Friday, April 14, 2017

Kasus Ahok dan Anekdot dari Neraka


DUNIA HAWA - Banyak sudah diskusi, debat, pergunjingan, analisis dan tulisan mengenai kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Betapa besar energi bangsa yang terkuras karena kasus ini. Entah berapa banyak hujatan dan ujaran kebencian (hate speech) yang sudah ditumpahkan pada tokoh ‘kontroversial’ yang satu ini. Tetapi tak kurang juga simpati bahkan empati yang mengalir dari segala penjuru. Proses persidangannya benar-benar melelahkan, tidak hanya bagi terdakwa bersama Tim Pengacara dan para Majelis Hakim bersama Jaksa Penuntut, melainkan juga bagi kita yang hanya menyaksikannya lewat layar kaca. Karena itu mari kita awali diskusi ini dengan sebuah “anekdot dari neraka”, agar kita menghadapi kasus ini dengan senyum sembari mawas diri.

Awas Hitler Lewat!


Diantara para penghuni neraka, siapa kira-kira yang paling ditakuti? Kebanyakan diantara kita mungkin akan menyebut nama penjahat kemanusiaan paling kejam, Adolf Hitler. Maklum, sejarah mencatat Hitler bersama partai Nazi-nya telah membantai 11 juta orang sejak dia berkuasa, tahun 1933 hingga Perang Dunia II berakhir. Para korban itu ditangkapi pasukan rahasia Jerman “SS” (Schutzstaffel atau “Skuadron Pelindung”, pimpinan Heinrich Himmler) dari negara-negara taklukan Jerman di Eropa sebelum dan selama PD-II. Mereka terdiri dari kaum Yahudi (6 jutaan), Saksi Yehovah, kaum homoseksual dan penderita diffabel (kaum cacad dianggap tak berguna bahkan jadi beban negara dan masyarakat!) – 1,1 juta dariantara mereka itu adalah anak-anak. Suatu kekejaman luar biasa yang digerakkan oleh pengagungan ras Aria (“Deutch Uber Alles”) serta kebencian pada ras Yahudi dan semua yang dianggap lemah-tak berguna atau tak sesuai dengan ideologi Nazi. Konon, Hitler digelari

The Great Hater (Pembenci Agung) oleh sesama haters penghuni neraka. Jadi kemanapun dia berjalan di neraka dengan iringan para pengawalnya, para penghuni neraka jauh-jauh sudah saling mengingatkan: “Awas, Hitler lewat!”Dia selalu harus dihormati dengan gaya Nazi “Heil Hitler!” oleh penghuni lainnya. Sampai suatu saat, ketika sedang lewat di depan suatu kerumunan penghuni neraka, ada satu penghuni yang cuek, tidak memberi hormat. Melirik Hitler pun tidak. Padahal tampilannya biasa-biasa saja, bahkan terkesan minder dan terasing di sudut-sudut neraka, tak punya teman dan nampak paling menderita. Maka Hitler dan pengawalnya berhenti lalu mendekati dia: “He, lu ini siapa, berani-berani cuek ama gue?” gertak Hitler dengan muka bengisnya. Si cuek, yang langsung mengenali Hitler dari kumisnya, menjawab dingin: “Lu masak gak tahu siapa gue. Gue yang nyerahin Yesus Guru gue sendiri untuk diadili dan disalibkan”. Kali ini giliran Hitler yang gemetar di hadapan The Great Traitor, si Pengkhianat Agung, dan buru-buru memberi hormat bersama para pengawalnya dengan gaya Nazi: “Heil Judas !”.

Haters and Traitors


Pesan moral dari anekdot ini: (1) alamat paling pas untuk para pembenci dan pengkhianat adalah neraka. Mengapa bukan surga? Karena surga adalah ‘tempat’ untuk orang-orang baik yang selama hidupnya menghormati dan mencintai sesama, memuliakan Tuhan sembari memuliakan sesama. Para pembenci dan pengkhianat sudah menciptakan neraka bagi sesama di dunia, maka tinggal dilanjutkan sesudah kematian! Surga bukan ‘tempat’ saling membenci dan menghujat. (2) Dari para pembenci dan pengkhianat, yang paling menderita sekaligus paling menakutkan ternyata pengkhianat. Judas adalah satu dari 12 murid Yesus Kristus (Isa Al-Masih). Nampaknya sejak awal mengikuti Yesus, Yudas hanya digerakkan oleh motif keserakahan dan kepentingan ekonomi. Karena itu dia menawarkan diri sebagai pemegang kas alias bendahara. Harapannya, ribuan pendengar khotbah-khotbah Sang Guru bisa menjadi sumber pemasukan yang bisa dikorupsi. Ternyata harapannya tidak pernah terpenuhi. Sang Guru tidak pernah menginstruksikan untuk mengedarkan pundi-pundi pada setiap sesi pengajaran. Karena kecewa, dia pun mengikuti bisikan iblis untuk menjual Gurunya dengan tigapuluh keping perak. Belakangan setelah melihat Sang Guru disiksa habis-habisan bahkan disalibkan, dia melemparkan uang sogokan di hadapan para Ulama Yahudi dan pergi menggantung diri. Penyesalan yang terlambat.

Hitler semula adalah juga pengikut Yesus, bahkan konon pernah duduk di bangku Seminari. Tetapi karena mabuk kekuasaan, Hitler yang sebenarnya asli orang Austria itu, meninggalkan imannya dan mengintrodusir ideologi arianisme “Deutch Uber Alles” (orang Jerman mengatasi semua ras lain) dengan kebencian yang membara pada ras Yahudi. Kesombongan dan kebencian itulah yang menggerakkan tindakan paling biadab dalam sejarah: pembasmian dan pembantaian 11 juta manusia, termasuk sekitar 6 juta kaum Yahudi dan 1,1 juta anak-anak!

Dalam kaitan dengan The Great Traitor Judas Iskariot, kita mesti ingat Pilatus. Pontius Pilatus menyerah pada teriakan “Salibkan Dia!” dari kerumunan massa yang diprovokasi Imam-Imam Kepala dan para tetua agama Yahudi di Yerusalem. Pilatus adalah gubernur Romawi untuk propinsi Yudea (meliputi tiga distrik: Yudea, Samaria, Idumea) dari tahun 26 s/d 36 Masehi. Dalam jabatan itu, ia bertanggungjawab atas eksekusi penyaliban Yesus (Nabi Isa). Sebab salah satu dari empat tugas gubernur sebagai perwakilan kekaisaran Romawi di suatu propinsi jajahan adalah menjadi hakim tertinggi (supreme judge) dalam suatu perkara di wilayahnya. Pilatus sudah memeriksa sang terdakwa, Yesus dari Nazareth, dan di depan kerumunan itu terang-terangan mengatakan tidak menemukan satupun kesalahan padaNya.

