Tuesday, April 4, 2017

Zakir Naik. Mamah Dedeh dan Industri Agama


DUNIA HAWA - Saya bulak balik ditantang untuk datang ke acara Zakir Naik, supaya dapat pencerahan katanya. Saya malah bingung, apa keuntungannya buat saya ya? Sama sekali tidak ada. Zakir Naik hanya satu dari sekian ribu orang yang mempelajari kitab suci dengan tafsiran terhadap ayat yang berbeda.

Kalau dari segi keilmuan, okelah, Zakir Naik emang top. Dia hapal begitu banyak kitab suci lintas agama yang bahkan belum tentu mampu dihapal oleh para pemeluknya. Tapi dari segi pemahaman terhadap isi kitab, nanti dulu.

Penafsiran Zakir Naik terhadap kalimat-kalimat dalam kitab suci yang harus dipelajari kapan, dimana, kepada siapa dan bagaimana ayat itu disampaikan, saya yakin tidak ada apa-apanya dibandingkan Kyai-kyai NU.

Zakir Naik hanya melakukan perbandingan antar ayat di kitab suci A dengan kitab suci B. Dan langsung memberikan kesimpulan bahwa artinya itu begini. Padahal bisa jadi pemahamannya berbeda, hanya karena redaksionalnya yang mirip-mirip langsung ditabrakkan kedua-duanya dengan bahasa "Itu perintah Allah".

Namanya kitab suci ya jelas itu perintah Tuhan. Masalahnya, benarkah maksud Tuhan sesuai maksud Zakir Naik?

Gak usah jauh-jauh ke Zakir Naik. Contoh saja Mamah Dedeh.

Saya juga heran betapa beraninya seorang Mamah Dedeh membuat sebuah penafsiran bahkan fatwa atau perintah, hanya berdasarkan pemahamannya yang rendah terhadap ayat. Siapa Mamah Dedeh? Pendidikan apa yang sudah dilaluinya hingga berani mengatas-namakan perintah Allah berdasarkan tafsirannya?

Mungkin ketika Mamah Dedeh tiba-tiba "berfatwa", "Ini haram !!" Malaikat langsung mencibir, "Elu sapeee?".

Menafsirkan apa maksud Tuhan dalam sebuah kitab suci bukan perkara mudah. Di kalangan ulama top saja banyak perbedaan pendapat.

Di Iran ada jenjang untuk bisa menafsirkan kalam Tuhan. 10-15 tahun, sebagai talabeh atau pelajar ilmu agama dengan mempelajari seluruh kitab suci yang ada. Kalau sudah lulus dari sana, tambah lagi sekolah 5-10 tahun untuk menjadi hujjatul Islam. Hujjatul Islam bisa memberikan penafsiran, tapi belum boleh berfatwa. Mereka harus sekolah 5-10 tahun lagi dan jika lulus menjadi Ayatullah - atau para fakih yang bisa mengeluarkan fatwa.

Jadi bayangkan, untuk mengeluarkan sebuah fatwa saja, perjalanan mereka panjang sekali. Bisa usia 70-80 tahun baru disana disebut ulama. Begitu juga di Mesir, kurang lebih sama.

Nah, bandingkan dengan Zakir Naik -apalagi Mamah Dedeh- yang mendadak jadi rujukan banyak orang. Ulama itu tanggung-jawabnya sangat berat karena dia rujukan umat, sebab fatwa ibarat pedang runcing nan tajam yang bisa menggorok leher mereka sendiri.

Tapi pasar memang berbeda. Fatwa menjadi industri baru yang harus diproduksi sebagai sebuah barang siap makan. Komersialisasi ulama menjadikan banyak penceramah instan yang disukai orang yang beragama dengan instan juga. Ada penceramah rasa kari ayam, ada yang ayam bawang, malah ada yang rasa rendang.

Dan si pencari agama juga memilih sesuai selera. Ada yang suka karena si penceramah tampan, ada yang suka model yang memaki-maki dan ada yang suka karena "pokoknya dia terkenal, sering masuk tipi..".

Mereka bahkan tidak mau sulit-sulit melakukan identifikasi, siapa yang memasukkan ilmu ke otak mereka? Jangan-jangan tukang tambal ban yang hapal satu dua ayat doang, trus ganti profesi karena jadi ustad lebih bergengsi..
Begitulah kenapa nama Zakir Naik melejit, karena ia menggunakan youtube sebagai promosinya. Ditambah judul yang bombastis, "Zakir Naik membuat seribu orang Hindu masuk Islam..". Makin heroiklah dia di kalangan bumi datar yang memimpikan seorang superhero dengan cawat di dalam.

Jadi, untuk apa saya menjadikan Zakir Naik sebagai rujukan kebenaran dan kesalahan?.

