Sunday, April 2, 2017

Anies-Sandi Tidak Datang Debat di Rosi Kompas TV


DUNIA HAWA - Sejak pukul 19.00 saya sudah mantengin Kompas TV. Dibuka dengan Ahok-Djarot berjoget diiringi lagu Hip-Hip Hura-Hura saya malah tertarik dengan hashtag yang nongol di layar. Loh kok jadinya #AhokDjarotdiRosi? Bukankah tadi sore di unggahan twitter Kompas TV harusnya dengan menggunakan hashtag #DebatdiRosi? Batal nih debatnya? Kok malah Ahok, Djarot, Rosi bermain Flip Bottle Challenge? Padahal baru saya tulis di sore tadi , Anies Takut Hadiri Debat di Kompas TV?

Di awal acara, Rosiana Silalahi sudah menjelaskan bahwa pihak Kompas TV sudah mengupayakan kehadiran Anies-Sandi ke acara ini. Mereka juga menerima soal permohonan konsep acara dari pihak Anies-Sandi. Salah satunya tentang penyampaian visi-misi cukup oleh Wakil Gubernur saja. Lah? Kenapa cukup Wakil Gubernur saja? Apakah Calon Gubernur mereka kurang berkompeten menyampaikan sendiri visi-misinya? Loh PhD lho itu, IPKnya 4,00. Atau justru karena buat mereka visi-misi tidak penting sehingga cukup Wagub saja yang menyampaikan? Sebetulnya tentu tidak apa-apa karena baik Cagub maupun Cawagub harus sama-sama menguasai hal ini dengan benar.

Anies sakit mungkin? Sepertinya spekulasi ini juga kurang benar. Jika memang sakit, tentulah Rosi menyampaikan alasan itu dengan terbuka. Ini jelas masalahnya karena teknis. Secara khusus Rosi bahkan menghaturkan ucapan terima kasih ke Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, atas usahanya untuk penyelenggaraan acara ini. Entah apa yang dimaksud oleh Rosi atas pernyataan ini. Mungkinkah Prabowo sebetulnya sudah membujuk Anies-Sandi untuk datang namun sang kandidat tetap ngotot enggan? Atau mungkin Prabowo sudah mencoba mencari win-win solution namun Anies dan segenap konsultan politiknya enggan? Entahlah hanya Allah, Rosi, Anies, Uno, dan Prabowo yang tahu.

Padahal di putaran pertama kemarin, tim Anies-Sandi sempat menyindir tim Agus-Silvy yang dua kali tidak datang ke debat yang diselenggarakan oleh televisi.

“Menurut kami di (tim) Anies-Sandi, hasil di debat kandidat dan diskusi ini adalah (salah satu bentuk) hadir di tengah-tengah masyarakat. Seperti kita ini, berlima ini bukan hadir di tengah-tengah jurnalis tapi hadir di tengah pemirsa Elshinta yang jumlahmya jutaan di seluruh Indonesia,” ujarnya.

“Dan menurut kami, analisa dari tim kami, peran media itu cukup penting. Sebanyak 99 persen popularitas dan elektabilitas Anies dan Sandi disokong oleh teman-teman media. Kalau enggak diberitakan, enggak jadi apa-apa.”

Lucu sekali kan bahwa sekarang sindiran itu mungkin harus ditimpakan ke tim Anies-Sandi sendiri. Jelas-jelas menjelang coblosan do or die ini Anies-Sandi maupun Ahok-Djarot sama-sama harus melakukan apapun yang bisa dilakukan demi mendapat perolehan suara semaksimal mungkin. Jadi jika mengulik pernyataan mereka sendiri, maka saat ini adalah bentuk Anies-Sandi tidak hadir di tengah masyarakat. Dari sikap saja sudah inkonsisten, bagaimana nantinya dengan janji-janji yang diberikan ke warga selama kampanye? Jangan-jangan mereka juga tidak bisa konsisten.

