Sunday, March 19, 2017

Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D - Harga Sebuah Integritas


DUNIA HAWA

Kepada Bung Anies yang saya hormati,


Sebelumnya perkenalkan nama saya adalah Airlangga Pribadi Kusman, pengajar dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Kita pernah bertemu sekali dua kali, namun belum pernah kita berdialog dengan intens baik dalam acara diskusi maupun dalam kesempatan dialog informal. Untuk itu, perkenankan saya berkomunikasi dengan Anda secara terbuka saat ini di sela-sela kesibukan Anda sebagai Calon Gubernur DKI dalam Pilgub Jakarta 2017 kali ini.

Mengapa surat ini saya tujukan kepada Anda saat ini bukan kepada yang lain seperti Saudara Basuki Tjahaja Purnama atau Agus Harimurti Yudhoyono pada putaran pertama? Jawabannya adalah karena pada awalnya saya menaruh harapan kepada Anda sebagai kaum intelektual Muslim yang matang oleh keadaan, digodok oleh pandangan demokrasi dan civic values dalam studi Anda jauh di negeri Paman Sam, digembleng dalam epistemic pengetahuan keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan dalam dialog Anda dengan kalangan intelektual Muslim moderat semenjak era 80-an dan 90-an.

Tak terlupa juga karir Anda sebagai Rektor Universitas Paramadina, warisan almarhum Nurcholish Madjid, yang selama ini menjadi mercusuar penguatan peradaban Islam yang inklusif dan menyatu dengan keindonesiaan. Semenjak itu momen demi momen mengantarkan Anda menjadi harapan masa depan peradaban Islam dan nilai-nilai keindonesiaan yang maju, terbuka, dan menghargai kebhinekaan yang menemukan kulminasinya dalam sebuah peristiwa ketika Anda menulis sebuah artikel dengan judul "Merajut Tenun Kebangsaan dalam hari-hari yang panjang di tengah ketegangan dalam Pemilihan Presiden 2014."

Bung Anies Baswedan,


Dalam jejak langkah satu demi satu yang Anda kumpulkan dalam karir Anda pada waktu itu saya melihat hadirnya sebuah integritas. Integritas yang tidak hanya menandai harapan akan kebangkitan wajah Islam yang, dengan nilai-nilai rahmatan lil alamin, akan kembali menggarami bumi keindonesiaan kita, namun juga wajah kemajuan cara pandang dan keadaban etis yang–di mana Anda akan menjadi salah satu komponen di dalamnya–sebagai aktor strategis yang membawa negeri kita Indonesia dari gelapnya warisan Orde Baru menuju terangnya masa depan demokrasi Indonesia.

Karena saya dengar itulah bagian dari kampanye Anda saat bergabung dalam barisan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilihan Presiden 2014. Saat itu saya melihat masa depan demokrasi Indonesia yang disuburkan oleh nilai-nilai kesetaraan sosial, keterbukaan terhadap yang berbeda, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, salah satunya akan diperjuangkan oleh orang seperti anda. Bagi saya, orang yang konsisten mengemban nilai-nilai di atas dalam jejak sejarah hidupnya adalah orang yang memiliki integritas, dan saya pikir Anda adalah salah satu darinya.

Sampailah kita pada waktu yang menjadi kesempatan dan sekaligus ujian bagi Anda sebagai salah satu aktor strategis demokrasi di Indonesia, yakni momen Pilkada Jakarta 2017. Momen yang membawa Anda menjadi Calon Gubernur Jakarta 2017. Sebagai sesama akademisi ilmu politik, saya paham bahwa politik bukan sekadar nyala api idealisme, namun juga soal pertarungan konkret di bumi manusia yang acapkali membutuhkan pragmatisme dan kalkulasi dukungan suara dari rakyat.

Politik, selain dihidupi oleh paham Aristotelian yang menekankan pada bagaimana merangkai kebaikan di dalam kehidupan bersama, juga membutuhkan strategi dan taktik dalam konteks siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana seperti diungkapkan oleh Professor Harold D. Lasswell. Namun demikian, Anda pasti paham dan tentu lebih paham dari saya bahwa dalam rangka bagaimana Anda sebagai aktor politik mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana, terang cahaya kebaikan nilai-nilai keadaban tidak boleh diinjak-injak di bawah bendera pragmatisme dan fanatisisme!

Itulah yang kita pelajari tidak saja dari Aristoteles, tapi juga dari junjungan kita Baginda Rasulullah SAW yang berusaha dicontoh oleh para pendiri republik kita Sukarno-Hatta maupun dari para Guru Bangsa seperti almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid, guru kita bersama.

