Sunday, April 16, 2017

Renungan Paskah ; "Bangkit Bersama Kristus Menuju Keadaban Bangsa"


DUNIA HAWA - Salah satu alasan mendasar manusia beragama adalah adanya perasaan damai, tenang, tenteram, dan rukun selalu. Namun, kini semua elemen mendasar itu kian terurai oleh perilaku budaya modern yang semakin mengkristal.

Umat Kristiani akan segera merayakan Paskah. Setiap tahun sejarah perjalanan hidup keagamaan selalu diwarnai dengan upacara dan ritual keagamaan. Namun, ritual tersebut tak ayal hanya menjadi formalitas semata, tanpa ada pemaknaan mendalam dari esensi hidup menuju keadaban bersama. Paskah dirayakan sebagai pesta kebangkitan Yesus, namun bagaimana kita memaknai pesan-pesan kemanusiaannya?

Mengawali dengan Puasa


Umat Kristiani mengawali perayaan Paskah dengan masa pra-Paskah. Pra-Paskah adalah hari raya mendahului masa Paskah empat puluh hari menuju perayaan Paskah dengan memulainya Rabu Abu. Masa di mana umat Kristiani memaknai perjalanan hidup menuju semangat pertobatan. Keheningan untuk mengajak segenap umat manusia kembali pada permenungan mendalam mengenai hakikat kemanusiaan yang mulia dan luhur.

Secara kodrati manusia diyakini sebagai ciptaan yang paling sempurna. Ia sebagai individu tidak berdiri sendiri. Manusia punya jiwa, naluri, serta empati untuk hidup bersama dengan sesamanya. Dengan itu pula manusia sebagai pemeran utama di bumi justru terjebak dalam hal mendasar di hidupnya. Dalam evolusi kemanusiaannya, ia terus menciptakan segala situasi dan kondisi dengan pembaharuan-pembaharuan.

Era digital, era di mana peradaban modern dituntut dalam segala hal menggunakan rasionalitas nalar manusia. Segala penemuan teknologi yang berkembang akhir-akhir ini mengindikasikan tragedi modernitas yang kian mengurung entitas nilai kemanusiaan yang sangat kodrat. Ideal-ideal kemanusiaan ditandai dengan rasionalitas sarana sebagai pintu gerbang kapitalisme modern.

Teknologi kini semakin mengalienasi manusia dari cita rasa budayanya yang perlahan tergerus oleh arus globalisasi. Manusia mencitrakan diri terjebak dalam pencarian jati dirinya. Teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Begitu menumpuknya manusia-manusia virtual di ruang peradaban modern. Di saat yang sama, kita kehilangan individualitas sebagai pribadi yang utuh.

Perjalanan puasa sebelum memasuki Paskah adalah lorong waktu mengajak kita untuk kembali merenungkan nilai-nilai yang mulai terurai. Puasa mengawali Paskah untuk mengajak manusia pada permenungan mendalam menuju semangat pertobatan sejati. Kita diajak untuk menahan hawa nafsu dari keinginan duniawi, untuk menjaga sikap dan perbuatan yang mulai terbawa dalam arus globalisasi.

Puasa adalah jalan keheningan menuju laku tobat dan tapa. Di saat yang sama umat Kristiani diharapkan memberikan perhatian pada karya amal dan olah tobat.

Memaknai Paskah


Paskah adalah pesta kebangkitan. Setiap tahun umat Kristiani merayakannya, namun kini apa yang perlu direfleksikan dalam pesta Paskah ini? Kata bangkit adalah kata yang menggugah orang untuk segera bersemangat keluar dari situasi tertentu.

Paskah identik dengan salib. Pemaknaan mengenai salib membawa manusia pada sejarah masa lalu tentang simbol salib tersebut. Sebagai tanda kesengsaraan menuju kemenangan. Kemenangan memperjuangkan sisi kemanusiaan yang sangat kodrati sebagai citra Allah.

Beranjak dari konteks ruang dan waktu, situasi politik nasional kita dipenuhi oleh aura primordial yang kian mengkristal. Kepemimpinan populis berada dalam kurungan kaum oligarki. Berpaling ke Lasswell, “politik tidak lain adalah milik kaum pemodal, berduit, dan kaum borjuasi.” Dalam sistem kepemimpinan nasional kita saat ini, semua diliputi oleh kerakusan akan jabatan dan tarik menarik kepentingan kelompok dan golongan.

