Thursday, March 23, 2017

Sandiaga Kembali Dipolisikan Terkait Pemalsuan Kwitansi


DUNIA HAWA - Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor uurt tiga, Sandiaga Uno kembali dilaporkan ke Polda Metro Jaya, Selasa (21/3/2017) oleh seorang pengusaha bernama Djoni Hidayat yang diwakilil Fransiska Kumalawati Susio sebagai kuasa.

Kali ini, Sandiaga diduga memalsukan kuitansi pembayaran uang yang seolah-olah diterima Djoni.

“Jadi kami menemukan dari notaris bahwa ada tanda terima pembayaran yang palsu,” kata Fransiska kepada suara.com.

Menurutnya, kasus ini masih berhubungan dengan laporan dugaan penggelapan hasil penjualan sebidang tanah di jalan Curug Raya kilometer 3,5, Tanggerang Selatan, Banten pada 2012 yang sebelumnya dilaporkan Fransiska, Rabu (8/3/2017) pekan lalu. Dengan demikian,Sandiaga telah dua kali dilaporkan oleh pihak yang sama.

“Laporan tersebut terkait dengan laporan sebelumnya. Dari hasil pemerikasaan notaris didapatkan kwitansi tanda penerimaan uang yang ditanda tangani oleh Djoni Hidayat,” kata dia.

Djoni, kata dia tidak pernah menanda tangani kwitansi sebagai tanda terima hasil penjualan aset tanah tersebut.

“Pak Djoni Hidayat tidak merasa pernah menerima uang tersebut dan menandatangani kwitansi sebagai tanda terima nya,”kata dia.

Laporan Fransiska telah diterima polisi dengan nomor LP/1427/III/2017/PMJ/Direskrimum. Terkait laporan ini, Sandiaga diduga melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan.

Selain itu, rekan bisnis Sandiaga bernama Andreas Tjahyadi juga kembali dilaporkan Fransiska dalam kasus yang sama.

Kasus yang menimpa Sandiaga belakangan ini. Seperti sebuah serangan balik kepadanya. Serangan balik oleh siapa? Oleh Alam! Kenapa Alam, karena ada momentum ketika ada dua pihak yang bersaing, sementara yang satu pada awalnya ditimpa banyak kasus yang seakan-akan menjadi jegalan baginya untuk bersaing dengan lawannya. Dan ketika kasus-kasus itu usai, maka kasus-kasus itu berpaling kepada pihak lawan.

Maksut saya begini. Ketika awal-awal Ahok mendaftar sebagai calon gubernur dulu. Kita masih ingat bagaimana Ahok secara kasat mata, oleh pihak-pihak yang entah apakah memang membencinya, atau memang sudah takdirnya, dilaporkan sana-sini dengan dugaan kasus macam-macam. Reklamasi lah, Sumber Waras lah, penistaan agama lah. Dan sebagainya.

Dan ketika kasus-kasus itu sekarang sudah dirampungkan. Dan seakan-akan sudah berhasil ditenggelamkan, sehingga tidak ada, atau tidak sebanyak kasus yang dulu yang nyerimpeti dia. Kini pihak-pihak yang entah apakah memang mereka pro Ahok dan Kontra Sandi mulai melancarkan serangan dan mencoba memasang tali di kaki Sandiaga demi nyerimpeti langkahnya.

Hal ini sama dengan teori aksi-reaksi. Ketika pihak-pihak kontra Ahok yang mencoba untuk menjegal Ahok, kemudian memicu pihak-pihak yang kontra Sandiaga untuk balas dendam, dan ganti menjegal Sandiaga. Dan ini belum tentu di motori oleh Ahok sendiri. Karena memang ada yang namanya Inisiatif!

Namanya inisiatif, tentu saja dilakukan karena kesadaran dirinya. Hal ini juga ada dalam teori gerakan sosial. Ketika semua pihak memiliki tujuan yang sama, memiliki musuh bersama. Mereka akan memiliki inisiatif sendiri-sendiri dengan satu visi, dan dilakukan sesuai kapasitas mereka masing-masing. Ketika Ahok dulu mendapat serangan dari sana-sini, pihak pro Ahok menjadi geram, dan karena sebenarnya selama ini mereka memiliki rahasia Sandiaga, tapi enggan membuka karena merasa tidak penting. Kini ketika Ahok dihajar sana-sini, mereka ganti membuka rahasia Sandiaga. Dan ini sangat terasa efeknya.