Ketidakhadiran ini selain membuat kita jadi tahu bagaimana mental Anies-Uno, di satu sisi juga justru menjadi momen bagi Ahok-Djarot menjawab dan menjelaskan berbagai isu di masyarakat. Mulai dari isu agama, Ahok punya hidden agenda terkait PBB 0 rupiah, Ahok anti orang miskin, dan lain-lain. Secara tidak sadar, Anies-Sandi dan segenap timnya justru memberi podium pada Ahok-Djarot meluruskan banyak hal yang bisa jadi beberapa isunya dihembuskan oleh lawan politiknya demi kemenangan di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 ini.

Selentingan bahwa tim Anies-Sandi justru tidak datang debat karena ingin membuat suasana kondusif juga sepertinya hanya perputaran kata manis saja. Justru hadir di acara yang disiarkan nasional adalah kesempatan mereka untuk menjawab dan mengklarifikasi segala isu dan keraguan masyarakat. Bukankah begitu?

Mungkin memang format debat tidak cocok untuk Anies-Uno, mungkin betul seperti permintaan Sandi bahwa mereka maunya format acara di televisi seperti acara talkshow. Di acara talkshow suasana lebih santai, tidak ada pressure, tidak ada jawaban tak terduga dari lawan debat yang mungkin membuat omongan kita yang sudah ditata jadi terbukti tidak masuk akalnya, tidak ada data perbandingan yang disodorkan lawan yang ternyata justru membuktikan data Anies-Sandi tidak sahih. Bobrok dan kekurangan tidak akan terpampang nyata. Dinamika acara pun lebih stabil sehingga tidak ada ketakutan ketidakstabilan emosi calon mereka akan terlihat nyata. Secara sederhana jika di Mata Najwa lalu saya bilang Anies so low, maka kali ini saya bilang Anies-Sandi such a loser…

@rahmatika


FPI Minta Gatot Saptono Dibebaskan Terkait Kasus Makar, Emangnya Ini Negara Punya loe?


DUNIA HAWA - Gatot Saptono alias Muhammad Al Khaththath menjadi tersangka kasus dugaan makar. Polda Metro Jaya menangkap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath dan empat orang lainnya terkait dengan dugaan pemufakatan makar. Kelima orang tersebut saat ini telah berstatus sebagai tersangka.

“Kalau sudah ditangkap ya berarti statusnya sudah tersangka,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Argo Yuwono kepada wartawan, Jumat (31/3/2017).

Ia menambahkan penetapan tersangka terhadap kelima orang tersebut sudah melalui prosedur. “Ya kalau sudah penetapan tersangka sudah (melalui) prosedur,” ucapnya.

Selain Al-Khaththath, polisi menangkap empat orang. Mereka adalah Zainudin Arsyad, Irwansrah, Veddrik Nugraha alias Dikho, dan Mar’ad Fachri Said alias Andre. Saat ini mereka masih diperiksa secara intensif di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Argo melanjutkan kelimanya ditangkap karena diduga melakukan pemufakatan makar. Mereka berencana menggulingkan pemerintahan yang sah dan menduduki gedung DPR/MPR RI.

“Beberapa kali ada pertemuan, intinya akan melengserkan pemerintah yang sah dan menduduki DPR/MPR,” tutur Argo.

Soal masalah apa yang dibahas dalam pertemuan serta di mana dan kapan pertemuan itu berlangsung, Argo belum memerinci. “Kemarin Al-Khaththath kan rilis, di situ kan ada tuntutan,” tuturnya.

Lebih lanjut saat ditanya apakah Al-Khaththath cs akan menunggangi aksi 313, Argo belum bisa memastikannya. “Ya nanti kita dalami apakah ada kaitannya dengan aksi 313 ini atau tidak,” ucap Argo.

FPI minta Polisi bebaskan Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khaththath


FPI meminta polisi agar Gatot Saptono alias Al-Khaththath dibebaskan, sebab menurut FPI Gatot Saptono tidak melakukan upaya makar. Malah FPI beralasan, Gatot Saptono alias Al-Khaththath merupakan pejuang Islam sejati dan pembela setia NKRI.


