Saturday, April 1, 2017

Manfaat Berhubungan Intim Menjelang Kelahiran


DUNIA HAWA - Secara umum seks memang berdampak positif bagi tubuh kita baik secara fisik maupun mental. Namun yang harus para ibu ketahui adalah ternyata seks saat hamil juga memiliki manfaat yang lebih apalagi bila dilakukan saat kehamilan menjelang kelahiran. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa melakukan hubungan intim saat hamil khususnya pada bulan-bulan akhir seperti bulan kedelapan dan kesembilan dapat membantu membuka jalan bagi bayi sehingga dapat memperlancar proses persalinan. Untuk itulah para ibu diharapkan dapat mempertimbangkan melakukan coitus saat kehamilan menjelang kelahiran karena memang manfaatnya yang sangat besar bagi proses persalinan.

Saat wanita hamil, berhubungan intim memang agak merepotkan khususnya jika dilakukan dengan posisi misionaris. Tapi dengan mempertimbangkan manfaatnya untuk persalinan, banyak wanita yang kemudian tertarik untuk mencobanya. Bukan tanpa alasan mengapa banyak wanita melakukan seks saat hamil tua yang bisa membantu proses persalinan agar lebih cepat.

Ini disebabkan pada saat melakukan hubungan intim tubuh seseorang akan banyak melepas hormon. Hormon-hormon seperti hormon endorphin, oksitosin, dan juga DHEA dilepaskan lewat bagian yang benama bagian hipofisis. Nah, hormon oksitosin sendiri merupakan hormon yang berguna mendorong pengerahan serat-serat otot yang banyak digunakan saat terjadi kontraksi.

Lalu bagaimana dengan hormon lainnya? Yang ibu perlu tahu adalah bahwa hormon seperti endorphin adalah satu jenis hormon yang berguna untuk membuat tubuh lebih rileks sehingga pikiran ibu bisa tetap tenang dan tidak tegang walaupun proses persalinan sudah semakin dekat. Sedangkan hormon DHEA sendiri merupakan hormon yang sangat bermanfaat untuk memperkuat tulang dan juga otot. Karena pastinya saat menghadapi proses persalinan ibu harus punya tulang dan otot yang kuat bukan?

Kehamilan 8 bulan bisa menjadi titik awal sang ibu untuk semakin meningkatkan hubungan intim dengan suami. Dan jika ibu sedikit merasa takut untuk melakukannya pada kehamilan menjelang kelahiran maka untuk kehamilan 9 bulan ibu bisa mengurangi aktivitas seks secara bertahap. Namun yang perlu diingat adalah jangan berhenti sepenuhnya karena hubungan yang dilakukan pada bulan-bulan sebelumnya tentu tidak akan mendatangkan manfaat untuk ibu.

Pada saat proses persalinan dimulai, hormon yang ada di tubuh Mommy akan mulai tidak seimbang khususnya hormon-hormon seperti progesteron dan juga estrogen. Dan inilah yang menyebabkan hormon oksitosin banyak dikeluarkan oleh tubuh ibu kemudian menimbulkan kontraksi dalam bentuk Braxton Hicks yang menjadi kekuatan yang mendominasi pada saat persalinan.
Kontraksi ini bisa dikatakan terasa seperti kontraksi yang orang rasakan pada saat berhubungan seks karena hormon yang dilepaskan sama persis seperti hormon yang ibu keluarkan pada proses persalinan. Jadi sekarang ibu sudah tahu kan kalau seks saat kehamilan tidak berbahaya dan justru bermanfaat.

@prenagen


Motivator Subuh, Profesi Baru Yang Cocok Buat H. Anies


DUNIA HAWA - Sebenarnya saya sudah bosan menulis tentang calon Gubernur nomor urut 3, Anies Baswedan. Tetapi demi mencerdaskan warga golongan bumi bulat demi menjaga kewarasan, saya dengan sukarela kembali menulis mengenai cagub Anies yang sampai saat ini saya heran bisa meraih 40 persen suara di putaran pertama.

Ada banyak alasan keheranan saya terhadap perolehan suara Anies yang sampai 40 persen. Yang paling utama diantara yang terutama adalah Anies yang hanya jago berkata-kata, tanpa karya dan kerja yang jelas. Entah memang saat ini masih ada banyak orang yang suka dengan buaian kata-kata atau memang sudah tumpulnya kecerdasan berpikir kita untuk mencerna perkataan Anies yang membius tersebut.

Anies memang piawai berkata-kata, bahkan sama orang yang berbeda-beda dia bisa mengubah kalimat dan makna perkataannya. Cuman orang waras dan sudah sembuh kekaguman tanpa dasar kepada Anies saja bisa memaknai perkataan Anies dengan benar. Yang lainnya cuman bisa angguk-angguk kepala tanpa bisa ditebak apakah memang mengerti atau tidak mengerti, tetapi yang pasti mereka teriak-teriak.

Nah, belakangan ini muncul selebaran yang sangat mencengangkan terkait kegiatan yang akan diadakan esok hari, 2 April 2017. Selebaran tersebut adalah kegiatan bertemakan “Gerakan Subuh Berjama’ah Lubang Buaya Bersatu”. Kegiatan ini menjadi kontroversi karena kegiatan kampanye dilakukan di tempat ibadah.

Tudingan bahwa kegiatan ini kampanye bukan asal tuduh saja. Meski, tidak menyebutkan secara langsung ini adalah kegiatan kampanye, dari selebaran dapat kita lihat simbol nomer 3 yang adalah nomor urut Anies sebagai cagub. Apalagi ada semangat memenangkan Gubernur Baru. Tetapi saya sih tidak bakalan heran kalau kegiatan ini terus berlngsung tanpa hambatan dari Bawaslu.

Sudah banyak pelanggaran di Pilkada ini tetapi bawaslu seperti membiarkan saja semua terjadi. Alasannya?? 

Menariknya, dari selebaran ini, kita bisa melihat nama Anies sudah ada H didepannya. Kalau biasanya huruf H di depan nama menyimbolkan orang tersebut sudah naik Haji. Saya tidak tahu apakah H disini artinya Haji, atau simbol lain. Tetapi kalau itu maksudnya Haji, maka akan menjadi sebuah pembohongan publik. Karena sampai saat ini, tidak pernah terdengar Anies naik Haji.

