Friday, April 7, 2017

Rita Tiara Panggabean, “Pendeta” Cantik dan Seksi Besutannya Prabowo Subianto


DUNIA HAWA - Dalam beberapa hari ini nama Rita Tiara Panggabean tiba-tiba mencuat ke permukaan dan menjadi terkenal seketika. Wanita berwajah cantik dan bertubuh seksi yang sebelumnya jarang dibicarakan orang, kini menjadi buah bibir dan bahan pembicaraan.

Namanya melejit setelah pernyataannya di media milik Hary Tanoe, Okezone, bahwa seluruh Pendeta se-DKI Jakarta akan mendeklarasikan dukungan kepada pasangan calon nomor urut tiga, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, pada tanggal 11 April 2017 mendatang.

Deklarasi itu, menurut Rita Tiara Panggabean, akan dihadiri oleh Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Selain menyatakan bahwa seluruh Pendeta se-DKI Jakarta akan mendeklarasikan dukungannya kepada Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, Rita Tiara Panggabean juga mengklaim bahwa Anies Baswedan memiliki hati seperti Kristus.

Menurut Rita Tiara Panggabean, alasan utamanya seluruh Pendeta se-DKI Jakarta mendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno karena mereka memiliki karakter kasih untuk memenuhi hak-hak kaum minoritas.

Rita Tiara Panggabean dengan beraninya mengatasnamakan seluruh Pendeta se-DKI Jakarta mendukung Anies-Sandi. Pernyataannya bohong tersebut tujuannya untuk mempolitisasi agama, sehingga menuai kontroversi.

Kontroversi itu muncul dari kalangan umat Kristiani di Jakarta dan para Hamba Tuhan yang merasa tidak nyaman nama mereka dicatut, karena para Hamba Tuhan tidak mengurusi hal-hal duniawi yang sifatnya hanya sementara di dunia, apalagi urusan politik.

Salah satu Hamba Tuhan yang bersuara keras menyuarakan protesnya yaitu Pdt. Gilbert Lumoindong. Protes keras yang dilontarkan oleh Pdt. Gibert Lumoindong di akun Twitter resmi miliknya itu karena beliau tahu siapa Rita Tiara Panggabean yang sesungguhnya.

Rita Tiara Panggabean bukan seorang Pendeta. Latar belakang pendidikannya pun minim, yaitu hanya mengenyam pendidikan terakhir di D3 Akuntansi STIE Trisakti Jakarta, bukan S1, S2, apalagi S3 dibidang Teologia. Rita Tiara Panggabean adalah salah satu pimpinan di Barisan Anak Surga Ministri Oikumene.

Selain itu, Rita Tiara Panggabean juga adalah seorang aktivis politik Kristen Indonesia Raya (KIRA). Organisasi KIRA ini besutannya Partai Gerindra untuk menjaring dukungan umat Kristiani di Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh U.T Murphy Hutagalung, MBA. Murphy Hutagalung juga menjabat sebagai Wakil Ketua Barisan Anak Surga (BAS) Ministri DKI Jakarta.

Wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta pada tanggal 20 Desember 1980 ini pernah berprofesi sebagai bintangi film, pemain sinetron, dan bintang iklan. Sinetron yang pernah dia lakoni yaitu, Cinta Terhalang Tembok, Tiga Gadis

Multivision, Kunang-kunang, Cinta Bunga, Dara Romi dan Yuli.


Film yang pernah ia bintangi adalah Film Song of Ghost, lalu iklan yang pernah ia bintangi yaitu iklan Tekomsel Hallo Point, Iklan Layanan Masyarakat Hut Bhayangkara. Prestasi dan penghargaan dibidang periklanan yang pernah ia raih yaitu Iklan Promo Terbaik Citra Adi Pariwara. Lantas pertanyaannya, sejak kapan Rita Tiara Panggabean jadi Pendeta? Ada-ada saja.

Ini membuktikan bahwa Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, telah menghalalkan berbagai cara, termasuk politisasi agama, demi bisa menang jadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Mengenai pernyataannya yang memuji Anies Baswedan memiliki hati seperti Kristus adalah pernyataan yang tidak berdasar. Yesus Kristus rela mengorbankan dirinya demi umatnya. Lha kalau Anies Baswedan? Dulu berseteru dengan Prabowo Subianto, kini bersekutu dengan Prabowo Subianto, kok bisa dibilang memiliki hati seperti Kristus?

