama anda, tetapi ini adalah bagaimana menjaga negara kita..

Sebarkan pesan ini seluas-luasnya...

Satu waktu, kita akan duduk dan ngopi bersama dan bercerita tentang bagaimana kita menjadi bagian dari pelaku sejarah dalam menyelamatkan keberagaman kita yang tercinta..

Kalau di Lebanon punya Hezbullah, kita harus bangga bahwa disini kita juga punya penjaga negara yang setia. Angkat cangkirnya..

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Presiden Jokowi Sudah Tahu, Investigasi Allan Nairn Hanya Konfirmasi Publik


DUNIA HAWA - Selama 4 hari ini saya kerap mendapat inbox, chat bahkan telepon terkait Allan Nairn yang membongkar niat jahat sekelompok orang yang berniat menggulingkan Presiden Jokowi. Bagi saya, tulisan investigasi Allan Nairn terkait upaya makar dari kelompok Prabowo dan antek-anteknya, sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Sebab sebelum Allan Nairn menuliskannya, beberapa cerita juga pernah saya dengar, bisa dibilang 80 persennya. Bahkan ada beberapa bagian cerita terkait makar 411, 212 dan seterusnya itu sudah saya tuliskan dalam artikel secara gamblang, tentu saja dengan laporan dan analisis intelijen yang sangat valid.

Dan, tanggapan saya jika ditanya soal tulisan investigasi Allan Nairn, saya bisa bilang bahwa Presiden Jokowi sudah tahu akan hal ini. Inilah sisi gelap politik.

Kekalahan Ahok pada Pilgub DKI sebenarnya tidak terlalu membahagiakan sebagian besar pendukung lawannya. Sebab tujuan utama dari demonstrasi 411, 212, 313 yang mengotori ayat-ayat suci Alquran tersebut adalah revolusi, turunkan Jokowi. Dan harus diakui ini sudah pernah dilontarkan oleh Rizieq, keceplosan, mungkin karena saking semangatnya berorasi.

Pada 2014 saat Jokowi berhasil menang mengalahkan Prabowo, ada banyak cara dan upaya makar yang ingin dilakukan oleh oknum-oknum DPR. Ancaman-ancaman mereka dinyatakan secara terbuka lewat media massa. Jadi tidak heran kalau ada yang berani meramal atau memastikan bahwa Presiden Jokowi tak akan memimpin lebih dari setahun. Dan bodohnya, ramalan seperti ini diamini oleh sebagian masyarakat akar rumput yang tidak tau apa-apa, hanya ingin Prabowo jadi Presiden dan dirinya tidak malu lagi karena akhirnya Jokowi lengser. Sesederhana itu.

Tapi upaya pelengseran tersebut sangat terkesan kasar. Siapapun pada akhirnya akan berpikir bahwa kelompok Prabowo tidak siap kalah, lalu ingin berkuasa dengan segala cara.

Sekarang, setelah Ahok menyebut ayat Almaidah 51, mereka sukses melakukan branding “penista agama” terhadap Ahok. Upaya makar atau niat jahat menggulingkan Jokowi pun kembali bergelora. Pintu masuknya sudah jelas, Ahok.

Untuk menanggapi hal tersebut, secara tersirat Presiden Jokowi sudah mengomentarinya “Ini urusan DKI. Lah kok urusannya digeser ke Presiden, ke saya?”

Upaya makar dalam bentuk provokasi agama Islam dibuat sedemikian rupa. Caranya mudah sekali. Sekelompok politisi yang berkepentingan untuk menggulingkan Jokowi mendanai seratusan bus gratis dan diberi uang jajan selama di Jakarta. Yang kemudian atas nama Allah dan Islam, mereka menyatakan diri siap ke Jakarta untuk jihad, atau kalimat yang lebih provokatif lagi, kami mencium wangi surga di Monas.

Kemudian ada juga gerakan jalan kaki massal, yang kemudian diberitakan di media, dibesar-besarkan seolah-olah mereka benar-benar jalan kaki. Padahal di tengah jalan sebenarnya diangkut oleh bus-bus gratis yang memang sudah disiapkan tak jauh dari lokasi mereka jalan kaki.

Lalu, ada yang bergerak di jalanan, mereka yang berada di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta meminta sumbangan untuk aksi bela Islam. Tokoh-tokoh di daerah yang memiliki nama dan diakui masyarakat, dibayar untuk melakukan khutbah-khutbah Jumat provokatif.

Semua faktor pendukung tersebut, pengerahan massa dan bus gratis, jalan kaki massal sampai meminta sumbangan di jalan, adalah langkah yang sangat cukup untuk menggerakkan orang lain untuk tau dan ikut berpartisipasi. Yang belum tau jadi tau, yang belum tergerak jadi ingin berpartisipasi dan yang tidak punya waktu pun kemudian ikut terprovokasi dan menyumbangkan dananya. Sehingga pada akhirnya massa yang berkumpul mencapai ratusan ribu orang secara fakta, dan 7 juta orang secara imajinasi dan provokasi massa ala Rizieq.

Memang akan selalu ada orang yang mengaku tidak diberi uang, bahkan sampai jual kambing atau sapi hanya untuk bela agama ke Jakarta. Sebagian pernyataan mereka adalah provokasi, tapi sebagian lainnya mungkin memang melakukan hal itu. Namun pada intinya sama saja, ini semua diawali oleh provokasi, kemudian disikapi. Seperti subsidi atau bayar iklan, seratusan bus-bus berisi massa dikerahkan, diberitakan di media seolah mereka inisiatif sendiri, lalu kemudian inilah yang menggerakkan dan membuat orang lain ingin menirunya, tentu saja dengan benar-benar keluar uang sendiri untuk ke Jakarta. Hal ini biasa saja, bagi mahasiswa komunikasi dan marketing pasti sudah hafal di luar kepala.

Kampanye Siap Rusuh


Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya kampanye kelompok Anies Sandi ini merupakan tipe kampanye siap rusuh. Lihat saja pernyataan mereka, kalau tidak dicurangi pasti menang. Istilah perang badar juga kembali dilontarkan, bahkan oleh Anies sendiri. Ada kesan mereka memang sedang membangun persepsi dan nuansa ngeri peperangan yang membuat orang mati.

