Wednesday, April 5, 2017

Zakir Naik Etertainer Agama


DUNIA HAWA - Tiba-tiba jadi inget program "beli rumah tanpa hutang". Seorang teman pernah ikut seminar gratisnya sehari. Disana dikasih kopi dan makanan kecil, katanya. "Trus, apa yang didapat disana?" Tanyaku. "Gak ada. Cuman klaim kesuksesan dan kalau pengen tahu lebih lanjut, ikuti seminar kedua tapi harus bayar sekian juta rupiah".

Saya jadi senyum sendiri dan teringat pengalaman sama dulu, waktu ikut seminar saham. Sama seperti dia, saya cuman ikut yang gratisnya aja karena bayar seminar kedua gak kuat harus bayar sekian juta.

Saya sendiri heran. Seandainya si yang punya seminar sukses menjual properti dan bermain saham, ngapain juga dia buka seminar membuka rahasianya ya?
Kalau sukses di properti, pasti seperti Ciputra yang seminar hanya sekedar eksistensi saja, bukan karena uang. Begitu juga pemain saham bagus, pasti akan konsentrasi di sahamnya daripada sibuk seminar kesana kemari.

Seorang teman berkata, "Trik-trik marketing sekarang semakin canggih. Mereka yang buka seminar-seminar gituan, biasanya adalah orang yang gagal dalam profesinya. Tapi mereka bisa membungkus kegagalan mereka untuk mendapatkan keuntungan. Terutama dari para pemula dengan menjual mimpi-mimpi besar.

Mereka tidak perlu takut di somasi ketika si pemula gagal, karena tinggal di klaim saja, "kamu kurang keras berusaha.."

Industrialisasi bacot memang aduhai. Cukup bentuk tim manajemen yang memanfaatkan istri, suami atau saudara, jadilah sebuah perusahaan kecil. Lalu bikin promosi melalui media seperti radio dan televisi. Sekarang bahkan diperkuat dengan youtube.

Dibungkuslah kegagalan disana dengan kesuksesan2. Dijual mimpi bahwa "satu saat kamu akan jadi begini, bisa beli yang itu.."

Dan industri ini sudah masuk ranah agama.

Ada pendeta yang harus pake aji Gundala Putra Petir untuk menjatuhkan sekian banyak umat dan di shooting oleh kamera lalu disebarkan melalui stasiun televisi (dulu begitu). Tujuannya apalagi jika bukan jemaatnya semakin banyak sehingga semakin banyaklah donasi.

Jadi melihat fenomena Zakir Naik juga saya tidak kaget.

Zakir Naik hanya mengisi celah pasar yang belum tergarap saja. Sampai sekarang, belum ada lagi pendebat tersohor setelah Ahmed Deedat. Zakir terinspirasi dan mengambil celah pasar itu..

"Celah pasar", itulah sebenarnya kata kuncinya. Maka dengan segala kemampuan berbicara, Zakir Naik memainkan "drama agama" dengan sangat manis. Ia mungkin kaget juga awalnya ketika banyak sambutan dari pihak muslim yang haus akan ketokohan dan hidup dengan perasaan kalah di India.

Ketika ada Zakir Naik ini, harga diri mereka terangkat. Apalagi ketika dari debat itu ada yang akhirnya masuk Islam, satu atau dua orang. Berita ini dikabarkan dengan bombastis melalui media-media, terutama media visual seperti youtube. Judulnya pun disesuaikan, "ribuan umat hindu masuk Islam sesudah mendengar ceramah Zakir Naik.."

Zakir seperti mengisi kehausan umat muslim disana..

Tapi fenomena masuk Islam itu hanya berjalan satu dua, sedangkan itu adalah alat marketing yang bagus. Maka tidak salah jika kemudian ceramah itu dibumbui dengan adegan settingan mulai si penanya sampai orang masuk Islam. Kayak acara termehek-mehek yang mulai dari awal sampe akhir semuanya diatur.

Semakin lama model seperti ini tampak juga. Maka wajar jika negara seperti India, Inggris, Pakistan sampai Malaysia mem-blacklistnya. Karena selain itu ada unsur tepu-tepunya. Dan yang bahaya bukan orang Kristen masuk Islam, tetapi orang Islam yang menjadi radikal sesudah mendengar Zakir Naik ceramah.
Karena itu ketika diundang ke Indonesia, tentu Zakir Naik mau saja. Ya, dimana-mana dia udah ketahuan belangnya dan sekarang mencari pasar baru yaitu Indonesia. Supaya tambah ngetop, maka ia harus melakukan marketing pendahuluan termasuk dengan berfoto bersama Jusuf Kalla yang gak ngerti apa-apa.

Sama seperti si pembicara beli rumah tanpa hutang, si pembicara seminar saham dan Zakir Naik, mereka sama-sama gagal di bidangnya. Tapi mereka mampu mengemasnya sebagai keuntungan dengan kemampuan seorang entertainer.

Dan satu kesamaan target marketing mereka adalah "orang-orang yang kurang pintar dan suka berangan-angan panjang".

Nah, model Zakir Naik ini juga bisa diadaptasi oleh para jomblo profesional. Kegagalan berkali-kali bisa dijadikan pengalaman dengan membuat buku "Tips dan trik menghadapi penolakan" atau buku "Sulit mendapat pasangan? Sama, saya juga".

Dari buku bikin youtube, terus bicara di radio dan satu saat punya acara sendiri dengan tema, "Semakin sering ditolak, semakin sukses" Jam terbang jomblo memang dari seberapa sering dia ditolak. Coba deh praktekkan. Kalau berhasil traktir saya minun kopi yaaaa.