Lagipula tidak ada satu Pendeta pun yang menyamakan sosok seseorang dengan sosok Krsitus. Yesus merupakan sumber kebenaran yang hidup bagi umat Kristen. Menyamakan Anies Baswedan dengan Yesus Kristus adalah penistaan yang keji terhadap agama Kristen. Dari sini saja sudah kelihatan bahwa Rita Tiara Panggabean adalah Pendeta abal-abal yang tidak mengerti ajaran Kristen yang sesungguhnya.

Belum lagi kalau dilihat dari caranya berpakaian dan gaya hidupnya yang glamour, tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang Pendeta. Cara berpakaiannya lebih cenderung cara berpakaiannya wanita titik-titik.


Pendeta yang asli tidak akan pernah mencampuradukan agama dengan politik karena dalam berpolitik, karena politik dan agama adalah dua hal yang berbeda, seperti air dan minyak, tidak akan mungkin bersatu. Contohnya intimidasi sesama umat Muslim dengan ancaman tidak mensholatkan jenazahnya jika tidak memilih Anies-Sandi. Dari sudut pandang manapum, intimidasi itu tidak dibenarkan dalam ajaran agama manapun.

Apa yang dilakukan oleh Rita Tiara Panggabean hanyalah untuk kepentingan politik Gerindra semata karena Rita Tiara Panggabean adalah aktivis Gerindra yang selain kenal dekat dengan Prabowo Subianto, Rita Tiara Panggabean juga kenal dekat dengan adik kandung Prabowo Subianto yakni Hashim Djojohadikusumo


Jadi tidak heran jika Rita Tiara Panggabean adalah corongnya Hambalang, pendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra. Apa yang dilakukan oleh Rita Tiara Panggabean semata-mata hanyalah untuk kepentingan politik Gerindra untuk memenangkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Tidak lebih, tidak kurang.

Prilaku Rita Tiara Panggabean yang mencatut nama Pendeta untuk kepentingan politiknya Gerindra sesungguhnya adalah perbuatan yang keji. Jangan diulangi lagi ya, non.

@argo


GP Ansor Menolak Cagub yang Didukung Kelompok Radikal


DUNIA HAWA - Membela kebenaran sebagaimana yang diajarkan oleh Gus Dur bukan perkara mudah. Apalagi pihak yang benar itu berasal  dari kalangan minoritas. Atas nama mayoritas, ada kelompok-kelompok tertentu berteriak-teriak mencaci, mendemo, melakukan tindakan-tindakan brutal, mempersalahkan bahkan anarkhis terhadap pihak yang dianggap minoritas.

Banyak orang menilai bahwa kasus yang menimpa Ahok sebenarnya bukanlah kasus maha berat. Beratnya kasus itu karena ulah beberapa kalangan yang berusaha menyingkirkan Ahok dari kancah pilkada DKI. Di balik ketakutan itu ada banyak kepentingan busuk yang hendak disembunyikan. Mereka takut Ahok menang dan menyingkap hal-hal buruk dan jahat.

Kita sudah sangat paham dengan kasus yang ditimpakan kepada Ahok. Ia diperhadapkan dengan tuduhan dan peradilan yang tidak adil. Fakta-fakta kebenaran yang disampaikan oleh banyak orang tentang Ahok seolah sulit dilihat, dimengerti oleh banyak orang. Sulitnya menangkap fakta-fakta kebenaran itu adalah karena kesengajaan dari pihak-pihak tertentu seperti FPI, HTI, partai politik musuh Ahok mempermainkan dan memperkeruh suasana.

PPP dan PKB partai politik yang berlatar belakang dari kalangan Nahdliyin menyadari benar keadaan itu. Pada pilkada DKI putaran pertama mereka mendukung AHY – Sylvi, kini menjalin kemesraan bersama Ahok – Djarot. Pilihan mereka untuk mendukung Ahok – Djarot tentu bukan tanpa alasan. Alasannya adalah demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Langkah PPP dan PKB itu bak gayung bersambut dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor. PPP, PKB dan GP Ansor lahir dari kandungan yang sama yaitu Nahdatul Ulama.

Hari ini, Jumat 7 April 2017 Ahok – Djarot bersilaturahmi dengan para pimpinan GP Ansor. Silaturahmi ini menjadi sebuah momen bersama untuk mewujudkan kesatuan NKRI.

GP Ansor merupakan salah satu Badan Otonom Nahdatul Ulama. Sejak semula GP Ansor memiliki visi membela Negara Indonesia yang sah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Dasar agama Islam dipakai sebagai asas perjuangan agar nilai-nilai Islami yang rahmatan lil alamin dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia yang majemuk.

Sebagai organisasi yang memperjuangkan NKRI GP Ansor pasti gerah dengan kegaduhan negeri ini akibat ulah orang-orang yang ingin mengubah dasar negara, merongrong NKRI dan melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah.