Keresahan kita bahwa Anda tengah menggeser kebaikan bersama dalam tenun kebangsaan di bawah bendera pragmatisme bahkan sektarianisme bermula ketika saya melihat di laman Youtube ketika Anda mengunjungi maskar besar Front Pembela Islam di daerah Petamburan, Jakarta. Di sana Anda menyatakan bahwa Anda adalah pemadam kebakaran dalam posisi Anda sebagai rektor Universitas Paramadina ketika ide-ide Islam Liberal tengah menyebar.

Bung Anies Baswedan,


Saya pernah menyaksikan keseharian Universitas Paramadina, meskipun saya bukan orang inti di sana, namun yang saya tahu bahwa yang dikembangkan oleh Cak Nur di Paramadina bukan hanya soal Islam Liberal tapi lebih tinggi daripada itu adalah Islam berkeadaban, Islam yang menyatu dengan kemodernan dan keindonsiaan. Tradisi peradaban dan intelektual Islam yang menggarami Indonesia dengan semangat public religion (agama publik), yang kemudian menjadi menara bagi ide-ide kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan! Yang mana di dalamnya berbagai ide (baik liberal, republikanisme, reformisme, Islam Progresif, Islam Berkemajuan maupun Islam Nusantara) saling berdebat, berdiskusi, dan memperkaya ruang publik Indonesia.

Di sini saya kecewa Bung Anies, karena ketika anda menyatakan bahwa Anda menjadi pemadam kebakaran di Universitas Paramadina, artinya Anda tengah menjadi pemadam api pemikiran Islam berkeadaban dan teologi keadilan yang dinyalakan oleh mendiang Nurcholish Madjid.

Apalagi ketika Anda di dalam forum di Petamburan itu menyatakan bahwa Anda bukan Syiah dan bukan Islam Liberal. Baik Bung Anies, saya percaya Anda jujur, Anda bukan penganut Muslim Syiah maupun Islam Liberal. Namun demikian, dalam suasana sosial yang penuh kebencian, cara Anda berbicara yang memanjakan sentimen kebencian dan perasaan paling benar sendiri di hadapan publik itu bukanlah cara berbicara orang yang pernah menulis artikel tentang merajut tenun kebangsaan.

Dialog yang merdeka dan terbuka, pesan untuk saling menghormati satu sama lain tidak akan tercipta, kekakuan pandangan tidak akan mencair dengan cara komunikasi politik yang Anda ciptakan dalam dialog seperti itu. Anda bisa berbicara dengan cara lain seperti mengingatkan kepada majelis tentang pentingnya ukhuwah islamiyah di dalam kerahiman Allah SWT, persatuan Indonesia, kebhinekaan dalam persaudaraan bersama seperti yang diwariskan oleh para pendiri republik.

Baiklah mungkin Anda akan berpikir bahwa surat ini hanyalah salah satu suara dari kalangan pendukung Islam Liberal yang hanya peduli soal toleransi tapi tidak peduli soal keadilan sosial. Untuk itu, saya bertanya kembali kepada Anda, bagaimana Anda bisa menjalankan amanah keadilan sosial dengan berbagai program Anda ketika dalam kepala Anda masih tersimpan bias-bias eksklusivitas terhadap yang berbeda dari konstituen utama Anda.

Bagaimana kami bisa yakin bahwa Anda akan memimpin Jakarta dengan cara yang adil ketika Anda hanya memanjakan sentimen kaum intoleran dalam barisan Anda, dan tentu kami berhak untuk was was bisa jadi bahwa selanjutnya Anda akan didikte oleh kaum intoleran tadi. Mengapa demikian? Karena keadilan sosial itu adalah nilai yang bersifat universal, dan untuk merealisasikannya kita membutuhkan agensi politik yang kuat berpegang di jalan terang ini!

Bung Anies Baswedan,


Ada cara lain untuk memperkuat dukungan kepada Anda, bahwa seni memimpin bagi seorang pemimpin yang memiliki public virtue, keadaban publik dilihat dari kapasitas dan kemampuannya untuk mengelola sumber daya yang ada untuk pemenuhan visi dan prinsip-prinsip yang ia yakini sebagai sebuah prinsip kebaikan bersama. Pemimpin berkarakter republik memiliki kemampuan persuasi untuk mengajak dialog, untuk mengingatkan dan meluruskan yang keliru dan tidak benar sehingga para pendukung kita menginsafi secara penuh bahwa kita tengah membangun Indonesia.