Istilah perang badar ini semacam kata kunci, password untuk mendukung adanya kekacauan, kerusuhan dan makar. Karena di sisi lain, Rizieq juga menggelar ceramah-ceramah ajakan kepada para masyarakat daerah yang memiliki keberanian untuk mati di Jakarta. “sebelum berangkat, tulis surat wasiat dulu,” begitu katanya.

Berbagai Kepentingan Bersepakat


Melihat rencana makar yang begitu terstruktur, sistematis dan massif, jujur saja membuat saya miris. Ternyata rakyat kita begitu mudahnya diprovokasi atas nama Islam, padahal mereka hanyalah alat propaganda, tak ubahnya hewan peliharaan yang diarahkan oleh para politisi yang kebelet ingin berkuasa. Dan agama Islam sudah dipergunakan hanya untuk memainkan emosi mereka.

Tapi inilah politik. Semua bergabung dengan kepentingan dan tugas masing-masing. Secara politik, Anies menunjukkan betapa dirinya tak pantas dipecat sebagai menteri. Sandiaga seperti begitu menginginkan jabatan Wagub karena menjadi pendana paling banyak dalam kampanye mereka.

Bagi kelompok Prabowo, mereka menginginkan kekuasaan. Jika menang mereka berkuasa, tapi jika kalah mereka bisa segera laksanakan revolusi. Tentu saja dengan desain yang begitu rapi. Coba saja dibayangkan, andai Ahok menang, maka pasti ada protes kecurangan dan meminta pemilihan diulang. Lebih dari itu, branding penista agama bisa dijadikan alasan untuk mengerahkan massa yang pada tujuannya hanya menduduki DPR dan melengserkan Jokowi lewat jalur hukum yang sah ataupun dengan kerusuhan luar biasa.

Untuk kelompok Islam radikal, mereka tidak terlalu peduli dengan kemenangan Anies Sandi. Toh di tempat lain ada begitu banyak pemimpin daerah non muslim dan mereka biasa saja. Kepentingan mereka sebenarnya adalah revolusi, kerusuhan, dan kemudian berkuasa dengan membentuk khilafah.

Sementara rakyat jelata yang bukan politisi atau kelompok Prabowo, bukan juga bagian dari organisasi Islam radikal, dan bukan keluarga Anies atau Sandi, mereka datang dengan niat tulus ingin membela Islam. Seolah-olah penistaan terhadap agama Islam itu benar-benar terjadi. Padahal mereka hanya dibodoh-bodohi, hanya ikut-ikutan tanpa tau apa yagn sebenarnya terjadi di Jakarta. Malah sebagian berpikir “hitung-hitung rekreasi gratis ke Jakarta, bisa lihat Monas.”

Terakhir, semua elemen berkumpul untuk kepentingan yang berbeda-beda, dengan tujuan yang sama: kekuasaan. Kelompok politisi ingin berkuasa, karena sekarang mereka oposisi. Kelompok radikal ingin berkuasa dan membentuk khilafah, berdalih demi agama Islam. Dan kelompok rakyat jelata juga ingin berkuasa, membayangkan negara ini dijalankan sesuai syariah yang diidam-idamkan, kemudian tutup mata dengan negara-negara Islam yang katanya menerapkan sistem khilafah tapi nyatanya rusuh dan konflik berkepanjangan, dengan ratusan nyawa dan darah yang tumpah ruah. Mungkin bukan tutup mata, tapi karena memang tidak pernah melihat negara luar, apalagi berkunjung ke luar negeri. Tapi Allan Nairn ini juga memiliki kepentingan. Begitulah kura-kura.

@alifurrahman


Jangan Terprovokasi Tulisan Allan Nairn


DUNIA HAWA - Membaca investigasi Allan Nairn yang menjelaskan keterkaitan HT, Prabowo, Fadli Zon, Donald Trump, SBY sampai Kivlan Zen, seharusnya membuat kita tahu bahwa betapa sulitnya posisi Presiden kita. Membuat kita sadar, betapa para politisi kita siap melakukan segala cara untuk berkuasa, termasuk meski dengan kerusuhan dan revolusi sekalipun.

Kita jadi tahu betapa ada pihak-pihak yang coba bersikap bijak, seolah-olah paling arif, yang kemudian membuat isu sekaligus menyarankan Presiden untuk meminta maaf pada PKI. Padahal tidak pernah sedikitpun Presiden memikirkan hal itu. Jadi jelas isu permintaan maaf pada PKI itu hanya jebakan saja, untuk memuluskan agenda pelengseran.

Kita kemudian semakin sadar bahwa ketakutan-ketakutan pada bangkitnya PKI, yang disebut sudah memiliki jutaan anggota, hanyalah karangan belaka. PKI adalah partai yang sudah mati dan terkubur pada liang terbawah sejarah republik ini. Ancaman kekacauan dan kerusuhan dengan mengaitkannya dengan PKI, hanyalah pengalihan isu yang sangat asu. Sebab sebenarnya ancaman kekacauan, kerusuhan dan revolusi justru muncul dari kelompok-kelompok yang sedang mereka bina sendiri, yaitu FPI, FUI dan seterusnya.

Presiden Jokowi yang dulu dianggap tak akan mampu bertahan setahun, rupanya berhasil membantah anggapan tersebut. Kita kemudian merasa sudah menang, tenang. Tapi ternyata upaya mereka untuk makar dan berkuasa di Indonesia dengan cara-cara licik masih berlanjut hingga sekarang.

Ormas radikal hanyalah pion yang digunakan untuk melengserkan Jokowi. Rakyat kecil hanya dijadikan tameng untuk memaksakan agenda politisi busuk yang sudah kebelet berkuasa. Lihat saja aksi mereka, aksi bela islam katanya, tapi tuntutannya adalah lengserkan Jokowi, revolusi. Kan asu!

Jebakan Allan Nairn


Ada banyak yang bertanya mengapa Presiden kerap diganggu? Padahal Jokowi sedang bekerja memperbaiki negara ini, mengejar ketertinggalan dan berupaya mengurangi kesenjangan sosial?

Pertanyaan tersebut agak susah-susah muda. Ini sama seperti pertanyaan mengapa mantanmu masih selingkuh sementara kamu sudah sangat setia dan memberikan apapun yang mantanmu butuhkan? Atau dalam contoh lain, seperti saat ada seorang karyawan yang mengganggu pekerjaanmu, bahkan kalau bisa diupayakan agar gagal dan merugikan perusahaan.

Jawaban paling masuk akalnya adalah karena mereka ingin menguasai lebih dari yang seharusnya. Tidak mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Ambisius.