Kelompok-kelompok itu saat ini berseberangan dengan Ahok – Djarot. Saat ini mereka berteriak-teriak anti Ahok dengan menyebut Ahok kafir, antek aseng, anti terhadap wong-wong cilik, tukang gusur, dadjal dan sebagainya melalui aksi-aksi bela Islam. Selain mengkafirkan Ahok, mereka menyebut juga bahwa para pendukung Ahok sebagai kaum munafik bahkan juga kafir. Bagi pendukung Ahok – Djarot yang beragama Islam, mereka dikatakan sebagai orang yang keislamannya cetek.

Benarkah  “peluru” mereka untuk menghantam Ahok – Djarot dan pendukungnya semata?

Prof. Dr. Arbi Sanit  menganalisis dan menuturkan, “Aksi bela Islam ini hanya kedok saja. Demikian juga kasus Ahok, hanya sasaran antara. Karena tujuan yang sesungguhnya membangun kota Jakarta sebagai kota syariah serta mendirikan Negara khilafah. Mereka masuk lewat Anies-Sandi. Karenanya, kalau pemilih Jakarta tidak jeli membaca arah dari aksi ini maka bisa terjebak sendiri natinya.” 

Arbi Sanit menyatakan pula bahwa masuknya agenda Islam transnasional melalui Anies-Sandi dan konco-konconya sangat masuk akal. Hal itu bisa dibuktikan dengan memperhatikan ideologi kelompok-kelompok puritan yang cenderung fundamentalis dengan keinginan mewujudkan khilafah di Indonesia melalui Jakarta.

HTI, FPI dan sekutunya yang  gaduh hendak menegakkan khilafiyah tentu berseberangan dengan Nahdlatul Ulama. Bagi NU, NKRI, Pancasila itu sudah final. GP Ansor tentu mengikuti jejak NU yang menyebutkan bahwa NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia.

Pertemuan antara Ahok – Djarot dan GP Ansor menegaskan keberpihakan GP Ansor terhadap pemimpin yang bertekad menegakkan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 45. Hal itu ada pada pasangan Ahok –Djarot.

Mengapa bukan Anies – Sandi? Kemesaraan dan dukungan dari ormas-ormas intoleran – radikal yang anti NKRI sangat nyata di hadapan Anies – Sandi. Hal itu membahayakan. Bila mereka menang dalam pilkada, hutang mereka pada para pendukungnya sangat banyak. Maka mereka berpotensi dikendalikan oleh keinginan mereka sehingga melalui Anies – Sandi, NKRI kehilangan dayanya.

Sikap GP Ansor mendukung Ahok – Djarot itu dinyatakan secara jelas oleh Abdul Azis,”Kami sangat menolak calon gubernur yang didukung Islam radikal dan Islam garis keras.” Lebih lanjut Azis mengatakan,”Ansor dihina dari zaman Gus Dur sudah biasa. Dibilang kafir, munafik sudah biasa. Tapi kalau sudah merusak tatanan NKRI dan demokrasi, pasti akan kami lawan”. 

Sekarang peta politik Pilkada semakin terang – benderang karena insan-insan beriman yang cinta NKRI. Teladan GP Ansor membela yang benar merupakan tindakan berani demi mewujudkan keutuhan Indonesia.

Karena itu jangan takut mendukung pemimpin yang berjuang mempertahankan NKRI.

Bersama GP Ansor berteriaklah lantang,”Maju Tak Gentar Membela yang Benar”, bukan membela yang bayar.

@wisnu sapto nugroho


Islamnya Ibnu Muljam


DUNIA HAWA - Ibnu Muljam adalah seorang muslim yang taat sekali beribadah. Ia dikabarkan sebagai orang yang ritual ibadahnya dahsyat. Shalat tidak pernah tinggal terutama shalat malam. Dahinya hitam sebagai tanda sujud terus menerus. Bacaan ngajinya sangat bagus sehingga memukau banyak orang. Ia juga dikenal sebagai seorang penghafal Alquran.

Dengan ciri-ciri seperti itu, apa yang kurang untuk menjadikannya seorang muslim panutan?

Tapi sejarah juga yang mengabarkan bahwa Ibnu Muljam adalah pembunuh Ali bin abi thalib, khalifah ke empat dalam sejarah Islam.

Imam Ali adalah sahabat dekat sekaligus saudara Nabi Muhammad Saw. Beliau juga termasuk salah seorang penyusun Alquran. Dan banyak kabar shohih yang mengatakan bahwa kedekatan beliau dengan Nabi ibarat kembar identik. "Ali dariku dan aku dari Ali," sabda Nabi Muhammad Saw.