Politik bukan hanya soal kepentingan dan cara memenuhinya. Di dalam politik ada seni berpolitik atau seni memimpin, the art of politics, the art of leadership! Mengapa saya bilang itu semua adalah seni, karena di dalam politik manusia tidak terpenjara dalam kondisi, namun juga di dalamnya politik adalah aksi yang lahir dari kesadaran manusia, kesadaran manusia untuk mencipta sesuatu yang baru, kesadaran manusia dalam proses penciptaan realitas dibangun melalui keinsafan akan nilai-nilai kemanusiaan yang merawat hidup bersama. Di dalam politik, manusia adalah agensi yang tidak sekadar menjadi Pak Turut dari keadaan, apalagi sentimen-sentimen kebencian. Di dalam politik, manusia adalah kreator penggubah kehidupan!

Bung Anies Baswedan yang saya hormati,


Dengan cara membiarkan wacana intoleransi maupun sentimen kebencian menyeruak di kota Jakarta; dengan membiarkan pembelahan antagonism kultural dibangun melalui pemilahan Muslim, kafir, dan munafikin, maka Anda tidak sedang memperjuangkan aspirasi dari orang-orang miskin dan marjinal. Di tengah krisis sosial-ekonomi yang melanda tidak saja lapisan kalangan miskin tapi juga mengancam proses pemiskinan sosial dari kalangan kelas menengah, yang mereka pegang saat ini hanyalah iman dan agama tempat bagi mereka berharap.

Sadarkah Anda ketika iman dan agama yang satu-satunya tempat mereka berpegang ini dimanipulasi oleh suara-suara kebencian, maka aliansi sosial-politik yang mendukung Anda tengah merenggut satu-satunya yang masih dimiliki oleh orang miskin dan yang tengah dimiskinkan itu. Mari kita renungkan bersama soal ini.

Renungkanlah dengan baik, sayangilah jejak langkah yang selama ini membawa Anda memiliki integritas yang kuat. Waktu belum selesai dan Anda masih punya waktu untuk mengoreksi langkah politik yang sudah Anda buat. Karena pada akhirnya kita dinilai dan dikenang oleh sejarah dari warisan-warisan prinsip, pikiran, dan praktik sosial yang kita semaikan pada generasi kita kedepan.

Inilah yang saya sebut dalam judul surat terbuka saya ini sebagai Harga Sebuah Integritas! Bung Anies Baswedan, masih ada uneg-uneg yang akan saya uraikan, sengaja saya simpan terlebih dahulu untuk surat kedua dari saya.

Bung Anies yang saya hormati, jaga kesehatan, kesehatan tubuh, pikiran dan hati Anda.

Merdeka!

Airlangga Pribadi Kusman


Meraih PhD dari the Asian Studies Centre, Murdoch University. Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Direktur Centre of Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga.

@airlangga pribadi kusman


Kasihan! Nenek Ini Ditonjok dan Dicekik Oleh Pendukung Anies


DUNIA HAWA - Sebagai negara demokrasi yang berasas Pancasila, seharusnya perbedaan pendapat serta perbedaan pilihan bukanlah hal yang harus dipertengtangkan. Rupanya dengan umur yang sudah mencapai kepala tujuh, ternyata Indonesia masih belum dewasa dalam menyikapi dan mengerti makna dibalik tulisan Bhineka Tunggal Ika.

Apalagi menjelang Pemilu, Indonesia biasanya rentan sekali diserang virus SARA. Tapi ini ada pengecualian, isu SARA hanya ada dan berlaku apabila ada seorang calon pemimpin yang beragama non-Islam, namun jika tidak ada maka isu SARA sepertinya kehilangan daya tariknya. Tenggelam tak punya panggung.

Sebagaimana kesaksian Suyanto dan Fajrun pada persidangan ke-14 kasus penistaan agama. Mereka mengatakan SARA akan dimainkan kalau ada calon dari non-Islam, biasannya surat Al-Maidah dan selebaran kertas kalimat haram pemimpin kafir disebarkan dijalan-jalan, Masjid, dan tempat umum lainnya. Sebaliknya isu SARA tidak ada kalau tidak ada calon dari non-Islam.

Begitu juga, sekalipun ada Muslim yang berpikiran jernih dan objektif dalam menentukan pilihan mereka kepada calon pemimpin non-Muslim, orang ini biasanya akan diancam secara langsung maupun tak langsung. Tak jarang, Muslim yang memilih non-Muslim berada dibawah bayang-bayang ketakutan karena penghinaan yang nanti akan mereka terima dari ahli surga yang mencoba menghakimi sesama.