Maka ketika Sandiaga dan Anies secara tersirat selalu menyalahkan Ahok terhadap kasus-kasus yang menimpa mereka. Merengek-rengek dan mengiba-iba, sehingga seperti orang yang cengeng dan menyalahkan orang lain. Maka hal ini menjadi sangat konyol. Bukannya berupaya menyelesaikan kasus secara jantan dan profesional, malah melemparkan kesalahan pada orang lain.

Tentang kasus Sandiaga ini. Saya pribadi menganggap bahwa kasus ini tidak akan berhenti dengan mudah  dan dalam waktu yang dekat. Kita bisa melihat bagaimana laporan kasus ini, memicu rentetan kasus-kasus lain. Ibarat pisang, ketika satu kulit terkelupas, maka kulit lain juga akan ikut terkelupas dengan mudah.

Dari pemberitaan terakhir, Sandiaga berharap bahwa kasusnya diselesaikan, ditunda sampai tanggal 19 april. Nah, ini juga konyol menurut saya. Atas dasar apa Sandiaga meminta untuk ditunda. Dulu kasus Ahok, pihak aparat suruh mempercepat. Sekarang kasusnya sendiri suruh menunda.

Tapi memang, kasus ini. Jika dibiarkan, seperti kata saya tadi, membuat kulit-kulit lain ikut terkelupas. Dan kasus-kasus Sandiaga mulai terungkap. Elektabilitas Anies-Sandi saya pastikan akan anjlok drastis. Dan pasti akan berujung pada kekalahan Pilkada putaran kedua. Dan kasus ini juga krusial, mengingat tenggat waktu hari H sudah dekat. Begitulah.

Salam, Pecandu Kopi

@rohmat tri santoso


Jadi Pilih Mana, Ridwan Kamil atau Dedi Mulyadi?


DUNIA HAWA - Cukup sudah hingar bingar Pilkada ibu kota. Selain sudah mulai bosan, Pilkada di sunda kelapa itu sungguh tidak sehat! Mungkin, jika Machiavelli diberikan kesempatan untuk reinkarnasi pun rasanya malas jika diberikan tugas menjadi juru bicara pak basuki atau pak anies yang tiap saat diserang di Twitter. Netizen jahat!

Tapi memang begitulah cara mendapatkan kekuasaan saat ini, saling serang sudah biasa di dalam politik itu! Bahkan banyak tuh yang menganggap saling adu argumen bahkan saling aksi unfriend di media sosial itu adalah seni berpolitik. Dan itu candu loh, lihat saja hingar bingar kerasnya pilpres 2014 dimedia sosial, malah berlanjut hingga pilkada jakarta. Tidak ada kapoknya memang.

Jika kelak pilkada Jakarta berakhir, yakinlah mereka tidak akan berhenti melanjutkan candu adu argumen politik mereka yang tak berujung itu. Terdekat, pilkada serentak 2018 menjadi sexy untuk mereka yang candu politik. Menurut KPU Ada 171 daerah yang melaksanakan pilkada serentak tahun 2018, lebih besar dari tahun 2017 yang hanya 101 daerah. Kelak menjadi ladang besar bagi para konsultan, buzzer media sosial hingga ormas yang haus panggung politik.

Namun yang terlihat lebih seksi tentu pilkada serentak didaerah terdekat dengan pusat pemberitaan ibu kota, Jawa Batat! Dengan problema nya sendiri, Jawa Barat paling mungkin mempunyai porsi lebih besar pemberitaannya jika dibandingkan daerah lain. Lihat saja, hiruk pikuk pilkada DKI Jakarta saja belum usai sudah mulai muncul dua nama Ridwan Kamil dan Dedi Mulyadi yang diprediksi bersaing ketat di pilkada Jabar 2018.

Ridwan Kamil mungkin satu satunya bakal calon Gubernur Jawa barat yang terang terangan menunjukan niatnya maju dan sudah dideklarasikan diusung partai Nasdem dan kemungkinan besar akan didukung penguasa DPRD Jawa barat saat ini, PDI Perjuangan.

Kang Emil dengan keberhasilannya di Kota Bandung mungkin satu dari segelintir kepala daerah yang diidolakan anak muda dan masyarakat Bandung secara khususnya. Bahkan riwayat beliau masuk dalam deretan nama yang tercantum dalam 10 Tokoh Transformatif indonesia sejajar dengan Mentri ESDM Ignasius Jonan hingga dua orang yang masih bersaing di putaran kedua Pilkada Jakarta saat ini.