Apalagi ditambah iklan, "Pilih yang cawatnya di dalam. H a l a l... Mamah tau sendiri". Ah, enaknya malam ini bikin kopi lagi. Seruput ahhh.

@denny siregar


Eep Saefulloh Fatah dan Politisasi Isu SARA


DUNIA HAWA - Dalam sebuah video yang viral, Eep Saefulloh Fatah, yang konon disebut-sebut sebagai tim konsultan politik pasangan calon gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno, secara terang-terangan menyebut masjid sebagai tempat kampanye untuk meraih kemenangan. Ia meniru strategi kemenangan Partai FIS/Partai Front Keselamatan Islam (al-jabhah al-islamiyah lil-inqadh) di Aljazair yang berhasil memenangkan pemilu dengan mempolitisasi masjid.

Menurut Eep, partai FIS bisa menang pemilu di Al-Jazair karena menggunakan masjid sebagai propaganda politik. Padahal partai FIS bukan partai dengan jaringan yang kuat, tidak ada tokoh-tokoh berpengaruh yang tersebar di berbagai daerah, dan pendanaannya pun biasa-biasa saja.

Namun, dengan jaringan masjid, Partai FIS bisa memenangkan pemilu. Sejumlah khotib, ulama dan ustadz yang mengisi kegiatan di masjid, terutama ketika sholat Jumat, tidak hanya menyerukan ketakwaan, tetapi dilanjutkan dengan seruan politik. Hal itu terus disampaikan hingga hari pencoblosan. Nah, cara Partai FIS inilah yang ditiru oleh konsultan politik Anies-Sandi untuk mengalahkan Ahok.  

Satu-satunya Senjata 


Secara eksplisit, Eep telah gagal menciptakan model kampanye dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif. Ia menganggap politisasi SARA merupakan satu-satunya senjata untuk mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Padahal, politisasi SARA adalah langkah mundur bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Tim Anies-Sandi tahu bahwa tidak mungkin bertarung soal program, sebab program Ahok sudah dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta, sedangkan program Anies masih wacana. Tim Anies-Sandi menilai kualitas paslon Anies-Sandi masih di bawah Ahok-Djarot, sehingga permintaan debat hanya berpotensi menunjukkan bahwa program Ahok-Djarot jauh lebih unggul daripada Anies-Sandi. Inilah penyebab Anies-Sandi tidak menghadiri debat dalam acara Rosi di Kompas TV (2/4).

Maka politisasi SARA menjadi senjata satu-satunya untuk memenangkan kontestasi Pilkada DKI. Tak heran jika menjelang Pilkada DKI putaran kedua pada 19 April 2017, intensitas penggunaan sentimen SARA semakin tinggi. Dimulai dari provokasi kebencian di berbagai masjid melalui khutbah Jumat, intimidasi jenazah, hingga aksi demonstrasi berjubah agama. Perkembangan ini tentu menjadi keprihatinan kita semua sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi.

Kita tahu, politisasi SARA sangat tidak sehat bagi bangsa Indonesia. Karena Indonesia dikenal sebagai negara yang damai sehingga tidak boleh dirusak dengan politisasi SARA. Kita bisa lihat, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral saling berhadap-hadapan dan tidak ada masalah dan tidak timbul konflik horizontal. Sehingga sangat aneh jika ada pihak tertentu yang bermain di air keruh dengan berpolitik menjual agama.

Strategi politisasi agama ini mirip dengan aksi Ikhawanul Muslimin (IM) di Mesir yang telah meluluhlantahkan keberagaman di Mesir. Ikhwanul Muslimin menggunakan masjid untuk menarik simpati dan menyebarkan ideologi-ideologi sektarianisme agama. Mereka juga mempolitisasi ayat-ayat suci untuk kepentingan politiknya, hingga terciptalah suasana konflik sektarianisme yang sangat dahsyat yang kemudian meluluhlantahkan kedamaian di Mesir.

Tentu kita tidak ingin negeri yang damai ini seperti Mesir. Karena glorifikasi sektarianisme dan intoleransi yang mereka usung, sungguh sangat bertentangan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang telah dipraktikkan sejak lama oleh para founding father kita. Agama sangat mulia, sehingga tidak elegan jika ditarik masuk ke dalam ranah politik. Oleh karena itu, agama harus diletakkan sebagai jalan kebenaran dan kebajikan, bukan direndahkan untuk tujuan politik sesaat.

Tidak Ampuh


Mungkin dalam bayangan Eep, Ahok hanya bisa dikalahkan menggunakan isu politisasi SARA. Padahal, strategi Eep dengan menggunakan SARA tidak akan ampuh dalam perpolitikan DKI Jakarta. Hal ini karena publik Jakarta sudah sangat dewasa dan rasional dalam memilih paslon. Mereka akan memilih paslon berdasarkan rekam jejak dan bukan karena isu SARA. Benturan politik dengan cara menjual agama dan provokasi kebencian sama sekali tidak laku di Ibu Kota.