Sistem ekonomi mulai mengabaikan tatanan sosial warga bangsa. Di saat yang sama ketika banyak warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, korupsi justru kian menggurita tak terbendung. Logika sosial dilepaskan dari logika pasar. Ekonomi lebih berpedoman pada mekanisme pasar untuk mengakumulasi modal asing.

Dunia hukum sama halnya dengan ekonomi. Semua seolah adil, tetapi di belakang layar ada permainan kaum-kaum pemenang dengan senangnya mengatur keputusan pengadilan yang seharusnya menganut prinsip keadilan sebagai yang mulia, wakil Sang Khalik di bumi.

Panggilan mulia yang disematkan pada hakim digeneralisir untuk memanipulasi putusannya mengenai apa itu adil. Dengan segala model penafsirannya malah melewati jalur putusannya untuk mengelabui kasus yang sedang ditanganinya. Semua adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan.

Dalam bidang agama dan budaya, semakin terurainya rasa pluralitas nilai akan perbedaan. Padahal, negeri ini lahir dari rahim keberagaman. Konon, agama lahir untuk mendamaikan, namun kini tampak hanya sebagai wacana. Wujud nyata dari iman keagamaan dikelabui untuk kebohongan publik. Sebagai contoh, para koruptor justru tampil lebih religius dari biasanya di depan kamera. Biar tampak agamis dan beriman dalam kebohongannya.

Negeri ini kini dipenuhi oleh manusia-manusia tunabudaya. Orang melupakan nilai dasar dari para pendiri negeri ini, yang memberikan pesan kemanusiaan yang turun temurun penuh kedalaman nilai dan maknanya. Semangat individualistis semakin menumpuk di ruang publik. Orang hidup hanya untuk dirinya, tanpa ada rasa peduli untuk sesamanya. Semakin hilangnya sikap kerelawanan dan semangat gotong royong sebagai budaya bangsa ini.

Perayaan Paskah adalah perayaan “kebangkitan”. “Bangkit” berarti mengajak kita untuk keluar dari situasi tertentu menuju “keadaban bersama”. Bangkit dari “rasa ketidakadilan”. Bangkit dari tatanan ekonomi untuk lebih mementingkan “kepentingan warga bangsa”.

Bangkit untuk menciptakan misi dan visi dalam mengarahkan “tatanan politik kebangsaan” agar semakin terarah pada nilai-nilai luhur bersama. Paskah mengingatkan kita untuk segera menegakkan “hakikat hidup bersama sebagai bangsa”, sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini.

Semua itu tentu perlu waktu, namun kita tidak boleh terus menerus bertahan dalam keadaan tersebut. Perubahan menuntut sesegera mungkin memulai, paling tidak, untuk diri kita masing-masing sebelum beranjak ke ruang dan waktu yang lebih luas.

Itulah Paskah sebagai lorong waktu untuk merefleksikan segalanya menuju keadaban kebangsaan-kenegaraan, sebelum menatap yang belum jelas.

Selamat Merayakan Paskah buat Umat Nasrani!

@marz wera


Kebangkitan Yesus: Hidup atau Mati?


DUNIA HAWA - Dalam kalender Masehi, Minggu, 16 April, diperingati sebagai hari Paskah atau kebangkitan Yesus. Hari Jum’at kemarin disebut “Jum’at Agung” karena diyakini Yesus meninggal pada hari tersebut. Di antara Jum’at Agung dan Paskah dikenal “Sabtu Suci” (Latin: Sabbatum Sanctum). Walaupun tidak dirayakan secara hiruk-pikuk seperti Natal, sesungguhnya tiga hari penting itu menjadi fondasi lahirnya agama Kristen.

Perlu segera disebutkan di sini, di antara berbagai narasi tentang Yesus yang kerap menjadi perdebatan teologis antara Kristen dan Muslim, soal kebangkitan Yesus ini paling jarang didiskusikan. Buku-buku yang membahas Yesus/Isa dalam Alkitab dan al-Qur’an atau tema-tema teologis dalam Kristen dan Islam umumnya tidak menjadikan soal kebangkitan Yesus sebagai satu fokus pembahasan. Biasanya pembahasan mereka tertuju pada soal “ketuhanan Yesus”, “Yesus sebagai Anak Tuhan”, “doktrin Trinitas”, dan seterusnya.