Baru-baru ini, seorang pasutri bernama Abdul Haer (61) dan Rini (50) yang tinggal berdomisili di Jakarta Barat mendapat penghinaan berupa tonjokkan dan cekikan dari tetangganya S lantaran menerima hadiah kerudung dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

S diprediksi salah satu pendukung pasangan calon Anies-Sandiaga. Sama seperti tabiat dan karakter para relawan dan pendukung Anies lainnya, S juga terlihat beringas dan tak segan-segan mencap dan menyakiti orang Muslim yang mendukung pasangan Ahok-Djarot.

S menuduh anak Rini dan Abdul menyandang status dwi agama lantaran mendukung Ahok. “Dia bilang ke anak saya. ‘Ah kamu mah, beragama dua. Agama kamu abal-abal,” kata Rini mengulang petikan komentar S di Facebook.

Tindakan S sudah kelewatan, menuduh seseorang begitu kejamnya. Lagian Rini dan Abdul yang mendukung Ahok, kenapa S yang marah dan emosi. Kalau memang karena memilih Anies-Sandiaga langsung mendapat jaminan masuk surga, kenapa S justru emosi. Seharusnya dia senang akan masuk surga dan ditemani 72 bidadari cantik.

Tak cukup penghinaan melalui mulut, S juga menonjok dan mencekik Abdul dan Rini, “dia kejar saya. Terus dia mulai jorokin saya, terus mencekik saya,” ujar Rini. Ini bukan sesuatu yang harus kita herankan sobat, memang begitulah sifat dan karakter para pendukung Anies. Gila tak berotak.

Maka dari itu jangan heran ketika pendukung Ahok memilih diam untuk tidak menanggapi pendukung sinting dari pihak sebelah. Toh kalau diladeni gak akan nyambung. Yang satu waras yang satunya sakit jiwa alias sinting. Maka kita yang waras memilih untuk mengalah saja, dan membiarkan yang benar menemukan jalannya.

Dulu Indonesia merdeka karena ada kekompakan untuk meraih tujuan yakni kemerdekaan. Berjuang bersama-sama tanpa pernah bertanya agamamu apa. Dulu hanya ada teriakan Merdeka atau Mati. Namun kini untuk memajukkan bangsa, kita harus rela ditanya agamamu apa. Jika Kristen atau non-Muslim maka akan demo teriak ‘takbir…Haram pemimpin kafir.‘

Kembali ke kasus penghinaan yang dialami oleh Abdul dan Rini. Saya jadi teringat sebuah kalimat yang menggetarkan hati. Begini isinya ‘jika pemimpinnya tidak baik jangan pernah berharap pendukungnya akan baik.’ Jadi tidak usah heran ketika S begitu beringas, karena calon pemimpin yang didukungnya memiliki DNA yang sama yakni beringas. Kata-kata Anies beringas dan beracun.

Masih berlakukah Bhineka Tunggal Ika kita itu, Teman? Atau telah lenyap ditelan rayap?

Begitulah kira-kira.

@tiur panindang 17


Wahabisasi Jakarta


DUNIA HAWA - Semenjak mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Anies Baswedan merangkul ormas takfiri dan radikal demi mencapai kekuasaan politiknya. Pilihan politik Anies ini tidak saja merusak tenun kebangsaan, tapi juga ditengarai dapat menyebarkan paham-paham Wahabi yang radikal di Jakarta.

Bahaya Wahabi


Ajaran Wahabi sangat berbahaya bagi kedamaian umat Islam dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nama Wahabi sendiri dinisbatkan kepada Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1115 H-1206 H) yang ajaran keagamaannya kerap menyalahkan dan bahkan mengkafirkan muslim lain yang amalannya ‘tidak sesuai’ dengan paham yang mereka anut.

Akibat ajaran radikalnya kelompok takfiri yang berpegang teguh pada ajaran Wahabi di negeri ini acapkali menciptakan keonaran, keresahan masyarakat, tindakan kriminal, memprovokasi fitnah dan isu SARA, melecehkan pancasila, merendahkan bendera merah putih, menghina Soekarno, menolak demokrasi, menista agama dan masih banyak lagi tindakan-tindakan kekerasannya.  

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ekstrim ini secara langsung telah mencoreng nama Islam. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat kekerasan. Sebagaimana dalam al-Qur’an “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).

Kelompok ekstrim telah mengingkari firman Allah tersebut dengan selalu melakukan tindakan dengan cara kekerasan baik secara fisik maupun ajarannya. Kalangan radikalis-fundamentalis yang dirangkul Anies juga menanamkan kebencian dan memecah belah umat dan antar masyarakat.