Publik Jakarta lebih mengedepankan rasionalitas dan pikiran jernih untuk membedakan pemimpin yang patut dipilih dan tidak patut dipilih. Dukungan kepada Basuki-Djarot yang terus mengalir mutakhir ini adalah bukti bahwa politisasi SARA sama sekali tidak ampuh untuk dijadikan senjata politik di Jakarta.

Oleh karena itu, Eep sebagai konsultan politik semestinya tidak menggunakan politisasi SARA untuk memenangkan kontestasi politik Pilkada DKI. Karena itu sama halnya menodai agama dan menciderai demokrasi yang telah lama kita bangun bersama. Provokasi fitnah dan intimidasi harus dihindari. Pilkada adalah bagian dari pesta demokrasi sehingga kegembiraan dan kebahagiaan harus dikedepankan dan bukannya ketakutan, kebencian, dan intimidasi yang justru diperlihatkan.



@ahmad hifni 


Kemesraan Anies Baswedan dan PKS


DUNIA HAWA - Hubungan Anies Baswedan dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebenarnya tidak hanya terjalin selama Pilkada DKI. Jika melihat ke belakang, hubungannya sudah lama, setidaknya sejak Anies menjabat Rektor Paramadina.

Kemesraan Anies dan PKS dimulai ketika Anies bertemu Sohibul Iman di Universitas Paramadina, yang ketika itu juga menjadi Pejabat Rektor Universitas Paramadina. Kedekatannya berlanjut, ketika Sohibul Iman ditunjuk menjadi Pembantu Rektor ketika Anies menjadi Rektor Universitas Paramadina sebelum menjadi Wakil Ketua DPR dari PKS dan Presiden PKS.

Selanjutnya, kemesraan Anies dan PKS juga ditunjukkannya ketika menjadi rektor dengan mengizinkan masuknya infiltrasi pemikiran tarbiyah PKS melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di lingkungan Universitas Paramadina. Di samping itu, ketua komisariat KAMMI pada tahun 2008 atau 1 tahun Anies menjabat sebagai rektor merupakan salah satu penerima beasiswa Paramadina Fellowship (PF). Hal ini ditengarai sebagai sikap Anies atas keberpihakannya terhadap ideologi eksklusif.

Di sisi lain, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang merupakan organisasi sayap kanan PKS mempunyai pemikiran Islam yang eksklusif dan tertutup. Sehingga, hadirnya KAMMI sangat tidak relevan dengan visi dan misi Paramadina yang berjuang untuk membangun keislaman yang inklusif   dan terbuka di tengah-tengah keberagaman Indonesia.

Puncak Kemesraan


Diangkatnya Anies menjadi calon Gubernur Jakarta dari PKS merupakan puncak kemesraan di antara keduanya. Hal ini tidak lepas dari peran teman dekatnya yang juga mantan Rektor Universitas Paramadina sebelum Anies dan sedang menjabat sebagai Presiden PKS, yakni Sohibul Iman.

Padahal, di bursa Cagub dan Cawagub Jakarta ketika itu, nama Anies sama sekali tidak muncul. Bahkan, Partai Gerindra dan PKS sudah hampir memastikan nama Yusril Ihza Mahendra-Sandiaga Uno yang sebelumnya telah mengikuti konvensi Cagub dan akan diusung dari koalisi mereka.

Kalau tidak ada kedekatan secara personal dengan Sohibul Iman, sangat mustahil Anies akan menjadi Cagub seperti sekarang. Di samping itu, PKS yang menjadi pengusung utama Anies begitu ngotot menunjuk Anies karena ingin menarik pangsa pendukung mereka yg eksklusif.

Kemesraan Anies dengan PKS juga tidak hanya ditunjukkan dari sisi personal saja, melainkan dengan persamaan pemikiran. Hal ini diungkapkan Anies ketika berpidato dalam kunjungannya ke markas Front Pembela Islam (FPI).

Dalam pidatonya, Anies mengatakan dirinya sebagai pemadam api kontroversi pemikiran dalam kampus Paramadina. Secara tidak langsung, keberhasilannya memadamkan api perjuangan Cak Nur, yang telah memperjuangkan Islam modern, inklusif, toleran, dan Rahmatal Lil Alamin, merupakan pemikirannya yang eksklusif. Dan ini menunjukkan bahwa Anies lebih dekat dengat Islam yang eksklusif, tertutup, dan intoleran.

Anies merangkul kelompok radikal dalam kontestasi Pilkada Jakarta, seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menambah bukti yang menguatkan pemikiran Anies sejalan PKS. Karena mereka menginginkan dasar negara NKRI akan dibuat  bersyariat.