Tapi di luar itu, harus kita ingat bersama bahwa ini sudah menjelang 2019. Nuansa perebutan kekuasaan tertinggi di Indonesia sudah mulai tampak, dan bahkan sudah mereka terapkan pilot projectnya di Jakarta.

Pertarungan Pilpres 2019 sudah ditabuh sendiri oleh tokoh yang sudah berkali-kali kalah dalam Pilpres, Prabowo. Setelah berulang kali kalah, tentu saja Prabowo ingin menang. Kalau sampai kalah lagi, mungkin sejarah akan mencatat bahwa Prabowo adalah manusia yang paling sering gagal dalam Pilpres Indonesia.

Dengan agenda besar memenangkan Pilpres 2019, saya kemudian melihat beberapa jebakan yang sudah dipasang sejak sekarang, salah satunya adalah munculnya investigasi Allan Nairn. Tulisan tersebut memang 80 persen pernah saya dengar, menurut analisis saya semuanya benar dan valid. Tapi ada 20 persen yang saya lihat agak mustahil dan sepertinya ini sangat sengaja diselipkan oleh Allan Nairn untuk memecah belah bangsa ini.

Saya melihat ada 3 nama yang coba dimainkan oleh Allan Nairn, yang kemudian dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidak percayaan publik terhadap mereka. Tiga nama tersebut adalah Jenderal Gatot Nurmantyo, Wiranto dan Ryamizard Ryacudu.

Jika saya dan teman-teman pembaca yang tidak memiliki jabatan publik dan pengaruh terhadap Presiden, percaya bahwa 3 nama tersebut terlibat atau setuju untuk makar, maka itu tak jadi soal. Kita semua bebas mempercayai dan berimajinasi. Masalahnya adalah jika ini berhasil membentuk persepsi orang-orang di kalangan ring satu, ini yang berbahaya.

Gatot Nurmantyo sudah dengan tegas dan terbuka menyatakan kesetiaannya kepada Presiden. Lebih baik mati melaksanakan perintah Presiden, daripada mengambil alih kekuasaan. Wiranto, adalah jenderal yang juga cukup loyal, rela meninggalkan partainya untuk menjabat menteri. Padahal dia sudah beberapa kali jadi menteri. Sementara Rymizard adalah orang yang begitu dekat dengan partai pendukung Jokowi, PDIP. Meragukan komitmen tiga orang jenderal ini sama saja tidak menghargai kerja keras mereka selama ini.

Kalau Pak Gatot berniat mengambil alih kekuasaan, itu pasti sudah terjadi saat aksi 411 yang sempat rusuh sampai malam hari. Namun itu tidak terjadi. Kemudian pada aksi 212, Presiden dan Wapres berada satu panggung di Monas, jika memang ingin mengambil alih kekuasaan, terlalu mudah bagi mereka para jenderal ini untuk berkoalisi menyabotase pengamanan Presiden. Tapi semuanya berjalan lancar karena mereka serius mengamankan, memastikan tak ada penyusup.

Kemudian Wiranto, saya lihat orang ini satu-satunya politisi yang berhasil moveon. Setelah kalah di pertarungan calon Presiden, dia masuk ke koalisi PDIP. Berbeda dengan sahabatnya yang sekarang sedang mesra-mesranya dengan KMP. Kalaulah Wiranto ini masih kebelet ingin jadi Presiden, pastilah dia tidak mau masuk ke dalam pemerintahan. Lagipula lucu, Wiranto adalah orang yang dulu memecat Prabowo secara simbolik. Mana bisa sekarang mereka berkoalisi?

Kemudian Rymizard. Nama ini pernah masuk dalam radar Cawapres dari PDIP. Yang jika memang Jokowi harus berpasangan dengan militer, maka Rymizard adalah satu-satunya kandidat yang lolos verifikasi internal. Dinilai dari loyalitas dan kerjanya.

Jadi, bisa dibilang sangat mustahil 3 nama tersebut terlibat atau setuju terjadi makar atau pengambil alihan kekuasaan di Indonesia. Sama mustahilnya dengan Presiden yang ingin meminta maaf kepada PKI, itu semua hanya isu yang dibuat oleh kubu sebelah.

Tapi meski begitu, bisa saja 3 nama tersebut mendapat desakan publik, sehingga harus diganti atau dicopot. Dan jika ini terjadi, maka Jokowi akan semakin berat mempertahankan Indonesia dari ancaman revolusi. Atau minimal Jokowi sangat rentan dikalahkan pada 2019 nanti.

Isu negatif terhadap 3 jenderal dalam lingkaran istana ini sama seperti aksi demo tolak pemimpin kafir seminggu sebelum Ahok datang ke Pulau Seribu. Yang kemudian Ahok memakan umpan tersebut dengan membalasnya dengan “jangan mau dibohongi orang pakai surat Almaidah 51.”

Sebagai rakyat Indonesia yang cinta pada negeri ini, saya pikir kita tidak perlu berpikir negatif terhadap Gatot Nurmantyo, Wiranto dan Ryamizard. Itu adalah cara terbaik untuk menangkal atau menggagalkan persepsi negatif, yang sengaja dibentuk untuk menciptakan kerusuhan serta memuluskan rencana revolusi. Karena hanya dengan cara seperti itu, maka 3 orang nama tersebut akan terbebas dari segala macam tuduhan yang memungkinkan rakyat jelata serta ormas radikal menggalang demo lagi……… begitulah kura-kura.

@alifurrahman


Sekembali Bertemu Ahok dan Magang di Balai Kota, Wajah Anies Kontan Bermuram Durja


DUNIA HAWA - Reaksi Anies dan Sandi pasca perhitungan cepat menunjukkan satu sikap yang sama. Mereka terlihat sama-sama ambisius. Sandi memberikan pernyataan pers terkait dengan rencana kerja di awal-awal kepemimpinannya, sementara Anies naik helikopter temui Ahok di Balai Kota.

Seharusnya mereka menikmati kemenangan dulu sambil menunggu pengumuman resmi KPUD DKI Jakarta. Tapi sepertinya mereka buruh-buruh mau pimpinan ibukota yang belum waktunya. Alasannya, Anies ingin menyambungkan programnya agar dimasukan dalam agenda tahun 2018 ini.

Anies terpancing dengan keterbukaan Ahok pada pasca penyampaian proficiat atas kemenangan paslon nomor urut 3 ini. Mereka siap terbuka soal data dengan Anies-Djarot. Karena Pemda DKI menganut sistem “open data”.