Apakah maksudnya ini kandidat Haji yah?? Atau masih rencana aja Hajinya tetapi sengaja dibuat karena sudah direncanakan?? Entahlah, terkadang saya heran dengan para pendukung Anies-Sandi ini. Apa mau nyaingi Pak Djarot yang sudah Haji?? Atau supaya sesuai konteks, pinjam dulu gelar Hajinya, setelah itu dilepas lagi?? Hadeuh, parah euy.


Nah, dalam acara subuh berjama’ah tersebut, H. Anies diundang untuk menjadi motivator. Nama kerennya motivator subuh. Hal ini tidak akan saya kritisi dan tidak akan saya bantah. Karena menurut saya, profesi baru bernama Motivator subuh ini sangat cocok untuk Anies. Dari awal saya sudah menyatakan bahwa Anies ini memang cocok jadi narator, jubir, atau yang berhubungan dengan kata-kata.

Anies tidak cocok menjadi menteri atau pun kepala daerah. Anies punya kharisma dan talenta menjadi seorang yang lihai dan pandai berkata-kata. Wong sepanjang Pilkada ini saja 40 persen orang terbuai dengan kata-katanya. Benar atau tidak nomor terakhir, yang penting kata-katanya.

Seorang motivator sukses sekaliber Mario Teguh saja tidak ada yang tahu ternyata punya kehidupan yang parah setelah muncul anak dan isterinya terdahulu. Semua terkagum-kagum, terbius, dan pada akhirnya tersadar. Sekarang pun sudah mulai banyak yang kecewa dan tersadar melihat wujud asli Anies Baswedan. Sedangkan saya tidak terkejut dan sudah menduganya sejak ikut konvensi Partai Demokrat.

Karena itu, jika ada pemilihan calon motivator subuh seluruh Masjid di Jakarta, kalau perlu seluruh Indonesia, maka saya akan coblos H. Anies Baswedan. Daripada dia menjadi Gubernur DKI Jakarta dan hanya bisa bicara tanpa ada kerja dan karya.

Bagaimana menurut anda?? Mendukung Anies jadi motivator subuh atau Gubernur DKI?? Tentukan piihan anda. Hehehe

Salam Motivator Subuh

@palti hutabarat


Fantastis, Total Dana Sandi Untuk Sosialisasi Plus Kampanye Tembus Rp 100M Lebih


DUNIA HAWA - Sandiaga Uno, calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor pemilihan tiga, menutup semua biaya kampanye dirinya dengan Anies di putaran kedua sebesar Rp13,5 miliar untuk Pilkada DKI Jakarta 2017. Sebagai pengusaha besar, beliau amat royal dan total mengucurkan dana guna melancarkan atau memuluskan ambisinya menjadi penguasa nomor 2 DKI setelah Anies Baswedan. Pasangannya yaitu Anies dengan cerdik tanpa capek dan menguras kantong membuat kursi nomor 1 itu menjadi jauh lebih kecil harganya dan bahkan tak berarti. Anies sebelum menjadi gubernur sudah menjadi paslon yang paling bahagia karena semuanya dimodalin oleh Sandi. Anies jelas happy karena pengeluarannya paling minim dan tidak mengeluarkan apa-apa di putaran kedua selain keluar omongan manis dari mulutnya.

Tidak masalah menjadi nomor 2 tapi bagi Sandiaga keinginan atau mimpinya itu harus diwujudkan dengan segala kemampuan dan sumber dana yang ada. Maka beliau terus melakukan swadana alias swabiaya dengan menguras pundi-pundinya yang ternyata masih tebal itu untuk membantu proses dirinya bersama Anies menapaki singgasana Gubernur dan Wakil Gubernur Baru DKI.

Besaran penggeluaran Sandi untuk dana kampanye putaran kedua kali ini jauh lebih kecil dibanding putaran pertama yang menghabiskan dana sebesar Rp 64,4 miliar. “Sebesar Rp13,5 miliar seluruhnya dialokasikan untuk putaran kedua, semua dari Bang Sandi,” kata Bendahara Umum Tim Kampanye Anies-Sandi, Satrio Dimas Adityo, Kamis (30/3/2017). seperti dilansir oleh Kompas.com. 

Jumlah ini tidak akan mengagetkan karena Sandiaga Uno sudah pernah menghabiskan Rp 29,3 miliar di tahun 2016 untuk sosialisasi selama satu tahun sebelum mendaftarkan diri ke KPU. Meski cukup besar dan menggunakan dana pribadi, Sandi mengaku puas dan Ikhlas. “Jawabannya puas dan Ikhlas,” tegas Sandi di Posko Pemenangan Anies-Sandi di Melawai, Jakarta Selatan, Kamis 13 Oktober 2016.

Sekarang kita coba kalkulasi dari biaya kampanye putaran 1 dan 2 sejumlah Rp 77,9 M ditambah persiapan atau sosialisasi kampanye 2016 lalu Rp 29,3 M maka hasilnya sangat fantastis, Rp 100 M lebih atau tepatnya Rp 107,2 M. Saya sih geleng-geleng kepala. Jumlah dana kampanye Ahok Djarot pun kalah telak. Bahkan dana yang dikeluarkan oleh Agus dan Ibu Sylvi menjadi tidak ada apa-apanya.

Dana kampanye yang sebesar itu bisa segera diusulkan untuk rekor baru MURI. Sandi sudah menciptakan sejarah bahwa betapa mahal dan berharganya kursi seorang Wakil Gubernur. Untuk singgasana nomor 2 Sandi menguras pengeluaran yang teramat mahal mulai dari sosialisasi sampai kampanye.

Sandi membuat demokrasi di khususnya Pilkada ini menjadi paling mahal baik dari segi persiapannya maupun dalam proses kampanye. Langkah yang dilakukan Sandi jelas membenarkan ucapan Ketua MPR bahwa demokrasi yang berlangsung di Indonesia sekarang ini berbiaya mahal dan berpotensi menciptakan kesenjangan sosial serta kemiskinan.

“Demokrasi sekarang mahal, siapa yang dalam pemilu tanpa sponsor dan tanpa modal akan sulit menang, yang maju dalam pemilu tanpa modal tak akan bisa menjadi pemimpin,” katanya di Universitas Islam Assafiyah, Jakarta, Sabtu, seperti dilansir keterangan tertulis MPR (Antaranews). Tapi Zulkifli tetap saja dengan bulat mendukung Anies-Sandi.