@denny siregar


Prof. Dr Bambang Kaswanti Purwo, Sang Pencerah Buat Ahok


DUNIA HAWA - Tahun 1984, pemerintah mengeluarkan kurikulum untuk sekolah tinggi baik SMP dan SMA dilaksanakan secara nasional. Saat itu terjadi  Kebingungan guru bahasa Indonesia tentang kurikulum baru tersebut. Kejadian ini berdampak pada masifnya pendidikan bahasa Indonesia. Diindikasikan saat itu telah terjadi masa kegelapan, terutama menyangkut konteks (teknis dikenal sebagai pragmatik) yang diamanatkan dalam kurikulum.

Di tengah-tengah ketidakpastian itu, Prof. Dr Bambang Kaswanti  Purwo dengan susah payah mencoba untuk mencerahkan guru sekolah dan calon guru tentang mengajar bahasa Indonesia dengan cara pragmatis. Untuk mendukungnya, pria kelahiran Yogyakarta, 19 April 1951 ini mempublikasi Titian Kemahiran Bahasa: Sekolah SIGNIFIKAN PERTAMA (A Pathway to Language Proficiency) pada tahun 1994, sebanyak tiga volume.

Sebelumnya dia juga telah menulis sebuah buku pegangan untuk guru bahasa berjudul pragmatik Dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurrikulum 1984 (Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Mengungkap Kurikulum 1984), sebuah buku yang mencoba untuk mengungkap gagasan-gagasan yang dikenal paling pragmatik dan cara hadir merancang bahan ajar sesuai dengan didukung kurikulum 1984.

Jika dulu Bambang menjadi sang pencerah bagi para guru, kini dia hadir sebagai pencerah dalam sidang kasus dugaan penistaan agama yang didakwakan kepada Basuki Tjahja Purnama yang biasa dipanggil Ahok. Posisinya sebagai ahli bahasa benar-benar diperlihatkan oleh Bambang. Tidak hanya dalam memaparkan kasus ini dari tinjauan bahasa, tetapi juga dia meladeni pertanyaan hakim dan jaksa penuntut yang menggali soal kasus ini.

Dicerca JPU


Di sidang ini, dia ahli menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Misalnya saja ketika JPU mencercanya menganai kata ‘pakai” dalam kalimat ‘dibohongi pakai Al Maidah’.

Mendapat serangan dari JPU, dengan tegas Bambang menjawab penggunaan kata ‘pakai’ dalam konstruksi bahasa mirip dengan ‘berlindung di balik Surat Al Maidah’ seperti yang tertulis dalam buku.

Dalam sidang tersebut, nampaknya jaksa benar-benar penasaran dengan Bambang. Kali ini jaksa mempersoalkan jawaban Bambang dalam BAP yang mengatakan satu kalimat yang menjadi sumber perkara, “jangan mau dibohongi pakai Al Maidah,” merupkan bukan bagian yang penting dari konteks pidato Ahok. “Anda bukan psikolog, mengapa Anda bisa mengetahui mana yg penting mana yang tidak penting?” tanya Jaksa kepada Bambang.

Bambang yang kebutulan sudah menjadi saksi Ahok sebagai ahli bahasa sejak kasus ini masih ditangani pihak kepolisan sudah pasti tahu betul apa yang akan dijawabnya. “Penting dan tidak penting bisa lewat struktur bahasa. Ada induk kalimat, ada anak kalimat. Yang lebih penting muncul dalam induk kalimat. Analisa saya, struktur tadi, tidak dalam induk kalimat,” jawab Bambang.

Tak puas sampai disitu, Jaksa melanjutkan lagi pertanyaan dengan apakah ada hal sensitif atau tidak sensitif yang terkandung dalam kalimat. Dengan tegas pula Bambang menjelaskan, “sensitif atau tidak, tidak pernah dibahas dalam linguistik. Niat juga tidak ada dalam bahasa.”.

Tegas Manjawab Hakim


Sebelumnya, ketika dikejar dengan berbagai pertanyaan oleh Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto, Bambang pun dengan lugas, tepat dan kosisten menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Saat Hakim Ketua menanyakan yang dipermasalahkan itu dari kata mana samapai kata mana? Dengan tegas dijawabnya bahwa dia fokus pada persoalan yang diangkat di media sosial, dan pemberitaan media massa adalah ‘pakai Surat Al-Maidah 51’.

Kepada majelis hakim dia mengatakan sudah melihat video itu jauh sebelum diperiksa di Bareskrim Polri. Atas pernyataannya tersebut, hakim Dwiarso pun kembali bertanya alasannya melihat video tersebut sebelum diperiksa Bareskrim? Dengan lugas Bambang menjawab, dia melakukannya sebagai ahli. Karena ada kalimat yang dipersoalkan.

Pemahaman Tidak Sempurna


Selain itu, Bambang juga mengungkapkan, orang hanya memahami pidato Ahok sepotong-sepotong, sehingga pemahaman tidak sempurna. Karena tidak sempurna, maka siapa pun berpeluang untuk mengartikannya bermacam-macam. Menurutnya ini berbahaya.

Karena menurut Bambang, dalam pidato Ahok tidak ada kata-kata yang menodakan agama. Adanya kata Al-Maidah, lantaran Ahok menceritakan pengalaman dan keluar pernyataan itu secara spontan. “Konteks dan isi pidato yang sebenarnya adalah soal budidaya ikan dan kelautan. Al-Maidah keluar spontan saja,” Bambang menandaskan.

Untuk memaknai pidato Ahok yang membawanya ke kursi terdakwa itu, menurut Bambang, tidak cukup hanya dari transkrip saja. Karena sangat kecil sekali maknanya. Untuk memahami konteks pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, harus pula melihat gerak-gerik serta mendengarkan intonasi serta memperhatikan tanda bacanya.

Tiga Situasi


Lebih lanjut Bambang mengatakan, ada tiga situasi dalam memaknai pidato Ahok. Situasi pertama, adalah mereka yang menyaksikan langsung. Kedua, mereka yang tidak menyaksikan pidato, tetapi menonton video. Dan ketiga, mereka yang tidak menyaksikan langsung dan tidak menonton video tetapi melihat di media sosial. Dari tiga situasi tersebut, lanjut Bambang, pemahaman paling sempurna adalah mereka yang menyaksikan langsung. Bambang juga mengatakan, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi ahli bahasa, melainkan untuk seluruh orang.