Pernyataan Ahok soal “open data” dipahami secara keliru oleh Anies-Sandi. Mereka mengira ajakan Ahok untuk memasukan program kerja yang mereka dalam penyusunan APBD tahun 2018. Padahal, yang dimaksudkan Ahok adalah mereka dapat berbagi data  untuk keperluan Anies-Sandi dalam strategi penyusunan anggaran untuk mendukung program kerja mereka.

Pemandangan ganjil ketika Anies-Sandi mengajukan dua, hal yang tidak lazim dalam pergantian kepemimpinan gubenur di Indonesia.Pertama, pembentukan tim transisi. Rencana pembentukan tim transisi oleh Anies-Sandi adalah sesuatu yang berlebihan karena inilah bukan dalam konteks peralihan kepemimpinan negara – presiden. Karena itu, baik Ahok maupun Djarot menegaskan bahwa pembentukan tim transisi hanya tingkat presiden – mengingat pejabat negara seperti menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jika ada pergantian presiden maka terjadi pula pergantian menteri. Berbeda dengan peralihan kepemimpinan gubernur atau bupati.  Toh,pejabat yang diangkat oleh gubernur atau bupati adalah pejabat karier yang berlatar belakang Apartur Sipil Negara (ASN).

Keinginan Anies-Sandi ini terbersit hasrat yang begitu tinggi sementara masa tugas Ahok-Djarot belum berakhir. Kalaupun niat pembentukan tim transisi untuk memudahkan mereka saat menahdokai DKI Jakarta kelak, tetapi namanya bukan transisi. Kesannya seolah-olah harus ada penyerahan kekuasaan antara gubernur lama kepada gubernur baru.  Karena itu Ahok-Djarot sepakat dan keberatan dengan usulan Anies-Sandi.

Kedua, langkah pendekatan kepada Ahok yang dilakukan oleh Anies supaya memasukan program kerja atau janji kampanye pada usulan tahun 2018 merupakan langkah positif. Namun, dimana-mana, baik kabupaten maupun provinsi, tahun pertama kepemimpinan gubernur atau bupati terpilih melaksanakan program atau kegiatan yang dibuat oleh pemimpin sebelumnya. Hal ini merupakan sesuatu yang normatif. Jangan salahkan siklus perencanaan yang tidak konek dengan Pilkada itu sendiri.

Tetapi, Anies diuntungkan dengan sosok Ahok yang baik hati – yang meletakan keegoan pribadi di atas kepentingan besar rakyat Jakarta. Ia menyanggupi keinginan Anies dengan meminta Anies-Sandi untuk mengirimkan tim anggaran untuk terlibat dalam penyusunan APBD kiranya program apa yang mendesak dan dimasukan dalam penyusunan anggaran. Tentu program itu harus sejalan dengan program Ahok-Djarot.

Sikap ini mencerminkan pribadi Ahok sebagai seorang negarawan. Ia tidak hanya politisi tetapi politisi yang negarawan. Karena tidak semua politisi itu negarawan. Banyak politisi yang memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya.

Apa yang terjadi pada Ahok pasca Pilkada DKI 2017 berbeda jauh dari apa yang ada benak di semua orang. Orang berprasangka Ahok akan menutup diri terhadap Anies-Sandi karena kalah bertarung. Tidak! Ahok justeru mengajak Anies-Sandi bekerja sama dalam penyusunan anggaran tahun 2018 (bukan dalam konteks tim transisi)  – tetapi hal yang tidak dimungkinkan adalah mengutak-atik anggaran perubahan pada APBD 2017 karena sistem e-budgeting sudah terproteksi.

Sikap legowo dan kesediaan Ahok menapis prasangka publik bahwa Ahok akan melakukan balas dendam. Semua terjadi di luar praduga itu. Komitmen Ahok pada DKI Jakarta adalah final dan berada di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sebuah keteladan yang patut ditiru di negeri ini – terutama para pemimpin baik itu bupati/walikota maupun gubernur. Bahwasan permusuhan dan dendam politik harus pupus dengan berakhirnya Pilkada. Jangankan menjadi itu sebagai alat atau sarana untuk membalas lawan yang memenangkan pertarungan.

Ajakan Ahok kepada Anies supaya mengirimkan tim untuk ikut membahas anggaran 2018 tidak lain, tidak bukan, sebuah ajakan yang sangat simpatik. Mungkin saja hal ini baru terjadi pada era kepemimpinan Ahok. Keterlibatan tim Anis (mungkin juga Anies dan Sandi) mempertegas bahwa cita-cita Ahok bahwa program yang disusun dan dijalankan pada masa kepemimpinan harus belanjut. Tidak berakhir atau pun mandek selepas berakhirnya masa kepemimpinannya.

Tentu tak kalah menarik, ajakan Ahok kepada tim Anies-Sandi adalah cara halus untuk mengajak Anies dan timnya untuk magang di Balai Kota sebagai permulaan sebelum memimpin DKI Jakarta.. Magang itu telah dimulai oleh Anies sendiri – meskipun dalam rentang waktu begitu singkat (sekitar 30 menit). Kepada Anies, Ahok memperkenalkan sistem kerja dan kecanggihan ­­e-budgeting dalam rangka transparansi penyusunan dan penggunaan anggaran. Materi magang yang diluar bayangan atau ekspetasi si Anies – dengan sub materi “Tripple Password”. Entah karena sulit atau tak berdayanya Anies  terhadap sistem itu kelak, yang pasti Anies keluar dari Balai Kota pun tidak segagah ia tiba.

Itu baru “tripple password”, saya yakin Ahok masih mempunyai kartu truf yang lain sehingga gubernur terpilih kelak duduk di Balai Kota tidak bisa berkutik. Kena dech jebakan batman! Hahaha….

@giorgio babo Moggi


Kalijodo Mulai Kumuh dan Dikuasai Preman


DUNIA HAWA - Kalijodo adalah simbol perjuangan Ahok-Djarot melawan prostitusi dan narkoba. Tempat yang dulu dikuasai banyak preman kini telah berubah menjadi taman yang indah berskala internasional. Namun belakangan ini wajah Kalijodo mulai kumuh, apakah ini hanya efek liburan saja atau karena Ahok sudah dipastikan tidak akan menjabat lagi?