Kontras dengan Ahok Djarot, kubu Anies Sandi memposisikan dirinya sebagai kubu yang paling kaya sekaligus santai dalam menggalang dana karena mendapat sponsor tunggal yaitu dari Sandi sendiri. Bahkan terlebih khusus bagi Anies, dia tidak perlua keluar duit, hanya cukup bermodal mulut dan mulut manis saja.

Sponsor dari pihak luar jelas tidak signifikan dibanding dengan dana yang diberikan oleh Sandi. Di satu sisi Sandi menunjukkan totalitasnya dalam berkampanye. Pengorbanan atau lebih tepatnya pengeluaran sudah sangat besar, maka harus terus maju dan maju.

Jadi apakah masih dibilang pelit si Sandi? Jelas tidak. Jadi pertanyaannya bukan soal pelit tapi pertanyaannya adalah, “Sebagai pengusaha, apakah Sandi masih ikhlas dengan jumlah total pengeluaran yang sudah lebih dari  100 M?”. Jika masih ikhlas atau rela, wah kita harus angkat jempol dan memberikan salut setinggi-tingginya. Tapi kembali kepada rakyat sendiri yang akan menilai, apakah pengeluarannya tulus atau tidak.

JIka perjalanan awalnya sebagai penguasa Jakarta sudah bermain uang, atau bermodalkan uang semata, saya tidak yakin pembangunan yang benar-benar bisa terwujud di Jakarta. Hukum dagang tidak pernah berubah, hukum ekonomi tidak bisa dilepaskan dari seorang yang sudah memiliki jiwa dan hati pebisnis.

Sandiaga sendiri tercatat memiliki harta terbanyak dibanding calon lainnya, yaitu mencapai Rp 3.856.763.292.656 (Rp 3,8 triliun) dan 10.347.381 dollar AS. Kekayaan Sandi tidak akan tergoyahkan dengan pengeluaran yang sudah dilakukannya selama ini.

Sandi sendiri memakai bahasa investasi tapi secara bersayap dengan pengeluarannya untuk kampanye. “Luar biasa, saya bersyukur banget bahwa ini investasi untuk lebih mengenal Jakarta, dan saya bersyukur diberikan rejeki yang banyak dan cukup,” kata Sandiaga seperti yang dilansir Kompas.com

Ingat, kata ‘investasi’ yang diucapkannya adalah dalam konteks politik. Bagian dari usahanya untuk bisa eksis sebagai penguasa DKI. Seorang yang berinvestasi pasti akan berharap laba yang besar. Nah, laba apa nih wujudnya yang diharapkan kembali jika dia terpilih?

@ronny d rondonuwu


Pak Anies, Sini Saya Bisiki Bagaimana Caranya Menelikung Pak Ahok di Tikungan Terakhir


DUNIA HAWA


Dear Pak Anies,

Perkenalkan nama saya Liza Lie. Saya saat ini setengah pengangguran, sehingga saya punya banyak waktu untuk memantau kondisi politik di Pilkada DKI. Saya jelas harus bersikap netral, saya tidak punya hak pilih. Meski malang-melintang di Jakarta sekian lama, saya penduduk Yogyakarta. Tapi justru itu yang menguntungkan, kan? Saya jadi bisa menilai dengan fair tanpa judgment. 

Saya memantau konstelasi politik yang berkembang dengan sangat ketat dan memperhatikan perkembangannya tiap menit. Namanya pengangguran, mau bagaimana lagi caranya menghabiskan waktu seharian, selain petantang-petenteng di depan internet. Jadi perkembangan sedikit saja, wah, saya hampir pasti sayalah yang terdepan. Selain memantau lewat laptop, hape android di tangan saya menyala 24 jam. Yang agak repot memang masalah TV. Saya belum sanggup beli antene baru, sehingga televisi saya ada suaranya, tidak bertuan gambarnya. Saya seperti punya televisi rasa radio.

Tapi, sekali lagi, itu keuntungan. Saya jadi fokus mendengarkan kata per kata yang Bapak ucapkan dan mendalami intonasi dari tiap suku kata yang tersuarakan. Saya melihat perubahan intonasi yang luar biasa. Ini saran, ya, Pak, intonasinya dikembalikan ketika Bapak jadi jubir kampanye Jokowi-JK saja, Pak. Yang sekarang ini kok jadi mirip-mirip intonasinya bu Silvi, mendayu-dayu dan menarik-narik ujung kata. Tidak enak didengarnya, Pak. Kadang-kadang malah terkesan meledek dan mencibir. Kesan itu berbahaya, Pak. Karena apa yang Bapak inginkan dipastikan ditangkap secara salah oleh pendengarnya. Saya ini mantan pakar tanpa sertifikat lho, Pak, urusan intonasi ini.

Itu satu hal.

Hal lain adalah saya sarankan Bapak untuk mencukupi berbicara mengenai DP rumah, rumah tapak seharga 350 juta atau program OK OCE. OK OCE sudah habis dibahas di putaran pertama. Kita sudah mengerti maksud dan tujuannya. Program rumah itu, sebaiknya tidak usah dijawab lagi, Pak. Semakin dijawab, semakin mudah di-kick back oleh tim sana. Jadi lempar batu sembunyi tangan saja, Pak. Aman kok. Penduduk Indonesia itu sangat pemaaf dan mudah melupakan kesalahan yang diperbuat oleh pejabatnya.

Berikutnya adalah membangun branding. Bapak pasti tahu bedanya brand dan branding, kan? Sebagai brand, Bapak jelas tidak kalah dengan Pak Ahok. Soal harga brand beda-beda tipislah. Tapi yah tidak apa-apa toh? Karena yang paling penting itu Branding, Pak. Branding  itu adalah apa yang orang pikirkan tentang kita. Tapi branding itu bisa diciptakan, dibangun, dan dipaksakan untuk diterima, Pak. Nah, yang pertama itu adalah menciptakan. Bapak ingin masyarakat melihat Bapak sebagai siapa? Sebagai pakar pendidikan atau sebagai menteri yang dipecat Jokowi? Kalau yang pertama, itu sudah menjadi branding Bapak, sehingga untuk mengambil alihnya sangat mudah. Kembali berbicara tentang pentingnya pendidikan karakter, kembalikan pada nawa cita Pak Jokowi. Generasi muda adalah aset bangsa. Bicaralah tentang pendidikan yang difasilitasi negara. Kalau Pak Ahok bangga dengan KJPnya dan Bapak punya KJP Plus, hajar dengan KJP Plus-nya Bapak! Tapi saya tidak sarankan untuk pengambilan tunai. Bapak lihat sendiri, kan, di awal-awal pembagian KJP, saat masih bisa diambil tunai? Yang pakai malah orang tua anak-anak itu. Entah untuk beli rokok, beli pulsa, atau bayaran cicilan motor. Uang KJP anak jadi gajian bulanan Bapak dan Emak. Pikirkan Plus-nya yang lebih mendidik. Misalnya, bisa dipakai untuk bayar kursus UN bagi anak-anak kelas 6 dan 9, dan bayar kursus SBMPTN untuk anak kelas 12. Atau bagi yang suka olah raga, bisa untuk bayar kursus olah raga, yang suka musik bisa bayar kursus musik di Purwacaraka atau Yamaha atau di mana pun kursus yang bergengsi. Atau kursus matematika di Kumon. Kursus bahasa Inggris di EF.