Tetapi kerumunan itu tidak mau tahu. Bahkan ketika Pilatus menawarkan pilihan antara Yesus atau Barabas, seorang penjahat terkenal, kerumunan massa memilih untuk melepaskan Barabas, dan terus berteriak histeris “Salibkan Dia!” Akhirnya karena Pilatus takut ambil risiko, kerumanan menang, keadilan kalah! Pilatus nampaknya takut pada ‘kutuk’ yang akan menimpa bila menghukum orang tak bersalah, apalagi isterinya sudah mengingatkan “Jangan mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”. Karena itu ia mengambil air lalu “cuci tangan” di hadapan kerumunan itu sambil berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang (benar) ini; itu urusan kamu sendiri”. Tetapi kerumunan massa malah menyahut penuh kebencian “Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami”. [Banyak orang menghubungkan pembasmian sekitar 6 juta orang Yahudi oleh Nazi Hitler di kamp-kamp konsentrasi Jerman dalam PD-II, dengan sumpah serapah kerumunan tersebut].

Pilatus menyerahkan Terdakwa untuk dihukum mati di kayu salib oleh kerumunan massa Yahudi, bangsanya sendiri! Sungguh ironis dan tragis, karena hukuman seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Yahudi. Hukuman mati dengan penyaliban adalah tatacara penghukuman tentara Romawi atas para pemberontak seperti Spartacus dan pasukannya. Sejarah mencatat hukuman mati atas Diri Yesus melalui pengadilan tak wajar karena kelemahan si pengadil di bawah tekanan kerumunan massa pembenci yang dikendalikan oleh para pemuka agama Yahudi, sebagai salah satu pelanggaran HAM terberat sepanjang jaman.

Kasus Ahok, Ujian Demokrasi


Pada awal-awal proses pemeriksaan, penyidikan dan persidangan Ahok, berbagai argumen pro-kontra sudah mewarnai media sosial maupun media mainstream terutama TV. Dengan mudah kita dapat membedakan mana yang dilatari motif primordial SARA yang bersinergi dengan motif politik, dan mana argumen yang dilatari akal sehat, rasionalitas. MUI punya andil terbesar dengan mengeluarkan ‘pernyataan sikap dan pandangan keagamaan’ yang jelas menempatkan Ahok bersalah sebagai penista agama dan ulama. Bak gayung bersambut (karena memang diduga ada ‘Ki Dalang’ yang menyiapkan skenario di belakang layar), terbentuklah GNPF-MUI  – Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang kemudian meng-organize pengerahan massa untuk memberi tekanan demi tekanan para penegak hukum.

Meskipun alasan yang selalu diangkat ke permukaan adalah “murni alasan pelanggaran hukum” semua orang yang mau menggunakan akal sehat juga tahu bahwa demo itu sebenarnya digerakkan oleh kebencian yang dilatari sentimen primordial SARA, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik pilkada DKI. Seorang cendekiawan Muslimah yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Sidney, Australia, Meilanie Buitenzorgy mem-posting surat terbuka yang diberi judul “Surat Meilanie Untuk Ahok” di akun facebook.com/greater.indonesia, medio Desember 2016. Dalam waktu singkat surat terbuka itu menjadi viral di media sosial. Meilanie membuktikan diri sebagai cendekiawan sejati yang tidak hanya cerdas tetapi juga arif dalam melihat permasalahan secara obyektif-ilmiah, dengan akal sehat. Meilanie dengan jelas dan tegas, sama seperti Buya Syafi’i Maarif, berpendapat bahwa Ahok tidak menistakan agama ketika mengutip Al Maidah-51 dalam pidatonya selaku gubernur di Kepulauan Seribu. Ahok hanya mengemukakan fakta bahwa ayat itu sering disalahgunakan untuk kepentingan politik pilkada. Dan tidak ada undang-undang di republik ini yang melarang seseorang untuk mengemukakan fakta. Meilanie juga tidak memihak atau membela Ahok. Dia hanya mau membela Nilai-nilai (Values) yang sedang dipertaruhkan, dan berani menyuarakan Nilai itu lengkap dengan argumen-argumen faktual yang tak terbantahkan. Nilai itu adalah Kebenaran, Keadilan dan Kearifan (akal-sehat). Salah satu paragraf dari surat berlogat Betawi populer itu menyuarakan bahwa kasus Ahok adalah ujian NKRI dalam ber-demokrasi:

“Hok, kasus elo adalah ujian terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini sejak reformasi 1998. Inilah ujian kenaikan kelas kita dalam berdemokrasi. Bahwa elo menjadi tokoh sentral dalam ujian ini, adalah takdir Allah SWT. Apapun hasilnya, bangsa kita naik kelas atau gagal, nama lo akan tercatat dengan tinta tebal dalam sejarah bangsa ini”.

“Hok, Lo jangan ge-er. Gw tidak sedang membela elo. Sesungguhnya gw sedang membela kebenaran, keadilan dan memperjuangkan kembalinya akal sehat ke republik ini. Dan kita sama-sama berjuang, agar NKRI tak dicaplok oleh sekelompok kecil umat yang bercita-cita mengganti dasar negara Pancasila…..”

“… Namun, jika elo harus jadi tumbal dari ujian ini, gw sudah menyiapkan setelan hitam-hitam terbaik gw. Untuk gw kenakan saat gw memberi penghormatan terakhir buat lo, seraya memandang sendu langit kelabu. Karena saat itu, gw harus menerima kenyataan bahwa bangsa ini tidak lolos ujian kenaikan kelas berdemokrasi…”

Semakin jelas bahwa para cendekiawan yang benar-benar mau menggunakan akal sehat dapat ‘membaca’ bahwa ada agenda terselubung dari para demonstran anti-Ahok (Ahok haters): mengganti dasar Negara Pancasila! Agenda jangka pendek di permukaan memang mengganjal Ahok agar jangan sampai terpilih kembali jadi Gubernur DKI-Jakarta. Tapi hidden agenda sebenarnya untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi-JK, yang sah dan amanah tapi tidak lagi memberi ruang bagi berbagai “permainan dan penyimpangan”.

Filsuf Yunani, Plato (427 – 347 BC) sudah mengingatkan perilaku haters seperti itu ketika mengatakan: “No one is more hated than he who speaks the truth” – tak ada orang yang lebih dibenci daripada dia yang mengatakan kebenaran. Bicara kebenaran saja dibenci, apalagi kalau bertindak tegas menegakkan kebenaran dan keadilan. Yang membenci tentu saja para pihak yang berseberangan dan merasa terancam oleh kebenaran itu! Para haters itu akan menggunakan ruang-ruang publik terutama media sosial dan penggerakan massa – atau menunggangi gerakan massa – untuk menjatuhkan orang-orang jujur, bersih dan karena itu berani bicara dan bertindak benar.