Sudah lama Kalijodo menjadi sisi wajah buruk kota Jakarta dan sudah cukup lama ada keinginan untuk menutupnya, namun kerap kali menemui kegagalan. Bahkan FPI pun yang katanya hidup mulia mati syahid pun tidak sanggup menutup Kalijodo.

Lokalisasi Kalijodo di Jakarta dikenal karena kelompok bersenjata tajam dan tombak. Mereka pernah membuat Front Pembela Islam (FPI) kocar-kacir saat mencoba membubarkan tempat prostitusi itu.

Kombes Khrisna Murti membahas hal itu dalam bukunya. Khrisna pernah menjabat sebagai Kapolsek Penjaringan sehingga paham betul bagaimana kondisi para preman di sana.

Para bandar judi mengumpulkan pemuda pengangguran untuk mengamankan lapak-lapak judi di sana. Dalam struktur organisasi judi, kelompok yang menamakan dirinya ‘Anak Macan’ ini menduduki posisi paling bawah. Tugas mereka melindungi para bandar judi.

“Mereka seperti pasukan cadangan, ada yang menyebut jumlahnya sampai 1.000 orang,” tulis Kombes Khrisna Murti dalam buku Geger Kalijodo.

Para ‘Anak Macan’ ini tinggal di bangunan-bangunan yang tidak terpakai oleh bandar judi. Sebagian lagi di kontrakan sekitar lokalisasi.

Keberanian dan ketangguhan ‘Anak Macan’ ini teruji saat berhasil menghalau serangan FPI yang mencoba mengganggu lokasi perjudian. Sebagian anggota FPI bahkan lari ke jalan tol karena kalah saat menghadapi kelompok ‘Anak Macan’ ini.

Namun Kalijodo berhasil digusur justru oleh Ahok, gubernur yang mereka anggap kafir itu. Prestasi Ahok yang gemilang menggusur Kalijodo tidak  mampu membuka mata para pembencinya. Padahal perjuangan menggusur Kalijodo lebih berat ketimbang menjual saham pabrik bir yang telah dimiliki Pemprov sejak tahun 70’an.

Namun ketika Sandiaga mengatakan akan menjual saham tersebut, ramai-ramailah para onta memuji Sandiaga, tanpa berpikir siapa yang akan diuntungkan dengan penjualan saham tersebut, siapa yang akan membelinya? Siapa yang sanggup membelinya? Jangan-jangan rekanan bisnis Sandiaga juga yang membelinya? Menjual saham bir tidak menghentikan peredaran miras, kalau memang nahi munkar, tutup saja pabrik tersebut, blas!

Kalijodo yang sudah berganti wajah menjadi taman dengan berbagai fasilitas tersebut mulai dipenuhi lapak-lapak pedagang kali lima (PKL). Mereka tampak bebas bedagang minuman dan makanan ringan dipinggir jogging trek dan jalur hijau.

Kondisi taman seluas lebih dari dua hektare itu langsung penuh sampah, kumuh, dan jorok tak sedap dipandang mata.

Pantauan Warta Kota, sejumlah PKL liar di lingkungan Taman Kalijodo juga tak kalah maraknya dengan pengunjung yang mengisi hari liburnya. Mereka terlihat bebas berdagang di sembarang tempat dan tanpa pengawasan petugas terkait di taman itu.

Para PKL liar menjajakan makanan dan minuman ringan bagi para pengunjung di Taman Kalijodo. Keberadaan PKL liar ini pun sekilas menguntungkan pengunjung di Taman Kalijodo yang dahulu diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Selain PKL, Kalijodo kini kembali dikuasai oleh para preman. Lima unit mesin parkir meter yang dipasang Pemerintah Provinsi DKI di pinggir Jalan Kepanduan II atau dekat lingkungan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo, kini sudah tak ada lagi.

Setelah mesin parkir tersebut tidak ada, kini muncul sejumlah orang diduga preman setempat memungut parkir dengan tarif tertentu.

Pengunjung taman yang kendaraannya diparkir di bibir jalan itu membayar parkir yang diminta juru parkir liar. Untuk motor Rp 5.000 dan mobil Rp 10.000.

Salah seorang pengunjung Taman Kalijodo, Andre (31) mengaku tidak tahu soal adanya mesin parkir meter yang kini tak ada lagi di sekitar Taman Kalijodo.

Namun warga Tebet, Jakarta Selatan ini mengeluh karena sebelumnya ia hanya membayar parkir mobil Rp 5.000, namun kini menjadi Rp 10.000.

“Ya saya bingung saja mas. Pas diresmikannya ini taman saya parkir mobil hanya Rp 5.000, bahkan pernah cuma Rp 3.000. Kok, sekarang jadi Rp 10 ribu. Intinya sekarang biaya parkirnya kok bisa naik dari Rp 5.000 jadi Rp 10.000 dan yang mungut juga bukan anggota Dinas Perhubungan ya. Sebelumnya dari Dishub tuh. Sekarang terlihat penjaga parkirnya kayak preman, meresahkan,” ungkap Andre saat bersama kedua anaknya mengisi libur panjang dengan jogging di sore hari, Minggu (23/04).

Apakah ini berhubungan dengan Ahok yang sudah pasti tidak akan menjabat lagi? Memang agak sulit menegakkan aturan disaat orang-orang sudah tau kalau kita sudah tidak akan menjabat lagi. Nampaknya preman dan pkl sejak sekarang sudah mulai berusaha menguasai lahan-lahan yang menurut mereka strategis. Padahal Ahok masih menjabat hingga Oktober 2017, lalu kenapa Ahok diam saja? kemungkinannya dia sedang sibuk mengejar target-target penting sebelum masa jabatannya selesai seperti menyempurnakan e-budgeting, jembatan semanggi, hingga MRT.

Semoga saja kelak dengan teknik merangkul-rangkul dari Gubernur yang baru dan muslim ini dapat menata kembali PKL dan preman-preman di Kalijodo. Bukan hanya Kalijodo tapi juga daerah-daerah lain di Jakarta yang akan kembali bermunculan PKL dan preman-preman.