Kutukan sebagai menteri pecatan? Jangan khawatir, Pak. Saya 15 tahun berkecimpung di advertising. Kami terbiasa hanya menampilkan selling point dan menyimpan rapat-rapat weakness. Bapak tidak perlu bete kalau ada yang menyinggung itu. Menurut saya, malah tidak perlu diperpanjang masalah itu. Masukkan ke dalam kotak, sembunyikan di tempat tergelap. Sekali lagi, masyarakat kita mudah melupakan.

Isu agama sudah sampai titik terendah, Pak. Ada baiknya di detik-detik terakhir, Bapak berpihak pada keragaman. Kembali ke teori tenun kebangsaan yang pernah sukses mengantar Bapak sebagai orang sukses. Berbicaralah sebagai Bapak semua golongan, yang menganggap rakyatnya adalah anak-anaknya yang harus diayomi dan dipastikan tumbuh baik, mandiri dan berintegritas. Saya yakin, Bapak ahli untuk hal tersebut.

Oya, Pak, sebagai orang Indonesia, kita dikaruniai hati yang besar, sehingga kita mudah iba kepada mereka yang terpinggirkan. Kita sayang pada all losers. Bapak pasti masih ingat, bagaimana Jokowi yang krempeng dan tidak ganteng itu, malah memenangkan hati rakyat Indonesia? Ia tampak seperti wong ndeso sing lugu. Itu salah satu jualannya Jokowi, dan sukses! Jadi saya tidak sarankan Bapak untuk nyinyir dengan Pak Ahok. Menyebut bahwa Pak Ahok provokator, atau bilang “kok baru dipikirkan enam bulan ini” atau “Itu ide kami yang dijiplak” -tidak memiliki nilai jual, Pak. Artinya, tidak akan bisa menarik simpati rakyat. Penduduk Jakarta, meskipun pendidikannya tidak seberapa tinggi dan kehidupan hariannya nyaris berada di garis kemiskinan, tapi adalah orang-orang yang rasional. Mereka terpaksa terlatih menjadi rasional karena kerasnya kehidupan dan persaingan di Jakarta. Saya sarankan Bapak untuk berhenti menyindir. Semakin menyindir, semakin hilang simpati orang pada Bapak. Branding yang melekat kuat di Bapak adalah seorang yang intelektualnya tinggi. Sayang kalau hal itu berganti menjadi seorang Bapak-bapak yang nyinyir.

Masih ada 2 debat lagi yaitu di Kompas TV dan yang diselenggarakan oleh KPUD DKI. Bergantilah sikap, gaya bicara, dan tenangkan mulut. Kedua debat ini sangat penting, karena penduduk Jakarta menantikan hal-hal yang mungkin salah dilakukan oleh paslon. Jangan sampai niat menyerang malah menjadi bumerang. Bapak pasti tidak lupa, kan, ketika Hatta Rajasa salah menyebut Adipura menjadi Kalpataru dan sama sekali tidak mau dijawab oleh JK? Itu salah satu poin kunci kemenangan hati rakyat.

Berdebatlah secara rasional. Jangan mengkonfirmasi tuduhan.

Saya rasa itu saran dari saya. Tikungan terakhir sudah dekat. Salah langkah, Bapaklah yang ditelikung oleh Pak Ahok.

@liza lie


Polisi Sita Uang Dari Koordinator Aksi 313


DUNIA HAWA - Saat aksi demo tiga angka sebelum aksi 313, terjadi juga aksi penangkapan pelaku makar. Tapi saat itu tidak jelas siapa donatur demo tersebut, mengingat demo yang besar pasti memerlukan dana yang besar pula. Sang donatur lolos dari incaran polisi.

Nah, pada aksi 313 kali ini, polisi sudah menyita uang sebesar 18,8 juta dari tangan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI)Muhammad Al-Khaththath, koordinator aksi 313.

“Dari tangan yang bersangkutan kami sita uang dengan total Rp 18.870.000,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya KombesArgo Yuwono

Uang ini nilainya kecil bila dibandingkan dengan dana total yang diperlukan untuk mengadakan demo 313. Tapi, kalau untuk seorang diri, uang ini nilainya besar. Bayangkan, pekerjaan apa yang bisa menghasilkan 18 juta dalam sehari? Peserta demo dapat nasi bungkus, eh koordinatornya dapat 18 juta.

Uang ini memang belum jelas untuk siapa dan dari siapa. Masih ada kemungkinan bahwa uang ini akan dibagi-bagi kepada orang lain. Pertanyaan yang terpenting adalah uang ini dari siapa. Ingat, Al-Khaththath ditangkap dengan kasus dugaan pemufakatan makar.

Donatur demo mungkin terlibat ataupun tidak terlibat. Yang penting adalah identitas donaturnya diketahui, lalu diperiksa polisi untuk memberikan keterangan. Identitas donatur juga perlu diketahui publik, mengingat demo 313 ini juga menyusahkan publik Jakarta. Siapa yang mau macet demi demo?

Demo 313 ini agendanya tetap sama, ingin Ahok diturunkan karena sudah menjadi tersangka. Semuanya dibalut dengan kemasan agama supaya terkesan religi. Banyak orang memakai peci putih, padahal penampilan tidak berbanding lurus dengan moral. Lihat saja koruptor, mana ada kelihatan jahat, semuanya senyam senyum didepan kamera.

Mungkin disini pertama kalinya tindakan SARA dilakukan didepan publik secara terbuka. Mengajak warga untuk tidak memilih pemimpin non-muslim adalah SARA apapun alasannya. Menjegal Ahok dengan alasan agama sungguh tidak masuk akal. Ahok bukan ingin menjadi imam masjid, tapi menjadi Gubernur. Gubernur tidak dipermasalahkan agamanya.