Kebenaran Hakiki vs Kebenaran Hukum


Bicara tentang Kebenaran di dunia peradilan, kita mesti mawas-diri dengan ucapan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, ketika berkomentar tentang ‘mencium bau amis’ dalam kasus mantan ketua KPK Antasari Ashar:

“Saya baca berkas, saya baca pertimbangan hukum, saya baca apa yang disampaikan beliau. Saya sendiri juga seperti apa yang dikatakan wapres (Jusuf Kalla) tadi. Saya orang hukum, saya merasakan something smelly, ada bau-bau amisnya begitu”. (Liputan 6, Sabtu 26 Nopember 2016)

Ucapan tersebut untuk menimpali penegasan Wapres Jusuf Kalla: “Kebenaran harus menang, agar menjadi pelajaran bagi yang melakukan ini: pengadilan, jaksa, dan yang korban”. Mereka berdua hadir dalam acara syukuran mantan ketua KPK, Antasari Ashar, di Hotel Grand Zuri, Serpong, Tangerang Banten, Sabtu 26 Nopember 2016. Seperti  kita ketahui, mantan ketua KPK Antasari Ashar akhirnya bebas setelah menjalani hukuman hampir delapan tahun atas dakwaan pembunuhan bos PT.Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen.

Kebenaran hukum seringkali berseberangan dengan kebenaran substansial (hakiki), yakni ketika peradilan didirikan diatas fakta hukum hasil rekayasa pemeriksa dan penyidik demi kepentingan tertentu, terutama motif politik kekuasaan.

Inilah yang mengkhawatirkan para pemerhati dan pencari keadilan dalam kasus Ahok. Kita semua berharap bahwa peradilan atas diri terdakwa “penista agama dan ulama” ini didirikan diatas pondasi kuat kebenaran hakiki. Masalahnya saksi-saksi fakta maupun ahli yang dihadirkan Penuntut nampak berseberangan secara diametral dengan saksi dan ahli dari pihak Tim Pengacara. Namun jelas pula bahwa saksi-saksi fakta yang dihadirkan JPU tidak ada satupun yang memenuhi syarat “melihat dan mengalami langsung kejadiannya”. Semua dikategorikan sebagai saksi “de auditu” (dari kata Latin ‘audio, audire’: mendengar) yang hanya mendengar pidato Ahok dari rekaman yang dibuat oleh Humas Pemda DKI dan potongannya disebarluaskan oleh Buni Yani. Saksi fakta yang didatangkan dari Kepulauan Seribu karena hadir dalam acara dimana Ahok berpidato, juga tidak memberatkan, karena baru sadar akan adanya ‘dugaan penistaan’ setelah dipersoalkan di media dan Ahok sudah mulai diproses.

Salah satu saksi ahli yang dihadirkan Tim Pengacara, Ahmad Ishomuddin, adalah ahli fikih dan ushul al-fikh yang juga sangat paham ilmu tafsir bahkan sempat meriset 30 buku tafsir klasik hingga kontemporer atas QS Al-Maidah 51 sebelum tampil memberi kesaksian di sidang ke-15. Meski beliau menjabat Rais Syuriah PBNU (2010-2015 dan 2015-2020) serta Wail Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), Ahmad Ishomuddin tampil membawa nama pribadi, tidak membawa-bawa kedua organisasi/lembaga tersebut. Masalahnya, saksi dari pihak MUI sudah memberi keterangan yang jelas memberatkan Ahok karena harus senada-seirama dengan pernyataan sikap keagamaan MUI. Inti kesaksian beliau di depan Majelis Hakim sungguh mengejutkan sekaligus melegakan: bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu.  Baik dan terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk Kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Al Quran dan Ulama. Padahal dalam Al Quran diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim kepada siapa saja, meskipun terhadap orang yang dibenci.

Butuh keberanian luar biasa untuk mengungkapkan kebenaran seperti itu. Risikonya sangat tinggi, namum Ahmad Ishomuddin sudah siap mental menghadapinya. Benar saja, serangan bahkan ancaman-ancaman yang cukup serius langsung menerpa dirinya dari para Ahok haters. MUI pun langsung memecat dirinya dari jabatan Wakil Ketua Komisi Fatwa yang memang tidak melibatkannya dalam rapat perumusan sikap keagamaan MUI. Ucapan Plato kembali menemukan pembenaran.

Kesaksian Ahmad Ishomuddin ternyata senada dengan keterangan-keterangan dari para saksi ahli lain, baik ahli bahasa maupun ahli pidana. Intinya: Ahok tidak punya niat menista, dan memang ucapannya itu tidak menista agama dan ulama. Penetapan Ahok sebagai tersangka kemudian terdakwa dianggap terlalu prematur dan dipaksakan, karena adanya motif politik Pilkada DKI-Jakarta. Bahkan para pengamat dari luar arena persidangan pun umumnya sependapat. Peneliti LIPI Amin Mudzakkir, misalnya, berpendapat: “Dalam persidangan Ahok, saya melihat tidak didukung faktor keilmuan yang kuat. Ini sangat tampak hanya maneuver-manuver politik”. Menurut Amin, Kepentingan politik nampak dalam keterangan para saksi ahli yang berbeda. Dua dari ahli yang dihadirka JPU menyatakan Ahok bersalah, sedangkan tiga ahli dari tim kuasa hukum terdakwa menyatakan Ahok tidak melakukan penistaan agama terhadap Islam.

Dengan nalar yang jernih dan nurani yang bersih, kita tentu sudah dapat ‘membaca’ dan membedakan ‘kebenaran hakiki’ dari ‘kebenaran palsu’ yang disetel demi kepentingan sesaat dan sesat. Karena itu kita mendukung penegasan Wapres Jusuf Kalla “Kebenaran harus menang, agar menjadi pelajaran bagi yang melakukan ini: pengadilan, jaksa, dan yang korban”.

@filo rustandi


Ketika Tuhan Diajak Mengusir Djarot dari Masjid


foto : Saat Haji Djarot sedang berada dalam Masjid Jami Al-Atiq

DUNIA HAWA - Tindakan pengusiran terhadap Haji Djarot oleh pendukung Anies-Sandi kembali terjadi. Tentu kita masih ingat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Djarot diusir dan diteriaki pendukung Anies-Sandi dengan kata-kata tidak sopan saat memenuhi undangan Haul Suharto di Masjid At-tin.

Kali ini hal yang sama terjadi ketika Djarot selesai menunaikan ibadah sholat Jum’at di Masjid Jami Al-Atiq, Tebet-Jakarta Selatan. Beberapa jamaah dan ta’mir masjid berteriak meminta Djarot secepatnya keluar dari kawasan masjid sambil mengucap takbir. Saya pertama kali melihat hal ini, ketika sedang asik membaca berita disalah satu media mainstream. Terus terang saya kaget melihat fenomena ini.