Begitulah kelelawar


@gusti Yusuf


Allan Nairn Dan Aa Gym…


DUNIA HAWA - Akhir-akhir ini nama Allan Nairn mencuat tinggi di media, terutama di sosmed yang hampir selalu tidak membutuhkan mekanisme “check and recheck” Itulah sebabnya sosmed lebih disukai karena lebih seksi dan genit daripada media cetak yang sudah memasuki masa “menoupause” tersebut. Gampang ditebak, judul tulisan ini juga, lebih bergaya sosmed daripada bergaya flamboyan ala media cetak tersohor ibu kota. Tetapi bukan isapan jempol, ada persamaan kehadiran kedua tokoh ini, yang sepertinya membuat merah telinga beberapa pihak yang “disemprot” oleh mereka ini.

Persamaan itulah yang akan kita bahas dalam episode tulisan ini.

Seperti kita ketahui, Allan Nairn adalah seorang jurnalis tersohor dari Amerika Serikat. Allan Nairn mempunyai reputasi internasional dan sangat berpengalaman meliput wilayah konflik di beberapa negara termasuk juga di Indonesia. Dalam liputannya sebagai wartawan asing pada peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor Timur ketika itu, Allan mendapat perlakuan kasar. Allan mengalami luka retak di kepala akibat dihantam popor senapan M16 tentara Indonesia. Perlakuan buruk tersebut tentu saja akan menimbulkan luka yang dalam bagi Allan ketika berhadapan dengan TNI.

Liputan Allan Nairn dalam peristiwa Santa Cruzpada 12 Nopember 1991 tersebut, akhirnya mampu membuat parlemen AS (Amerika Serikat) menghentikan bantuan kerja sama militer dari AS kepada Indonesia. Liputan berjudul, “Massacre : The Story of East Timor” yang dipublikasikan pada 1992 itu menceritakan pembantaian yang dilakukan militer terhadap sekitar 271 warga sipil Dili. Ditengah minimnya informasi yang bisa didapat dalam peristiwa tersebut, dari sisi jurnalistik, liputan Allan Nairn tersebut sungguh sangat istimewa. Sejak itu,  permusuhan diantara petinggi Indonesia dengan Allan Nairn “resmi dibuka!”

***

Walaupun dicekal dan bermusuhan dengan pemerintah, Allan Nairn beberapa kali terlihat berada di wilayah hukum Indonesia secara ilegal. Setelah sukses pada edisi jilid I di East Timor, Allan mencoba peruntungan ke wilayah ujung barat Indonesia, yaitu Aceh. Jika pada edisi I kehadiran Allan sebagai seorang jurnalis mendapat pujian, maka pada edisi II ini sedikit meragukan, karena membawa kepentingan politik terselubung.

Kali ini liputannya terkesan “masuk angin” karena ada kemungkinan ketidak akuratan dalam tulisan tersebut. Hasil dari wawancara yang dilakukan Allan tersebut, tidak sepenuhnya dengan orang yang tepat yang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Aceh bukanlah Timor Leste. Konflik di Aceh bukan hanya melibatkan pemerintah pusat dan GAM saja. Banyak kepentingan yang bermain disini, mulai dari TNI, Polri, Ilegal logging, bisnis terselubung, hingga kepentingan pribadi diantara sesama GAM.

Setelah bencana gempa dan Tsunami pada Desember 2004, dan kemudian berahirnya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi di Nanggroe Aceh Darussalam, praktis liputan mengenai Aceh tidak begitu mendapat perhatian internasional lagi. Liputan Allan Nairn mengenai Aceh kemudian berlalu begitu saja.

***

Setelah edisi II berlalu dengan menjemukan, kini Allan Nairn hadir kembali pada edisi jilid III. “Jakarta sedang seru-serunya!” ada Ahok sipenista agama dan ulama. Ada Aksi bela Islam jilid I, II, III dan IV. Ada Pilkada DKI. Ada isu makar. Kalau dulu ada lagu, “Antara Anyer dan Jakarta,” kini orang menyanyikan lagu, “Dari Balai Kota menuju Istana Negara.” Pokoknya Jakarta lagi crowded dan seru. Lalu Allan Nairn hadir kembali untuk mengingatkan warga Jakarta akan kehadirannya yang paham betul tentang “seluk beluk Jakarta”

Ketika berada di Dili sebagai seorang jurnalis pada 1991 lalu, Allan Nairn tahu bahwa koran Sinar Harapan di breidel Soeharto pada tahun 1986. Koran itu kemudian bernafas lagi pada tahun 2001 setelah Soeharto lengser. Romantisme pembreidelan itu kemudian menaikkan tiras Sinar Harapan dengan cepat. Namun pada ahir 2015 kemarin, koran tersebut tutup untuk selamanya, bukan oleh Soeharto, melainkan karena tidak mampu lagi bersaing dengan media cetak lain yang semakin terhimpit oleh jepitan media elektronik dan medsos…

Kini kisah “romantisme Sinar Harapan” itu pulalah yang hendak diusung oleh Allan Nairn. Dunia memang telah berubah sangat cepat. Ketika yang “ori” (original) hendak di launching, yang “KW” sudah beredar di mal-mal. Sementara produk “KW2” tiruan dari “KW” itu, telah diobral pula di lapak-lapak PKL (Pedagang Kaki Lima) padahal yang ori belum masuk ke Indonesia!!!

Arus informasi juga mengalir sangat cepat. Berita pagi hari menjadi basi pada sore hari. Persis seperti ketan yang ditabur serutan kelapa yang dibeli pagi hari, dan tak mungkin dimakan lagi sore harinya. Dokumen yang dulu bersifat rahasia, kini bahkan sudah sering ditemukan pada pembungkus tempe. Dulu pernah ada yang mengaku menemukan foto-copy “Supersemar” (entah asli atau bohongan) pada pembungkus tempe yang dibelinya di pasar….

Demikian juga pada apa yang dikatakan oleh Allan Nairn akhir-akhir ini. Semuanya juga sudah tahu. Tidak ada yang baru sama sekali di dunia ini. Kini adalah era “Bukti!” Fakta dan Fiksi hanya dipisahkan oleh “sehelai benang tipis” yang bisa dengan cepat berpindah posisi tergantung kepada akurat tidaknya bukti-bukti yang mendukungnya. Kalau ada buktinya, kabar hoax seketika menjadi fakta. Fakta tanpa bukti adalah hoax…

Memang sangat susah untuk mengulang lagi romantisme “Santa Cruz” yang dulu. Bahkan bila saja ada orang menemukan bukti baru lagi, bisa saja Allan Nairn harus menulis ulang lagi liputannya dulu itu agar sesuai dengan bukti baru tersebut. Jadi kini semuanya terpulang kepada Allan Nairn. Kalau dia bisa memberikan bukti-bukti yang valid, maka namanya akan melambung lagi seperti pada era “Santa Cruz.” Kalau tidak ada bukti, maka Allan Nairn sama saja dengan penulis, dan penulis-penulis oportunis lainnya yang selalu “mencari perhatian” pada setiap momen yang terjadi….