Dalam kasus Ahok ini, Bambang melihat justru masyarakat Kepulauan Seribu yang menyaksikan langsung pidato tersebut tidak mempermasalahkan pidato Ahok itu. Karenanya hal tersebut yang dijadikan alasan buat dia tertarik dengan kasus ini.  “Saya hanya ingin memberi pemahaman ke masyarakat bahwa pemaknaan sangat (tergantung) konteks,” ujar Bambang.

Hanya Ilustrasi


Lebih lanjut Bambang menjelaskan, ilmu bahasa tidak membahas peka atau tidak. Juga tidak membahas niatnya. Melainkan hanya membahas makna dan maksud dari suatu kalimat. Karenanya harus diketahui tema atau topik utama yang ingin disampaikan Ahok ketika kunjungan kerja ke Pulau Seribu.

Baginya, secara pemahaman, saat itu Ahok sebagai gubernur ingin program yang dilaksanakan oleh Pemda DKI tetap berjalan di Pulau Seribu, meskipun ada kemungkinan adanya hambatan. “Di situ dia cerita program ini harus berhasil namun dia khawatir program ini tidak berhasil,” ujarnya.

Nah, karena kekhawatiran itu Ahok kemudian menceritakan pengalaman dia tentang Pilkada sebelumnya dibandingkan Pilkada yang akan terjadi. “Sehingga ketika muncul ‘dibohongi dengan Surat Al-Maidah,’ sebetulnya bukan itu fokus utamanya. Itu hanya ilustrasi saja. Yang penting program gubernur berhasil, program budi daya laut di Pulau Seribu,” tegas Bambang.

14 Kata


Dalam pengamatan Bambang, dalam konteks pemilihan kepala daerah di pidato Ahok itu muncul pada menit kesebelas dimana terdapat 14 kata yang menyinggung pilkada. Kata-kata itu antara lain ‘kalau saya tidak terpilih’ dan ‘kalau tidak bisa pilih Ahok program jalan terus’, “Namun dalam pidato tetap yang mayoritas adalah tentang program,” tuturnya.

Dalam sidang tersebut Bambang juga menjelaskan terdapat 2.987 kata dalam pidato Ahok secara keseluruhan. Masing-masing kata ‘Al-Maidah’ dan ‘dibohongi’ muncul sebanyak satu kali dan kata lainnya seperti ‘program’ dan ‘ikan laut’ banyak muncul.

Berdasarkan data tersebut dia berpendapat, pidato Ahok itu tidak ada unsur kampanyenya. “Dalam pidato itu inti yang diangkat adalah mempromosikan progam budidaya kelautan dan budiyaya hasil benih, itu yang saya lihat dari inti pidatonya,” ujar Bambang.

Kuliah Tamu di Universitas Internasional


Guru besar linguistik di Universitas Atma Jaya Jakarta ini memperoleh gelar doktor linguistik di Universitas Indonesia pada tahun 1982 dengan disertasi “Deiksis dalam Bahasa Indonesia”, di bawah bimbingan ahli bahasa Indonesia asal Belanda almarhum John WM Verhaar. Setelah itu ia kuliah tamu di berbagai universitas internasional, termasuk University of Michigan, Ann Arbor, Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey, Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, dan Northern Illinois University.

Beberapa pekerjaan yang pernah digelutinya antara lain sebagai editor Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and Languages in Indonesia) (1980–2013). Kemudian Ketua Program Studi Linguistik Terapan Program Pascasarjana Unika Atma Jaya (1992–1999). Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994–1997, 1997–1999).

Masih di lingkungan Universitas Atma Jaya, dia juga pernah dipercaya sebagai Kepala Lembaga Bahasa Atma Jaya (1995–1997). Selanjutnya Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya (1999–2006). Direktur Eksekutif Penerbit Universitas Atma Jaya (2005–2008) dan Ketua Dewan Guru Besar Unika Atma Jaya (2007–2011, 2011–2014).

Bambang juga termasuk produktif menulis buku. Beberapa karyanya antara lain Deiksis dalam Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Ada juga Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius, 1990) dan Kekhasan Bahasa Indonesia: Hasil Penelitian 1978–2012 (Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia, 2012)

@adithia renata rakasiwi

Ahok Menurut Beberapa Ahli Islam


DUNIA HAWA - Kesaksian tokoh-tokoh ahli agama Islam di ruang persidangan dugaan kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menunjukkan, bahwa tidak ada bukti kuat Ahok telah menodai agama.

Kita beruntung memiliki ulama-ulama yang berani menyampaikan secara objektif maksud eksplisit maupun implisit dari Surat Al-Maidah ayat 51. Kehadiran tokoh-tokoh tersebut merupakan sikap keberanian untuk menyampaikan kebenaran meski terasa berat –qul al-haq wa lau kana murron-, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip objektivitas ilmiah.

Kesaksian ahli Islam


Menurut Rais Syuriah PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi, Surat Al-Maidah ayat 51 tak bisa dipisahkan dari Surat Al-Mumtahanah ayat 8. Menurutnya, kedua ayat ini harus dilihat secara holistik atau keseluruhan. Dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8 disebutkan bahwa “tidak boleh non-muslim dipilih sebagai (awliya’) yang memerangi dan mengusir kamu dari negeri kamu sendiri.” Dalam hal ini jelas sekali Ahok tidak mengusir dan memerangi masyarakat DKI Jakarta.

Menurut KH. Masdar, kalau hanya memegang Al-Maidah 51 dan tidak memegang ayat lainnya, itu berarti mempercayai yang satu dan mengingkari yang lain. Oleh karena itu, harus ada surat lain yang mesti dijadikan landasaan saat menyebut surat al-Maidah 51. Sehingga arugumentasi yang dibangun lebih komprehensif dan tidak syarat diskriminatif. Hanya menggunakan surat Al-Maidah dengan mengingkari surat lain adalah sikap yang keliru.

Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. Hamka Haq, menjelaskan bahwa prinsip di dalam hukum Islam harus mengedepankan praduga tidak bersalah. Seseorang melakukan sesuatu tidak hanya diukur dari kesengajaannya, tetapi juga diukur dari mengapa dia melakukan itu, dan tidak bisa dijawab oleh video.

Beliau secara tegas mengkritisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan sikap keagamaan tanpa lebih dahulu melakukan tabayyun (konfirmasi). Menurutnya, MUI sebagai lembaga terhormat tidak boleh kalah dengan tekanan-tekanan. MUI seharusnya mandiri dan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Fatwa MUI tidak berlaku dan mengikat dalam tatanan hukum di Indonesia.

Seorang ulama muda Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Ahmad Ishomuddin juga menyebut kesalahan fatal menggunakan al-Maidah 51 untuk menolak Ahok sebagai gubernur. Menurut Gus Ishom, ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur. Adapun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat.

Menurut Gus Ishom, konteks ayat tersebut harus dilihat dari sabab an-nuzul-nya. Yang dimaksud ayat tersebut adalah dalam konteks Perang Uhud, yaitu saat Bani Qaynuqa’ memerangi Rasulullah SAW, di mana umat Islam kalah dalam peperangan. Sebagian dari mereka meminta perlindungan kepada orang Yahudi dan Nasrani. Ayat tersebut dimaksud larangan bagi umat Islam untuk meminta tolong kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk meraih kemenangan dalam perang.

Menurut Gus Ishom, kata “awliya” yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategorisasi musytarak, yaitu memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Umumnya, sejumlah kitab tafsir mu’tabarah tidak menafsirkan awliya dengan pemimpin, tetapi dengan pertemanan dan perlindungan. Bahkan terjemahan Kementerian Agama adalah “teman setia”.

Sebenarnya, apa yang disampaikan Ahok di Kepulauan Seribu ditujukkan kepada para oknum politisi yang kerap memanfaatkan Surat Al-Maidah 51 secara tidak benar karena tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada. Hal ini diperkuat pendapat Kiai Sahiron Syamsuddin, seorang ahli tafsir al-Quran dan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Menurutnya, Ahok mengkritik para politikus yang menggunakan surat Al-Maidah ayat 51 untuk kepentingan politik tertentu.  

Ahok juga tidak menyebut ulama tertentu, jadi jelas bukan termasuk penodaan atas agama. Kiai Sahiron menganggap, dalam memahami surat Al-Maidah ayat 51, harus memperhatikan aspek bahasa, sejarah, dan pesan utama ayat tersebut. beliau merujuk pada fatwa di Mesir, bahwa dalam urusan publik, pemimpin yang lebih mampu memberikan pelayanan publik yang baik dan menyejahterakan rakyat harus diutamakan, meski dia non-muslim.

Tidak Menodai Agama 


Beberapa kesaksian ahli agama ini menunjukkan bahwa tidak ada unsur kesengajaan dari Ahok untuk menodai agama. Tidak logis seorang yang mencalonkan diri untuk pemilu akan dengan sengaja menghina simbol sakral dari agama yang dipeluk mayoritas para pemilihnya, kecuali yang bersangkutan diam-diam berniat ingin kalah atau ingin dipidana.

Selama ini, tuduhan massif, sistematis dan terstruktur kepada Ahok atas tuduhan penistaan agama dan ulama, sama sekali tidak berdasar. Apalagi saat Ahok berpidato di Kepulauan Seribu, warga yang menyaksikan bertepuk tangan riuh atas apa yang disampaikannya. Tepuk tangan adalah bukti penerimaan warga terhadap apa yang disampaikan Ahok. Tepuk tangan adalah simbol gubungan erat antara warga dengan Ahok.

Ingat, Allah di dalam al-Qur’an memerintahkan umat Islam agar bersikap adil, dan sebaliknya dilarang zalim kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Oleh karena itu, jangan berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.

@ibnu said


Jakarta Bersyariah Itu Mengerikan


DUNIA HAWA - Mantan menteri pendidikan yang dipecat oleh Presiden Jokowi bernama Anies Baswedan, kini mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta. Keikutsertaan Anies pada kontestasi Pilkada DKI Jakarta ini pun sebenarnya sudah banyak menuai kontroversi publik. Sebab, kehadirannya kini sebagai calon gubernur DKI Jakarta diusung oleh dua partai politik yang dulu sering ia kritik dengan pedas, yaitu partai Gerindra dan PKS.

Dulu, waktu perhelatan pilpres 2014, Anies menjadi juru bicara kampanye Jokowi. Ia begitu keras mengkritik Prabowo, petinggi partai Gerindra yang saat itu menjadi lawan Jokowi dalam pilpres. Dan saat ini, Anies begitu mesra dan mengelu-elukan Prabowo, orang yang dulu Anies kririk habis-habisan. Ini menunjukkan bahwa Anies merupakan tipe politisi yang tidak konsisten. Demi nafsu kekuasaan, ia seakan lupa dengan apa telah dulu pernah dia perbuat. Dan anehnya, ai tampak biasa saja, tidak merasa malu dengan pihak-pihak yang dulu pernah ia kritik pedas itu.

Hari-hari berlalu begitu cepat. Dan tanpa terasa, proses Pilkada DKI Jakarta telah terlewati. Hingga kini menyisakan dua pasangan calon yang melaju di putaran kedua. Yaitu pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan–Sandiaga Uno. Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni gugur pada putaran pertama.

Pencalonan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta banyak di dukung dan di sokong oleh kelompok Islam radikal. Kalangan Islam radikal ini telah membuat sebuah kontrak kesepakatan politik dengan kubu Anies. Mereka akan mendukung Anies, jika Anies bisa mengakomodir kepentingan mereka.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kelompok Islam radikal pendukung Anies ini mengusung kepentingan untuk mensyariahkan DKI Jakarta, atau Jakarta bersyariah. Ya, mereka akan menegakkan Jakarta bersyariah. Dan ini telah disepakati oleh Anies. Bahkan telah beredar spanduk di beberapa tempat di ibu kota, yang menyampaikan pesan bahwa program kerja 100 hari Anies jika terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah menjadikan Jakarta bersyariah.