Faktor yang mendasari tindakan ekstrim mereka adalah kaku dalam memahami teks-teks agama (tekstual) sehingga cenderung mudah menyalahkan dan mengkafirkan umat Islam lain. Mereka memaksakan kehendak atas penafsiran mereka sendiri seperti penafsiran atas al-Maidah 51 sebagai perintah memilih pemimpin muslim. Padahal ayat tersebut bukan dalam konteks Pilkada.

Kalangan radikalis menganggap muslim lain yang tidak mengikuti penafsiran mereka sebagai orang munafik dan tidak akan masuk surga. Bahkan kalangan radikalis tidak mau mensholatkan jenazah yang ditengarai mendukung non-Muslim sebagai pejabat publik.  

Dampak negatif dari ajaran seperti ini sangat membahayakan bagi keselamatan aqidah dan keutuhan negara. Bahkan dampak ajaran radikalnya telah dirasakan oleh masyarakat luas di hampir setiap wilayah di Indonesia

Mereka tidak hanya berdakwah dengan ajaran yang menyimpang, namun juga kerap melakukan aksi-aksi kekerasan mengatasnamakan agama. Aksi-aksi mereka tidak hanya menciderai hukum di Indonesia, tetapi juga mencoreng nama Islam itu sendiri.

Di antara yang mendorong timbulnya kekerasan atas nama agama di negeri ini adalah buah dari doktrin-doktrin dan ajaran radikal kelompok Wahabi. Anies sebenarnya sadar akan hal ini, namun hanya karena untuk kepentingan sesaat, ia rela menggadaikan idealismenya dengan merangkul kelompok radikal ini.

Anies semestinya jangan bermain-main dengan kalangan Wahabi. Ia seharusnya tidak melakukan segala cara untuk memenangkan kontestasi Pilkada. Karena itu sama halnya memberi ruang pada pemahaman yang dapat mengarah pada tindakan terorisme dan eksklusifisme, yang pada akhirnya dapat mengancam umat dan NKRI.

Belajar dari Timur-Tengah


Apa yang telah mereka lakukan adalah memorak-porandakan sebuah negara dan kemanusiaan. Sebagaimana terjadi di negara-negara Timur Tengah (middle east) yang saat ini sedang dilanda konflik sektarianisme yang sangat dahsyat.

Konflik tersebut dibungkus sedemikian rupa menjadi konflik agama, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), al-Qaeda, dan sebagainya. Sektarianisme agama dan propaganda politik sangat mudah terjadi di banyak negara Timur Tengah karena pengaruh paham-paham Wahhabi.

Umat Islam Indonesia harus belajar dari situasi yang terjadi di Timur Tengah ini. Jangan sampai kondisi damai yang ada di negeri ini justru rusak karena hadirnya paham-paham Wahabi, terutama di Ibu Kota. Kita harus menjaga negeri yang penuh keteduhan ini, dan jangan membiarkan aliran ektsrim menguasai Jakarta.


@ahmad hifni


Islam Mazhab Sadisme


DUNIA HAWA - "Kami ini semua janda, empat bersaudara perempuan semua, masing-masing suami kami meninggal dunia, ...., kami bener-bener dizalimi, apalagi ngurus pemakaman orang tua kami aja susah," 

Begitulah rasa kedukaan yang teramat pedih keluar dari mulut Neneng, anak bungsu nenek Hindun (78) yang jasatnya ditelantarkan masyarakat sekitarnya, tidak disalati di tempat ibadah di kediamannya, Jalan Karet Raya II, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2017). Dengan dalih sang nenek tak mengindahkan anjuran memilih calon muslim pada Pilkada DKI putaran pertama. Meski sudah banyak klarifikasi toh isu ini tetap dirasakan dan semoga tidak terulang kembali,

Rekayasa taktik politik dengan baju agama merupakan jurus jitu penggalangan suara kontestan peserta pilkada. Namun, merealisasikan isu politik yang belum tentu singkron dengan nilai luhur nan suci agama, ditambah berlawanan dengan etika sosial-kemasyarakatan adalah kebiadaban dan penistaan sisi keagamaan itu sendiri.

Agama, dalam hal ini Islam, yang dianut oleh nenek Hindun harus mengedepankan lima dasar pokok beragama yang disarikan oleh Imam as-Syatibi; menjaga Agama (hifdzu ad-Din), menjaga diri (hifdzu al-Nafs), menjaga keturunan (hifdzul an-Nasl), menjaga akal (hifdzu al-‘Aql) dan terakhir menjaga harta (hifdzu al-Mall). Secara umum Islam sebagai agama yang membawa keislaman dan keimanan yang rahmatan lil alamin mengedepankan lima prinsip dasar tersebut dalam bertindak dan berperilaku.