Sebenarnya, NKRI Bersyariat adalah jelmaan dari pendirian negara khilafah yang diusung HTI. Namun, FPI bersama FUI dan MMI melalui Deklarasi Jakarta pada tahun 2005 mulai menggunakan paltform yang menginginkan berdirinya NKRI Bersyariat untuk menarik simpati masyarakat muslim moderat.

Bahaya Anies dan PKS


Menurut Prof. Dr. J.E. Sahetapy, Guru besar ilmu hukum Universitas Airlangga, PKS adalah perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin (IM) versi Said Hawwa faksi Qiyadah Syaikh yang menginginkan terciptanya keadilan distributif ala Islam. Tujuan tersebut sangat tidak tepat jika diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya sangat beragam.

Di samping itu, keberhasilan IM dalam memenangi politik tidak lepas dari politisasi masjid yang mereka lakukan. Isu-isu SARA mereka gaungkan untuk memenangkan kontestasi politik di setiap masjid yang tersebar di Mesir.

Jika diterapkan di Indonesia, khususnya Jakarta tentu ini akan menjadi bahaya besar yang dapat mengancam keutuhan dan kesatuan NKRI. Kita tidak ingin menjadi negara seperti Mesir yang diguncang konflik sektarianisme yang diciptakan oleh IM melalui Presiden Muhammad Morsi.

Politisasi masjid yang terjadi di Jakarta yang digerakkan oleh Tim Anies-Sandi mirip sekali dengan apa yang terjadi di Mesir. Bukti terbaru, video Eep Saifulloh seorang konsultan politik Anies-Sandi menyerukan dengan lantang melalui video youtube yang viral untuk mengajak khotib Jumat agar jangan hanya menyerukan ketakwaan, namun harus juga menyerukan sikap politik.

Sungguh disayangkan, sikap Tim Anies Sandi yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mengalahkan Basuki-Djarot dalam kontestasi Pilkada Jakarta. Karena menyerukan politik di setiap masjid Jakarta adalah ancaman nyata bagi negeri yang damai ini. Di sisi lain, politisasi masjid oleh tim Anies-Sandi mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Jakarta.

Jauh dari itu semua, kedekatan Anies dan PKS ini melahirkan kembali kelompok intoleran yang sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Tanah Air. Hal itu karena pemikiran maupun ideologinya bertentangan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Kita tidak ingin keberagaman Jakarta yang damai dan tentram  menjadi rusak akibat isu SARA yang telah digerakkan secara masif oleh tim Anies dan Sandi.

Sidang ke-17 Ahok: JPU Makin Panik

Dakwaan JPU Justru Dipatahkan Bukti-buktinya Sendiri, Ini Penjelasan Hukumnya



DUNIA HAWA - Sidang ke-17 kasus dugaan penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok hari ini telah memasuki agenda pemeriksaan terdakwa beserta alat dan barang bukti yang memiliki hubungan dengan delik penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok. Bahkan yang menggelikan, hari ini penuntut umum sudah memiliki keyakinan bahwa ada pengulangan perbuatan penodaan agama yang dilakukan Ahok berdasarkan pemutaran alat bukti berupa tiga video beserta satu barang bukti berupa buku ‘’Merubah Indonesia’’, yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51. Namun keyakinan penuntut umum bahwa Ahok sering mengulang-ulangi perbuatannya (penodaan agama) justru secara langsung dan jelas menujukan bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada Ahok adalah tidak sesuai dengan apa yang diuraikannya dalam surat dakwaan, dikarenakan:

Ahok didakwa dengan Pasal 156 a KUHP (delik penodaan agama) dan atau Pasal 156 KUHP (delik penghinaan agama). Padahal dalam hukum pidana, penodaan agama sebagaimana dalam Pasal 156 a KUHP berupa: menginjak-injak kitab suci, membakar kitab suci, merobek-robek kitab suci, dan membakar rumah ibadah serta sengaja mengotori rumah ibadah.

Sedangkan yang dimaksud dengan penghinaan agama sebagaimana dalam Pasal 156 KUHP berupa: mengolok-olok agama tertentu, mengejek-ejek agama tertentu, ingat agamanya loh ya bukan kitab sucinya. Agama dan kitab suci adalah dua hal yang berbeda jika dilihat dalam konteks hukum pidana.

Dalam kasus Ahok yang jadi materi utama penuntut umum dalam dakwaannya adalah kitab suci, ini merujuk pada Al-Maidah ayat 51 (bagian dari Al-Qur’an, kitab suci agama Islam). Dua pasal yang didakwakan kepada Ahok justru bertentangan dengan alat dan barang bukti yang dihadirkan di persidangan. Juga bertentangan dengan asas legalitas.