Tuntuntan pembebasan Gatot Saptono itu juga disuarakan saat aksi 313 (31/3/2017), Orator aksi saat itu mengatakan dengan tegas dan keras agar Kepolisian Negara Republik Indonesia membebaskan Muhammad Al-Khaththath alias Gatot Saptono.

“Lepaskan KH. Muhammad Al-Khaththath sekarang juga,” teriak salah seorang orator aksi.

Sebab mereka mengeklaim penangkapan terhadap Muhammad Al-Khaththath alias Gatot Saptono merupakan upaya kriminalisasi ulama. “Stop kriminalisasi dan makarisasi ulama, Takbir,” kata mereka saat berorasi (31/3).

Lagi-lagi mereka menggunakan senjata klasik mereka yaitu soal kriminalisasi terhadap ulama. Owh ya gara-gara itu saya jadi ingat sebuah pernyataan seorang Ustad yang katanya mirip Utsman Bin Affan, yakni Ustad Yusuf Mansyur.

Saat itu Ustad Yusuf Mansyur pernah mengatakan bahwa sesalah-salahnya ulama adalah sebenar-benarnya kita. “Jangan ditiru nak (kritiknya pada Nusron Wahid), sebab sesalah-salahnya ulama adalah sebenar-benarnya kita,” tentu saja para pembaca seword.com masih ingat betul dengan pernyataan itu.

Pernyataan tersebut pernah disampaikan Ustad Yusuf Mansyur sesaat setelah acara Indonesia Layer Club (ILC) TV One digelar. Pada acara ILC tersebut membahas soal pernyataan Ahok yang menyinggung soal Qs. AL-Maidah ayat 51. Banyak pro dan kontra dalam acara itu.

Salah satunya Nusron Wahid (pro Ahok) yang dengan getol meluruskan maksud Ahok menyinggung soal Al-Maidah ayat 51 pada september 2016 yang lalu. Penyampaian lantang Nusron Wahid waktu itulah yang dipersoalkan oleh salah seorang Ustad yang mirip Utsman Bin Affan, maksud saya Ustad Yusuf Mansyur.

Kita masih ingat betul dalam penyampaian Ustad Yusuf Mansyur yang banyak beredar diberbagai media menyindir keras Nusron Wahid. Hal itulah yang membuat pernyataan konyol Ustad Yusuf Mansyur hingga membuatnya nangis-nangis.

Maka dari itu pantas saja kalau kaum bumi datar sekarang membuat acuan pernyataan Ustad Yusuf Mansyur tersebut. Pernyataan Ustad Yusuf Mansyur diatas digunakannya sebagai teori pembenaran. Jika ada ulama yang berbuat makar terhadap negara dan ditangkap polisi, itu adalah sebuah kriminalisasi terhadap ulama. Begitulah kira-kira menurut pemahaman mereka kaum bumi datar. Coba saya ulangi lagi, “Sesalah-salahnya ulama adalah sebenar-benarnya kita,”.

Seakan apapun yang diperbuat oleh oknum ulama sekalipun itu salah dianggapnya sebagai suatu tindakan yang benar. Menurut saya agar umat Islam tidak gagal paham sebaiknya Ustad Yusuf Mansyur menarik pernyataan yang pernah ia sampaikan seperti diatas. Sebab jangan sampai pernyataan tersebut selalu digunakan sebagai teori pembenaran untuk membela oknum ulama yang salah.