***

Lalu apa hubungan Allan Nairn dengan bos manajemen Qolbu yang juga Dai kondang bernama lengkap Abdullah Gymnastiar ini? Ini memang bukan menyangkut akidah atau jurnalisme, tetapi menyangkut manajemen timingstrategi pemunculan diri pada saat yang tepat! Sama halnya dengan Allan Nairn, dulu Aa Gym ini sangat popluer nama dan jaringan bisnisnya. Selain dihormati sebagai dai, beliau juga kaya raya, dan digandrungi ibu-ibu…

Tetapi semua ada masanya. Setelah tersandung kasus poligami, nama Aa kemudian redup dan menghilang dari peredaran. Bisnisnya juga menjadi mati suri. Seperti juga Allan Nairn yang mendapati momentum “Jakarta bergolak,” Aa kemudian memanfaatkan momen ini untuk eksistensi dirinya, dan berhasil!

Kalau dalam Aksi bela Islam jilid II lalu, menurut pengakuannya pada acara ILC TVOne, Aa bersama 1.500 orang santrinya bertugas membawa pengki dan sapu untuk bersih-bersih. Namun pada pada Aksi bela Islam jilid IV yang berlangsung di pulau Pramuka pada 9/01/2017 lalu, Aa Gym menjadi boss menggantikan Rizieq yang tersandung kasus kak Emma…

Kini Aa Gym seakan-akan mendapat panggung lagi dalam edisi si penista agama ini. Kini “bahunya bisa tegak lagi” dengan cuitan-cuitan serunya di twitter. Apa pun itu, Indonesia adalah negara demokrasi dimana rasa suka atau tidak suka kepada seseorang adalah hal yang lumrah dan biasa saja, dan juga tidak melanggar hukum. Aa sudah mendapatkan apa yang pernah terhilang darinya. Akankah Allan Nairn mendapatkan kembali reputasinya yang dulu? Who knows….

 Salam hangat

@reinhard f hutabarat


Pilkada DKI : Kekalahan Calon Tunggal, Kemenangan Kotak Kosong


DUNIA HAWA -  Hal Pilkada DKI dengan hasilnya yang mengejutkan masih menarik untuk dibicarakan, dipergunjingkan, diperdebatkan. Kekalahan Ahok yang antara terduga dan tak terduga memang benar-benar menghentak, memukul nurani, dan menghempaskan jiwa yang waras.

Tunggu, ini bukan soal belum bisa move on. Saya orang Jogja, jadi tidak perlu move on. Ini seperti menonton pertandingan antara Belanda dan Brazil. Mungkin saya menjagoi Belanda, tapi siapa pun yang menang, untuk saya warga Indonesia tidak banyak pengaruhnya. Tapi tunggu juga. Pilkada DKI beda dengan pertandingan bola. Pertandingan bola, siapa pun yang menang, semua senang, semua terhibur. Mungkin pendukung yang kalah kecewa, tapi dua tiga hari kemudian sudah bisa move on dan kembali ke kehidupan normalnya. Karena itu hanya soal bola.

Tapi Pilkada DKI, lain. Kekalahan salah satu paslon dan kemenangan paslon lainnya, setidaknya untuk pilkada kali ini, akan sangat mempengaruhi kemajuan Jakarta dan kesejahteraan warganya. Ini yang membuat saya miris. Terlebih, proses  menuju kemenangan disinyalir, diduga dan disaksikan tidak sebersih dan se-ksatria yang diharapkan. Isu yang diangkat untuk menggenjot perolehan suara bukannya sesuai kebutuhan masyarakat Jakarta, yaitu program yang menyejahterakan mereka, tetapi justru isu lain yang sesungguhnya tabu untuk digunakan masyarakat beradab, yaitu isu SARA, dalam hal ini khususnya agama. Tabu dan tidak patut, karena melibatkan iming-iming surga dan ancaman neraka untuk memilih pemimpin di dunia fana, yang tidak ada kaitannya dengan alam baka.

Teman saya, orang Jogja juga, punya pendapat menarik mengenai Pilkada DKI ini. Dalam pilkada serentak di Indonesia, terdapat total sembilan daerah (propinsi atau kabupaten/kotamadya) dengan kontestan tunggal. Para calon tunggal itu adalah Umar Zunaidi Hasibuan – Oki Doni Siregar (pasangan calon petahana di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara), Umar Ahmad – Fauzi Hasan (petahana di Tulang Bawang Barat, Lampung), Haryanto – Saiful Arifin (petahana di Pati, Jawa Tengah), Karolin Margret Natasa – Herculanus Heriadi (paslon tunggal Kabupaten Landak, Kalimantan Barat), Samsu Umar Abdul Samiun – La Bakry (petahana Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara), Tuasikal Abua – Martlatu Leleury (petahana di Maluku Tengah), Benhur Tomi Mano – Rustan Saru (petahana di Jayapura), Gabriel Asem – Mesak Metusala Yekwam (petahana Kabupaten Tambrauw, Papua Barat), Lamberthus Jitmau – Pahima Iskandar (petahana di Sorong, Papua Barat).

Mereka, para calon tunggal itu, meski bertanding tanpa lawan, tetap harus mengikuti seluruh proses pilkada termasuk pemilihan dan penghitungan suara. Dalam pemungutan suara, KPU menyediakan dua kotak, yaitu kotak untuk pemilih calon yang bersangkutan (atau yang setuju dengan calon tersebut), atau kotak kosong (untuk pemilih yang tidak setuju dengan dengan calon tersebut). Bila sang calon tunggal memperoleh lebih dari 50% suara (dari jumlah pemilih yang memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, bukan jumlah pemilih dalam daftar DPT), ia terpilih menjadi gubernur/bupati/walikota untuk periode berikutnya. Jika kotak kosong yang menang, calon tunggal tersebut dapat maju lagi untuk periode pilkada berikutnya. Sementara itu tampuk pimpinan daerah akan diisi oleh penjabat yang ditunjuk pemerintah (mungkin semacam Plt).