Jika prinsip dasar di atas disalahkan atau tidaksesuai, maka dalam teori psikologi hal yang demikian disebut “abnormalitas” atau ketidaknormalan. Ketidaknormalan ini kemudian menjurus pada bentuk perilaku di luar kaidah sebenarnya. Tinggal ketidaknormalan tersebut masih dalam tataran yang masih bisa ditoleril atau tidak. Bahasa agama kondisi-kondisi ketidaknormalan identik dengan identitas kafir, munafik, fasik dll.

Sehubungan dengan pentelantaran jasad nenek Hindun, watak keislaman ini benar-benar jauh dari esensi agama yang mensejahterakan dan menentramkan pemeluknya. Dianalisa dari sisi penjagaan agama (hifdu ad-Din) jelas-jelas ini mencederai keislaman nenek Hindun. Dia secara pribadi mengucapkan dua kalimah syahadat (persaksian), menjalankan shalat, puasa dan amal-amal ibadah wajib dan sunnah yang lain. Ini tidak bisa mensterotipe sebagai munafik apalagi kafir yang berujung tidak disalati.

Menimbang Orientasi beragama


Dalam hazanah ilmu pengetahuan, perilaku beragama dianalisa tuntas melalui psikologi agama. Raymond F. Paloutzian dalam bukunya, Invitation to the Psychology of Religion, menilai setiap individu memiliki orientasi keagamaan yang berbeda-bada. Pendekatan keimanan tentang apa makna iman dalam kehidupan membedakan orientasi keagamaan di kemudian.

Selanjutnya, orientasi keagamaan ini dibedakan menjadi dua konsep, yaitu orientasi keagamaan Intrinsik dan Ekstrinsik. Keberagamaan intrinsik menuntut pemeluk agama hidup berdasarkan atau sesuai dengan agama yang dianutnya. Ide keimanan yang dimotivasi secara intrinsik bermakna bahwa alasan keimanan seseorang ada dalam dan berasal dari internal orang tersebut.

Kedua, keberagamaan ekstrinsik, yaitu orang yang hidup menggunakan atau memanfaatkan agama yang dianutnya. Orang berorientasi agama ekstrinsik ia cenderung menggunakan agama untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam terminologi sederhana, orang golongan ini beragama karena ada semacam penguatan nyata (reinforcement) yang menarik keikutsertaannya dalam agama. Keberagamaannya ditentukan oleh ada tidaknya keuntungan yang didapat dari beragama itu. Dengan ungkapan lain, ada motif non-agama dari perilaku orang beragama.

Secara intrinsik, pemeluk agama dituntut melakukan penalaran akal budi yang sehat atas teks-teks suci, penafsiran para ahli agama serta penyesuaian pada kondisi situasi kenyataan. Penyesuaian diri ini harus terus diulang-ulang untuk menemukan sari dari nilai agama yang suci. Maka, dangkal sekali jika keimanan seseorang menyebabkan kedengkian, kebencian dan prasangka-prasangka negatif. Apa yang dulu diformulasikan nenek-moyang kita tentang nilai tepo-sliro, ungah-ungguh, sopan-santun dan akhlak terpuji lahir dari internalisasi kesalehan yang mapan.    

Naifnya, tampilan pemeluk agama dewasa ini lebih mengedepankan faktor  ekstrinsik. Tafsir-tafsir kebencian, sentimen rasial, pemaksaan madzhab kebenaran, ataupun bentuk-bentuk ritual temporal yang didesain pada situasi dan kondisi tertentu, tampak sebagai politik-relegius (siasah) daripada tujuan intinya agama sebagai pembinaan psikologis-relegius (akhlak). Tak jarang tujuan agama hanya disudutkan sebagai ideologi politik yang profan memenuhi keinginan kelompok agamis tertentu.

Islam Madzhab Sadisme


Tampilnya agama tak terkecuali Islam, mengedepankan aspek ekstrinsik, mengesankan terjadinya perilaku sadisme menyatu ke dalam egoisme-agamis. Di sisi lain, berlawanan dari lima dasar ajaran Islam yang disampaikan oleh Imam as-Syatibi membenarkan terjadinya prilaku sadisme atas nama agama. Keberagamaan demi kepentingan sesaat melupakan lima dasar tersebut menyebabkan nilai suci agama tidak dirasakan. Maka patut disebut sebagai “patologi-beragama”.