Gatot Saptono alias Al-Khathtaht pernah jadi Pimpinan HTI


Pria kelahiran Pasuruan 12 Juni 1964 (hampir 50 tahun) ini menyelesaikan studi di Program Ilmu dan Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Institut Pertanian Bogor tahun 1988 dan aktif dalam berbagai organisasi keislaman sejak di Kampus sebagai Ketua Umum Badan kerohanian Islam IPB (1985-1986) dan lama aktif sebagai pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia dan juga pernah aktif sebagai pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat tahun 2005-2010. Adapun kegiatan-kegiatan keislaman seperti diskusi, seminar, tabligh akbar, demonstrasi, ceramah, khutbah Jum’at dilakukan sejak kuliah di IPB hingga hari ini.

Melihat biografinya diatas jelas-jelas ia ingin mendirikan negara Islam, jadi bohong besar jika FPI mengatakan Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khaththath merupakan pejuang setia NKRI. Saya sama sekali tidak percaya itu. Tapi biar bagaimanapun juga, saya sangat salut kepada Gatot Saptono alias Al-Khaththat sebab ia bisa menggalang peserta aksi dari luar daerah DKI Jakarta hingga para peserta aksi itu rela menjual sawah dan hewan ternaknya untuk mengikuti aksi 313 pada dua hari yang lalu (31/3/2017).


@saeun muarif


Serangan Terhadap Ahok Dulu, Kini Dirasakan Politisi Gerindra


DUNIA HAWA - Terjadinya kasus makar di Indonesia mendapatkan sorotan. Sebelum aksi 313, Sekjen FUI Muhammad Al-Khaththath sebagai tuduhan makar. Bahkan, beberapa teman di facebook berkampanye untuk menghentikan kriminalisasi terhadap ulama. Tapi, saya tidak akan mengbahas terkait apakah benar sekjen FUI itu ulama atau menobatkan diri sebagai ulama.

Akan tetapi, yang saya soroti ketika para politikus berpendapat terkait makar. Sekitar pukul 17.00 WIB, saya menonton debat antara dua polikus. Yakni, politikus asal Partai Gerindra (maaf saya lupa namanya) dan Partai PDI-Perjuangan (sama saya juga lupa namanya).

Tapi, dari inti perdebatan antara dua politikus tersebut sama seperti bergulirnya kasus hukum terkait penistaan agama, Basuki Tjahya Purnama. Para politisi asal Partai Gerindra memang selama ini selalu aktif mengkritis dan kontra terhadap Ahok – sapaan akrab Basuki. Begitu juga dengan Partai PDI-Perjuangan yang aktif membela Ahok.

Bahkan, ketua umum Partai Gerindra Prabowo mengatakan membela hak rakyat tidak bisa disebut makar. Terkadang, saya ingin berkomentar berbicara rakyat. Golongan mana yang disebut rakyat? Saya pribadi yang tidak ikut demo bisa disebut rakyat?

Jika dilogikakan, jumlah angka yang mengikuti demo 313, jumlahnya tidak mencapai seluruhnya warga DKI Jakarta. Saya masih menyakini, warga Jakarta yang ber-KTP Jakarta sedikit yang mengikutinya. Saya sempat mendengar ketika politisi kampanye, isu-isu sensitif yang berpotensi memenangkan dirinya akan disulit beberapa wilayah pikiran kota. Ternyata, kampanye tersebut cukup ampuh.

Hal ini pula yang dilakukan oleh para politisi pendukung Anies-Sandi. Menyulut kebencian di luar daerah pilkada. Imbasnya, warga DKI jakarta menjadi ketakutan dan tertekan. Tapi, semua perkataan dari para politisi tersebut dahulu, berputar dari sekarang. Politisi Gerindra mengamankan para tersangka yang terjerat makar. Sedangkan, Partai PDI-Perjuangan mengkritisi atas aparatur hukum menindaklanjuti hal tersebut.

Bagi saya ini sangat lucu. Semua keadaan berbalik seketika. Tapi, memang begitulah para politisi. Di mana kepentingannya terganggu dia akan mengamankan. Namun, Koordinator Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan mengatakan kliennya Sekjen FUI Muhammad Al Khaththath tidak berniat berbuat makar.