Kaum bumi datar dengan entengnya mengatakan bila yang muslim bisa saja korup apalagi yang non-muslim. Ini logika yang tidak ada dasarnya, bagaimana jika ada orang yang mengatakan sebaliknya? Bukankah jadi berantem? Tidak ada dasar moral orang beragama X lebih baik dari agama Y. Orang beragama X pasti merasa agamanya lebih baik, begitu juga sebaliknya. Tapi jangan sampai digunakan untuk merendahkan yang bukan agamanya.

Kembali ke donatur demo, sekarang pasti mereka sedang deg-degan. Mereka berharap agar Al-Khaththath tidak akan memberitahu nama mereka kepada polisi. Kalau mereka dipanggil pasti jadi perkara. Mereka sudah membantu demo dimana koordinatornya menjadi pelaku dugaan makar. Bersalah ataupun tidak bersalah pasti reputasinya kena.

Polisi juga pasti bisa mengusut tuntas kasus makar ini. Mereka saja bisa tahu kalau orang-orang ini mau menduduki DPR/MPR. Bisa tahunya darimana? Apa polisi memiliki jaringan hacker canggih yang bisa tahu chat mereka? Atau polisi punya orang dalam yang membocorkan informasi? Bagaimanapun caranya salut kepada polisi yang bisa tahu

Polisi perlu memberikan informasi tentang donatur demo juga bila diketahui. Karena sanksi moral biasanya lebih sadis dibanding sanksi hukum. Supaya ada efek jera bagi donatur untuk tidak lagi mengeluarkan dana untuk demo-demo seperti ini. Demo 313 ini sungguh tidak masuk akal, ingin Ahok diturunkan dari posisi Gubernur tanpa alasan hukum yang kuat.

Yang kita harapkan tentu saja tidak ada lagi aksi-aksi seperti ini. Aksi 313 gunanya untuk apa? Selain asal bukan Ahok, tidak ada lagi tujuan yang lain. Malahan pesertanya ada dari luar Jakarta, padahal ini merupakan masalah Jakarta. Sepertinya mereka masih terlalu percaya bisa menang, toh hasil demo kemarin Ahok bisa menjadi tersangka.

Tentu saja kita sangat berharap kepada kepolisian, kita ingin tahu siapakah donatur aksi demo ini. Sudah berkali-kali aksi tiga angka tapi donaturnya belum jelas. Bahkan ini sudah ada tindakan makarnya. Semoga saja identitas donatur bisa terungkap, minimal agar publik tahu siapa yang selama ini mendalangi demo.

@evan kurniawan


Cagub Gagal Fokus


DUNIA HAWA - Seorang Cagub sedang kampanye..

Ia membawa awak media ke sebuah kampung untuk pencitraan bahwa dirinya adalah sosok yang ramah, santun dan penuh perhatian.

Kebetulan di kampung sedang ramai ada sekelompok anak-anak sedang main bola. Dan di tengah hiruk pikuk sorak sorai anak-anak yang sedang berebut bola, ada seorang anak yang berdiri sendirian tanpa seorang teman..

Si Cagub tersenyum, "Ini bisa jadi bahan pencitraan yang bagus.." Katanya dalam hati.

Ia lalu mengajak awak media mendekati anak itu dan ketika sudah berdiri disampingnya, ia lalu menyapa dan mengelus kepala anak itu dengan kasih sayang yang berlebihan.

"Disini kita menemukan ada seorang anak yang sedang berdiri sendirian. Mari kita ajak dia bicara supaya ia merasa punya teman.." Katanya penuh senyum di depan kamera.

"Adek kecil, jang.an sedih ya.. jangan pernah merasa dunia runtuh ketika teman menjauhimu di kala susah.." kata sang Cagub dengan bahasa mendayu2 ala Mario Teguh.

Ia pun kembali bertanya dengan mesra, "Kamu disini sedang ngapain sendirian?"
Si anak tersebut bengong dan memandangnya heran. "Saya.... Kiper.

@denny siregar


Gie, Sang Idealis yang (Tak) Kontradiktif


DUNIA HAWA - Hari-hari ini, ramai orang meneriakkan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Orang-orang itu membentuk stigma bahwa etnis Tionghoa/Cina pasti kapitalis dan ingin menghisap kekayaan milik pribumi, sang penjajah. Dengan segenap kebencian yang meluap, golongan anti Tionghoa tersebut bahkan melarang seseorang yang beretnis Tionghoa untuk menjadi pemimpin daerah, apalagi agamanya bukan merupakan agama mayoritas di negeri ini.  

Mereka tak pernah merenung bahwa identitas tak bisa dipilih oleh manusia. Seseorang lahir ke dunia tanpa bisa memilih lahir dari orang tua yang mana, status sosial yang bagaimana, agama apa, warna kulit seperti apa dan tentu saja tidak bisa memilih etnisnya sendiri.

Berbicara tentang manusia seharusnya lebih menekankan idealisme dan pemikirannya ketimbang identitasnya. Karena jika mempermasalahkan tentang SARA, maka seorang idealis yang brilian pun hanya akan dipandang sebelah mata.  Jauh sebelum manusia-manusia kini kisruh perkara SARA, seseorang dari kalangan minoritas beretnis Tionghoa dan beragama Katolik akan membuat kita sejenak berhenti berdebat tentang identitas. Kontribusinya membuat identitas yang melekat dalam dirinya menjadi tidak terlalu penting.

Dia bukan mantan pejabat, dia bukan orang partai politik, dia bahkan tak begitu berkuasa di zamannya. Dia hanyalah mahasiswa yang kemudian menjadi dosen, aktivis, pecinta alam, dan seorang penulis.  Profesi-profesi yang biasa saja sebenarnya. Lantas mengapa ia istimewa? Karena ia memiliki keberanian dan idealisme yang tak pernah bisa dibeli dengan uang atau jabatan mentereng sekalipun. Padahal segala kemewahan sudah di depan matanya. Dia menolak semua yang bisa mempengaruhi keberpihakannya terhadap kebenaran.. Ah ya, satu lagi, karena dia mati muda, dalam usia 27 tahun, di Gunung Semeru. Jika ia tak mati muda, ia tak akan menjadi sosok yang spesial.