Secara kepemimpinana mungkin Ridwan kamil masih disebut pendatang baru dalam dunia politik, toh dia dipilih sebagi pejabat publik dari kalangan profesional diusung dua partai partai Gerinda dan PKS pada pilkada Kota bandung terakhir. Riwayat politiknya memang tidak seberapa, namun rekam jejak keberhasilan saat menangani Kota Bandung dengan pembanguan fisik yang indah di foto, hingga pembangunan manusia dilihat dari livable city kota Bandung terbaik Indonesia bisa menjadi nilai jual keberhasilan yang dapat diperlihatkan kepada publik Jawa barat jika sudah menjadi Cagub resmi nanti. Dengan ide berkaloborasi yang kang Emil banyak ceritakan mungkin akan menjadi jawaban permasalahan di Jawa Barat nantinya.

Pemasaran Politik Ridwan Kamil


Dalam pemenangan politik, ada lima tahapan yang harus dilalui oleh calon. Pasangan bakal calon harus melalui tahap diketahui, dikenal, disukai, didukung dan selanjutnya dipilih.

Maka dari itu, sudah tepat jika Ridwan kamil mendeklarasikan diri lebih dahulu dibanding calon lain yang masih “malu malu” mengungkapkan niatnya untuk maju dalam kontekstasi pilkada Jabar. Masih sangat awal memang, namun jika dilihat mendeklarasikan diri lebih awal itu niatnya sederhana yaitu ingin lebih diketahui! Karna dalam segi popularitas dan elektabilitas, kang Emil masih “kalah” dengan petahana Deddy Mizwar yang mungkin juga maju kembali sebagai petahana dalam Pilkada Jabar kali ini.

Namun, dalam segi pemasaran politik sendiri kang Emil mempunyai modal lebih baik dalam segi branding dimedia sosial, jauh lebih baik jika dibandingkan calon manapun yang muncul dalam bursa calon gubernur Jabar dimedia masaa saat ini. 

Branding kang Emil dengan memamerkan keberhasilannya dimedia sosial mungkin menjadi fenomena baru dalam kepemimpinan daerah yang ada, ini pula yang bisa menggaet pemilih pemula (kaum milenial) serta kalangan menengah keatas pengguna sosial media. Sayangnya, jika dilihat dari data yang dikeluarkan Disdukcapil Prov.Jabar hanya ada 61 ribu pemilih pemula yang mungkin basis dari pemilihan Ridwan kamil kali ini, tidak seberapa dari DPT di Jawa barat pada pilpres lalu yaitu 33 juta pemilih. 

Jadi, Butuh kerja keras partai pengusung kang Emil untuk merangkul lebih banyak kalangan menengah kebawah hingga akar rumput yang menjadi potensi pemilih. Maka, kang Emil butuh lebih banyak jumlah pemilih dari sekedar following di Instagramnya.

Layaknya CEO perusahaan kang emil baru satu priode memimpin para politisi di Kota bandung. Jika menilai hasil kinerja Ridwan kamil dalam keberhasil menyelesaikan masalah di Kota Bandung, dengan permasalahan yang jauh lebih kompleks sangat dini jika kang Emil dinilai pantas atau tidak untuk memimpin Jawa barat kedepan.

Ridwan kamil tak sepenuhnya berhasil mengadirkan perubahan di Kota Bandung, bahkan masalah utama dikota Bandung sendri belum terselesaikan sepenuhnya. Menurut suvei Elsid (Lingkaran Studi Informasi dan Demokrasi) menilai masyarakat Kota Bandung sendri tidak terlalu membutuhkan taman yang selama ini dipamerkan Ridwan kamil disosial media, masih ada masalah kemacetan yang harusnya menjadi proritas, perbaikan mekanisme pengurusan dokumen kependudukan hingga kebersihan. 

Masih banyak program serta janji janji politik Ridwan Kamil seperti LRT, cable car, tekopolis, pengentasan banjir, dan macet perlu segera diselesaian. Namun, pencalonan Ridwan kamil pada Pilgub Jabar akan memecah waktu beliau dalam bekerja dan agenda politiknya.

Intoleransi juga menjadi momok memalukan pemerintaha yang dipimpin oleh Ridwan Kamil, itu tercermin dengan masih adanya tindakan intoleransi yang terjadi di Kota Bandung pada akhir tahun lalu, kasus intoleransi terjadi yang dilakukan oknum anggota ormas keagamaan dengan menghentikan peserta yang tengah berdoa bersama.[2] Tentu, bagi banyak orang tindakan tersebut sangat tidak terpuji, terlebih tindakan Intoleransi tersebut sudah melanggar hukum dimana Negara harusnya menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah. 