”Beliau (Al Khaththath) tidak pernah berniat makar. Beliau mengatakan hanya ingin melaksanakan demo sebagai penanggung jawab demo hari ini. Keinginannya itu petahana yang mencalonkan gubernur karena sudah jadi terdakwa, supaya ada ketentuan hukum,” ujar Michdan.

Apa saja yang dianggap makar? Terkait kasus makar yang terjadi, telah disediakan uang sebesar Rp 180 juta. Uang tersebut akan dibagikan kepada pendemo 313. Al-Khaththath, akan mendapatkan bonus jika aksi berakhir dengan ricuh. Apalagi melengserkan Joko Widodo.

Hal tersebut juga akan dibuktikan dalam hukum. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto mengungkapkan makar dengan obrolan santai biasa tentu bisa dengan mudah dibedakan.,

”Kalau ngobrol di warung kopi kan biasa setelah itu bubar. Tapi kalau di dalamnya ada niat pergerakan, sudah ada perencanaan yang matang, itu beda lagi,” kata Rikwanto dilansir di liputan6.com, Jakarta, Minggu (2/4/2017).

Kritik terhadap pemerintah tentu tidak dilarang sepanjang kritik itu membangun. Bila yakin tidak ada niat untuk melakukan makar, Rikwanto menyarankan para tersangka menghadirkan saksi ahli untuk menguatkan pendapat mereka.

Jenderal polisi bintang satu itu juga membantah bila kategori makar hanya berlaku bila ada peran TNI di dalamnya. Menurut dia, siapa saja yang mencoba mengganti pemerintah di luar aturan hukum bisa disebut makar. Rikwanto menyadari berbagi pendapat terus bergulir selepas penangkapan terhadap Al Khaththath berserta empat tersangka lainnya. Tapi, akan lebih baik lagi ketika pendapat itu dikuatkan dengan keterangan saksi ahli yang diajukan pada proses pemeriksaan.

Dia pun menegaskan, tidak ada rekayasa dalam kasus ini. Tudingan rekayasa kasus memang bukan pertama kali dialami polisi. Rikwanto mencontohkan kasus terorisme yang menewaskan Yayat. Dia tidak habis pikir kasus itu malah dianggap rekayasa.

”Ada emang orang mati direkayasa? Dan setelah itu banyak lagi penangkapan-penangkapan dan lebih parah lagi kondisnya. Artinya banyak bahan bom dan lain-lain. Jadi tidak ada dalam hal ini rekayasa-rekayasa itu,” ucap dia.

Dia menegaskanm, polisi tidak main-main dengan kasus makar ini. Mengingat kasus ini berkaitan dengan keamanan negara, kehidupan berbangsa dan kedamaian. ”Jadi tolong ditepis informasi seolah-olah ada rekayasa atau main-main pihak kepolisian tidak ada di sini. Kita sangat tegas masalah itu,” ujar dia.

Rikwanto memastikan, penyidik punya bukti kuat dalam menjerat para tersangka kasus dugaan pemufakatan makar ini. Sehingga tak ada keraguan bagi kepolisian dalam menuntaskan kasus ini.


@nurdiani latifah


Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arab


DUNIA HAWA - Saya punya teman SMP. Dulu orangnya culun dan tidak terkenal. Mendadak ketika reuni nama dia berganti menjadi - sebut aja - abu simelekete. Saya sebenarnya mau ketawa hanya gak enak hati saja - soalnya dah lama gak ketemu.

Dan si abu ini seperti biasa mendadak ngustad. Anehnya, beberapa teman kayak dicocok hidungnya ketika si abu bicara agama. Mungkin karena "abu"nya. Saya sampe becanda pake peribahasa, kalah jadi abu menang jadi arab.

Lalu sekarang tiba-tiba kita mengenal si Gatot Saptono alias Al Khatat -susah ejaannya- alias Al Kempinski.

Buat kita mungkin lucu, tapi pertanyaan terbesarnya adalah kenapa banyak orang mendadak menjadi kearab-araban?