Dia tidak lain adalah Soe Hok Gie alias Gie. Adik dari Arief Budiman ini mungkin memiliki begitu banyak sisi untuk diceritakan. Namun tak ada yang lebih menarik kecuali sisi kontradiktif dari pendirian Gie.  Suatu ketika ia akan mengkritik sesuatu/seseorang namun saat yang lain dia akan membelanya habis-habisan.

Sebenarnya, tak ada yang kontradiksi dari apa yang disampaikan Gie. Karena Gie sendiri tidak pernah mengkritik/membela persona, ideologi, organisasi, atau parpol. Dia membela kebenaran  dan mengecam ketidakadilan. Gie tak pernah suka melihat apa yang tak pantas menari di depan matanya. Pena dan orasi Gie akan berbicara lantang jika dia menyaksikan penindasan.  Dia tak pernah ragu mengambil posisi membela pihak yang teraniaya.

Gie, Sang Demonstran memilih menyuarakan kebenaran daripada mengikuti pembenaran. Dia adalah pengkritik tajam Presiden Soekarno zaman Orla. Namun ia amat membenci perlakuan pemerintah orde baru terhadap simpatisan PKI/pengikut Soekarno.

Gie pernah berkata “Saya putuskan bahwa saya akan melakukan demonstrasi karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”  Lalu dia pernah pula bilang “Saya tak mau menjadi pohon bambu, saya hanya ingin menjadi pohon oak yang berani menentang angin.”

Kalimat-kalimatnya telah dia buktikan dalam perlawanannya kepada Presiden Soekarno. Pada tahun 1963, harga bahan-bahan kebutuhan pokok melambung tinggi. Para kapitalis memakan uang rakyat kecil. Gie bersama sahabatnya, Herman Lantang melakukan aksi demonstrasi menanggapi hal ini. Gie adalah demonstrator yang ulung.  Dia aktivis yang jujur menyatakan kebenciannya terhadap pemerintah Bung Karno.

Dalam bukunya yang berjudul “Catatan Seorang Demonstran”, Gie dengan tegas menyatakan “Saya memang menyukai Bung Karno sebagai manusia, namun tidak sebagai pemimpin.” Semakin sinislah sikapnya kepada founding father tersebut ketika dalam catatannya bertanggal 10 Desember 1959, dia menuliskan pengalamannya “Siang tadi aku menjumpai seorang pengemis sedang memakan kulit mangga. Hanya 2 kilometer dari sini, Paduka Presiden Soekarno kita mungkin sedang tertawa, makan enak dengan istri-istrinya yang cantik.” Tak segan, Gie mengatakan bahwa Bung Karno adalah penghianat kemerdekaan.

Turut serta dalam menumbangkan pemerintah Soekarno yang  menurut Gie sewenang-wenang tak lantas membuat Gie mendukung pemerintah Orba 100%. Bahkan dia mengecam keras sikap pemerintahan Soeharto dalam melakukan pembantaian terhadap PKI. Meskipun Gie pernah menuntut agar partai politik berlambang palu arit tersebut dibubarkan, namun rasa kemanusiannya membuat Gie tak tinggal diam simpatisan PKI disiksa bagaikan hewan. Dua buah artikelnya yang menentang perlakuan kejam tersebut menjadi tulisan pelopor yang vokal pada penindasan simpatisan PKI.  Skripsinya berjudul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan telah dibukukan sedemikian menarik sehingga pembaca tak kesulitan melihat ada ketidakadilan dalam pembantaian simpatisan PKI di Purwodadi dan Bali.

Gie juga dikenal sebagai orang yang anti terhadap politik praktis. Menurutnya, politik itu kotor. Sebersih apapun kau masuk, kau akan berlumuran lumpur ketika keluar dari politik.  Kawan-kawan seperjuangan Gie pun tak luput dari kritik sang demonstran. Suatu hari, dia mengirimkan gincu dan kutang kepada kawan-kawannya yang telah duduk di kursi DPR. Menurut Gie, mereka sudah tidak kritis dan berani seperti dulu, mirip banci. Maka ia mengirim gincu dan kutang untuk teman-temannya yang bungkam melihat korban-korban pembantaian PKI.

Gie telah menunjukkan kepada kita bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tak bernama. Keadilan harus ditegakkan bahkan kepada kubu lawan sekalipun, kepada pihak yang tidak kita sukai. Gie membela ketertindasan tanpa melihat siapa yang dia bela. yang melihat kontradiksi dalam pemikiran Gie berarti belum memahami apa arti keadilan. Gie tak pernah kontradiktif, ia adalah wujud dari konsistensi Gie membuktikan bahwa keputusannya menepi dari politik praktis menjaganya untuk tetap idealis serta kritis.

Jika pembelaan Gie tak mengenal identitas, mengapa kita kini meributkan identitas?

@maulida nur fadhila


Bahaya Politik Identitas Melawan Isu Sara dan Sentimen Non-pribumi


DUNIA HAWA - Isu-isu yang menyertai Pilkada menunjukkan kian brutalnya klaim pihak-pihak yang berkepentingan. Opini-opini menyesatkan disebar layaknya virus-virus yang siap menyerang kewarasan. Sisi universal kemanusiaan dicerabut demi mencapai hasrat kelompok. Kita seperti digiring untuk melupakan kodrat manusia yang dianugerahi identitas primordial yang personal sebagai bentuk kesempurnaan ciptaan Sang Maha Kuasa.  

Gelanggang Pilkada telah nyata merebut ruang-ruang privacy, hingga membuat semangat harmoni dalam kehidupan warga terancam terkikis. Klaim identitas kelompok menujukkan bahwa para elit politik tak bisa lagi memaksimalkan strategi dan untuk meraih simpati dan dukungan pemilih. Sejak isu Al-Maidah 51 yang menjerumuskan Ahok ke dalam rangkaian persidangan yang sesungguhnya mempertontonkan betapa lugunya kita dalam berdemokrasi, sekaligus menelanjangi rendahnya tingkat kewarasan kita dalam menyikapi setiap perbedaan.

Mengikat umat lugu dengan dogma 


Perselisihan soal agama dan klaim ketuhanan tentu tak akan pernah selesai. Bahkan, seorang yang mengaku atheis pun pada hakikatnya tak mungkin menyangkal keberadaan Zat Ilahiah. Penjelasan yang sangat rasional dari Dostoevsky, “bila dinyatakan bahwa di alam semesta ini tidak ada Tuhan, menjadi jelaslah bahwa semua perbuatan apapun akan dibenarkan.” Kalimat ini memberikan penjelasan bahwa kebenaran bisa hadir pada setiap kelompok, tapi yang berhak menentukan kebenaran universal hanya Tuhan. Artinya, untuk dimensi ketuhanan, bisa saja sekelompok orang memegang teguh kebenarannya, sama halnya dengan kelompok lain. Semua bisa benar, juga bisa salah.