Apalagi yang diusir seorang pelayan masyarakat. Sungguh miris memang, tempat ibadah yang seharusnya dijadikan untuk menebar kebaikan justru malah sebaliknya. Kata-kata kebencian dilontarkan secara terang-terangan oleh seorang ta’mir masjid dihadapan jamaah lain. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, jelas hal ini sangat jauh dari konsep Islam. Ternyata, “sesama muslim bersaudara” itu tidak berlaku saat Pilkada Jakarta. Berikut rangkaian pernyataan mereka :

“Mereka yang memilih pemimpin seorang Nasrani atau Yahudi itu orang munafik. Bila kita memilih orang nonmuslim, sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita dicap jadi seorang munafik,” ujar seorang jemaah yang menggunakan mikrofon.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak beberapa jemaah yang menolak Djarot di masjid tersebut, Jumat (14/4/2017).

“Usir, usir, usir…. Pergi, pergi,” sahut jemaah lain.

Semenjak mereka sempat berhasil menguasai panggung diaksi bela Islam 411 dan 212, kepercayaan diri itu muncul. Seolah mereka ingin unjuk gigi, secara bergerilya mereka menyerukan penolakan terhadap pemimpin kafir. Jelas ini sangat terorganisir, ormas-ormas Islam yang membawa bendera khilafah ada dibalik semua ini.

Mereka mendoktrinkan diri untuk kemenangan Anies-Sandi. Lewat spanduk-spanduk, selebaran, serta ceramah keagamaan mereka tak segan untuk menebar ujaran kebencian. Demi melanggengkan tujuan, apapun akan mereka lakukan. Karena sebenarnya tidak penting siapa yang mau dibela, intinya siapa yang didukung bisa ditunggangi jika menang nanti.

Jubah putih, sorban impor mereka pakai untuk meyakinkan masyarakat guna memenuhi hasrat kepentingan. Masyarakat ditakut-takuti dengan seruan tidak mensolatkan dan menguburkan jenazah bagi yang memilih pemimpin kafir. Sampai sabun, roti yang dikemas dalam plastik dan dilabeli ayat-ayat Al-Quran pun mereka ajak untuk berpolitik.

Dari kisah ini, saya baru sadar, jika masjid didirikan bukan untuk semua muslim. Saya baru sadar jika seorang muslim tidak wajib untuk disolatkan maupun dikuburkan oleh sesama muslim. Bagi mereka, tidak penting matamu sesipit apa? Atau agamamu apa? Intinya asal bukan Ahok.

Hei kaum cingkrang,,

Apakah kalian lupa,

Bukankah bela Islam itu dengan memberi teladan kebaikan kepada non-muslim. Atau kah bela Islam itu hanya sekedar turun kejalan lalu teriak-teriak sambil mengucap takbir dengan penuh kedengkian.

Apa ada sifat Nabi Muhammad yang demikian? Jika ada tolong tunjukkan yang mana?

Ataukah ada sifat-sifat Nabi lain yang demikian? Jika ada tolong sebutkan! Nabi mana yang kalian ikuti sehingga ente-ente semua berlaku demikian terhadap non-muslim dan bahkan sesama muslim.

Bukankah kalian diciptakan saling berpasang-pasangan. Bukankah kalian diciptakan untuk menjalin persaudaraan. Jika bukan saudara seiman, bukankah kita semua saudara dalam kemanusiaan.

Sebelum membela Islam, tanyakan lebih dulu benarkah anda Islam? Islam itu ada, karena kita membutuhkan sebagai pedoman. Dan Islammu tidak butuh dibela, dirimu sendirilah yang butuh pembelaan.

Jika demikian, Ini bukan tentang Ahok, juga bukan tentang Djarot. Ini tentang mempertahankan kebhinekaan kita dan membela hak sesama anak bangsa. Tidak ada yang membedakan antara minoritas dengan mayoritas, semua memiliki hak yang sama. Musuh kita bukanlah yang beragama nonmuslim, bukan pula yang bermata sipit. Musuh kita adalah mereka yang berani merong-rong dinegri sendiri, dengan sengaja menciptakan kekacaun melalui ormas-ormas radikal.

Apakah anda yakin akan memilih Anies-Sandi untuk memimpin DKI?

Jika benar anda yakin, berarti secara tidak langsung anda sudah memberi jalan masuk pada paham radikalisme. Lewat Anies-Sandi mereka akan berjaya dan melebarkan sayap dimana-mana. Bukan hanya di Jakarta, tapi diseluruh Indonesia, karena tujuan mereka sesungguhnya adalah mengkhilafahkan Indonesia.

Sebagaimana kita tahu, khilafah di negara asalnya sudah tidak diterapkan lagi karena sering terjadi kekacauan yang berujung perang saudara. Seperti yang terjadi di Timur Tengah, tak jarang kita melihat korban yang berjatuhan akibat serangan-serangan militer. Sehingga banyak yang beralih dari negara khilafah menjadi demokrasi.

Bagi mereka Pancasila itu thogut, dan dalam pemahamnya memfitnah atau pun menjelek-jelekkan hal yang thogut halal hukumnya.

“Pilihan ada ditangan anda dan keselamatan Jakarta anda yang tentukan”


@handoko suhendra

Pendukung Anies Usir Haji Djarot dari Masjid, Padahal Iblis Saja Tak Berani


DUNIA HAWA - Baru saja saya melihat video pengusiran Djarot dari masjid jami al-atiq di Tebet, Jakarta Selatan. Beberapa media juga sudah memberitakannya. Beberapa penulis sudah menanggapi. Dan saya juga sangat terdorong untuk menanggapi sikap-sikap jahiliyah tersebut.

Penolakan ummat muslim Jakarta terhadap Djarot sebenarnya sudah pernah terjadi pada saat acara haul Soeharto di masjid at tin. Dan itu artinya pengusiran Djarot dari masjid al-atiq merupakan kejadian yang kedua. Kejadian sangat memprihatinkan yang menunjukkan betapa hanya untuk urusan politik, ada orang-orang yang menyalah gunakan masjid.

Menurut saya, akar masalah dari pengusiran dan sikap-sikap biadab ini sebenarnya karena doktrin negatif dan kebencian terhadap orang-orang yang berbeda pilihan politik sudah terlanjur tertanam.

“Mereka yang memilih pemimpin seorang nasrani atau yahudi itu orang munafik. Bila kita memilih orang non muslim sementara ada orang muslim sebagai pilihan, itulah kita dicap jadi seorang munafik,” ujar seorang jamaah yang menggunakan mikrophone.

Pidato atau khutbah jumat sejenis itu sudah ada sejak Ahok resmi dinyatakan maju sebagai Calon Gubernur. Selama berbulan-bulan terus diulang setiap jumatan, dan kalau sekarang terjadi penolakan atas nama kebencian kepada lawan politik, itu hanyalah buahnya, atau konsekuensi logis dari khutbah jumat penuh kebencian yang sudah diserukan selama berbulan-bulan lamanya.

Yang menarik di sini adalah, khutbah jumat yang merupakan seruan-seruan pergerakan tersebut sangat sesuai dengan materi ceramah Eep Saifullah Fatah yang merupakan timses Anies Sandi. Eep pernah bercerita di Aljazair, partai FIS berhasil menang karena di setiap khutbah atau ceramah selalu diselipkan kalimat seruan.