Hal itu bisa dipahami karena Islam tidak mempersoalkan kebangkitan Yesus. Sebaliknya, al-Qur’an secara eksplisit mengafirmasi bahwa Yesus diangkat oleh Tuhan. Yang menjadi perbedaan (hanya) apakah Yesus dibangkitkan dalam keadaan hidup atau mati. Poin ini akan didiskusikan di bagian akhir tulisan ini.

Paskah dan Fondasi Keimanan Kristen


Dalam beberapa dekade terakhir, teologi Paskah mulai menarik perhatian para sarjana Kristen setelah sekian lama terabaikan. Barangkali sejak abad ke-2, soal kebangkitan Yesus ini “terpinggirkan” dalam sejarah teologi dan ikonografi Kristen. Perbincangan Kristen lebih terfokus pada detik-detik akhir hidup Yesus yang dikenal dengan “penderitaan” (Passion) yang berakhir dengan penyaliban. Kristologi klasik juga lebih didominasi oleh teologi inkarnasi.

Padahal, bagi Kristen awal, justru Paskah atau kebangkitan Yesus itu yang diyakini sebagai pertanda pemenuhan profetik tentang Almasih yang akan menyelamatkan umat manusia. Sebelum peristiwa kebangkitan Yesus, para murid Yesus berada dalam kebingungan dan tidak sepenuhnya mengerti ajaran Yesus. Mereka tidak tahu atau salah memahami misi yang harus diemban. Ketika Yesus ditangkap, misalnya, mereka melarikan diri. Bahkan, salah satu murid Yesus, Petrus, mengelak bahwa ia mengenal Yesus atau punya hubungan dengannya.

Namun, sesuatu kemudian terjadi. Tubuh Yesus tidak ditemukan. Dia telah dibangkitkan dan menampakkan diri pada sejumlah orang. Peristiwa itu menjadi perbincangan. Semakin meluas. Paskah telah mentransformasi keimanan. Penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus diimani punya makna penyelamatan dari Sang Juru Selamat.

Setelah lama terabaikan, teologi Paskah ini mulai menjadi perbincangan, termasuk di kalangan sarjana. Pada 1972, sarjana Jerman Rudolf Pesch mengajukan tafsir “baru” tentang asal-muasal teologi Paskah. Dalam ceramahnya di Universitas Tübingen pada 27 Juni 1972, dia mempersoalkan reliabilitas narasi Injil tentang penemuan kuburan Yesus yang kosong. Bahkan, dia menyangsikan penampakan Yesus yang telah dibangkitkan.

Bagi Pesch, teologi Paskah tidak berawal dari kebangkitan Yesus. Ide tentang Paskah itu sudah ada dalam keimanan murid-murid Yesus. Dia mengajukan dua alasan. Pertama, semasa Yesus hidup, mereka sudah meyakini Yesus sebagai Almasih dan rasul eskatologis. Kedua, terkait dengan itu, penelurusan asal mula Paskah seharusnya dilacak pada Yesus historis, bukan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah penyaliban.

Satu tahun kemudian, Romo Gerald O’Collins menulis buku kecil tapi dibawa luas berjudul The Easter Jesus (Yesus Paskah). O’Collins menyangkal argumen yang menyebut Paskah tidak historis. Namun, dia mengakui bahwa, sebagai perbuatan Tuhan yang tak mungkin diperbandingkan, kebangkitan Yesus tidak dapat dibuktikan secara historis.

Sudut pandang Pesch and O’Collins itu masih mewarnai pembahasan tentang kebangkitan Yesus dalam kesarjanaan kontemporer. Ada kalangan yang mengafirmasi kebangkitan fisik Yesus, tapi ada juga yang menolaknya. Dale Allison, dalam bukunya, Resurrecting Jesus: The Earliest Christian Tradition and Its Interpreters (2011), menganggap murid-murid yang mengaku menyaksikan penampakan Yesus itu seperti penglihatan yang dialami oleh seseorang yang baru kehilangan orang amat sangat dicintainya.