Bagaimana cara Ibnu Muljam membunuh Imam Ali?

Ibnu Muljam tidur di masjid dengan menyembunyikan pedang beracun di dalam bajunya. Ia tahu bahwa Imam Ali tidak pernah ketinggalan shalat subuh. Dan pada saat mendekati subuh, Imam Ali lah yang membangunkannya dari tidur. Saat Imam Ali sedang sujud dalam shalatnya, Ibnu Muljam pun menghunjamkan pedang beracunnya ke batok belakang kepala Imam Ali.

Apa pesan moral yang kita dapat dari sejarah berdarah ini?

Bahwa pakaian agama tidaklah menjamin akhlak seseorang. Seperti iblis, ia beribadah dengan kesombongan. Hebatnya ritualnya bukannya menjadikannya sebagai manusia yang lembut dan pengasih, tetapi menjadikannya orang yang keras hati.

Ibnu Muljam membunuh Imam Ali - penyusun kitab yang kerap dibacanya dan saudara dekat dari Nabi yang selalu dijunjungnya. Imam Ali dituding kafir, karena tidak sesuai dengan Islam versinya.

Jadi dari sini sebenarnya akal bisa memilah, bahwa benarnya satu ajaran belum tentu menjadikan seseorang itu benar.

Apa yang menjadikan seseorang itu beragama tapi tidak menjadikannya benar?

Jawabannya mudah. Sombong. Inilah sifat yang membuat iblis di kutuk meski ia dikabarkan mahluk yang paling taat beribadah pada masanya.

Jadi benarlah kata Rasulullah Saw, "tidak akan masuk surga mereka yang mempunyai kesombongan dalam hatinya meski itu sebesar biji zarah.." Karena sombong adalah benih dari segala maksiat dan kejahatan di dunia.

Jadi tinggal memilih saja, mau menjadi muslim seperti Imam Ali yang seluruh tuntunan hidupnya seperti Nabi Muhammad Saw, atau menjadi "muslim" seperti Ibnu Muljam?

Mari kita berfikir sambil mendengarkan lagu Yahudi yang sekarang jadi lagu pemenangan pilkada. Seruput dulu, ya akhiii..

@denny siregar


Sidang Tidak Ditunda, Jebakan Sudah Mulai Dipasang


DUNIA HAWA - Polda Metro Jaya yang mengeluarkan surat permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, untuk menunda sidang Ahok yang sedianya digelar Selasa (11/4/2017) pekan depan. Sidang ke 18 tersebut agendanya adalah pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Banyak pihak yang keberatan jika sidang tersebut ditunda dan Hakim pun akhirnya menolak usulan Polda Metro Jaya.

Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) M Iriawan mengirimkan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk menyarankan agar menunda sidang tuntutan Basuki T Purnama (Ahok) dalam kasus penistaan agama. Selain menyarankan untuk menunda sidang, dalam surat itu Iriawan menginformasikan bahwa pemeriksaan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan ditunda.

“Iya (pemeriksaan Anies-Sandi sebagai terlapor ditunda). Biar bisa konsentrasi ke Pilkada DKI putaran II,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Argo Yuwono.

Permintaan penundaan tersebut agak ganjil bagi saya. Ini justru meningkatkan kecurigaan umat bumi datar bahwa Kepolisian mengintervensi sidang Ahok. Dan benar saja, media-media bumi datar kesayangan masyarakat bumi datar langsung bersahutan memprotes permintaan Polda Metro Jaya. Mereka tidak paham bahwa Kepolisian sedang memasang jebakan Batman, kebencian pada Ahok dan juga keinginan untuk ejakulasi sudah memuncah membuat mereka tidak bisa melihat apa yang sebenarnya sedang di-incar oleh tangan-tangan tak nampak.

Sebenarnya Kepolisian tidak sedang meminta penundaan sidang. Apalagi alasannya menurut saya tidak masuk akal. Alasan pihak Kepolisian adalah untuk keamanan agar bisa konsentrasi ke Pilkada putaran kedua. Kita bicara soal Kepolisian yang sanggup mengatasi aksi ratusan ribu orang dan berjilid-jilid sambil menangkapi pelaku makar. Tentu aneh juga alasannya adalah demi keamanan Pilkada apalagi masa pemilihan masih cukup panjang. Lagi pula setiap persidangan selalu berjalan aman-aman saja apalagi belakangan massa juga semakin berkurang.