Tindakan Anies menyetujui kepentingan para pendukungnya untuk menjadikan Jakarta bersyariah itu sangat berbahaya bagi kebhinekaan bangsa Indonesia. Hal ini bisa menimbulkan perpecahan di ibu kota Jakarta secara khususnya, dan bahkan bangsa Indonesia secara umumnya.

Karena kondisi ibu kota tidak hanya di huni oleh penduduk Muslim saja, melainkan juga di huni oleh non Muslim dari berbagai agama lain yang ada di Indonesia. Mereka juga mempunyai hak yang sama dalam hal politik dengan umat Muslim yang menjadi penduduk Jakarta. Jika Jakarta bersyariah di terapkan, tentu ini bisa memicu terjadinya perpecahan, terutama bagi mereka yang berasal dari agama non Muslim.

Apalagi, para pendukung Anies dalam berkampanye mencari dukungan, sering menyebarkan isu SARA. Mereka begitu rasis dengan kelompok lain. Selain kelompok mereka, atau yang tidak sepaham dengan kelompok mereka, tak jarang mereka teriaki sebagai kelompok yang sesat dan kafir.

Pendukung Anies paling gencar menebarkan intoleransi umat beragama dalam pilkada kali ini. Mereka menyerukan kepada seluruh warga Jakarta untuk memilih Anies yang Muslim pada hari pencoblosan pilkada nanti. Mereka membawa-bawa agama untuk kepentingan politik mereka. Mereka mempolitisasi agama. Demi kemenangan dan kepentingan politik, sampai agama juga di bawa untuk berkampanye.

Padahal, ajaran Islam yang menyuruh memilih pemimpin pemerintahan harus Muslim itu juga masih menjadi perdebatan di kalangan ulama Muslim sendiri. Ada juga ulama Muslim yang membolehkan memilih pemimpin pemerintahan dari kalangan non Muslim. Contohnya adalah almarhum Gus Dur, ulama besar Indonesia, sekaligus mantan ketua Nahdlatul Ulama, yang juga mentan presiden Indoensia ke empat.

Namun karena pendukung Anies memang berasal dari golongan Islam radikal, maka siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan politik mereka, akan dihujat habis-habisan. Bahkan di doakan dengan doa yang sangat tidak baik, bagi siapa saja yang bersebrangan dengan mereka.

Bahkan, belakangan beredar vidio pimpinan kelompok pemdukung Anies, FPI, yaitu Rizieq Shihab, sedang berdoa dalam sebuah acara publik yang diamini oleh banyak pengikutnya. Namun doanya adalah doa-doa yang jelek, bahkan sangat jelek, yang ditujukan untuk siapa saja yang tidak memilih Anies sebagai calon pemimpin Muslim Jakarta. Dan kebetulan, musuh Anies, Ahok, merupakan non Muslim. Jadi tambah menjadi-jadi mereka menyebarkan  intoleransi agama ini.

Sekali lagi, visi Anies untuk Jakarta bersyariah itu sangat berbahaya. Berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Di tambah lagi mereka memainkan isu SARA. Rasis pada golongan Cina dan non Muslim.

Mereka menyerukan untuk memilih pemimpin pemerintahan Muslim itu juga berbahaya. Karena bisa menjadi pemantik terjadinya permusuhan antar umat beragama. Dan ini jelas, berpotensi memecah belah bangsa dan mengancam keutuhan NKRI.

Jika mereka menyerukan untuk memilih pemimpin berdasarkan agama, maka hal ini bisa menjadikan kelompok dari agama lain untuk melakukan hal serupa. Dan jika semua sudah seperti ini, akhirnya bangsa ini akan menjadi sekte-sekte, masing-masing sekte menjadi bergesekan dan bermusuhan, yang pada akhirnya akan memecah belah bangsa.

Tentu hal ini jangan sampai terjadi di bumi Indonesia yang sangat kita cintai ini. Jangan sampai bangsa ini menjadi seperti negara Suriah, yang terpecah belah akibat konflik sekterian. Mari hendaknya setiap kita agar senantiasa merawat kebhinekaan dan perdamaian di negeri ini.

Dengan demikian, sekali lagi saya sampaikan, demi menjaga kebhinekaan dan keutuhan keutuhan NKRI, visi Anies mengenai Jakarta bersyariah itu berbahaya. Bahkan sangat mengerikan bagi perdamaian dan kebhinekaan bangsa Indoensia yang selama ini telah lama kita jaga. Dan yang paling penting, untuk warga Jakarta jangan sampai ikut terprovokasi dengan model-model kampanye seperti ini. Wallahu A’lam Bhissawaf!

@faturrahman


Jakarta Bersyariah Vs Jakarta Berpancasila


DUNIA HAWA - Pilkada Jakarta 2017 telah mempertontonkan pertarungan antara kelompok yang menginginkan Jakarta bersyariah dan Jakarta berpancasila. Jika kelompok yang menginginkan Jakarta bersyariah menang, maka akan membahayakan keharmonisan Jakarta dengan masyarakatnya yang beragam

Sebaliknya, jika kelompok yang menginginkan Jakarta berpancasila menang, nilai-nilai Pancasila yang terbukti memberi kententraman dan keharmonisan selama bertahun-tahun akan mengiringi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama warga. Sikap saling percaya dan toleran akan terus tumbuh subur di antara warga Jakarta yang heterogen. Inilah pentingnya memilih pemimpin yang tepat untuk membawa Jakarta hidup dalam kedamaian dan menatap masa depan bersama-sama tanpa memandang SARA.