Secara teologis, tidak penting apakah kebangkitan dan penampakan Yesus itu benar-benar terjadi atau tidak. Kenyataannya, memang, tak ada sumber atau dokumen yang bisa membuktikannya. Yang lebih utama ialah bagaimana peristiwa Paskah tersebut telah membentuk keyakinan lebih dari dua miliar umat Kristiani. Menarik dicatat, ternyata kebangkitan Yesus itu juga dikonfirmasi oleh al-Qur’an.

Yesus Mati atau Hidup?


Seperti disebutkan di awal, yang membedakan pandangan umum kaum Muslim dan Kristiani ialah apakah Yesus dibangkitkan dalam keadaan hidup atau mati. Bagi kebanyakan kaum Muslim, Yesus dibangkitkan hidup.

Locus classicus dari perdebatan apakah Yesus itu mati atau tidak adalah ayat 157 dari surat al-Nisa’: “Dan pernyataan mereka, ‘Kami telah bunuh Almasih, Yesus, putera Maryam, rasul Allah.’ Dan mereka tidak membunuhnya atau menyalibnya, melainkan diserupakan (syubbiha) demikian kepada mereka.” Kata kunci yang menjadi perdebatan ialah “syubbiha” (diserupakan).

Seperti umum diketahui, para mufassir mengajukan beragam pandangan. Umumnya mereka menganggap ada orang lain yang diserupakan sebagai Yesus dan disalib. Artinya, Yesus tidak mati. Ibnu Katsir, misalnya, menceritakan bahwa ketika rumah yang ditempati Yesus dan murid-muridnya dikepung oleh orang-orang Yahudi pada Jum’at sore, Yesus bertanya: “Siapa di antara kalian yang mau diserupakan dengan saya, dan nanti akan menjadi teman saya di surga?”

Ketika salah seorang murid yang paling muda setuju, maka atap rumah itu terbuka. Yesus tertidur dan tubuhnya diangkat ke langit melalui lubang di atap rumah tersebut. Di sini terlihat bagaimana Ibnu Katsir merekonstruksi kisah penyaliban untuk berargumen bahwa Yesus diangkat ke langit dalam keadaan hidup.

Sebenarnya kalau kita baca ayat di atas secara pelan-pelan, kita akan memahami bahwa poin utama ayat tersebut bukanlah penolakan al-Qur’an tentang penyaliban Yesus. Yang menjadi fokus kontensi surat al-Nisa’ ayat 157 ialah penolakan atas klaim orang-orang Yahudi bahwa mereka telah membunuh Yesus. Redaksi bahasa ayat itu jelas bukan soal penyaliban, melainkan penolakan keras atas klaim kaum Yahudi. Karena itu, di akhir ayat tersebut dan ayat berikutnya disebutkan, “Mereka memang sungguh-sungguh tidak membunuh, melainkan Allah mengangkatnya kepada-Nya.”

Jika pemahaman ini diterima, maka kata “syubbiha” (diserupakan) tidak berarti ada orang lain yang diserupakan dengan, atau mengganti posisi, Yesus. Surat al-Nisa’ ayat 157 bisa dipahami begini: Mereka mengaku telah membunuh Yesus. Sesungguhnya mereka tidak membunuhnya atau menyalibnya, tetapi itu persepsi mereka saja. Mati atau tidaknya Yesus itu tergantung pada Allah, bukan kehendak mereka.

Karena para mufassir menganggap Yesus tidak disalib, maka mereka kesulitan memahami surat Ali Imran ayat 55: “Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Yesus, ‘Sesungguhnya Aku menyebabkan kamu mati (mutawaffika) dan mengangkatmu (rafi’uka)‘.” Apa arti kata “mutawaffika” itu? Walaupun arti literleknya “mewafatkan kamu”, para mufassir mencari-cari alasan untuk memaknainya lain karena mereka sudah kadung menganggap Yesus tidak disalib. Kata “tawaffa” muncul duapuluh tiga kali dalam al-Qur’an, dan semuanya diartikan “mewafatkan”. Namun ketika terkait Yesus, mereka mencari-cari alasan untuk mengartikan yang lain.

Demikianlah para mufassir mempersulit diri sendiri karena penolakan terhadap penyaliban Yesus. Padahal, kalau saja mereka mengakui penyaliban Yesus, maka makna ayat 55 surat Ali Imran menjadi terang benderang. Yakni, Allah mewafatkan Yesus dan kemudian mengangkatnya.

Selamat Paskah  2017!

@mun'im sirry