“Jadi semua ulama, khatib yang mengisi ceramah-ceramah di masjid, termasuk dan terutama shalat jumat, bukan hanya menyerukan ketaqwaan, tapi dilanjutkan dengan seruan-seruan politik. Tetapi bukan seruan partisan. Kalau seruan partisan itu gini, pilih si A jangan pilih si B. Itu partisan. Bukan seruan itu yang disuarakan.

Jadi setelah khotib mengatkan ittaqullah…ittaqullah…ittaqullaha haqqa tuqatihi dan seterusnya, khotib menyampaikan: hai kalian ummat Islam, kalian punya hak. Tidak ada orang lain yang akan menjaga dan menegakkan hak itu kecuali kalian sendiri. Kalian tidak bekerja, hanya menunggu, maka hak itu tidak akan tegak. Jemput dan rebut hak itu. Bertumpu pada diri sendiri jangan bertumpu pada orang lain siapapun dia. Kecuali para pemimpin yang kalian percaya. Kalau ada pihak yang mencederai hak itu, maka lawan dengan sebagaimana Islam mengajarkan.

Terus menerus disampaikan, ketika hari pencoblosan ternyata melekat. Dan tanpa uang, tanpa jaringan yang kuat, FIS bisa memenangkan,” itu kata Eep Saifullah Fatah yang merupakan konsultan serta timses Anies Sandi.

Dan kenyataan yang kita lihat selama beberapa bulan terakhir di masjid-masjid Jakarta, para khotibnya menyerukan suara-suara politik “larangan memilih pemimpin kafir.” Persis seperti ceramah Eep. Para khotib itu tidak sedikitpun menyerukan suara partisan pilih Anies dan jangan pilih Ahok, tidak. Mereka begitu terstruktur, sistematis dan massif menyerukan suara politik dalam khutbah-khutbahnya.

Jadi kalau ada yang bertanya siapa biang kerok dari khutbah-khutbah politik selama beberapa bulan terakhir, maka yang paling pantas untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Prabowo dan tim suksesnya: Eep Saifullah Fatah. Karena tentu bukan sebuah kebetulan kalau apa yang terjadi di masjid-masjid Jakarta, begitu sejalan dengan materi ceramah Eep. Bahwa kemudian tim Anies mengatakan ceramah itu ada jauh sebelum pasangan resmi terbentuk, itu bukan sebuah bantahan, melainkan sebuah konfirmasi bahwa apa Eep sudah mengatakannya lebih dulu sebelum adanya khutbah politik.

Inilah akar seruan politik dalam khutbah jumat yang begitu sejalan dengan analisis kemenangan FIS di Aljazair, yang disampaikan oleh timses Anies Sandi.

Iblis Tak Pernah Mengusir Muslim dari Masjid


Dalam analisis sederhana saya, pengusiran terhadap Djarot dari masjid, merupakan buah dari ditanamnya seruan politik dalam khutbah jumat selama berbulan-bulan. Anda para pembaca boleh berbeda pendapat dan membantahnya, hanya jika mampu memberikan bukti lebih akurat dari tulisan saya. Jika tidak, maka terima saja ini sebagai kenyataan tak terbantahkan.

Pengusiran seorang Djarot, muslim taat dan sudah melengkapi rukun Islamnya dengan menunaikan ibadah haji, merupakan sebuah peristiwa sejarah yang begitu penting bagi peradaban manusia.

Setau dan seingat saya, belum pernah ada kelompok orang yang berani mengusir seorang haji dari masjid. Bahkan iblis pun tidak mampu mengusir seorang muslim dari masjid. Jika ini salah, silahkan dikoreksi dalam kolom komentar.

Seorang iblis dan syetan, yang memang mendapat tugas atau ditugaskan oleh Tuhan untuk mengganggu manusia, tidak pernah bisa mengusir seorang muslim dari dalam masjid dengan cara menakut-nakuti atau menunjukkan wujudnya. Tidak pernah. Iblis dan syetan hanya berani mengganggu, bukan mengusir secara lantang. Sebab masjid adalah rumah Tuhan. Tidak ada iblis atau syetan yang berani macam-macam dengan bertindak berlebihan.

Tapi menariknya, di Jakarta, kelompok pendukung Anies mengacungkan salam oke oce, sambil berteriak lantang Allahuakbar mereka mengusir seorang Haji Djarot dari masjid. Luar biasa. Ini artinya para pendukung Anies ini mampu melakukan sesuatu yang tidak pernah mampu dilakukan oleh iblis atau syetan.

Dan sekali lagi, jika ada yang bertanya mengapa pendukung Anies bersikap seperti itu, saya meyakini dan menyimpulkan bahwa itu semua karena seruan politik yang sudah diulang-ulang selama berbulan-bulan terkait larangan memilih pemimpin nonmuslim.

Jika ada yang bertanya mengapa seruan memilih pemimpin muslim hanya ada di Jakarta? Menurut saya karena Eep hanya menjadi timses Anies Sandi di Pilgub DKI, bukan Pilkada daerah lain.

Tapi kalau ada yang bertanya siapa yang paling bertanggung jawab atas moral dan sikap-sikap iblis yang ditunjukkan oleh pendukung Anies? Saya kurang bisa menjawab dengan pasti. Sebab melibatkan banyak pihak. Dari mulai konsultan seperti Eep, khatib jumat, takmir masjid, sampai orang-orang bodoh yang buta agama.

Terakhir, bagaimanapun ini sudah terjadi. Bahwa Anies Sandi membantah mereka tidak terlibat dengan kampanye negatif seperti itu, menurut saya hanyalah omong kosong belaka. Ilmu seruan politik dalam khutbah jumat, serta kelompok orang yang berteriak allahuakbar setiap menitnya, keduanya merupakan elemen tak terpisahkan dari tim sukses Anies Sandi.

Dan saya melihat ini merupakan kejadian yang sangat luar biasa. Sebab untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, ada sekolompok orang yang hanya karena urusan politik, mampu dan berani bertindak jauh lebih dari yang mampu dilakukan oleh iblis dan syetan.

Begitulah kura-kura.

@alifurrahman


Hanya Sebatas Hukum Syariah atau Islamofasisme


Hanya 50% tambah 1 untuk menolong Indonesia.


DUNIA HAWA - Pilkada DKI periode ini benar-benar membukakan wacana diskusi yang tidak sebatas pada isu-isu pemilihan umum seperti hak kewajiban memilih pemimpin atau menolak golput (baca: golongan putih). Wacana diskusi di Pilkada ini sampai pada isu-isu kompleks seperti membicarakan tentang reklamasi, kemudian konsep kepribumian, bahkan sampai pembicaraan tentang adanya sebuah kelompok yang mengagendakan konsep syariah untuk DKI Jakarta.

Jika dikaji ulang, sebenarnya apa sih Syariah itu? Mengapa begitu banyak yang menggebu-gebu sekali untuk menegakkannya? Mengapa Huffington Post mengatakan bahwa Indonesia bukanlah Negara Syariah, bahkan ada beberapa orang yang tinggal di Negara Arab sekalipun menolak untuk memakai interpretasi syariah yang kaku?