Kalau bukan meminta penundaan lalu apa? Ini adalah kode saja. Pasti hakim akan menolak permintaan tersebut karena hanya bisa dilakukan ada permohonan dari salah satu pihak dan memohon kepada Hakim dalam persidangan. Rasanya aneh jika pihak Kepolisian tidak mengetahui hal tersebut.

“Sesuai dengan sistim peradilan kita, ya kan, dan di situlah sifat terbukanya pengadilan itu, apapun acara tindakan dan tindakan yg dianggap perlu dalam persidangan, semua diutarakan di persidangan,” kata Sianturi ketika dihubungi, Jumat (7/4/2017).

Sianturi mengatakan sesuai mekanisme yang berlaku, penundaan hanya bisa dilakukan setelah pihak yang berperkara yakni jaksa atau penasihat hukum terdakwa, memohonkan kepada hakim dalam persidangan. Majelis hakim kemudian akan berunding dan memutuskan kapan sidang digelar dengan berbagai pertimbangannya.

Dalam sidang terakhir atau sidang ke-17 pada Selasa (4/4/2017) lalu, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto menetapkan sidang pembacaan tuntutan digelar pada 11 April 2017.

“Sidang sesuai dengan yang diumumkan, ditetapkan Selasa kemarin ya,” kata Sianturi.

Dugaan saya Kepolisian sedang membangun persepsi masyarakat terhadap Hakim dan pengadilan yang kini berjalan. Kepolisian ingin menunjukkan bahwa pengadilan netral dan benar-benar adil. Gara-gara sebuah surat saja kini kaum bumi datar kini langsung memelototi pihak Kepolisian, menuduh akan intervensi. Namun dengan ditolaknya permintaan tersebut maka kaum bumi datar menjadi tenang dan merasa bahwa pengadilan berlangsung dengan adil.

Kita masih ingat saat awal-awal aksi Kepolisian mengalah terus, salah satu sebabnya karena peserta aksi masih berbaur antara warga yang marah dan anggota ormas penggerak aksi tersebut. Jika Ahok bebas maka akan ada banyak warga yang ikut aksi dan berbaur dengan anggota ormas yang memiliki agenda lain. Dengan menunjukkan bahwa pengadilan berlangsung adil maka akan mengurangi jumlah warga yang ikut turun ke jalan jika ada demo terkait putusan Ahok nanti.

Penolakan tersebut sekaligus membuka jalan bagi Kepolisian untuk memeriksa Anies dan Sandi secara maraton. Dengan penolakan oleh Hakim maka Polisi punya amunisi untuk terus memeriksa Anies dan juga Sandi berdasarkan alasan keadilan. Saya juga menduga saat ini ada yang sedang mempersiapkan “bom” maha dahsyat  seperti “bom” Antasari waktu itu. Dari sini saya bisa memprediksi apa yang mungkin nanti terjadi, pertama Ahok menang dengan selisih tipis dan kedua Ahok bebas.  Tentu jebakan-jebakan yang dipasang tidak hanya ini saja, sepertinya ini baru jebakan awal saja,  masih jebakan ringan saja. Tentu menarik untuk melihat hasilnya kelak.

@gusti yusuf


Jangan Ganggu Fadli dan Fachri


DUNIA HAWA - Waktu jaman remaja dulu siaran di TV hanya ada satu saluran saja yaitu TVRI, yang saya masih ingat ada aktor TV yang terkenal dalam peran-peran sebagai orang jahat namanya Harun Syarif, entah kenapa dalam film-filmnya selalu menjadi tokoh jahat, adalagi aktor dalam layar lebar namanya Muni Cader, aktor ini juga selalu menjadi tokoh jahat dalam film-filmnya, kalau dalam tokoh komik seperti Lex Luthor di komik Superman atau Joker di komik Batman.

Ya mereka adalah penjahat abadi, mereka melakukan peran dalam kehidupan ini sebagai tokoh antagonis, tetapi kejahatan-kejahatan atau karakter jahat mereka sedemikian menonjolnya sehingga kitapun sampai hafal dengan tingkah laku yang akan mereka lakukan,  dalam kehidupan nyata di Indonesia terutama di dunia hingar bingar politik Indonesia, yang masih saja panas, kita pun mengenal karakter-karakter yang menonjol, dan sering tampil di media baik di media sosial maupun media elektronik, tentu saja karakter yang sering muncul di media tersebut adalah karakter-karakter yang menonjol, bukan sebagai karakter yang baik, tetapi karakter antagonis, siapa lagi kalau bukan duo Fadli Z dan Fachri H.

