Saturday, March 18, 2017

Kuasa Gelap Jilbab dan Perempuan Aristokrat Arab


DUNIA HAWA - Salah satu yang paling ditunggu dari kunjungan Raja Salman ke Indonesia pekan lalu adalah seputar para perempuan aristokratnya. Selama Raja Salman di Jakarta, media massa memang tidak memberitakan keberadaan mereka.

Padahal merekalah yang tengah ditunggu banyak orang. Buktinya, jika kita perhatikan, publik sedemikian dihebohkan atas beredarnya foto Ginni Kapoor, artis India, yang dianggap salah satu putri kerajaan.

Publik kembali kecewa. Beberapa hari saat Raja Salman di Pulau Dewata, tiba-tiba viral foto “putri” Kerajaan Arab berpakaian adat Bali. Belakangan terklarifikasi bahwa “putri” tersebut adalah salah satu pramugari rombongan Raja Salman, bukan anggota keluarga kerajaan.

Membuncahnya penasaran atas perempuan kerajaan tidak bisa dilepaskan dari kuatnya Saudi Arabia sebagai patron Muslim di Indonesia. Ratusan juta orang membaca teks Arab dan menghadapkan wajahnya ke negara ini 5 kali sehari selama hidup. Ini memahat psikologi umat untuk merasa terus tersubordinasi dengan hal-hal berbau Arab. Saya masih ingat ada ustaz pesantren yang bilang: dunia ini hanya diisi dua ras; Arab dan non-Arab (‘ajam). Dan kita tahu siapa yang dianggap lebih unggul olehnya.

Perempuan Kerajaan Arab Laksana Imam Mahdi


Publik begitu menanti kilasan sosok mereka, terutama untuk menggenapi ekspektasi ideal muslimah dari patron mereka. Pandaikah mereka? Cantikkah mereka? Dan yang paling penting, bagaimana mereka akan membusanai tubuhnya; apakah mereka memakai cadar, niqab, chadour, atau jilbab?

Di Indonesia, jilbab dipercaya lebih dari sekadar busana. Ia identik dengan Islam itu sendiri, meskipun sebenarnya ia ada di banyak agama dan tradisi. Apalagi, seiring mengerasnya praktik intoleransi berbasis agama, jilbab pun ikut-ikutan dijadikan senjata merestriksi alias membatasi kemerdekaan perempuan dalam berbusana.

Di salah satu SMP Negeri Indragiri Hulu Riau, misalnya, dua siswi non-Muslim dipaksa kepala sekolahnya memakai jilbab. Sebaliknya, di Jombang, karyawati supermarket Borobudur l diminta mencopotnya saat kerja. Di Sumenep, rombongan turis luar negeri diusir takmir saat melakukan kunjungan di sebuah masjid gara-gara tidak berbusana Islami. Jilbab di Banyuwangi telah menjadi elemen krusial dalam pembangunan wisata pantai bernuansa syariah.

Pendek kata, hampir semua Muslim Indonesia mengimani jilbab sebagai kewajiban. Perintah atas ini diyakini bersifat definitif, qur’anik, dan tidak bisa dikurang-tambahi seinci pun.

Jika demikian halnya, kenapa banyak perempuan Kerajaan Saudi, seperti Hassa binti Salman, Ameera al-Taweel, Basmah binti Saud, Misha’al binti Fahd, Sahar binti Abdullah, Maha binti Mohammed, dan Jawaher al-Saud kerap tampil tanpa jilbab?

Menolak Mimpi Buruk Asyiria


Melalui pergumulan intelektual dan benturan pengalaman, sangat mungkin perempuan aristokrat Arab mengetahui historisitas muasal penutup kepala bagi perempuan. Sekitar 12 abad Sebelum Masehi, para perempuan di kawasan Asyiria Tengah–kini melingkupi wilayah Irak, Turki dan Syiria–dipaksa hidup dengan regulasi ketat menyangkut jilbab.