Mereka mengurung para penganut agama dengan membatasi penafsiran ayat-ayat sebatas tekstual dan mengikatnya dengan dogma. Agama bagi mereka hanya bisa dikenali lewat dogma, “pokoknya percaya saja, itu akan menyelamatkanmu,” begitulah propaganda mereka untuk menggiring umat yang lugu untuk tidak memilih calon dari kelompok lain.

Selain dogma agama, kelompok radikal juga tak hentinya meniupkan isu Sara lainnya yang amat berpotensi merusak tatanan sosial. Isu primordial non-pribumi adalah virus mematikan yang setiap saat bisa menyulut konflik horizontal. Mereka berupaya menggiring manusia untuk meneguhkan identitas primordialnya demi memuluskan hasrat politiknya. Metode ini mutlak menolak nalar, karena takarannya adalah keberpihakan kelompok identitas.

Padahal, jika direnungkan, pengelompokan identitas ini mulai dari keluarga, suku, etnis, juga agama adalah kenyataan keberagaman yang sifatnya kodrati: manusia dilahirkan tanpa sebelumnya diberikan pilihan pada rahim suku apa mereka hendak dititipkan. Dengan penelompokan identitas primordial ini, orang-orang digiring untuk menepikan nalar dan tak diperkenankan untuk menyoal visi-misi, program dan kompetensi calon.

Bagi mereka, menentukan pilihan yang penting se-suku, pokoknya se-agama, urusan integritas dan kredibilitas itu masalah lain. Inilah bentuk bentuk dogma yang dijejalkan pada umat lugu yang berpikir telah menemukan kebenaran hanya ada di pihaknya.

(Non)Pribumi; isu murahan yang menyerang kebhinekaan 


Agama, suku dan ras adalah identitas primordial yang berpotensi merusak kebhinekaan jika digunakan untuk menggiring kepentingan politik kelompok. Agama digunakan untuk menyisipkan pesan politik yang terdengar ‘sakral’ agar para pemilih tak berpaling ke pihak yang beragama lain yang mereka sebut kafir. Tuduhan kafir adalah penistaan yang sebenarnya, melampaui kewenangan Tuhan Sang Maha Agung.

Lalu, pihak-pihak yang berkepentingan, yang mengkampanyekan klaim-klaim kelompok identitas, membuat rumusan: asalkan ada hubungan darah keluarga dan sedarah adalah sebuah syarat mutlak untuk menetapkan pilihan.

Isu klaim-klaim kelompok identitas ini jelas berbahaya, karena amat rentan untuk saling dibenturkan. Mereka yang senang dengan gorengan identitas ini dengan mudah disulut emosinya demi menjaga kenyamanan kepentingan kelompoknya. Mereka lupa bahwa identitas kelompok itu adalah takdir. Warna kulit dan rambut keriting adalah takdir. Agama yang mereka anut adalah apa yang ibu mereka ajarkan, yang lalu tercatat dalam KTP.

Jika target agitasi tak memiliki hubungan keluarga dengan calon, maka mereka akan dicocokkan lagi riwayat leluhurnya untuk kemudian dikelompokkan ke dalam etnis tertentu. Identifikasi ini masih sangat manjur untuk menggiring pemilih untuk menentukan pilihannya. Akhirnya, akan mengerucut pada isu pribumi dan non-pribumi, seperti yang sukses diperankan oleh penjajah Belanda dalam skema devide et impera (politik adu domba).

Polarisasi isu pribumi dan non-pribumi juga tak bisa dianggap angin lalu. Memori kita masih segar mengingat kerusuhan yang menelan korban jiwa tak terperikan di hari-hari jelang runtuhnya rezim Orde Baru. Isu non-pribumi dikoar-koarkan untuk menyerang mereka yang berkulit putih dan bermata sipit, identitas yang kini sering disebut dengan istilah ‘aseng’.

Padahal, jika masyarakat peduli literasi dan diberikan informasi yang proporsional, akan menemukan jejak-jejak pribumi yang tak hanya dimiliki oleh satu suku atau ras saja. Deretan pejuang kemerdekaan nasional lahir dari identitas yang berbeda-beda. Jika tetap ngotot dengan sentimen pribumi, maka sesuai sejarah, kita akan kembali ke era homo erectus sejuta tahun silam.

Jika benturan identitas primordial ini terus-menerus dibiarkan, maka demokrasi kita tak ubahnya rimba belantara, yang kuat yang akan menerkam yang melah, dan yang banyak yang akan berkuasa. Menggoreng isu primordial dalam Pilkada sama halnya mengadu seekor domba dengan serigala lapar, atau membiarkan seekor anak ayam sekandang dengan ular piton. Mengerikan.

@subarman salim


Isu Anti-Cina dan Nasionalisme Kaum Muda


DUNIA HAWA - Pada September 2016 saya berangkat ke Cina untuk memulai studi doktoral di The University of Heilongjiang, Cina. Waktu berjalan, namun ada yang mengganjal dalam pikiran saya. Pasalnya, saya berkesempatan belajar di luar negeri dan hampir bersamaan dengan itu, terutama di jagat media sosial, di Indonesia sedang ramai dengan ajakan sebagian orang untuk membenci terhadap negara tujuan belajar saya.

Saya sebenarnya juga menandai bahwa hembusan isu anti-Cina sedikit atau banyak berkaitan dengan kepentingan politik salah satu kelompok masyarakat. Namun demikian, sebagian masyarakat sudah telanjur merespons isu itu dengan serius, tanpa mengimbangi dengan melacak latar belakangnya.

Hal ini bisa saya rasakan, misalnya, dalam beberapa kesempatan seorang teman dengan nada seloroh berkata, “Kamu ini bagaimana? Di sini orang-orang sedang tidak suka dengan Cina, eh kamu justru pergi ke sana.” Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman saya di luar negeri, terutama yang terkait dengan sejarah kelam satu bangsa dan bagaimana kaum muda menyikapinya.