Secara gamblang, Syariah [Arab: الشريعة] secara bahasa artinya adalah jalan yang dilewati untuk menuju sumber air. (Lisan Al-Arab, 8/175). Secara bahasa, kata syariat juga digunakan untuk menyebut mazhab atau ajaran agama. (Tafsir Al-Qurthubi, 16/163). Atau dengan kata lebih ringkas, syariat berarti aturan dan undang-undang. Aturan disebut syariat, karena sangat jelas, dan mengumpulkan banyak hal. (Al-Misbah Al-Munir, 1/310).

Ada juga yang mengatakan, aturan ini disebut syariah, karena dia menjadi sumber yang didatangi banyak orang untuk mengambilnya. Namun, dalam perkembangannya, istilah syariat lebih akrab untuk menyebut aturan Islam.

Secara definisi kata Syariah itu sendiri tidaklah seseram yang dibayangkan. Lantas apa yang ditakuti oleh kebanyakan orang? Ternyata terdapat perbedaan interpretasi dengan apa yang disebut dengan “aturan Islam” tersebut. Dalam interpretasi yang pertama, syariah benar-benar hanyalah diartikan sebagai undang-undang atau peraturan.

Lebih lanjut lagi, syariah sebenarnya bebas interpretasi dan tidak memaksakan harus hukum Islam, namun justru meminta penganutnya untuk mengikuti aturan di Negara mana ia berada.

Jadi, pribadi yang syariah itu artinya ia mengikuti peraturan Negara yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, artinya pribadi syariah haruslah mengikuti Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD '45. Sedangkan interprestasi yang lain diartikan sebagai “mengganti ideologi negara menggunakan hukum atau paham-paham Islam.”

Di Indonesia, Syariah Islam berhasil diterapkan di Aceh setelah konflik panjang Gerakan Aceh Merdeka (disingkat GAM) dan menjadikan Aceh sebagai prototipe atau contoh pertama dan satu-satunya sebagai kota dengan syariah Islam. Pada penerapan syariah Islam ini ternyata terdapat beberapa keganjilan seperti dicambuknya orang yang non-muslim, dan yang lainnya.

Meskipun sebenarnya mayoritas masyarakat Aceh sendiri mendukung penuh akan syariah Islam ini, termasuk kelompok minoritasnya seperti Waria dengan catatan tidak ada main hakim sendiri dan objektif melihat permasalahannya, ternyata beberapa orang yang sejak awal setuju dengan perda syariah mulai menganggap perda syariah yang sekarang berlaku di Aceh sudah mulai berlebihan.

Bagaimana dengan Jakarta? Apakah syariah Islam pun cocok untuk Jakarta? Kita semua tahu bahwa Jakarta adalah tempatnya para pengadu nasib pencari uang yang datang dari berbagai tempat di Indonesia bahkan dari warga negara asing sekalipun.

Pemimpin Pondok Pesantren Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Soko Tunggal, KH Nuril Arifin Husein mengatakan, “Negara kita ini berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bukan negara teokrasi atau agama. Kalau ada yang ingin Jakarta Bersyariah, Jakarta ber ini ber itu, orangnya suruh pindah ke Arab saja,” katanya kepada Netralnews.com, Minggu (9/4/2017).

Jakarta yang merupakan miniatur Indonesia dan menggambarkan kemajemukan, dimana keanekaragaman suku, budaya, agama, adat, dan bahasa bersatu di Ibu Kota menjadikan syariah Islam sulit diterapkan karena pada akhrinya akan banyak yang akan merasa terdiskriminasi oleh peraturan yang tercipta, terlebih lagi bagi non-Muslim.

“Arab itu bangsanya satu, bangsa Arab, bahasanya satu, bahasa Arab, negaranya puluhan. Kita ini suku bangsanya ratusan bahkan ribuan, bahasanya ribuan, tetapi negaranya satu. Ini yang harusnya dijaga, ditunjukan aturannya yang benar,” ungkap Gus Nuril.

Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa masih ada kelompok yang memaksakan konsep syariah ini di Jakarta sembari menunggangi isu Pilkada ini meskipun mereka tahu bahwa Jakarta tidak lah seperti Aceh? Bahkan Presiden kita yang pertama, Soekarno, saja mengatakan, “Ini bangsa Indonesia, bung! Bukan negara Islam!”

Apakah penegakkan syariah Islam ini bermakna “pribadi yang seharusnya mengikuti dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD '45” atau bermakna Islamofasisme yang artinya memukul rata Indonesia menjadi Negara Islam dan mengancam ideologi bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD ‘45?

Saya melihat dua makna itu tergambar jelas pada dua pasangan calon Pilkada Jakarta 2017 ini, dan ancaman Islamofasisme ini akan berhasil hanya jika mencapai 50% tambah satu, dan hanya 50% tambah satu pula untuk menolong Indonesia dari gerbang perpecahan. Pilkada ini tentu akan mengubah nasib Indonesia kedepannya. So, yang memiliki KTP Jakarta, yuk gunakan hak pilih kamu dengan bijak!

@wisesa wirayuda 


Islam dan Kebaikan Universal


DUNIA HAWA - Saya sebagai seorang muslim menganut asas bahwa manusia (dalam lingkupnya di dunia) pada dasarnya harus baik dulu, mengesampingkan apa pun agamanya. Karena ada beberapa saudara muslim saya beropini seperti ini, "Yang penting muslim dulu, bukan baik." Mereka--ada yang--beralasan, "Nabi Muhammad itu kebaikannya disepakati oleh orang Arab, tapi beliau tetap dimusuhi hanya karena muslim.

Jadi tidak peduli baik atau jahat, yang penting agama dulu." Pendapat yang seperti ini saya kurang sepakat. Karena nanti akan timbul anggapan di benak masyarakat bahwa selama menjadi muslim, baik-buruk manusia urusan belakang. Ini justru memperkeruh citra islam.

Nabi Muhammad Saw. dimusuhi bangsa Arab karena menyerukan ke jalan yang benar (islam) kepada masyarakat yang masih memeluk erat agama nenek moyangnya adalah merupakan hal yang wajar. Peralihan apa pun, baik ideologi, politik, ekonomi, pemerintahan dll akan menimbulkan persinggungan dan konflik itu lumrah terjadi. Apalagi transisi agama, yang langsung menyentuh titik vital manusia. 

Semua utusan Tuhan yang dikirimkan ke kaumnya masing-masing pasti mendapatkan problem serupa meski tak sama persis. Jadi penolakan dalam dakwah keagamaan adalah hukum alam yang tak bisa diganggu gugat. Justru aneh jika penyebaran suatu agama berjalan mulus dan lancar tanpa adanya halangan. 