Dalam Assyrian Law (Driver & Miles 1935), jilbab adalah simbol untuk membedakan kelas sosial perempuan. Saat itu, semua perempuan diwajibkan menutup kepalanya ketika berada di ruang publik, kecuali beberapa tipe perempuan: budak perempuan, anak perempuan dari budak, pelacur (harlot), gundik (concubine), dan pelacur bakti (hideous) yang tidak menikah. Mereka terlarang memakai jilbab.

Meski demikian, hukum tersebut mengatur: khusus para gundik, mereka boleh memakai penutup kepala hanya jika keluar rumah bersama sang nyonya (mistress).  Bagi laki-laki yang menghendaki gundiknya bisa memakai penutup kepala, ia wajib mengundang 5-6 tetangganya dan mendeklarasikan, “Perempuan ini telah menjadi istriku, bukan gundik lagi.” Perempuan Assyria juga terlarang menempelkan tangannya ke lelaki bukan saudaranya. Jika ketahuan, ia terancam denda berat dan dicambuk.

Nasib perempuan “kelas rendah” itu semakin tersudut manakala hukum Asyiria mewajibkan laki-laki terlibat dalam proyek pengawasan regulasi tersebut.

Dinyatakan, setiap laki-laki harus menangkap para perempuan kelas rendah ini jika ngotot menutup kepalanya, menggelandangnya ke gerbang kerajaan bersama saksi-saksi untuk dihukum. Sebagai upahnya, si laki-laki berhak mengambil busana perempuan itu.

Dan, bagi laki-laki yang menolak menjalankan pengawasan, ia akan dihukum: tangannya diikat kawat ke belakang, telinganya ditindik paksa, dan wajib menjalani kerja paksa sebulan di lingkungan kerajaan, sesudah dicambuk 50 kali.

Terhormat Absurd


Apakah dengan memakai jilbab,  perempuan Assyria menjadi lebih terhormat, mendapatkan kesetaraan hak sebagaimana laki-laki? Saya meragukan itu.

Mereka yang berstatus istri tidak punya hak memilik harta bersama. Jika ia mengambil barang di rumahnya sendiri, ia terancam diiris kupingnya. Perempuan yang telah menerima maskawin secara otomatis ikut menanggung kejahatan berat maupun ringan yang dilakukan suaminya, termasuk utang-utangnya, meskipun perempuan tersebut tidak tinggal di rumah suaminya.

Seandainya ada lelaki mengajak pergi perempuan untuk urusan bisnis, padahal ia tidak tahu perempuan itu telah menikah, maka lelaki tersebut wajib memberikan sejumlah uang kepada suami perempuan itu, setelah terlebih dahulu minta maaf secara deklaratif.

Bagi lelaki yang memilih tinggal bersama janda selama dua tahun tanpa ikatan perkawinan, maka janda tersebut otomatis menjadi istrinya, dan tidak boleh pergi. Lelaki juga bisa menceraikannya sewaktu-waktu tanpa berkewajiban memberikan “pesangon”. Mantan istrinya itu pergi dengan tangan hampa.

Penutup kepala adalah simbol kontrol laki-laki atas perempuan. Perempuan Asyiria diberi dua pilihan yang sama-sama mengenaskan: memakai jilbab dengan iming-iming kehormatan semua, atau hidup terstigma sebagai budak atau pelacur yang sangat rentan diperlakukan tidak manusiawi, meski punya sedikit kemerdekaaan atas tubuhnya.

Konteks Islam


Perlu diketahui, terkategorikannya status sosial perempuan saat itu merupakan konsekuensi dari melimpahnya jumlah perempuan yang didatangkan dari negara taklukan Assyria. Mereka dijadikan budak, pekerja seks, atau gundik.

Konteks yang kurang lebih sama terjadi pada sejarah pengenaan jilbab dalam Islam. Sejarawan klasik Islam, Ibn Sa’d (w. 845 M) dalam magnum opusnya, Tabaqat al-Kubra, menceritakan ayat jilbab –QS. 33:59–diturunkan untuk merespons hal yang sangat spesifik. Yakni, untuk menghindari pelecehan seksual (ta’arrud) yang kerap dilakukan preman-preman Madinah terhadap budak perempuan dan pelacur. Untuk menyelamatkan keluarga Nabi dan perempuan Islam, mereka diminta memakai penutup kepala sebagai pembeda agar tidak diganggu.