Dedi Mulyadi


Kepemimpinan mungkin menjadi daya jual utama untuk Dedi Mulyadi jika benar benar ingin maju sebagai bakal calon gubernur Jawa barat 2018. Banyak masyarakat Purwakarta bahkan tokoh tokoh politik yang menilai kepemimpinan kang Dedi sebagai sosok yang berbeda hingga berani kontroversi. Kang Dedi dalam kepemimpinan membangun Purwakarta sejak menjadi wakil Bupati tahun 2003 hingga menjadi Bupati dinilai konsisten membangun Purwakarta dengan nilai nilai leluhur sunda.

Bentuk nyata dari kepemimpinan beliau bisa dilihat dari penghargaan yang diterima beliau sebagai pemimpin teladan demokratis diterimanya dari Soekarno Center pada tahun 2016. Penghargaan tersebut diberikan sebagai apresiasi kepemimpinan Dedi Mulyadi dalam bidang budaya, perlindungan hak minoritas, masyarakat adat, masyarakat agama lokal serta ke Bhinekaan.

Status beliau sebagai ketua DPD Parta Golkar Jawa barat yang memiliki 17 kursi di DPRD prov. Jabar, serta pengalaman dalam berpolitik sejak menjabat sebagai Wakil bupati hingga Bupati Kab. Purwakarta membuat kang Dedi mempunyai modal politik besar untuk maju pada pilkada Jabar 2018. 

Framing media media selama ini juga memperlihatkan keunggulan kang Dedi sebagai pemimpin daerah mempunyai tempat tersendiri secara tidak langsung menjadi tempat membangun citra terbaik kang Dedi dimedia massa. 

Dengan memimpin wilayah level kabupaten, kang Dedi mulyadi dengan cerdink selalu mendapatkan sorotan media yang langsung mendapatkan perhatian masyarakat Jabar yang haus informasi. Entahlah, sudah dipersiapkan untuk pilgub Jabar sejak jauh hari atau tidak, framing media yang mensoroti keberhasilan dedi mulyadi memimpin kab. Purwakarta selama ini hingga kepemimpinannya yang unik selalu menarik diberitakan.

Kekuatan kepemimpinan yang menonjol pada sosok kang Dedi itu pula mendapatkan konsikuensi dari beberapa ormas keagaman, contoh saja Front Pembela Islam (FPI) yang nampaknya memasukan nama Dedi Mulyadi sebagai nama kepala daerah yang paling dimusuhi selain Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Ormas FPI beralasan bahwa kepemimpinan kang Dedi Mulyadi dinilai sering menampilakan ikon ikon kebudayaan non islam di Purwakarta yang mayoritas muslim, Disetiap daerah yang dikunjungi kang Dedi bahkan selalu mendapatkan penolakan oleh ormas tersebut.

 Patut diingat bahwa, pilkada acap kali tidak hanya menjadi panggung politik para pemimpin didaerah, dibalik itu Pilkada juga menjadi panggung politik bagi ormas lihat saja Pilkada yang terjadi di Jakarta tak hanya diwarnai saling serang Visi misi calon, namun juga ajang memperlihatkan pengaruh dan tokoh ormas diwilayah itu.   

Pilgub jabar mungkin bisa saja panas layaknya Jakarta jika Dedi Mulyadi yang sudah lama dibenci ormas seperti FPI benar benar maju dalam Pilgub Jabar 2018. 

Namun menjadi perhatian juga arah dukungan FPI yang juga hadir di Jawa Barat, antara mendukung Ridwan kamil yang kemungkinan besar juga didukung oleh PDI-P  atau Dedi Mulyadi yang sudah dicap negativ oleh mereka sejak lama.  Hmmmm.

Melihat peluang mereka berdua


Dengan menggandeng sosok artis dalam pilgub jabar kali ini mungkin menjadi salah satu langkah politik paling mungkin dilakukan oleh kang emil dan kang dedi jika ingin benar benar memenangkan kontekstasi Pilgub Jabar kali ini. Pilgub Jawa barat kali ini kemungkinan tidak jauh berbeda dengan Pilgub Jabar 2013 dimana salah satu faktor ketokohan atau keartisan menjadi kunci kemenangan. 