Anies-Sandi Merangkul Kelompok Bersyariah


Salah satu peserta Pilkada Jakarta 2017, Anies-Sandi secara terang-terangan merangkul kelompok radikal yang selama ini menginginkan hadirnya Syariah di Jakarta, yakni Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Anies-Sandi juga menjadikan kelompok tersebut sebagai partner dan afiliasi politiknya.

Kelompok ini sudah lama mendeklarasikan diri melalui “Deklarasi Jakarta” tahun 2005 untuk memperjuangkan berdirinya NKRI bersyariah, dan Jakarta bersyariah hanyalah langkah awal mereka. Nantinya, segala cara kehidupan warga Jakarta harus sesusai dengan Islam versi kelompok mereka.

Dari cara berpakaian, mereka menganjurkan Pegawai Negeri Sipil menggunakan pakaian Syar’i. Seragam TNI dan Polri yang bertugas di wilayah Jakarta juga harus mengenakan pakaian sesuai dengan Syar’i. Di samping itu, larangan menggunakan celana jeans, celana ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh. Perempuan juga dilarang berbonceng dengan cara ngangkang.

Begitu juga pekerja ojek mangkal dan ojek online, dilarang membawa penumpang yang bukan muhrim tanpa ada batas pemisah (hijab atau dinding pemisah). Untuk area publik seperti food court, bioskop, lapangan, taman bermain harus dibagi dua antara ikhwan dan akhwat, dipisahkan oleh hijab pemisah. Mall, cafe, restoran dan seluruh tempat hiburan harus tutup pukul 18.00 (saat maghrib tiba).

Gerai toko baik online maupun ofline dilarang menjual pakaian yang mengumbar aurat laki-laki dan perempuan akan ditutup. Jika ketahuan akan dikenakan denda sebagai hukumannya. Untuk mengawasinya, mereka akan memasang CCTV di berbagai tempat sekaligus untuk memantau pergaulan anak muda pria dan wanita. Dan masih banyak lagi beberapa usulan dari ormas radikal untuk menjadikan Jakarta sebagai kota bersyariah.

Tentu saja hal ini akan memicu konflik sektarianisme. Selama ini, kelompok radikal yang menginginkan Jakarta bersyariah sudah banyak  menyebarkan benih-benih sektarianisme yang membuat gelisah warga. Mereka menyuarakan untuk menolak non-muslim sebagai gubernur dan jenazah pendukungnya haram disalati. Padahal, Indonesia bukan negara agama. Secara konstitusi, siapapun berhak menjadi pejabat publik, termasuk non-muslim.

Fenomena Jakarta bersyariah yang telah menumbuhkan benih sektarianisme sangat bertentangan dengan prinsip Pancasila, yang mengakui semua keyakinan warga negara. Warga Jakarta bukan hanya Islam, melainkan ada yang Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dan membuat Jakarta bersyariah sama saja dengan menyingkirkan keyakinan mereka dan dapat memicu konflik sektarianisme yang lebih dahsyat.

Keharusan Jakarta Berpancasila


Keharusan Jakarta berpancasila, bukan bersyariah tidak lepas dari fakta keragaman yang sudah lama terjadi di Jakarta. Selain itu, Pancasila telah terbukti mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dan telah nyata membuat kedamaian dan ketentraman di antara warga Jakarta.

Sikap toleransi, saling percaya, dan menghargai  merupakan nilai-nilai Pancasila yang telah lama dibangun di antara warga Jakarta  yang beragam. Secara tidak sadar, warga Jakarta sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh pengamalan nilai Pancasila yang bisa kita lihat, yakni ketika hari raya datang. Bagaimana kendaraan jamaah muslim yang menunaikan solat Idul Fitri di Masjid Istiqlal dibolehkan parkir di halaman komplek Gereja Katedral Jakarta. Begitu juga sebaliknya, ketika hari raya Natal datang kendaraan jemaat gereja diperbolehkan parkir di halaman Masjid Istiqlal. Bahkan, Pemuda GP Ansor yang notebene kumpulan pemuda Islam juga turut mengamankan jalannya Misa Natal.

Atau, momen bagi-bagi angpao di Hari Imlek yang dilakukan wihara-wihara di Jakarta kepada orang miskin tanpa melihat agama apa yang dianut. Sikap seperti ini menjadi bukti kuat bahwa Jakarta bersyariah bukan sebagai jawaban untuk masyarakat Jakarta yang beragam, melainkan Jakarta berpancasila.

Di samping itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan keputusan final para founding fathers untuk mempersatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pancasila lahir dari kebudayaan asli orang Indonesia yang mengedepankan sikap toleran, saling percaya, menghargai, dan bermusyawarah dalam  menjalani kehidupan sehari-hari.

Sehingga, Sikap toleransi, saling percaya, dan menghargai  merupakan pilar Pancasila yang harus dirawat dan dijaga untuk terus menciptakan suasana damai dan nyaman bagi warga Indonesia, khususnya Jakarta.

Untuk itu,  memilih pemimpin yang pro terhadap Jakarta bersyariah sama saja menginginkan Jakarta dalam ancaman konflik horizontal dan merusak tatanan sosial yang sudah mapan. Dan Anies-Sandi dan gerombolannya menjadi ancaman nyata untuk keberagaman Jakarta yang sudah lama terjalin.

Tidak ada pilihan bagi warga Jakarta untuk memastikan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika akan selalu tegak, dan sejauh ini yang konsisten dengan tegaknya Pancasila adalah pasangan Basuki-Djarot.

@septa nuril fahmi


Anies Makin “Ngawur”


DUNIA HAWA - Gelagat  politik Anies Rasyid Baswedan semakin kelihatan “ngawur”. Tidak terukur, tidak terarah. Sepertinya visi politiknya sebatas retorika. Gagasan program kerjanya hanya sekedar isapan jempol semata. Kepandaian retorikanya sama sekali tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang mantan rektor dan mantan menteri.