Dua karakter ini sangat menjiwai peran antagonis nya seperti Lex Luthor yang selalu punya ide untuk menghancurkan Superman, kalau tokoh kartun kocak sepertu Coyote Jenius yang selalu punya ide untuk menangkap Roadrunner, Lex Luthor bahkan berteman baik dengan Superman saking seringnya dia memikirkan Superman, seperti Haji Lulung yang selalu memikirkan Ahok, seperti yang sangat fenomenal yaitu duo Fadli (FZ) dan Fachri (FH) yang selalu ingin menjatuhkan Pakdhe Jokowi, mungkin mereka selalu memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Pakdhe Jokowi dan apa yang harus mereka lakukan. Sampai-sampai kita hafal, kalau karakter baik yang perankan Pakdhe melakukan sesuatu, kita sebagai penonton pasti selalu menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan oleh duo antagonis tersebut. Bahkan dalam situasi senyap, kita pun pasti menantikan apa gebrakan dari duo antagonis ini untuk menyerang tokoh baik kita.

Dalam seni peran kalau ingin exist tidak bisa menjadi karakter yang biasa-biasa saja, harus menjadi tokoh yang baik sekali, atau jahat sekali, baru akan bisa exist dan terkenal, seperti Datuk Maringgih yang diperankan almarhum Him Damsyik. Karakter yang menonjol akan selalu diingat, karakter baik sekali atau karakter jahat sekali  Superman atau Lex Luthor, Joker atau Batman.  Bagi kita di luaran ini kita mungkin melihat karakter yang  diperankan FH dan FZ menyebalkan , nyinyir, bahkan ada diantara kita yang jijik, tetapi bagi FZ dan FH justru itulah tujuan hidup mereka, mereka sangat menikmati karakter tersebut. Bagaimana tidak setelah FH menyarankan cara menggulingkan pemerintahan yang sah dalam demo legendaris 212 dia tenang-tenang saja makan bersama Pakdhe di Istana, waduh kalau kita pasti gak akan bisa menelan makanan yang dihidangkan. Tetapi mereka nyaman-nyaman saja tuh, bahkan nambah makannya.

Pilihan dalam hidup ya seperti itulah, biarkan mereka menjalani karakter yang dipilihnya, yang akan melekat terus seumur hidup mereka, dan sekali lagi ingat mereka menikmati peran itu.

Yang mereka lupa, bahwa mereka tidak hidup sendiri saja didunia ini, mereka punya keluarga istri dan anak, yang mencari role model dalam hidupnya, mana yang baik yang perlu dicontoh dan ditiru atau mana yang perlu dihindari. Hati nurai mereka pasti tidak akan mau meniru sebagai Joker atau Lex Luthor, mereka ingin meniru Superman atau Batman. Tetapi maaf-maaf saja tidak mereka dapatkan dari orang tua mereka.  Apakah karena ingin tetap dikenal dan exist harus menjadi antagonis?,  ada lagi karakter The Grinch yang diperankan oleh Jim Carrey, Grinch menjadi jahat karena masa lalunya yang buruk, ia lalu berusaha mengecilkan hatinya supaya kecil dan menjadi jahat. Apakah masa kecil FZ dan FH demikian buruknya sehingga mereka menjelma menjadi karakter antagonis seperti The Grinch?  Bagi anda yang punya waktu untuk riset silakan saja menyelidikinya, dalam film The Grinch itu ternyata dia bisa berubah, seorang anak kecil yang lugu dan jujur yang bisa mengubahnya, kita-kita yang suka mengkritik  FZ dan FH tidak akan bisa mengubah karakter mereka, jadi percuma saja kita mengeritik FH dan FZ karena mereka telah mengecilkan hatinya, lalu bagaimana dong, kan risih mendengar nyinyirannya kepada Pakdhe Jokowi dan Paklik  Ahok, ya diamkan saja, biarkan FH dan FZ memandang anak-anak mereka sendiri dan melihat ke mata mereka, apakah aku bisa menjadi contoh buat anak-anakku, demi kepopuleran aku tega menjadi public enemy dan berperan antagonis serta memilih menjadi karakter jahat. Ya hanya keluarganya sendiri yang bisa menolong mereka, kita hanya bisa berdoa, supaya mereka terbuka matanya. Kalau kita ikut mencercanya maka kita pun akan mengecilkan hati kita sendiri, tidak ada manfaatnya.

Jadi biarkan saja mereka menjadi karakter yang mereka inginkan,karena itu pilihan mereka, biarkan mereka bermain peran itu, sampai mereka bercemin dan bertanya pada hati nurani mereka, kalau tidak biarkan mereka menatap dan bercermin ke mata anak-anak mereka, inikah yang diinginkan keluargaku dari diriku? inikah yang akan melekat pada keluargaku, anak-anakku?