Oleh sebab itu, cara pandang agama pun diabsahkan kacamata kelompoknya saja. Keniscayaan perbedaan diakuisisi sebagai produk akal-akalan manusia, bukan bagian dari doktrin agama, sehingga ajarannya tidak patut dilaksanakan bahkan haram. Dan merasa senang jika yang berbeda dengan mereka bisa dijatuhkan.

Erich Fromm dalam, The Anatomy of  Human Destructiveness (1973) menjelaskan kesadaran yang demikian disebabkan pengalaman mereka yang diulang-ulang tentang kesadisan, keganasan dan ketimpangan yang diterima. Atau dianggapnya sebagai aksi balasan dari kelompok mereka yang menerima hal seperti itu. Sehingga, bukan nalar agama yang digunakan tetapi sentrisme kelompok maupun suku, sebagai manifestasi keadilan. Walhasil, pemaksaan, anarkisme dan pengkategorian negatif identitas agamis; munafik, fasik dan kafir pun terjadi.

Inilah bayang-banyang madzhab sadisme yang jauh dari idealitas agama sebagai penyelamat dan menata dunia yang lebih baik. Watak sadisme ini kepada siapa pun dilakukan jika mereka tergolongan di luar, baik yang berderajad secara sosial-keagamaan, keilmuan jatuh dihadapan mereka. Dicemooh, dicaci-maki bahkan tragisnya nyawa yang merupakan anugerah terbesar tuhan dengan mudah dikorbankan. Aksi terorisme baik pelaku maupun korban diakui sebagai sebab-akibat jihad suci. Modusnya pun bermacam-macam dan makin menjadi-jadi.

Ada faktor yang mendorong hal ini mengapa terjadi, antara lain; pertama, lebih mengedepankan prilaku ritualistik daripada menimbang kebermaknaan ibadah. Ini dibuktikan penelitian  yang dilakukan F. Paloutzian pada tahun 1940-an dan 1950-an, yang disebut olehnya sebagai grand paradox keberagamaan. Ia mendapatkan bukti bahwa, secara umum orang yang intens pergi ke rumah ibadah (Gereja) memperoleh skor lebih tinggi pada ukuran prasangka etnis dan rasial dibanding yang tidak pergi ke rumah ibadah.

Kedua, romantisme peradaban dijunjung tinggi sebagai pencapaian agama semata, menghilangkan signifikansi faktor penguat yang lain; sosial, politik, budaya dan keilmuan. Mimpi-mimpi bahagia atas kemajuan zaman keemasan, Nabi dan Sahabat misalnya, tidak didasari atas tanggungjawab menata kondisi sosial-budaya kemasyarakatan saat itu. Sekaligus tidak dianggap sebagai keberhasilan personal berdialektika dengan konsep agama yang terbentang luas dan dalam nilainya.

Kenaifan Islam hari ini, khususnya yang terjadi di Indonesia, menganggap terjadi pembalikan dari apa yang mereka akui sebagai kesalahan / meninggalkan ajaran Nabi dan Sahabat. Toh, mereka tidak juga sadar akan perjalanan waktu, apa yang dulu dilakukan Nabi dan Sahabat dan sampai pada kita melalui proses panjang banyak duri dan nestapa keislaman.

Maka, kecenderungan bersikap sadistik sejatinya tumbuh disebabkan ketidakmampuan persoanal mengatasi paradoks dalam dirinya. Di satu sisi mereka selalu memaksakan kehendak pada yang lain, di sisi lain mereka selalu menuntut yang lain memahami mereka.

Jika bertemu dengan orang seperti ini, kasihanilah sebab mereka orang yang gagal menjadi manusia agamis.

@m. miftah wahyudi


Anies Baswedan Blak-Blakan Ingin Lenyapkan Ahok


DUNIA HAWA - Singkat saja, aku ingin sekali menuliskannya. Begitu yang sering diucapkan oleh Losa Terjal. Jadi aku pinjam saja kata-katanya! Hehe…

Beberapa waktu yang lalu, seorang penulis sudah pernah membahas mengenai Anies Baswedan terkait isu reklamasi untuk mendulang suara. Dan pada 19 Maret 2017, Anies Baswedan kembali membuat sensasi dengan mempersoalkan masalah reklamasi. Saya sudah lupa, sudah berapa kali Anies Baswedan menyentuh isu reklamasi.

Ketika Anies Baswedan mencoba mencolek reklamasi, sebetulnya dia sedang mencolek warga DKI Jakarta untuk memberikan suaranya kepada Anies-Sandiaga. Karena sebagaimana pengakuan Eep Saefulloh Fatah yang juga menjabat sebagai Konsultan Politik Anies-Sandi, isu reklamasi merupakan cara efektif untuk mendulang suara bagi paslon nomor pemilihan tiga tersebut.