Penolakan dakwah Muhammad oleh masyarakat tidak ada sangkut pautnya dengan baik-buruk pekerti beliau. Mereka yang beranggapan bahwa agama lebih utama mengesampingkan kebaikan manusia, dengan bersandar pada alasan tersebut sesungguhnya telah keliru dalam memahami persoalan. 

Pandangan mereka tidak jernih disebabkan cinta buta dan takut menggunakan akal lebih dalam karena bisa-bisa memupuskan keyakinan mereka. Siapa pun mereka dan dimana pun posisinya, ketika membawa hal baru dalam masyarakat, secara otomatis sistem akan bergerak untuk menyaringnya. Sistem ini mendorong masyarakat untuk menolak hal tersebut atau malah sebaliknya, menerima.

Yang seharusnya disoroti dalam proses dakwah Nabi Muhammad seharusnya bukan siapa-siapa yang menentang beliau (karena ini wajar), tapi marilah melihat para sahabat yang memutuskan untuk mengikuti tindak-tanduk beliau, bahkan memilih setia. Maka akan timbul pertanyaan, bagaimana beliau mampu mengajak masyarakat yang sudah mendarah daging keyakinannya itu, kemudian berpaling ke agama islam? 

Ini yang kemudian--seharusnya--menjadi bahan perhatian dan pertimbangan. Dan jika saudara pernah berkunjung ke Arab, pasti akan menyadari betapa keras dan bebalnya mereka. Nabi Muhammad diturunkan di masyarakat yang seperti ini, dengan peradaban yang sedemikian rupa, dan beliau berhasil menghimpun pengikut yang bukan hanya banyak, namun siap mengorbankan harta dan nyawa untuk beliau.

Jika bukan karena beliau sudah merupakan insan yang baik dari awal, tentulah dakwah islam hanya akan membentur tembok-tembok rumah. Karena beliau terkenal sebagai orang baik di masyarakat, berbondong-bondong mereka (meskipun tidak semua) percaya apa yang beliau katakan. Justru kunci diterimanya islam di jazirah Arab adalah kebaikan.

Ini yang luput dicerna oleh golongan yang memandang remeh kebaikan dibandingkan agama. Padahal akhlak nabi yang luhurlah--yang diembannya semenjak umur belia sampai akhir hayatnya--yang membuat beliau dapat mengetuk pintu hati kaum Quraisy. Dan sekarang, islam mampu menyebar ke seluruh dunia.

Sekarang banyak saudara muslim saya yang fokus mencari kebenaran agama dan melupakan kebaikan agama. Padahal kebenaran adalah hak preogratif Tuhan semesta alam. Yang kita anggap benar belum tentu benar. Kebenaran yang kita anut adalah kebenaran relatif. Di sinilah batas kapasitas kita sebagai manusia untuk memahami kebenaran. Namun, berbekal kapasitas itu, manusia dapat menemukan kebaikan dengan jelas. Kebaikan adalah perkara yang dititipkan Tuhan untuk manusia temukan di kehidupan dunia. Ia dengan jelas dapat dibedakan dengan perkara yang tidak baik.

Kebenaran agama adalah urusan hamba dengan Tuhannya. Ia menjadi hubungan pribadi yang sangat intim. Manusia bebas memilih untuk percaya Tuhan atau tidak sama sekali. Bukankah dalam Quran sendiri disebutkan bahwa, "Tidak ada paksaan dalam beragama." (Q.S. Al-Baqoroh: 256). Di ayat yang lain menyebutkan, "Katakanlah, kebenaran itu dari Tuhanmu. Yang mau beriman ya beriman, yang menolak ya silakan." (Q.S. Al-Kahfi: 29). Manusia benar-benar dibiarkan bebas untuk memilih keyakinannya masing-masing. Namun kebaikan, adalah suatu tuntutan kepada masyarakat. Ia adalah perkara yang wajib dilakukan bagi setiap umat manusia, apa pun agamanya, apa pun keyakinannya. 

Adalah kekeliruan berdakwah, jika menyerukan kepada islam namun memisahkannya dengan kebaikan. Islam dan kebaikan itu sendiri harusnya sudah menjadi satu paket. Ia ditawarkan bersama-sama. 

Bahwa menjadi muslim, Anda dituntut untuk menjadi orang baik, kepada seluruh manusia. Kita tidak bisa membatasi pergaulan sebatas kepada pemeluk agama yang sama, dan juga tidak bisa membatasi kebaikan hanya kepada pemeluk islam. Kebaikan di dunia itu universal, dan islam menawarkan kebaikan itu.

@agus g ahmad


Islam Politik yang Tidak Islami


DUNIA HAWA - Banyak yang berasumsi jika ayat suci dibawa ke dalam politik kekuasaan, maka dengan sendirinya politik kekuasaan akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam. Pada gilirannya, semua tindakan atas nama politik dipersepsikan sama dan sebangun dengan menegakkan kemuliaan ajaran Islam. Asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Sejarah khilafah masa silam justru menunjukkan sebaliknya: politik kekuasaan telah membawa ayat suci jatuh dalam kubangan kekotoran ambisi kekuasaan.

Imam al-Thabari mengisahkan kepada kita dalam kitabnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (jilid 10, halaman 29), bahwa pada 28 Muharram 279 H (sama dengan 30 April 892) –seribu seratus dua puluh lima tahun yang lalu, pada bulan yang sama, yaitu April, Ja’far al-Mufawwad dicopot sebagai putra mahkota (wali al-‘ahd) oleh ayahnya sendiri, Khalifah al-Mu’tamid (842-892). Ja’far digantikan oleh saudara sepupunya, al-Mu’tadhid (861-902).

Imam al-Thabari sendiri berusia sekitar 50 tahun saat kejadian itu. Beliau menyelesaikan 11 jilid kitabnya di usia 70 tahun. Para sejarawan berpatokan pada kitab Tarikh-al-Thabari ini untuk memahami sejarah masa silam. Bukan saja catatannya otentik, tapi beliau juga menceritakan apa adanya. Catatan al-Thabari menunjukkan betapa rumitnya persoalan kekuasaan khilafah itu berikut intrik politiknya.

Begini kisahnya. Ketika al-Mu’tamid menggantikan ayahnya yang mati dibunuh, yaitu Khalifah al-Muhtadi setelah hanya setahun berkuasa, al-Mu’tamid memegang kekuasaan tapi sesungguhnya dia seorang yang lemah. Yang mengatur kekuasaan sesungguhnya adalah saudaranya sendiri, yaitu al-Muwaffaq (842-891).

Putra al-Mu’tamid, yaitu al-Mufawwad, dijadikan putra mahkota dan menguasai wilayah barat, sedangkan saudaranya khalifah, yaitu Al-Muwaffaq, menguasai daerah timur, dan menjadi wakil putra mahkota. Ada kesepakatan kalau al-Mu’tamid wafat dan anaknya al-Mufawwad masih belum cukup dewasa, maka al-Muwaffaq yang naik.