Biarkan saja mereka  jangan dilihat dan didengarkan…

@anton sudarmedi


Ahok dan Anis, Mana Benar Mana Salah


DUNIA HAWA - Pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin abu thalib, beliau diserang. Yang menyerang pemerintahan Imam Ali bukan yahudi dan nasrani, tetapi kawan-kawan seperjuangan beliau ketika masih bersama Rasulullah Saw. Perang ini terkenal dengan nama perang Jamal atau perang unta.

Perang saudara ini membingungkan banyak orang, "saya harus berpihak kemana?". Isu-isu bertebaran semakin tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.

Akhirnya salah seorang sahabat tidak tahan dan bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Imam.. manakah yang benar?

Disana ada Aisyah (istri Nabi) juga para sahabat Nabi yang dulu berperang denganmu. Sedangkan disini ada engkau dan para sahabatmu yang juga berperang bersama mereka dulu. Lalu, manakah yang benar?"

Imam Ali dengan bijak menjawab, "Engkau salah, wahai sahabat. Engkau mengukur individu-individu dulu baru mencoba menetapkan siapa yang benar.
Kenalilah kebenaran itu dulu, baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya.."

Dari peristiwa perang Jamal ini, Imam Ali mengajarkan para sahabatnya untuk berlaku obyektif, melihat lebih jelas permasalahan baru menentukan sikap. Bukan malah condong kepada sosok atau subyek tertentu dalam menentukan sikap.

Melihat "apa" dan bukan "siapa".

Sejarah yang terjadi ribuan tahun lalu adalah sebuah pembelajaran bagaimana menentukan sebuah sikap ketika terjadi perbedaan pendapat. Menentukan sebuah sikap adalah hal yang wajib, karena ketika kita mengenal mana yang benar dan mana yang salah, netral adalah kebodohan yang mendasar.

Begitulah ketika saya mengenali situasi Suriah awalnya. Saya membaca dulu banyak pandangan berbeda, mengasah akal dalam melihat peristiwa, baru menentukan sikap. Saya tidak ingin terjebak dalam gelombang fitnah kepada orang yang tidak bersalah..

Dan begitu jugalah ketika saya melihat pilgub DKI. Ini bukan masalah Ahok-Jarot atau Anies-Sandi. Ini masalah apa yang pernah mereka lakukan dan siapa orang-orang di belakang mereka...

Dan percayalah, kewarasan pasti berlawanan dengan kegilaan. Dan saya berpihak pada akal waras, karena saya menolak gila apalagi jika itu mengatas-namakan agama..

Seperti secangkir kopi. Ia harusnya diseruput dalam kondisi tenang dan menikmati..

Bukan malah dikunyah tatakannya..

@denny siregar


Menyoal Kontrak Politik Anies Baswedan dengan Kelompok Radikal


DUNIA HAWA - Menjelang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang akan diselengarakan pada 19 April 2017, publik dikejutkan oleh sikap politik Anies Baswedan yang melakukan kontrak politik dengan kelompok radikal.

Selembaran kontrak politik tersebut berisisi blue print untuk menjadikan Jakarta sebagai kota bersyariah sebagai awal NKRI bersyariah. Konsekuensinya sangat mengerikan, bukan saja akan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, tetapi juga ancaman nyata bagi berlangsungnya demokrasi di Tanah Air.

Jakarta bersyariah


Selembaran kontrak politik tersebut berisi blue print Jakarta Bersyariah, yang di dalamnya berisi atauran-aturan seperti seragam PNS Jakarta yang wajib diganti dengan yang lebih syar’i. Pekerja ojek mangkal dan online dilarang membawa penumpang yang bukan muhrim tanpa ada batas pemisah (hijab). 

Taksi dan bajaj dilarang membawa penumpang yang bukan muhrim, khalwath berduaan berpotensi menimbulkan maksiat. Seluruh pentas seni sekolah (pensi) dilarang karena menimbulkan maksiat, mabuk-mabukan dan maksiat zina mata dan terjadi percampuran pria dan wanita di satu tempat.

Perempuan dilarang memakai celana jeans, yaitu celana ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh dan dilarang membonceng motor degan posisi ngangkang. Konser musik baik melibatkan musisi dalam maupun luar negeri tidak boleh digelar. Karena itu merupakan konser ajang maksiat, ajang pergaulan bebas dan zina mata. Warga sekitar Jakarta (Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok) harus menyesuaikan diri dengan aturan Jakarta Bersyariah.