FAKTA HUKUMNYA ADALAH SEBAGAI BERIKUT:

Kalimat yang terdapat di dalam buku ‘’Merubah Indonesia’’ – Surat Al-Maidah ayat 51;

Kalimat dalam pidato Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Surat Al-Maidah ayat 51;

Kalimat dalam pernyataan Ahok di Balai Kota, Surat Al-Maidah ayat 51;

Kalimat dalam pernyataan Ahok dalam acara di Partai NasDem, Surat Al-Maidah ayat 51.

FAKTA HUKUM DALAM ALAT DAN BARANG BUKTI: Merujuk pada kalimat tentang ‘’Surat Al-Maidah ayat 51 – (Surat yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an – Kitab Suci Agama Islam’’. DAN TIDAK ADA FAKTA HUKUM YANG MENGARAH PADA AGAMA SEBAGAIMANA YANG DIHEMBUSKAN LAWAN POLITIK AHOK SELAMA INI. YANG ADA HANYA ADA FAKTA HUKUM MENGARAH PADA KITAB SUCI.

Artinya jika penuntut umum terus merasa di atas angin dan berkeyakinan bahwa Ahok telah mengulangi perbuatannya berdasarkan alat dan barang bukti di atas, justru penuntut umum memalukan dikarenakan dengan menyatakan Ahok terus mengulangi perbuatannya lantaran menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51, artinya penuntut umum menuduh Ahok melakukan penghinaan Kitab Suci, kenapa Kitab Suci? Karena Surat Al-Maidah ayat 51 adalah bagian dari Kitab Suci Agama Islam, Al-Qur’an.

Karena dua pasal yang didakwakan kepada Ahok sama sekali tidak memiliki kaitan dengan pernyataan Ahok yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51, dikarenakan pasal yang didakwakan kepada Ahok tidaklah sesuai dengan alat bukti beserta barang bukti sebuah buku, karena apa yang terdapat dalam bukti JUSTRU MENGARAH pada Kitab Suci  , ini menyangkut Surat Al-Maidah ayat 51 yang merupakan bagian dari Kitab Suci Agama Islam. Jadi bukan penodaan agama.

Jadi dengan demikian, jika mengacu pada alat bukti berupa enam video beserta satu barang bukti berupa satu buah buku , saya optimis Ahok tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terkait dua pasal yang didakwakan kepada Ahok, DIKARENAKAN DALAM DAKWAAN, JUSTRU PENUNTUT UMUM MENGURAIKAN SECARA RINCI DAN DETAIL DELIK PENGHINAAN KITAB SUCI, DALAM HAL INI SURAT AL-MAIDAH AYAT 51. Padahal delik penghinaan Kitab Suci belum diatur dalam KUHP Indonesa. Sehingga saya berharap penuh pada tim kuasa hukum Ahok agar argumentasi hukum diatas dimasukan ke dalam nota pembelaan (pleodoi) dikarenakan saat ini hanya tersisa argumen hukum di atas untuk bisa menyelamatkan Ahok dari dakwaan penuntut umum.

Bahkan sebelumnya, Ade Armando pernah dilaporkan dan menjadi tersangka karena dianggap melakukan penodaan agama dikarenakan membuat status yang menyinggung Allah/Tuhan. Tetapi kemudian Ade Armando kasusnya dihentikan. Salah satu alasan hukum mengapa kasus Ade Armando dihentikan OLEH Polda Metro Jaya adalah  DIKARENAKAN DELIK YANG DISANGKAKAN KEPADA ADE ARMANDO BUKANLAH DELIK PENODAAN AGAMA TETAPI DELIK PENGHINAAN TUHAN/ALLAH.

Dan delik itu belum diatur dalam KUHP Indonesia. Sehingga kasus Ade Armando dihentikan , dikarenakan penyidik Polda Metro Jaya tidak memiliki dasar hukum apapun untuk bisa berargumentasi bahwa itu penodaan agama. Kasus dugaan penodaan agama yang disangkakan kepada Ahok sebenarnya sejak awal pada tahap penyelidikan bisa dihentikan saat itujuga, tetapi karena tekanan massa yang begitu besar, membuat penyidik tak punya pilihan lain selain menjerat Ahok dengan Pasal 156 a KUHP dan atau Pasal 156 KUHP sekalipun dua pasal itu tidak sesuai dengan apa yang dituduhkan oleh lawan politik Ahok selama ini dan uraian dalam surat dakwaan penuntut umum.

Nah, kasus yang didakwakan kepada Ahok mirip dengan kasus yang pernah menjerat Ade Armando. Ade Armando menyinggung Tuhan/Allah, tetapi Ahok menyinggung Surat Al-Miadah ayat 51 (bagian dari Kitab Suci Al-Qur’an). Sehingga berkaca dari kasus Ade Armando yangawalnya dijerat dengan delik penodaan agama lalu kemudian dihentikan karena delik tersebut belum memiliki dasar hukumnya, saya semakin optimis Ahok akan dibebaskan, dikarenakan keyakinan penuntut umum bahwa Ahok menodai agama karena dianggap menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 adalah tidak beralasan secara hukum, dikarenakan yang meyakinkan penuntut umum itu tidak ada landasan hukumnya. Karena isi dakwaan yang disusun penuntut umum justru yang menujukan jikalau penuntut umum tidak yakin dengan surat dakwaannya. ISI DAKWAAN MENGARAH PADA PENGHINAAN KITAB SUCI, BUKAN PENODAAN AGAMA, ITU YANG HARUS DIPAHAMI.