Selain jilbab, ada istilah yang cukup terkenal dalam Islam, yakni hijab. Mona Siddiqui, profesor studi Islam Universitas Edinburg, dalam Encyclopaedia of the al-Quran, menyatakan “hijab” diakomodir al-Qur’an sebanyak 7 kali. Kata ini punya arti “pemisah”, setidaknya dalam arti dua hal.

Pertama, secara fisik/konkrit, misalnya tirai atau kelambu, seperti QS. 19:17. Dalam pewahyuan QS. 33:53,  kala itu Nabi Muhammad diceritakan tengah melangsungkan perkawinannya dengan Zaynab binti Jahsy. Meski telah larut, para undangan tidak kunjung pamit. Lalu turunlah ayat tersebut, yang intinya meminta para tamu berbicara di balik tirai pemisah ruang pribadi dan tempat pesta, jika mereka membutuhkan sesuatu.

Kedua, hijab dalam makna metaforik bernuansa negatif, misalnya terkait ketidakmampuan seseorang menerima ajaran Nabi Muhammad seperti kata al-Tabari (w. 923 M) saat membincang pewahyuan QS. 5:41. Orang yang hatinya kotor, dalam konteks asketisme (sufi),  kerap disebut “mahjub”, terhalangi dari pancaran ilahi.

Baik hijab maupun jilbab, dalam al-Qur’an, tidak membincang segregasi berbasis jenis kelamin. Entah bagaimana ceritanya, dua kata tersebut berevolusi sedemikian jauh dan berimplikasi serius terhadap perempuan Islam. Namun, kita patut mencurigai evolusi Islam misoginis mengalami konsolidasi setelah Nabi wafat.

Saat imperium Islam berkembang melalui ekspansi militer, terutama era Umayyah dan Abbasiyah, kutukan Assyria kembali berulang: perempuan non-Muslim dipasok dari negera taklukan untuk menjadi budak (seks). Sedangkan perempuan Islam dikandangkan sedemikian rupa di arena domestik agar tidak mengganggu laki-laki yang tengah “menentramkan” gejolak syahwati. Dan, boleh percaya atau tidak, lagi-lagi jilbab digunakan sebagai instrumen kontrol pejoratif untuk itu.

Oleh para agamawan kala itu, tubuh perempuan diyakini sebagai sumber kekacauan kosmos, yang oleh karenanya harus ditutupi. Intelegensia dan psikologi perempuan pun tak luput dari kurungan streotip. Ibn Qayyim al-Jawzi (w. 1350 M) secara meyakinkan telah membakukan potret “ideal” perempuan Islam dalam Kitab Ahkam al-Nisa. Dalam kitab tersebut, Jawzy memberikan aturan detail; dari sunat perempuan, urusan ranjang, hingga berbusana.

Saat marak kekerasan seksual terhadap perempuan tidak berjilbab di Sydney pada 2006 lalu, seorang tokoh Islam lokal kelahiran Mesir, Tajuddin al-Hilaly, mengumandangkan sikap mencengangkan di sebuah pengajian. Sebagaimana dilansir The Guardian, dia menyamakan perempuan tidak berjilbab layaknya daging tak terbungkus yang pantas dimakan kucing. “If you take out uncovered meat and place it outside on the street, or in the garden or in the park, or in the backyard without a cover, and the cats come and eat it … whose fault is it, the cats or the uncovered meat?” ujarnya.

Di sisi lain, kuatnya cengkeraman teks Islam atas perempuan membuat Jamal al-Banna menerbitkan buku The Cleansing of Bukhari and Muslim from Useless Hadiths (2008). Adik Hasan al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslimin, ini menuding ada  653 hadits problematis di dua kitab hadits kanonik Sunni tersebut, termasuk yang memandang rendah perempuan.