Mereka bukan saja mengganti nama Indonesianya menjadi nama arab. Tetapi bahkan cara berpakaiannya yang ke gurun pasir-gurun pasiran. Mereka saling menyapa 'antum', 'akhy', 'ukhti' dan sebagainya.

Dan kalau ada yang ulang tahun, berseliweran kata ucapan 'barakallahu fi umrik' dibales dengan ucapan 'Jazakallahu khairan'. Saya yakin, tidak banyak temanku yang tahu artinya sekedar ikut-ikutan trend saja. "Biar lebih Islami.." katanya.

Saya sampe bengong, "Perasaan saya dulu sekolah di Indonesia, kenapa tiba-tiba jadi banyak warga Saudi?".

Ternyata saya mendapat jawaban bagus dari Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi.

"Jawa barat -dia berbicara tentang daerahnya- kehilangan identitas dirinya, yaitu kesundaannya.

Dekatnya wilayah Jabar dengan Jakarta, membuat banyak warga Jabar yang terkena arus modernisasi. Mereka ingin berbicara seperti orang Jakarta, gaya hidup seperti orang Jakarta dan lain-lain. Jakarta sentris, istilah kerennya. Padahal gaya hidup kota Jakarta juga banyak di pengaruhi Singapura.

Kehilangan kebanggaan sebagai "urang sunda" membuat Jabar kehilangan identitas dirinya. Pada saat limbung itulah, Jabar dimasuki budaya timur tengah melalui penyebaran agama.

Ini yang dinamakan gegar budaya - shock culture. Karena hilang kebanggaan kesundaannya, maka mereka menganggap arab adalah segala-galanya, penyelamat identitas dirinya yang hilang.

Maka wajar, untuk menandingi budaya barat yang mereka anggap haram, mereka memakai budaya arab sebagai pembanding. Ini disebabkan lemahnya pengetahuan mereka tentang budaya aslinya karena memang pemerintahnya yang tanpa sadar menghilangkan identitas budaya mereka sendiri..

Seharusnya kita belajar banyak dari Bali. Mereka banyak yang beragama Hindu, tapi tidak sama dengan Hindu di India. Mereka punya budaya tersendiri yang menyatu dengan agamanya. Digempur dengan arus modern dari berbagai macam bangsa di dunia, Bali tetap tidak kehilangan Balinya. Tidak kehilangan identitas dirinya. Tidak kagetan..

Budaya asli kita sebenarnya penuh pesan yang bermakna. Pesan-pesan itu adalah ajaran dari orangtua yang sudah kita tinggalkan dengan alasan tidak cocok dengan zaman. Kita durhaka pada leluhur.

Cara melawan intoleransi yang menguat karena kebanggaan agama, seharusnya dilawan dengan menguatkan budaya. Simbol-simbol budaya harus muncul kembali sebagai pengingat bahwa negara kita kaya akan ragam budaya.

Dan itulah yang menjadikan negara kita satu dahulu. Kebanggaan akan keragaman budayanya.."

Saya merasa memang disitulah akar masalahnya. Gedung-gedung kita di kota besar sudah meninggalkan simbol budayanya. Modernisasi ditelan mentah dengan mencampakkan akar kita. Ditambah kemiskinan, yang membuat orang menjadi tidak pintar dan mudah kagum akan budaya luar sehingga mudah dimanfaatkan.

Dan ini terjadi dimana-mana di banyak wilayah di Indonesia..

Lucu memang sekaligus miris melihatnya. Seharusnya kita belajar pada secangkir kopi yang meski dihajar dengan berbagai macam campuran, ia tetaplah secangkir kopi. Semua campuran itu bukan mematikan rasa kopinya, tetapi malah menambah kenikmatannya.

Mungkin - untuk mengikuti trend - saya harus mengganti nama saya dengan arab supaya Islami juga. "Denny Siregar Al fukat bin abu suk" cocok kayaknya. Serufut ya, akhi.. ga serufut, fentung.

@denny siregar