Termasuk permintaan penuntut umum agar alat bukti berupa video tidak perlu diputar sampai selesai, itu justru kian menujukan bahwa penuntut umum telah gagal membuktikan penodaan agama, karena dalam uraian justru penuntut umum bukan menguraikan penodaan agama tetapi menguraikan penghinaan Kitab Suci, merujuk pada penekanan kalimat Surat Al-Maidah ayat 51 (bagian dari Kitab Suci Agama Islam, Al-Qur’an). Sehingga saya yakin dan percaya kalau kelima majelis hakim yang menangani perkara kasus dugaan penodaan agama yang disangkakan kepada Ahok, akan menjadi wakil Tuhan yang sesungguhnya yakni tetap berpijak dan berpegang teguh pada asas legalitas (vide: Pasal 1 ayat 1 KUHP)

Pasal 1 ayat 1 KUHP: ‘’Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada’’.

Nah, dari pasal tersebut jelas bahwa Ahok tidak dapat dipidana/harus dibebaskan, dikarenakan penuntut umum dalam dakwaannya JUSTRU MENGURAIKAN PENGHINAAN KITAB SUCI BUKAN PENODAAN AGAMA. Dan penghinaan Kitab Suci berdasarkan asas legalitas di atas, tidak bisa dipidana, dikarenakan belum ada dasar hukumnya.

Saya hanya berharap satu hal kepada kelima yang Mulia majelis hakim agar tidak takut sama sekali dengan tekanan massa/lawan politik Ahok, tetapi takutlah jika salah dalam mengambil keputusan. Takutlah kepada Tuhan, karena kelima Yang Mulia majelis Hakim adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Fiat justitia ruat caelum.

@ricky vinando


Kritik Rekan Anies di Paramadina Membuka Wajah Anies yang Sesungguhnya


DUNIA HAWA - Saya sudah malas sebenarnya membahas pernyataan-pernyataan Anies yang isinya hanya berupa pembodohan, kebohongan dan cacat-cacat fakta serta logika yang disengaja. Namun, setiap kali mendegar si oke ini ngoceh, selalu timbul satu rasa tidak rela untuk membiarkan pernyataan-pernyataan culasnya begitu saja. Karena si oke-ngoceh ini selalu menyampaikan pemutar-balikan fakta dan logika dengan begitu percaya diri, padahal dia tahu dia sedang menyatakan propaganda yang memecah belah, juga dia tahu bahwa muatan pernyataannya kaya akan fitnah. Ibaratnya sudah tahu di depanmu ada orang yang sedang menyeberang, tapi kamu tancap gas terus. Nalar dilibas dan nurani digilas.

Mengingat Anies maka seharusnya kita mengingat Hitler dan teknik propagandanya. Salah satunya adalah propaganda tentang “Kebohongan besar” (Jerman: große Lüge) yang merupakan sebuah teknik propaganda yang pernah diciptakan oleh Adolf Hitler ketika ia mendiktekan bukunya yang sangat terkenal, Mein Kampf, pada 1925.

Pada buku tersebut, Hitler mengungkapkan dengan sangat berapi-api tentang bagaimana sekelompok orang yang dia tuduhkan (orang-orang keturunan Yahudi di Jerman pada saat itu) telah menciptakan sebuah kebohongan yang sangat besar dan kolosal. Hitler mengklaim bahwa merekalah (kaum keturunan Yahudi) yang telah menjadi penyebab dari jatuhnya pimpinan politik tertinggi dan jenderal besar Jerman yang sangat dikagumi pada saat itu. Tuduhan itu diperparah dengan narasi kebencian yang lagi-lagi menuduh warga keturunan Yahudi sebagai biang kerok dari ketidakstabilan politik dan ekonomi Jerman akibat kekalahan mereka di Perang Dunia yang pertama.

Jikalau Engkau Mengatakan Sebuah Kebohongan yang Cukup Besar, dan Mengatakannya Cukup Sering, Maka Kebohongan itu Akan Dipercaya – Adolf Hitler, (terjemahan bebas).

Propaganda kebencian dari Hitler terhadap salah satu ras inilah yang kelak dijadikan “bahan bakar” politiknya untuk menghidupkan mesin kediktatorannya. Ia menumbuhkan kebencian masyarakat terhadap satu ras sambil mengangkat ras yang lain sebagai kaum yang supreme, berderajat lebih tinggi, dan dinilai sebagai yang paling berhak serta paling pantas memimpin dunia.