Anies Rasyid Baswedan ini hanya bernafsu untuk mencapai kekuasaan. Orientasinya sama sekali tidak menyentuh persoalan warga Jakarta. Memang kata-katanya halus, jago debat, tapi jika anda sadari betul kehalusan kata-katanya itu menyakitkan. Anies yang tampak tenang itu justru telah suka menuduh dibandingkan lawannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok).

Jika bicara jam terbang, Ahok jauh lebih baik dari Anies. Sebagai orang yang jauh lebih paham dunia politik hingga birokrasi, pantas Ahok bersikap tegas terhadap berbagai kebijakan. Mestinya juga Anies seorang Akademisi yang baru terbit di dunia politik bisa memilah dan memilih tindakan yang tepat untuk kesejahteraan warga.

Sebagai seorang mantan rektor juga menteri, Anies Rasyid Baswedan mestinya cerdas menentukan visi politik. Namun tidak demikian, program kerjanya banyak yang menilai tidak rasional. Dugaan ini semakin terang ketika rentetan debat bahwa Anies tidak mampu membeberkan visi kerja justru lebih suka menyerang lawan.

Hingga saat ini menjelang pilkada putaran kedua, Anies semakin menunjukkan betapa tidak hebatnya dia. Anies sama sekali tidak memiliki kemampuan di dunia politik. Visi kerja politiknya hanya nafsu identitas. Egonya lebih besar dibandingkan visinya kepada warga Jakarta.

Debat berkali-kali pun Anies akan tetap sama. Jalur politiknya retoris, sekedar bernafsu kuasa. Warga Jakarta akan bosan mendengar kata-kata manisnya, karena memang kepandaiannya di ruang debat namun berbeda terbalik ketika di lapangan.

Anies Rasyid Baswedan ini “ngawur” menentukan jejak politiknya. Dengan melihat kemajemukan warga Jakarta justru bergandengan tangan dengan kelompok intoleran. Umumnya seorang akademisi sangat tegas memperjuangkan toleransi. namun Anies berbeda, setelah terjangkiti politik identitas, kini merangkul kelompok intoleran. Sama saja Anies membukakan pintu bagi mereka yang mengusung ideologi asing di Jakarta.

Baru-baru ini Anies-Sandi menyadari, namun terlambat, mengerahkan ribuan relawan untuk menurunkan spanduk SARA, spanduk Jakarta bersyariat, dan sebagainya. Gerak politiknya lucu dan ngawur. Setelah terbukti melakukan politisasi masjid hingga jenazah kini tiba-tiba bertaubat. Karena politik jadi seakan semua sikap benar.

Sampai disini sebenarnya sudah sangat cukup bukti bahwa Anies Rasyid Baswedan itu “ngawur”. Jakarta itu ibukota yang mejamuk paripurna. Dengan tidak menduga-duga, kegaduhan yang terjadi di Jakarta hingga Istana, adalah buntut dari proses politik ini. Jika Anies Baswedan tidak memberi kesempatan kepada kelompok intoleran maka kegaduhan bangsa ini tidak akan terjadi.

“Ngawur”-nya Anies yang terbaru adalah pidato kebangsaannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (3/4/2017). Ada yang aneh memang, untuk Jakarta Anies membuat acara “Pidato Kebangsaan”. Sepertinya tidak hanya Jakarta yang ini dia kuasai namun seluruhnya. Namun ada hal yang “ngawur” lebih dari itu lagi.

Soal isi pidatonya, mungkin ini yang Anies sebut sebagai kebangsaan. Anies dengan cara orasi yang seperti itu, mengular-ular, mengatakan kurang lebih demikian “bahwa kebhinekaan itu fakta tidak perlu diperjuangkan, yang perlu diperjuangkan itu persatuan.” Setelah bertahun-tahun Indonesia merdeka, dengan stamina kehidupan yang beragam, seorang Anies mengatakan kebhinekaan itu tidak penting.

Semoga bapak Prabowo Subianto memberikan pencerahan kepada kadernya ini. Kebhinekaan itu final paripurna. Kebhinekaan itu memang fakta, dan itulah yang harus diperjuangkan. Melalui kebhinekaan itulah bangsa Indonesia kuat dan merdeka. Beragam suku, bahasa, budaya, agama, merupakan simbol dari persatuan dan kesatuan.

Anies semakin ngawur bicara kebangsaan. Jika yang dimaksud memperjuangkan persatuan adalah persamaan maka lebih “ngawur lagi”. Persatuan itu adalah dalam spirit kebhinekaan. Perbedaan itu sumber kekuatan, nasionalisme, saya yakin Pak Prabowo lebih paham soal spirit nasionalisme.

Jika Anies Rasyid Baswedan ingin memperjuangkan persatuan dalam persamaan sama halnya ia menolak pancasila. Ragam bahasa, budaya, agama, etnis, suku, tidak bisa dipersatukan dalam bentuk persamaan bahasa maupun agama. Dalam kebhinekaan perekat perbedaan itu adalah pancasila dan nasionalisme. Maka Anies memang “ngawur” bicara soal kebangsaan.

Lalu, apa bedanya Anies dengan kelompok intoleran yang memperjuangkan Jakarta bersyariat, NKRI bersyariat. Kami tidak akan pernah lupa, jika Anies Baswedan kini berangkulan dengan FUI, MMI, HTI, FPI, dalam merebut kursi DKI 1. Tapi saya yakin bahwa kebhinekaan tetap akan solid dalam sebuah perjuangan demi keutuhan NKRI.

 Kini, warga Jakarta harus menentukan sikap. Jangan menyerahkan Jakarta kepada “kengawuran” yang kian tidak Jelas. Serahkan Jakarta kepada pemimpin cerdas dan yang serius bekerja.

@abhiyasa


Apa Kabar Firza Hots dan Kak Emma?


DUNIA HAWA - Lama tidak dengar kabar tentang kasus Firza Hots dan Kak Emma. Kasus ini seperti mengendap tanpa ada kabar apapun. Hilang seperti kentut yang cuma mampir di ujung hidung -buat orang marah-marah- untuk kemudian pergi bersama angin.