Yang menarik adalah, masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan boleh “mengkampanyekan” (istilah halusnya sosialisasi) kotak kosong. Mereka boleh mengajak warga untuk memilih kotak kosong, alias tidak setuju dengan calon tunggal tersebut. Tetapi, kampanye untuk kotak kosong tidak bisa difasilitasi KPU karena memang aturan untuk itu belum ada.

Kembali ke teman saya yang orang Jogja tadi, menurutnya, Pilkada DKI yang mencapai dua putaran ini seperti pilkada dengan calon tunggal. Calon tunggalnya pasangan Ahok-Djarot. Bagi Jakarta dan warganya, ini adalah antara memilih Ahok-Djarot atau kotak kosong. Kenapa? Karena secara kinerja (hal yang paling dibutuhkan dari seorang pemimpin daerah), tidak ada yang bisa menandingi Ahok. Tidak Anies, tidak juga Agus. Dan anggapan atau dugaan ini diperkuat dan semakin diyakini jika kita menyimak serangkaian debat yang diadakan KPU maupun TV swasta, maupun dari kampanye ketiga pasangan calon itu.

Jadi, pilihannya antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan Ahok. Yang menginginkan Ahok dan yang menolaknya.  Yang menyukai dan membencinya, karena berbagai alasan. Lalu bagaimana dengan serangkaian demo berkode tiga angka yang melibatkan ratusan juta orang (nggak sebanyak itu kaleee) berbaju atau berdaster putih itu? Itu adalah bagian dari sosialisasi kotak kosong. Mereka mengajak warga lebih untuk tidak memilih Ahok (bukan untuk memilih Anies) dalam pilkada kali ini. Juga dalam spanduk-spanduk provokatif dan ceramah-ceramah di rumah-rumah ibadah, yang laporannya sempat masuk ke Plt Sumarsono. Intinya adalah mengajak untuk “tidak memilih pemimpin non muslim, menolak penista agama”. Bahkan mereka jarang spesifik mengajak untuk memilih Anies. Alih-alih, mereka mengajak untuk memilih pemimpin muslim. Siapa pun, asalkan muslim. Dalam hal ini, KPU sudah bertindak benar dengan tidak menfasilitasi demo-demo itu, karena memang aturannya belum ada. Bahwa ketuanya memasang foto demo 212 sebagai profile whatsapp-nya, itu hanya sekedar simpati.

Lalu, siapa kira-kira yang memilih Ahok? Adalah mereka yang senang dengan Ahok, yang merasa puas dengan kinerjanya selama menjadi gubernur, yang mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan-kebijakan Ahok termasuk KJP, KJS, naik Transjakarta gratis, sungai bersih, banjir cuma hitungan jam sudah surut, kemacetan berkurang, infrastruktur, ruang terbuka yang nyaman, dan pelayanan oleh birokrasi terhadap masyarakat yang cepat dan bermutu tinggi, dan kaum berpikiran rasional yang setuju bahwa Jakarta harus mendapatkan yang terbaik, yang mereka lihat dan buktikan dalam diri Ahok.

Kemudian, siapa yang kira-kira memilih kotak kosong alias tidak setuju dengan Ahok? Adalah :

Para pembenci Ahok, termasuk pimpinan, anggota dan simpatisan ormas-ormas radikal penggerak demo tiga angka.Pemilih dari berbagai kalangan, dari pedagang Tanah Abang yang tidak bisa berjualan di trotoar sampai anggota depan yang tidak bisa menitipkan anggaran di APBD, dari sebagian penghuni bantaran sungai yang direlokasi namun tidak puas dengan kehidupannya di rumah susun sampai sebagian penguasa Kalijodo yang dimatikan jalan rezekinya, dan mungkin juga PNS yang tersingkir, terkena sanksi atau termutasi dalam sistem pemerintahan yang dikembangkan Ahok.Pemilih yang sebenarnya puas dengan kinerja Ahok, namun memilih kotak kosong entah karena takut, terintimidasi atau berhasil diyakinkan untuk tidak memilih pemimpin beda agama.Sebagian pengusaha yang kurang sreg dengan gaya kepemimpinan Ahok yang terlalu saklek, selalu sesuai aturan dan tidak bisa digoyahkan walau dengan iming-iming suap, di mana hal itu mungkin menyulitkan usaha mereka.Pemilih, baik karyawan biasa, wiraswastawan, pengusaha kecil, pengusaha besar atau pihak lain yang sebenarnya puas dengan kinerja Ahok, mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakannya, dan sama sekali ti Kidak masalah dengan kepemimpinan Ahok selama ini, tetapi memilih kotak kosong dengan alasan ingin Jakarta aman, damai dan mereka bisa bekerja atau berusaha dengan lancar seperti biasanya. Mereka percaya atau berhasil dibuat percaya bahwa kalau Ahok menang, Jakarta akan rusuh, terjadi anarkhi, dan usaha atau keselamatan jiwa mereka terancam.Para pendukung maupun simpatisan kotak kosong lainnya.

Setelah proses kampanye yang penuh haru-biru dan pemungutan suara yang dikabarkan aman dan lancar, prediksi hasilnya sudah muncul. Sekitar 42% pemilik hak suara memilih Ahok, sisanya memilih kotak kosong. Jadi, kotak kosonglah yang menang. Sesuai aturan KPU, Ahok masih bisa maju lagi pada pilkada periode berikutnya (alias tahun 2018), dan untuk sementara DKI Jakarta dipimpin oleh Plt Sumarsono, atau orang lain yang ditunjuk Mendagri. Jadi selama setahun ini, Ahok dan tim suksesnya bisa mempersiapkan diri, memoles strategi kampanyenya, mencerdaskan dan mewaraskan pemilih, sehingga mereka dapat memilih dengan akal sehat, pikiran jernih dan hati nurani yang berseru nyaring. Tapi sekali lagi, ini hanya dalam angan-angan teman saya yang orang Jogja itu.

Bagaimana pun, Jakarta sudah memilih pemimpinnya. Selama lima tahun ke depan, propinsi ini akan dipimpin oleh kotak kosong pilihan warga. Jadi pemerintahan diprediksi akan berjalan dengan mode autopilot. Tapi tidak perlu dicemaskan, kita sudah punya pengalaman berjalan dengan mode autopilot ini selama sepuluh tahun, dan kita “baik-baik” saja.

Ya, kita akan selalu baik-baik saja, kadang tanpa tanda petik, kadang dengan tanda petik.

@sutan saja