Para pembaca sudah bisa melihat pada titik ini bukan? Propaganda yang dilakukan kubu Anies-Sandi ini persis seperti apa yang dilakukan oleh mesin propaganda Hitler, dan sekarang hal tersebut sedang terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta. Tapi numpang tanya, di mana akhirnya propaganda fasis-rasis itu berakhir selain daripada di Perang Dunia kedua? Tidak heran nanti pada video yang akan saya cantumkan di bawah, Anies disebut fasis oleh mantan rekannya sendiri. Dan itu memang betul karena sejarah sudah pernah bercerita tentang orang yang serupa.

Senjata Politik Terbaik adalah Teror. Kekejaman akan Mengatur Rasa Hormat. Orang-orang Mungkin Akan Membenci Kami. Tetapi, Kami Tidak Butuh Cinta Mereka; yang Kami Butuhkan Hanyalah Ketakutan Mereka – Heinrich Himmler, Menteri Dalam Negeri dan Pimpinan Seluruh Korps Kepolisian Nazi di Era Hitler. (terjemahan bebas).

Namun untungnya masih banyak orang yang bernurani bersih di negeri kita. Justru semua kebohongan besar yang Anies-Sandi suarakan malah menuai perlawanan, termasuk dari rekan-rekan sejawat yang pernah mengenal keseharian mereka sebelumnya. Salah satunya adalah rekan Anies di Universitas Paramadina, Mohammad Monib. Beliau langsung angkat suara setelah menyaksikan pidato kebangsaan yang dibawakan Anies pada dua stasiun televisi nasional kemarin (03/04/2017).

Saya sangat yakin apa yang dirasakan oleh rekan-rekan sejawat Anies seperti Mohammad Monib ini juga dirasakan oleh banyak orang. Kebohongan yang begitu terstruktur, sistematis dan masif ini telah mencapai titik nadirnya, dan telah siap meluluh-lantahkan bangsa hingga titik terendahnya kalau terus dibiarkan. Dari seluruh narasi kampanye Anies-Sandi hingga kini, kita dapat menemukan bagaimana teknik-teknik propaganda yang mengerikan ada di sana. Selain “big lie” yang saya sebut di atas, masih ada trik-trik disinformasi lainnya yang dilakukan, seperti “dog whistle”, “half-truth”, “doublespeak” dan “false flag”.

Yang terbaru adalah bagaimana Anies menyalahkan para simpatisannya sendiri yang memasang 100 lebih spanduk “Jakarta bersyariah” dengan foto Anies-Sandi. Anies menyatakan bahwa itu semua fitnah yang dilakukan oleh kubu lawan untuk menyerang dirinya dan Sandi. Inilah yang dinamakan dengan teknik komunikasi politik false flag. Dia sendiri yang melakukan tetapi ia menuduh pihak lawan yang melakukannya, brengsek bukan?

Sebuah Kebohongan Ketika Disampaikan Satu Kali akan Tetap Menjadi Sebuah Kebohongan. Tetapi ketika Sebuah Kebohongan Disampaikan Seribu kali, itu Akan Menjadi Kebenaran – Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di Era Hitler. (terjemahan bebas).

Masalahnya, tuduhan Anies-Sandi ini sulit diterima nalar ketika terang-terangan basis pendukung dan simpatisan Anies-Sandi selama ini memang kelompok-kelompok yang sangat amat terkenal dengan libidonya yang tinggi untuk menerapkan ideologi sektarian-radikal berkedok paham keagamaan yang sangat sempit. Kita akan lebih percaya bahwa simpatisan Anies-Sandi sendirilah yang melakukannya. Masa sebagai calon pemimpin tidak tahu basis massa pendukungnya sendiri? Anies kalau pura-pura tidak tahu ya tidak usah sampai sebegitunyalah.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca, ketika mengingat Anies, yang adalah Doktor bidang politik, saya menjadi tak heran mengapa ia bisa begitu menguasai teknik-teknik propaganda yang begitu tengik. Memang perlu kecerdasan yang cukup untuk memainkan semua komunikasi politik busuk ini dengan apik. Masyarakat tidak boleh diam dan mendiamkan. Kita harus bangkit, dan hanya satu kata “lawan!” yang pantas bagi para politisi busuk seperti Anies-Sandi. Kita tidak boleh diam, karena ketika kita semakin diam, Indonesia akan jatuh semakin dalam. Dan itu sangat menyedihkan.

Begitulah kumbang-kumbang, Bwakakakakk.