Bagaimana bisa begitu? Supaya paham, kita kembali dulu ke aksi 212.

Ketika penahanan "pelaku makar aksi 212", polisi juga menyita gadget mereka. Dari isi gadget, polisi bisa menentukan langkah selanjutnya. Dan banyak "hil yang mustahal" di gadget orang-orang itu yang jadi kartu as polisi untuk menekan mereka.

Ibaratnya "rahasia tergelap" mereka terbongkar sudah, bahkan diantaranya ada rahasia yang sangat memalukan jika dibuka keluar. Seperti ada gambar yang sedang mengupil pake jempol kaki.. sungguh mengherankan.

Oke, sesudah itu para "tersangka" dipulangkan ke rumah masing-masing dengan pernyataan tidak akan lagi ikut aksi bahkan muncul ke permukaan massa.

Efektif.

Sampai sekarang kita jarang sekali mendengar kicauan RS, KZ, AD bahkan tokoh emak2 RSP. Suara mereka hilang ditelan bumi dan tidak terdengar berkoar lagi..

Poin ini dimenangkan polisi. Tapi polisi punya satu target lagi, yaitu tokoh yang sedang naik daun dan punya pengaruh besar terhadap gelombang aksi selanjutnya. Karena itu polisi menangkap satu orang yang diduga dekat dengannya.

Dibongkarlah gadgetnya dan tampaklah gambar2 dan chat yang aduhai indahnya. Gambar2 itu "dibungkus" oleh polisi dan dibawa ke tokoh tadi.

"Gimana, kami punya gambar2 hot melotot nih. Bisa ngga berhenti dari aksi2 besar ?" Kata polisi. Si tokoh ini berkeras tidak mau. Lha, dia sudah dibayar banyak, nanti bisa wan prestasi bisnis selanjutnya bisa gak jalan lagi.

Mentok negosiasi, polisi mulai jalankan planning B. Gambar2 itu sulit dijadikan bukti hukum kuat, tapi ada satu senjata pemusnah massal jika gambar itu beredar yaitu hancurnya performa suci yang selama ini dibangun susah payah.
Karena polisi tidak mungkin menyebarkan, maka dibuatlah seolah-olah ada "anonymous". Dengan nama anonymous ini, beredarlah di dunia maya chat yang membuat seorang kakek - yang sudah mati segan hidup setengah mati - bisa bangkit dan muda kembali.
Maka mulailah sesi penghancuran karakter paling ganas di abad ini.

Perlahan kesucian itu ditelanjangi sebulat-bulatnya dengan beredar luas percakapan itu. Bully-an massif membuat harga diri jatuh ke dasar bumi. Polisi sudah diatas angin.

Untuk menepis kabar yg sudah beredar luas itu, pertahanan terakhir -meski sangat lemah- adalah membuat baliho dimana2 dengan tema "Bela Ulama".

Akhirnya sang tokoh menyerah. Ia datang ke salah satu menteri dan minta supaya tidak di kriminalisasi. Seperti tikus, ia sebenarnya memang digiring ke sang menteri karena disanalah sebenarnya kunci jawaban dan jalan keluarnya.

"Oke, saya bisa stop kasus itu. Tapi dengan syarat bla bla bla..". Kata sang menteri. Kali ini si tokoh kontroversial tidak bisa mengelak. Kacau kalau gambar2 itu beredar di dunia maya. Jejak digital bisa jadi jejak abadi. Masak satu waktu cicit2nya melihat eyangnya sedang dalam posisi sama seperti waktu mereka masih bayi ?

Maka sang menteri berjanji akan menjaga nama baiknya dengan catatan ia harus bekerja sama. Pertama, sang tokoh harus menghentikan aksi massa. Dan kedua, jika masih ada aksi beritahu siapa tokoh2nya.

Maka sang tokoh pulanglah dengan hati lega sambil mendengar lagu obbie messakh, "malu aku malu, pada semut merah.. yang berbaris di dinding, menatapku curiga.."

Ia kemudian meminta kelompoknya untuk tidak melakukan aksi besar lagi.

Tapi ada tokoh2 lain yang tidak setuju dengannya. Mereka ini jauh lebih radikal dan punya agenda sendiri. Tokoh lain ini memaksa untuk buat aksi yang lebih frontal yang sempat tertunda, yaitu jatuhkan sang Presiden.

Karena menghentikan tidak bisa, maka jalan satu-satunya membiarkan aksi itu dilaksanakan. Tapi kali ini sang tokoh tadi menjadi kaki tangan polisi.

Ia memetakan apa yang akan terjadi dan mengirimnya melalui pesan rahasia seperti film2 spy Hollywood. Kadang pake celana dalam bekas sebagai kode dan dijemur dengan merk di luar. Polisi juga menyamar sebagai pedagang tahu bulat dan siap mengambil cd bekas yang dijemur itu. Canggih lah strategi pertukaran informasi mereka...

Dan kita tahu akhirnya aksi 313 bisa diredam dan penjahat sebenarnya bisa diamankan...

Begitulah kenapa Firza Hots dan Kak Emma sampai sekarang tidak pernah lagi keluar.

Dapat kabar bahwa ternyata kode2 di cd bekas itu di merknya.

Kalau HINGs artinya Hari Ini Nasi Gorengs. Maksudnya, sedang ada pertemuan tertutup. Kalau RIDER artinya Rasanya peDes tapi segER. Yang maksudnya target sudah ditentukan untuk masuk gedung DPR.

Dan polisi yang menyamar sebagai pedagang tahu bulat memberi kode, "tahu bulat digoreng dadakan... 500 saja.". Maksudnya, siapa yang menggerakkan?.
Kode polisi langsung dijawab dengan cd bekas yang disobek di jemuran, artinya "si Khottot".

Ribet kan permainan intelijen itu?. Lebih mudah seruput kopi sebenarnya.

@denny siregar