Lihat saja, beberapa survei yang dilakukan saat pilgub Jabar terakhir menyebutkan, kepopuleran artis sangat menentukan pemilih tradisional yang kemungkinan besar tidak akan jauh berbeda pada Pilgub kali ini. Karna pemilih tradisional adalah pemilih irrasional yang mementingkan figur, akan banyak masyarakat Jabar yang mayoritas sebagai pemilih tradisional ini secara tidak langsung membuka peluang hadirnya artis untuk meramaikan pesta demokrasi kali ini. 

Masyarakat jabar  yang mayoritas tradisional tersebut banyak melihat figur ketokohan (artis) yang tentu saja menjadi kunci kemenangan pasangan calon  karna tingkat kepopulerannya di tengah masyarakat Jabar.

Namun, Siapapun yang akan maju dalam pilgub Jabar 2018 layaknya tak meniru yang terjadi di DKI Jakarta. Sudah Cukup JAKARTA! Pilgub Jabar 2018 harusnya mempertontonkan visi mereka kedepan apalagi jika memang kang Emil ataupun kang Dedi benar benar maju dalam Pilgub kali ini, rekam jejak mereka sangat dinanti dalam menyelesaikan segala persoalan di Jawa barat contohnya Intoleransi yang marak, sangat kontradiktif dengan kultur dan budaya masyarakat sunda yang toleran.

Sekarang, apakah Ridwan kamil atau Dedi Mulyadi mampu menyelesaikan segala masalah yang terjadi di level Provinsi sekelas Jawa barat yang tentu saja lebih besar permasalahannya ketimbang apa yang terjadi dilevel kota mereka terdahulu.  

Tentu terlalu berlebihan untuk berharap mereka berdua sebagai jawaban dari segala permasalahan layaknya satria piningit. Namun dengan rekam jejak yang ada dikedua bakal calon ini layaknya masyarakat Jawa barat mampu memilah pemimpin terbaik dari yang terbaik antara keduanya.

Berbanggalah untuk masyarakat Jawa barat yang jika tidak ada alang melintang, akan disuguhkan dua calon pemimpin yang mempunyai rekam jejak terbaik di Jawa barat ini. Mereka berdua adalah pemimpin yang mempunyai modal rekam jejak didaerahnya masing masing. Mereka berdua adalah pemimpin terbaik didaerah mereka yang dapat dinilai layaknya novel kepemimpinan, tidak seperti bakal calon lain contoh saja istri petahana yang belum mempunyai rekam jejak layaknya buku tulis yang belum terisi halaman demi halaman kepemimpinannya.

Selain itu mereka juga mempunyai modal yang tidak bisa dibeli oleh politisi yaitu dicintai rakyat didaerah mereka. Meminjam pemikiran Machiavelli Modal dicintai rakyatnya itu layaknya benteng yang paling baik yang pasti menjadi motor penggerak pemenangan Pilgub kali ini. Kang Emil maupun kang Dedi mempunyai modal di cintai didaerah mereka memimpin, modal yang tak ternilai dan tidak dimiliki calon yang tak mempunyai rekam jejak. 

Namun yang terpenting, Selain melihat bagaimana kedepan kontekstasi politik Pilgub Jawa barat menarik juga untuk menanti arah dukungan FPI. Dengan jumlah anggota tidak sedikit di Jawa barat. Kemana arah dukungan mereka?

Untuk Ridwan Kamil yan kemungkinan didukung oleh partai PDIP atau kah untuk Dedi Mulyadi sang "Tahanan kota" mereka.. Menarik!

@rizky fariza alfian

Wahabi Itu Pemikiran Politik, Bukan Keagamaan


DUNIA HAWA - Saat kuliah dulu, saya punya teman kelas kelahiran Arab. Namanya Khalid. Dari sejak lahir sampai selesai S1 hidup di tanah Arab. Datang ke Jogya untuk kuliah S2 di Program Studi Quran UIN Sunan Kalijaga. Padahal, sependek pengetahuan saya, iklim akademik UIN Jogja dalam masalah studi keislaman sangat kontras dengan Arab sana. Di sini progresif, di sana kata teman Arab saya itu, jangankan mau bicara Hermeneutika Alquran, bicara Filsafat aja dilarang. Makanya saya mikir, emang dia tahan di sini?. But, that is beside the point...

Saya ingin bercerita kalau pernah satu waktu saya tonjok poin, "Apakah kamu mengetahui tentang paham Wahabi?", pastinya dalam bahasa Arab pas-pasan donk, dia kan masih bengong kalau ditanya pakai bahasa Indonesia. Untung dia bukan Wahabi jadi tenang-tenang saja menjelaskan yang dia pahami. Lahir di keluarga berpaham Wahabi tak serta merta membuatnya Wahabisme. Malah dia jujur harus tidak sepaham dengan orang tuanya karena dia sendiri kurang setuju Wahabi.