@nikki tirta


Ngerinya Jika Anis Sandi Menang


DUNIA HAWA - Tulisan ini saya buat bukan untuk menjatuhkan, tetapi sekedar mengingatkan. Saya pernah menulis tentang Indonesia menuju Suriah, dimana negara kita tanda-tandanya sedang menuju ke arah sana. Seperti Suriah, Indonesia seperti bara dalam sekam ketika memelihara banyak kelompok ekstrim berbaju Islam di dalam negara.
Kelompok-kelompok ini mendapatkan banyak keuntungan. Atas nama agama, mereka berkembang karena kebutuhan politik dan politisi yang memanfaatkan mereka. Miliaran rupiah dana masuk ke kantong ormas agama melalui masjid-masjid, majlis taklim, pengajian sampai ke acara pengumpulan massa seperti dzikir bersama.

Dengan mengalirnya dana ke kantong ormas agama, para pemain politik dan politikus memastikan bahwa mereka didukung oleh "umat Islam" yang menjadi kekuatan terbesar di negara ini.

Situasi ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya dan mereka -para ormas agama- itu berkembang biak dengan menjual ayat sesuai kepentingan pembelinya. Mereka juga meraih banyak pengikut dan simpatisan yang sedang mencari "petunjuk" dengan menggelar pengajian dan mimbar-mimbar Jum’at di masjid mereka.

Ketika dunia global berubah sesuai gerakan arab spring di timur tengah, Indonesia pun tidak luput dari api panasnya.

Ormas-ormas agama yang sudah lama terbentuk itu, dicekoki dengan paham "pendirian negara Islam". Mereka kemudian bereaksi untuk bergerak bersama kelompok ekstrim dari timur tengah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, dengan mengangkat kembali isu Negara Islam Indonesia atau NII.

Situasi itu menciptakan simbiosis mutualisma baru antara mereka dan politikus yang mempunyai kepentingan berkuasa. Sulit memastikan siapa yang menunggangi dan siapa yang ditunggangi. Ada agenda besar yang diciptakan setahap demi setahap menuju kesana.

Pilgub DKI 2017 ini seperti kotak pandora, membuka baju siapa mereka sebenarnya..

Model intimidasi melalui mimbar Jum’at, gerakan aksi massa besar mengatas-namakan pembelaan agama, shalat subuh politik berjamaah sampai tidak menshalatkan jenazah dan penggunaan ayat dalam bungkus roti, kotak sabun dan tamasya politik, adalah gerakan-gerakan yang diciptakan menunjukkan kebangkitan mereka.

Kelompok pecinta khilafah ini sebenarnya tidak perduli siapa pemimpin daerah yang mereka usung nanti. Buat mereka, siapapun yang mau ditunggangi itulah yang akan mereka pilih. Dengan memanfaatkan dukungan massa, mereka akan menyetir kebijakan-kebijakan pemimpin daerah yang mereka usung nanti.

Contoh terbaik yang bisa kita lihat adalah Bogor.

Saat pembubaran peringatan Asyura oleh kelompok bermazhab Syiah, kita melihat bahwa dibelakang Walikota Bogor itu ada kelompok garis keras seperti HTI. Bima Arya seperti tidak berdaya untuk menekan mereka karena ia membutuhkan suara mereka. Maka ia harus mengikuti apapun kepentingan ormas agama asal ia tetap bisa berkuasa.
Dan ini banyak terjadi di wilayah Jabar yang dibangun dengan konsep agamis. Wajarlah jika survey Wahid Institute menobatkan Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran se-Indonesia.

Penguasaan terhadap Jabar tentu tidak lengkap jika tidak menguasai Jakarta. Karena itu para ormas khilafah ini mencari pemimpin yang lemah, yang berorientasi pada kekuasaan untuk mereka dukung dan mereka tunggangi. Pilihan mereka jatuh pada Anies Sandi yang sedang berambisi dengan berbagai cara untuk menjadi orang nonor satu di Jakarta.

Jadi kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika Anies-Sandi menang nanti..

Dana-dana pembangunan akan mengalir ke ormas-ormas agama. Peraturan daerah akan berpihak kepada mereka. Terancamnya kebhinekaan karena pelarangan beribadah. Razia-razia atas nama syariah akan kembali marak di Jakarta.

Dan itu baru pintu gerbang saja, karena serangan sesungguhnya akan diarahkan ke pusat pemerintahan. Ibarat menguasai Jakarta sama dengan menduduki areal sekitar istana. Mereka akan mengumpulkan kekuatan logistik disana untuk agenda sesungguhnya..

Melihat Pilgub Jakarta memang harus bisa membaca gambar besarnya. Karena disanalah kita bisa melihat pola-pola yang sama yang diterapkan di negara-negara rawan konflik di timur tengah.

Karena itu, jadikan Pilgub Jakarta ini sebagai medan perang. Karena hasilnya nanti akan sangat berpengaruh dengan apa yang terjadi ke depannya nanti. Saya akan terus kawal sambil seruput secangkir kopi.

@denny siregar