Saya ingin menegaskan bahwa cara berpolitik dengan menghembuskan fitnah dan kebencian bisa berakibat sangat buruk terhadap cara pandang kaum muda, generasi penerus bangsa Indonesia. Sejatinya, kekhawatiran terhadap dominasi satu negara sing, seperti Cina, yang berujung pada hembusan isu anti-Cina adalah sikap yang realistis. Kita tentu tidak ingin ada negara lain yang terus menjajah bumi pertiwi, mengeruk kekayaan bangsa kita.

Kekhawatiran demikian bahkan perlu diperluas, bukan saja kepada Cina tetapi juga kepada siapa pun, bangsa mana pun. Artinya, dengan negara mana pun kita harus berhati hati. Jangan lupa, bangsa Indonesia punya sejarah panjang penjajahan dengan Belanda. Kita juga pernah berseteru dengan Portugis. Catatan sejarah kita juga mencatat bahwa Jepang pernah menduduki Indonesia.

Fakta berbicara bahwa bangsa ini juga pernah menerima para imigran (para pendatang) dari kawasan Arab. Pada perjalanan selanjutnya, di antara pendatang ini juga ada yang berkontribusi di tengah masyarakat kita. Kalau kita menjelajahi kota-kota penting di Indonesia, di sana kita bisa menjumpai kawasan (kampung) Arab, selain Pecinan. Misalnya di Semarang, Surabaya, Jakarta, Pati, Kudus, Demak, Pekalongan, daln lainnya. Artinya, Indonesia sudah sejak lama berani menerima kedatangan warga negara asing dan diajak bersama-sama membangun masyarakat.

Maharnya satu, komitmen untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai rumah bersama. Meskipun demikian, kita memang harus tetap hati-hati dengan siapa pun, dengan bangsa mana pun dalam rangka merawat dan melestarikan negara kita tercinta. Di atas semua itu, hal paling penting yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri dan mendidik generasi muda agar kelak mereka mampu menjadi pewaris di masa yang akan datang.

Sebaliknya, kalau kita selalu curiga dan membenci bangsa lain tanpa membangun kualitas diri, selamanya kita akan mengalami ketakutan. Kondisi yang demikian jelas merugikan diri kita sendiri, karena kita hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan curiga pada orang lain.

Menurut saya, ada tiga langkah yang harus kita lakukan untuk memutus mata rantai adu domba di dalam internal bangsa kita sendiri. Pertama, peluang dan dorongan kepada kaum muda untuk menimba pengalaman dari berbagai penjuru dunia harus terus kita kembangkan. Program ini bertujuan untuk membuka wawasan anak muda, belajar kepada bangsa lain bagaimana mereka membangun negaranya. Dengan catatan, anak muda kita sudah memiliki bekal pendidikan nasionalisme dan komitmen untuk kembali dan membangun negeri kita.

Di kampus Heilongjiang University, Cina, saya belajar bersama dengan mahasiswa lain dari berbagai negara. Dalam catatan statistik mahasiswa asing di kampus ini lebih dari dua belas ribu orang. Di antara mereka, saya berteman baik dengan mahasiswa dari Pakistan, Kazakhstan, Laos, Thailand, Kyrgyzstan, Yaman, Amerika, Kenya, Nigeria, Kameron, Korea, Jepang, Nepal, India, Mongolia dan Rusia (bekas Uni Soviet).

Kita tahu, misalnya, ketika Uni Soviet (1922-1991) berkuasa, Kazakhstan berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Menurut pengakuan Marzan, mahasiswa asal Kazakhstan, di bawah kekuasaan Uni Soviet rakyat Kazakhstan merana. Mereka dilarang menuturkan bahasanya, dipaksa untuk tidak melakukan ritual agama yang mereka yakini, dan nyawa yang melayang tidak terhitung jumlahnya.

Tetapi hari ini anak-anak muda dari Kazakhstan dan Rusia bersama saya belajar di Cina. Kami sering terlibat diskusi, membicarakan masa depan bangsa masing-masing, dan sesekali mengenang sejarah masa lalu yang sarat dengan pelajaran. Salah satu pesan yang bisa diambil sebagai pelajaran dari cerita saya ini adalah masa lalu jangan dilupakan, karena akan membuat kita waspada untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. Tetapi, yang sangat penting adalah keberanian menatap masa depan dengan penuh keyakinan dan bekerja yang sunggug-sungguh.

Demikian pula, saya ingin mengajak kepada teman-teman muda di Indonesia untuk berpikiran luas, memandang cakrawalah masa depan Indonesia dengan pengetahuan dan komitmen untuk membangun negeri.

Kedua, stop segala bentuk politisasi massa dengan adu-domba dan hasutan-kebencian. Menggalang dukungan dari masyarakat untuk mengangkat pimpinan juga penting. Tetapi, jangan sampai dilakukan dengan cara mengadu satu kelompok dengan kelompok lain. Kerukunan dan cinta kasih antar sesama warga-bangsa dibutuhkan selama komitmen untuk menjadi NKRI masih ada. Jadi, kerukunan dan kebersamaan jauh lebih berharga katimbang apa pun. Maka, jangan racuni cara berpikir anak-anak muda dengan contoh perilaku yang keliru.

Ketiga, memberi pendidikan kepada masyarakat bahwa sebagai salah satu negara yang ada di dunia, Indonesia berkompetisi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Kalaupun kita bersatu untuk memajukan negeri ini, tugas itu saja sudah cukup untuk menguras energi. Apalagi kalau kita juga masih harus bertarung dengan saudara sendiri. Pasti energi kita akan habis, sebelum kita bertanding dengan lawan yang sebenarnya.

Khusus kepada kaum muda di Indonesia, hendaknya fokus dalam menyiapkan diri dengan belajar yang serius, baik di bangku pendidikan formal maupun di masyarakat. Supaya kelak pada masanya mampu besaing dengan siapa pun dalam mengibarkan bendera Indonesia di dunia internasional.

Langkah ini, menurut saya, cukup efektif dalam membendung kekuatas asing yang akan merangsek ke negeri kita, daripada menghasut orang lain agar membenci orang lain atau negara lain dengan alasan yang belum tentu benar. Bagi pihak-pihak yang menghembuskan isu kebencian agar berpikir jernih bahwa risiku politik kotor yang demikian akan melahirkan risiko berat. Hal itu bisa membuat masyarakat bawah bingung, misalnya benci yang tidak beralasan terhadap pihak yang sebenarnya tidak bermasalah.

@ali romdhoni