Katanya menjawab pertanyaan saya di atas, "Wahabi itu bukan pemikiran keagamaan, tapi pemikiran politik". Menurutnya, Pemerintah suka dengan ideologi Wahabi. Mazhab pro-jenggot wal anti-isbal ini punya ajaran harus taat setaat-taatnya pada pemerintah. Kalo nda salah ayat kepatuhan ulil amri dijadikan landasan.

Lantas hubungannya apa? Dalam hati saya, bukannya Indonesia juga masyarakat muslimnya mengenal ketaatan pada Pemerintah. Setidaknya NU dan Muhammadiyah bisa dilihat pada posisi ini.

Begini, lanjutnya, kalau Kerajaan Arab pakai Wahabi sebagai paham ideologi resmi di negaranya, otomatis dia bisa mengendalikan rakyatnya. Konsep ketaatan kepada Raja sebagai Ulil Amri adalah mutlak plus absolut dalam Wahabi.

Sejahat dan sejelek bagaimanapun kebijakan Raja akan dituruti oreh rakyatnya. Rakyat tidak berani melakukan penentangan karena doktrin ulil amri tadi. Makanya, Kerajaan bisa mengeruk dan memperkaya diri dengan SDM minyak yg melimpah tanpa ada demo dari rakyatnya. Jadi, wajar kalau Raja mereka kaya, turun pesawat pakai eskalator pribadi.

Raja akan dengan mudah memberikan kebijakan ekonomi maupun politik. Ntah itu menguntungkan rakyat kelas menengah-atas atau pihak keluarga, semua akan mulus tanpa khawatir akan ada pemberontakan. Apalagi takut akan ada makar.

Hal ini tentu berbeda dengan Indonesia. Bensin naik seratus perak aja udah teriak-bakar-lempar batu di jalan. Belum, masalah nista-nistaan kemarin, bisa dijadikan alibi untuk makar sampai membuat koperasi syariah. Hubungannya apa dari demo ke koperasi? Ya terselubung lah...

Nah, karena itu sepertinya Pak Jokowi perlu deh studi banding lagi ke tanah Arab. Tujuannya apa? Ya, nanya-nanya kalau mau pakai ideologi Wahabi gimana caranya. Biar rakyat Indonesia yang suka nyinyir Presidennya, bisa jadi sayang dan cinta dia kayak Raja Salman.

Liat aja, Raja Salman di negara orang aja dielu-elukan. Dipuja oleh banyak orang. Malah masang spanduk agar Raja Salman nasehatin Presiden mereka sendiri. Elaah...

Makanya, Pak Jokowi harus blusukan ke Arab sana. Liat manajemen pengelolaan Ideologi Wahabi biar bisa ampuh kalau mau dipakai di Indonesia. Itupun kalau Pak Jokowi mau disayang rakyatnya sebagaimana rakyatnya yang malah lebih saya sama Raja Salman. Sedih kan kalo gini, rakyat sendiri nda sayang kepala Pemerintahnya.

Tapi, apa iya sesimpel itu? Kayaknya saya meragukan itu juga deh. Kaum nyinyiran dan kontra pemerintah dari kelas agamis yg paham ayat taat ulil amri harusnya juga taat presidennya. Tapi nyatanya nda juga tuh. Artinya, ya pakai ideologi Wahabi pun kemungkinan sama saja mereka tetap nyinyir.

Kalau mau berspekulasi, grand design penolakan kaum agamis nyinyiran di Indonesia, bukan karena kontra Pemerintah, anti demokrasi atau benci Jokowi yang disebut-sebut agen palu arit dan pelindung China, tapi mereka ya cuma alat mengeruk kekayaan Indonesia oleh dalang. Monggolah ini dipikir bersama biar nda benci-benci amat sama Habib Rezieq, FPI wa akhawatuha...


@ahmad muttaqin 

Kang Ridwan Kamil, Jangan Baperan


DUNIA HAWA - Saya agak heran-heran gimana gituh melihat reaksi kang Ridwan Kamil ketika dituduh syiah. Dalam situasi pertarungan seperti ini, tudingan adalah senjata lawan untuk melemahkan kita. Dan ketika kita bereaksi berlebihan terhadap tudingan lawan, itu memang yang mereka harapkan. Saya kenyang dituding syiah.