Al-Muwaffaq memiliki seorang anak yang merupakan jenderal perang yang hebat, yaitu al-Mu’tadhid. Entah kenapa al-Muwaffaq memenjarakan anaknya selama dua tahun di Baghdad. Namun, di kalangan militer, nama Jenderal al-Mu’tadhid sangat terkenal. Ketika al-Muwaffaq sakit parah, Gubernur Baghdad meminta Khalifah al-Mu’tamid menjenguk saudaranya yang tengah sekarat, dengan harapan ini bisa mencegah bebasnya sang Jenderal al-Mu’tadhid dari sel penjara.

Sayangnya, rencana Gubernur Baghdad itu gagal total. Militer masih setia pada sang Jenderal, dan Khalifah al-Mu’tamid tidak punya pilihan selain mengangkat jenderal yang notabene keponakannya sebagai penguasa wilayah barat menggantikan ayahnya yang pernah memenjarakannya.

Pengaruh sang Jenderal tidak berhenti sampai di situ. Seperti di singgung di atas, Khalifah sampai tega mencopot posisi putra mahkota dari anaknya sendiri, al-Mufawwad, dan memberikannya kepada keponakannya, Jenderal al-Mu’tadhid. Imam Thabari mencatat bahwa surat pemberitahuan pergantian putra mahkota langsung dikirimkan ke provinsi dan wilayah, serta diumumkan selepas salat Jum’at beberapa hari kemudian.

Sang Jenderal yang kekuasaanya menjadi sangat luas mulai menangkapi para pejabat yang dulunya setia kepada ayahnya. Ingat, ayahnya sendiri yang menjebloskan dia ke penjara. Tidak menunggu lama, lima bulan kemudian, al-Mu’tadhid berkuasa menjadi khalifah, setelah pada 14 oktober 892 Khalifah al-Mu’tamid meninggal dunia.

Imam Thabari melaporkan meninggalnya sang Khalifah dengan cukup mencurigakan. Malamnya sehabis minum-minum dan makan banyak, Khalifah tidur dan meninggal. Nasib al-Mufawwad, mantan putra mahkota, juga tidak jelas setelah itu. Spekulasi beredar di kalangan sejarawan lain bahwa al-Mufawwad telah dibunuh, dan wafatnya Khalifah al-Mu’tamid karena diracun. Wa Allahu a’lam.

Saya pernah menceritan bagaimana Khalifah al-Mu’tadhid memainkan isu agama dengan sangat politis, utamanya dalam mengecam sahabat Nabi, yaitu Khalifah Mu’awiyah, dan para pendiri Khalifah Umayyah. Khalifah al-Mu’tadhid juga langsung mengangkat sejumlah kawan dekatnya, yaitu Ubaid Allah bin Sulaiman sebagai Perdana Menteri (Wazir).

Sewaktu Ubaid meninggal pada tahun 901 (sekitar 10 tahun menjabat), yang menggantikannya sebagai Wazir adalah anaknya sendiri, yaitu al-Qasim. Jadi, bukan saja ada tradisi mengangkat keturunan sendiri sebagai khalifah, namun juga mengangkat anak perdana menteri menggantikan ayahnya. Dalam bahasa modern ini jelas nepotisme yang bahkan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan keempat Khulafa al-Rasyidin.

Berbeda dengan ayahnya yang dianggap sebagai Wazir yang jujur, Qasim ini lumayan brutal. Ketika Khalifah al-Mu’tadhid meninggal di usia 48 tahun, pada 5 April 902, al-Qasim memenjarakan semua pangeran untuk mencegah perebutan kekuasaan, sampai putra mahkota al-Muktafi tiba dari wilayah Raqqa ke Baghdad.

Khalifah yang baru, al-Muktafi, masih berusia 25 tahun saat itu, dan Qasim dengan cepat mempengaruhi khalifah baru. Al-Muktafi di Raqqa mengangkat sekretaris yang bernama al-Husayn bin Amr. Imam Thabari melaporkan bahwa sekretaris ini beragama Kristen. Sampai di sini kita paham bahwa sejarah islam menunjukkan non-Muslim pun pernah diangkat menjadi pejabat penting.

Namun, Qasim mencopotnya dan menggantikan al-Husayn bin Amr dengan anak Qasim sendiri sebagai sekretaris Khalifah. Qasim juga mengatur penangkapan dan pembunuhan terhadap orang dekat Khalifah sebelumnya yang dikhawatirkan mengganggu posisi Qasim dan Khalifah al-Muktafi. Nama-nama mereka yang dibunuh di antaranya Emir wilayah Safarid yaitu Amr Laits Shafari, Jenderal Abu Najm Badr, yang telah menjabat sejak masa Khalifah al-Mu’tadhid, bahkan penyair Ibn Rumi. Semua dilakukan atas nama politik kekuasaan dengan imbuhan ayat suci.

Sejarah khilafah bukan saja memberi kita kisah gilang gemilang masa kejayaan Islam, tapi juga sejarah kelam politisasi ayat suci demi kekuasaan. Imam al-Thabari telah mencatatnya dengan rapi dan dijadikan rujukan para ahli. Sayangnya, para pendukung khilafah tidak mau mengungkapkan cerita kelam ini karena mereka beranggapan “khilafah berdiri, semua persoalan selesai.”


Apa pelajaran penting yang bisa kita ambil? Pengangkatan khilafah setelah masa Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan oleh dinasti: kekuasaan berlanjut turun temurun berdasarkan keturunan. Bukan berdasarkan pemilihan atas dasar kemampuan personal dan pilihan rakyat.

Dalam sejarah khilafah Umayyah dan Abbasiyah, tidak ada yang namanya pemilihan umum secara langsung yang melibatkan rakyat. Tentu ini menjadi aneh ketika kemudian pada masa negara demokrasi modern ada yang teriak-teriak hendak kembali menegakkan khilafah, tapi pada saat yang sama melarang Muslim memilih non-Muslim menjadi gubernur lewat pemilihan umum secara langsung.

Zaman khilafah saja tidak ada pemilihan umum, kok mereka memakai ayat suci untuk Pilkada Jakarta seperti saat ini? Mereka seolah bukan hidup di tahun 2017; boleh jadi mereka harus kembali ke masa silam seribu tahun yang lampau untuk memahami intrik politik Khalifah al-Mu’tamid, al-Mu’tadhid, dan al-Muktafi berikut para putra mahkota dan Wazirnya.

Intrik politik pengangkatan khalifah yang berujung pada pembunuhan, peracunan, dan penangkapan itu terjadi karena suksesi dilangsungkan tanpa melalui pemilihan umum. Beruntunglah praktik nepotisme ala khilafah Umayyah dan Abbasiyah tidak berlaku lagi di negara demokrasi.

Bayangkan kalau khilafah berdiri kembali, maka pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah akan dihapuskan dan pengangkatan pemimpin semata berdasarkan darah keturunan; rakyat hanya menonton saja. Masak, sih, Anda mau kembali ke sistem pemeritahan model khilafah ini? Mikirrrr!

@nadirsyah hosen