Di samping itu, perempuan harus pulang ke rumah sebelum matahari tenggelam. Area publik seperti food court, bioskop, lapangan, dan taman bermain harus dibagi dua antara ikhwan dan akhwat, dan dipisahkan oleh hijab pemisah. Mall, café, restoran dan seluruh tempat hiburan harus tutup pukul 18.00 (saat waktu maghrib tiba). Gerai toko pakaian, baik online maupun offline dilarang menjual baju yang mengumbar aurat, baik laki-laki maupun perempuan. Dan masih banyak lagi aturan-aturan yang terdapat di dalam blue print Jakarta Bersyariah.

Tentu saja sikap Anies merangkul kelompok radikal tersebut tidak saja menciderai demokrasi, namun juga dapat memecah belah publik. Anies gagal menciptakan model kampanye yang sehat. Ia tidak mampu membangun proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif. Justru kontrak politik ini menunjukkan ketidakmampuannya berdemokrasi dengan baik.

Anies menganggap politisasi SARA menjadi senjata satu-satunya untuk memenangkan kontestasi Pilkada DKI. Tak heran jika menjelang Pilkada putaran kedua ini, intensitas penggunaan sentimen SARA semakin tinggi. Dimulai dari provokasi kebencian di berbagai masjid melalui khutbah Jumat, intimidasi jenazah, hingga aksi demonstrasi berjubah agama. Perkembangan ini menjadi keprihatinan kita semua sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi.

Dampaknya 


Sikap politik Anies Baswedan ini memberi dampak serius bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Setidaknya, menurut pengamatan penulis, ada empat dampak negatif yang akan ditimbulkan. Pertama, merusak demokrasi. Anies dan kelompok radikal menggunakan politisasi SARA sebagai satu-satunya senjata politik untuk mengalahkan Ahok. Padahal, politisasi SARA adalah langkah mundur bagi perkembangan demokrasi, karena prinsip dalam demokrasi, setiap warga negara memiliki hak untuk menjadi pejabat publik, tanpa melihat latar belakang suku, agama dan ras (SARA).

Kedua, memecah belah publik. Konsekuensi logis dari pilihan politik Anies ini akan memperluas dan memperdalam jurang disintegrasi internal umat Islam. Agama yang memiliki tujuan universal berjangkan panjang untuk kemaslahatan, malah menjadi faktor konflik internal muslim karena dijadikan senjata dalam politik. Akibatnya, akan muncul ketegangan-ketegangan baru akibat watak diskriminatif terhadap kelompok lain. Selain itu, disharmonis antar warga negara tidak bisa dihindari karena model kampanye yang dibangun melalui intimidasi, pernyataan kotor, dan kebencian.

Ketiga, menodai Agama. Pilihan Anies menggunakan agama sebagai senjata politik adalah sikap menodai kesucian agama itu sendiri. Agama direduksi menjadi alat merebut kekuasaan berjangka pendek tanpa melihat segala konsekuensi buruknya. Padahal, agama itu sangat mulia, sehingga tidak elegan jika ditarik masuk ke dalam ranah politik. Agama harus diletakkan sebagai jalan kebenaran dan kebajikan, bukan direndahkan untuk tujuan politik sesaat. Apalagi mempolitisasi ayat-ayat suci untuk kepentingan politik sesaat. Dan tentu saja Islam mengecam keras perilaku memperjualbelikan ayat-ayat suci.

Keempat, menyalakan api intoleransi. Sudah barang tentu strategi politik dengan merangkul ormas radikal dapat menyalakan api intoleransi. Hal ini karena kelompok radikal kerap menggunakan masjid untuk menarik simpati dan menyebarkan ideologi-ideologi sektarianisme agama. 

Mereka juga mempolitisasi ayat-ayat suci untuk kepentingan politiknya. Jika ini dibiarkan sudah tentu akan menimbulkan konflik sektarianisme yang kemudian menjadi ancaman bagi kebersamaan yang selama ini terjalin dengan baik. Glorifikasi sektarianisme dan intoleransi sungguh bertentangan dengan prinsip persatuan Bhineka Tunggal Ika.

Karena itulah, Anies semestinya jangan bermain-main dengan kelompok radikal. Ia seharusnya tidak melakukan segala cara, termasuk melakukan kontrak politik dengan kelompok radikal hanya untuk memenangkan kontestasi Pilkada. Pilihan itu sama halnya memberi ruang pada pemahaman yang dapat mengarah pada tindakan terorisme, yang pada akhirnya dapat mengancam umat dan NKRI. Kita harus menjaga negeri yang penuh keteduhan ini, dan jangan membiarkan kelompok radikal menguasai Jakarta.  

@firman sapta