Kang Emil harus belajar bahwa kata "Syiah" itu berarti pengikut dan itu dinisbatkan sebagai pengikut Imam Ali bin abu thalib, keluarga sekaligus sahabat terdekat Nabi Muhammad Saw.
Coba tanya orang2 Syiah yang dikenal sebagai pecinta keluarga Nabi. Dituding "Syiah" bagi mereka membanggakan. Karena tidak semua dari mereka bisa mencapai maqom ke-syiah-an dan malu menyebut dirinya syiah ketika perbuatan mereka jauh dari tauladan Imam Ali.

Sama seperti mereka yang takut menyebut dirinya "muslim" karena masih jauh dari sifat2 muslimin.

Saya sendiri seharusnya bangga ketika dituding syiah, karena orang lain mengakuinya. Tapi akhirnya malu sendiri ketika melihat bahwa ternyata saya jauh dari perilaku dan tauladan yang dicontohkan.

Saya selalu bilang, "saya pecinta para pecinta syiah(pengikut)nya Imam Ali". Menjadi pecinta dari pecinta para pengikut itu saja sudah membanggakan.
Menjadi syiah? Waooowww... Itu seperti klaim ketika seorang Katolik menyebut bahwa dirinya setara dengan Bunda Teresa. Atau ketika orang Hindu bilang bahwa ia selevel dengan Mahatma Gandhi. Jauhhhh.

Hanya memang kata "syiah" itu cenderung menjadi negatif karena dipelintir sebagai aliran sesat. Dan menariknya, yang dituding syiah biasanya pintar2. KH Said Agil Siradj, Ketum PBNU, dituduh syiah. Quraish Shihab, Doktor Hadis, juga dituduh syiah. Kan pintar2 mereka. Harusnya kang Emil bangga juga karena disejajarkan sama mereka yang pintar2 itu, bukan malah bereaksi sebaliknya.

Tapi ini memang politik. Ketakutan kang Emil bisa jadi sama seperti ketakutan Anies Baswedan. Anies akhirnya memproklamirkan diri bahwa dia bukan Syiah, padahal dulu-dulu sebelum menjadi Cagub dia anteng2 aja.Takut kehilangan suara ? Dan lihat pada akhirnya dia berubah menjadi apa...

Saran saya kang Emil, lebih baik tidak usah mengurus tudingan2, apalagi sampai mem-polisikan. Kalau dituding gitu aja sudah baperan, wah bagaimana nanti kalau menghadapi warga Jabar yang menurut survey "tingkat intoleransinya tertinggi di Indonesia".

Mungkin sudah waktunya kang Emil mengurangi aktifitas di medsos dan biar tim aja yang mengelolanya. Karena medsos itu seperti penonton sinetron, semakin sering kita menanggapi komen-komen negatif, kita akan berubah menjadi orang cengeng dan sensitif..

Gitu aja ya, kang Emil...

Kapan-kapan kita minum secangkir kopi sambil cerita bagaimana seharusnya pemimpin itu bersikap. Pemimpin itu tidak perlu pintar, ia fokus mengawal visinya ke depan meski harus berseberangan dengan pendapat banyak orang. Seruput dulu, kang.

@denny siregar


Sandiaga Ga Didukung Gerindra-PKS


DUNIA HAWA - Siapa yang tidak kenal sosok Sandiaga Uno, seorang pengusaha yang berpenampilan ganteng, berkacamata, berpenampilan atletis dan banyak digandrungi oleh kaum hawa. Teman wanita saya saja kalau melihat Sandiaga Uno, ngomongnya ga berenti berenti. “Ganteng yah si Sandi, mau donk kalau punya pacar mukanya kaya Sandi”.

Itukan kalau dilihat gantengnya saja, tapi kan yang kita butuhkan bukan hanya sekedar ganteng untuk mengurus DKI Jakarta ini yang permasalahannya begitu kompleks. Yang kita butuhkan adalah seorang Gubernur dan Wakil Gubernur yang benar-benar memperhatikan rakyatnya.  Bukan sekedar janji surga saja. Kalau janji-janji doank mah dari dulu kita sudah dijanjikan yang manis-manis. Tapi kan hanya sekedar janji saja. Kalau kata bapak saya mah NATO (No Action, Talking Only)

Saya rasa banyak orang taulah, kenapa Sandiaga Uno itu dipilih sebagai Cawagub (bukan karena gantengnya lho yah), yah karena Sandi ini seorang pengusaha yang Super Kaya. Kekayaan Sandiaga Uno ini terbilang fantastic di usia semuda dia. Kekayaannya sebesar Rp 3.856.763.292.656 dan USD 10.347.381. Itu Rp 3 Trilyun lebih lho. Dengan kekayaan seperti itu jelas sekali kalau Sandi mempunyai potensi untuk bersaing dengan Petahana walaupun Sandi sama sekali tidak mempunyai pengalaman politik yang mumpuni. Bilamana dibanding Ahok-Djarot mah, pengalaman Sandi seperti ujung kuku saja.