Begitupun, Anies kembali mempertanyakan sikap Ahok terkait keukeuhnya Ahok melanjutkan reklamasi. Sebenarnya Anies tidak sedang ingin bertanya tentang itu, melainkan dia ingin mencari simpati warga kelas menengah kebawah yang terkena proyek reklamasi yang kediamannya berada di garis pinggir pantai. Karena dengan begitu dia akan disebut pahlawan. Ya pahlawan kesiangan.

“Saya heran kenapa Pak Ahok kekeuh‎ betul untuk reklamasi kekeuh melanggar aturan,” ujar Anies di Jakarta Utara.

Kok heran sih pak, Nis? Gak usah pura-pura polos gitu, lagiankan anda sudah tahu bahwasannya reklamasi akan tetap berjalan sekalipun anda teriak hentikan reklamasi. Lagi, saya meragukan kekonsistensian ucapan anda, mungkin sekarang anda menolak reklamasi, tapi apa anda yakin menghentikan reklamasi kalau ditetapkan sebagai Gubernur DKI? Saya tidak percaya, maaf karena bapak tipe orang yang inkonsisten.

Berdirinya Anies dan Sandiaga dibarisan terdepan menolak reklamasi adalah murni untuk menimba suara. Itu terlihat, ketika Anies-Sandi menyebut reklamasi selalu diikuti pernyataan yang menjelek-jelekkan reklamasi, mengatakan reklamasi tidak berpihak kepada rakyat miskin, dan sebagainya. Pernahkan kalian mendengar Anies-Sandi memuji reklamasi? Saya tidak pernah.

Manfaat Reklamasi


Sekalipun mendapatkan penolakan dari lawan politiknya, Ahok tetap pada pendiriannya. Reklamasi harus terus dijalankan, ini yang saya suka dari sikap dan karakter Ahok. Jika untuk kebaikan dan kemajuan, kenapa harus dihentikan? Betul tidak!

Inilah manfaat dari proyek prestisius reklamasi tersebut!

• Ada potensi sebesar Rp 158 triliun dari hasil penjualan properti di pulau reklamasi selama 10 tahun.

Kontribusi tambahan ini bisa digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur di Jakarta, termasuk pembangunan tanggul di Jakarta Utara, guna mengatasi banjir.

• Reklamasi mampu menyerap 1 juta tenaga kerja

Ahok mengatakan pembangunan reklamasi mampu memperkerjakan 1 juta tenaga kerja. Dan apabila ini dihentikan akan merugikan banyak pihak.

• Groundbreaking tematik kampung nelayan

Ahok mengatakan, apabila reklamasi berjalan sukses, Pemprov DKI berencana membangun groundbreaking tematik kampung nelayan. Sehingga apabila reklamasi dibatalkan bukan hanya negara dan pemerintah yang dirugikan, melainkan nelayan juga terkena imbasnya.

Hal inilah yang tidak dilihat oleh Anies. Padahal soal kelebihan dan kekurangan itu ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dikesampingkan. Kita tidak bisa melihat hanya sisi negatifnya saja, melainkan harus melihat sisi positif. Inilah yang tidak dilakukan oleh Anies Baswedan, karena dia hanya ingin melihat lawannya hitam dan Anies putih.

Jadi, ketika Anies mengatakan Ahok tidak berpihak kepada nelayan dan masyarakat kecil, sebenarnya ini hanya trik lama, ingin mendapatkan simpati tak lebih. 

“Hunian rakyat bawah malah dibuat aturan untuk ditiadakan, sebenarnya memihak kepada siapa, era gubernur yang tidak memihak rakyat kecil harus ditiadakan,” tutur Anies.

Lihat ucapan Anies, sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies tidak layak sebagai contoh. Kata-katanya tersirat ucapan provokatif.  Cermati ucapannya Anies, ucapan itu bermakna, bahwasannya Ahok harus ditiadakan. Sungguh sangat menyedihkan.

Inilah susahnya kalau tidak ada program yang unggul, efeknya jadi mencari-cari kesalahan program lawan. Ujung-ujungnya bukan adu program lagi, tapi adu fitnah. Padahal bukankah Anies-Sandi memiliki program hiburan malam syariah, 3 miliar per RW dan kafe dangdut.

Tapi kenapa mereka tidak mau berdiri berkoar-koar untuk mempromosikan programnya tersebut sebagaimana mereka berkoar-koar mengkritik Ahok dalam menolak reklamasi.


@tiur panondang 17