Sebelumnya ada nama Yusril Ihza Mahendra yang masuk dalam daftar calon yang akan diusung oleh Gerindra-PKS. Siapa yang tidak mengenai Yusril? Yusril pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pernah juga menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, belum lagi pengalaman politiknya yang jelas melebihi Sandiaga. Dan juga Yusril menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Belum lagi elektabilitas Yusril ketika itu jelas lebih populer dibandingan dengan Sandiaga.

Tapi itulah politik, tiada kawan atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan semata.

Marilah kita kilas balik sejenak pada waktu Jokowi-Ahok diusung oleh PDIP-Gerindra pada tahun 2012. Jokowi-Ahok dicalonkan oleh PDIP-Gerindra tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Prabowo mengatakan kepada Ahok “Saya tak minta uang, semua biaya kami tanggung”. Berbeda sekali kan dengan apa yang dialami Sandiaga Uno sekarang?

Bendahara Umum Tim Pemenangan Anies-Sandi, Satrio Dimas Adityo menyatakan, sumbangan dana kampanye cagub-cawagub nomor pemilihan tiga itu sebanyak Rp35,6 miliar. Sumbangan tersebut berasa dari calon dan partai politik pengusung Anies-Sandi. Rinciannya adalah Partai Gerindra Rp 750 juta dan PKS Rp350 juta.

Sementara itu, Anies menyumbang Rp 400 juta dan Sandi menyumbang Rp 34 miliar lebih.

Hahaha, kelihatan sekali kan kenapa Sandiaga sebenarnya tidak benar-benar didukung oleh Gerindra dan PKS? Lebih tepatnya dijadikan sapi perah oleh Gerindra-PKS. Kalau menang ya untung, kalau kalah yah buang duitnya ga banyak-banyak amat. Istilahnya hoki-hoki an deh.

Itu baru pengeluaran dana kampanye putaran pertama lho, belum lagi dana yang dibutuhkan untuk putaran ke dua. Belum lama ini Sandiaga meminta timsesnya untuk menekan pengeluaran serendah mungkin dengan melakukan efisiensi anggaran, maksudnya melakukan penghematan. Emangnya paket hemat KFC apa?

Sebagai perbandingan, tim pemenangan pasangan calon Gubernur-calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor pemilihan dua, Ahok-Djarot mengklaim dana yang dihimpun dari masyarakat selama masa kampanye putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 sudah mencapai Rp 12,3 miliar. Dana tersebut diperoleh dari sumbangan sekitar 2.050 orang. Bukan dari parpol lho J

Nah kan, semakin kelihatan kalau Sandiaga ga didukung Gerindra-PKS beserta parpol pendukungnya yang lain. Beda sekali dengan Ahok-Djarot. Selama ini Gerindra-PKS cuman ribut-ribut bilang mendukung, tapi begitu membicarakan dana kampanye pada hilang semuanya ga ada suaranya. Seperti bayangan yang hilang dalam kegelapan.

Belum lagi ada panggilan dari kepolisian mengenai kasus penipuan dan penggelapan tanah di Tangerang, tidak ada dukungan dari Gerindra-PKS kan mengenai kasusnya?

Baru kali ini ada orang yang mengeluarkan puluhan milyar hanya untuk menjadi no 2, apakah tidak ada udang dibalik somay mengenai niatan ini? Dan lagi ingat lho yah, Sandiaga ini seorang pengusaha, mana ada sih pengusaha yang mau rugi? Hitungan berbisnis itu memakai kalkulator yang canggih lho. Pengeluaran modal sekian, dalam berapa lama harus mendapatkan keuntungan sekian baru BEP (Break Even Point), istilahnya baru balik modal, setelah itu harus mendapatkan keuntungan sekian. Itulah konsep pengusaha.

Jelas banget kan kalau Sandiaga tidak didukung Gerindra-PKS? Anda setuju?

Salam kura-kura

@puputo