Jalan Terjal Sukayna


Keengganan para perempuan Kerajaan Saudi menutup kepala bisa dimaknai sebagai pekik perlawanan atas represivitas historik-stigmatif jilbab–sebagaimana yang menimpa perempuan ribuan tahun silam, bahkan hingga sekarang.

Mereka tampak ingin membalik sejarah kelam, setidaknya untuk diri mereka sendiri bahwa aristokrasi bermakna keberanian menolak kekangan patriarkal dalam berbusana. Muslimah tetap bisa terhormat, meski tidak berhijab.

Perjuangan mereka tentu tidak mudah, setidaknya bagi 4 perempuan keponakan Raja Salman, anak dari Raja Abdullah: princess Sahar (42), Jawaher (38), Maha (41), dan princess Hala (39).

Keempatnya, menurut The Washington Post, ditahan keluarga kerajaan di sebuah tempat di Jeddah selama lebih dari 8 tahun. Gara-gara, elite kerajaan merasa gerah karena mereka “tidak bisa diatur”, kerap memprotes kerajaan karena merepresi hak-hak perempuan. Ibu mereka, Alanoud al-Fayez, bahkan dikabarkan sempat meminta tolong Presiden Obama untuk mengintervensi penahanan ini.

Para perempuan aristokrat tersebut sejatinya bisa dikatakan tengah menapaktilasi jalan terjal moyang perempuan mereka, yang sejarahnya ditenggelamkan dunia patriarkhal.

Moyang itu bernama Sayyidah Sukayna bint Husayn bin Ali, cicit Nabi Muhammad. Perempuan ini tidak hanya pandai bernyanyi dan berpuisi, tapi juga jago berdebat. Sukayna dijuluki “Barza”, yakni perempuan pilih tanding yang dikenal memiliki intelektualitas tinggi dan bisa disowani laki-laki untuk kepentingan konsultasi (Mernissi, 1992).

Yang menarik, seorang barza dikenal tidak mengenakan penutup kepala, bahkan saat ke luar rumah. Wajahnya tidak disembunyikan, kepalanya pun ogah ditundukkan–sebagaimana halnya perempuan aristokrat di lingkungan Kerajaan Saudi.

So, bagaimana dengan jilbab Anda sendiri?

@aan anshori


Begini Cara Djan Faridz Jelaskan Kalau Ahok Pro Islam


DUNIA HAWA - Dulu Batman pernah diskusi dengan beberapa orang teman, membahas bagaimana memenangkan Ahok. Saya bilang bahwa sulit memenangkan Ahok karena kubu lawan main langsung kebawah dan tidak melalui media sosial. Banyak warga Jakarta yang minim akses informasi, mereka yang tidak memiliki banyak kuota dan kesempatan untuk mengakses internet. Akhirnya mereka menerima informasi dari spanduk-spanduk provokatif yang dipasang di mesjid-mesjid.

Belum lagi dari pengajian ke pengajian, ditambah setiap Jumatan tema khotbahnya adalah haram pemimpin kafir. Sementara pendukung Ahok membalas spanduk-spanduk tersebut melalui online, mengomentari dan meng-counter lewat online…Batman bawa golok, ya gak nyambung dong kayak pantun ini yang gak nyambung. Satunya dipasang offline, lalu dibalas online….hahah lucu bener.

Nah alhamdulillah akhirnya ada Djan Faridz yang berencana memasang spanduk-spanduk di rumah-rumah pendukung Ahok. Isinya bukan mengajak memilih Ahok tapi memberikan informasi bahwa Ahok itu Pro Islam. Langkah yang harus diapresiasi karena mau menerima masukan dari Om Batman yang ganteng ini (ge’er abis).

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Djan Faridz meminta dukungan penuh dari warga Jakarta yang mendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok-Djarot Saiful Hidayat. Sebagai salah satu bentuk dukungan itu, Djan meminta warga memasang spanduk yang berisi program khusus.

Adapun isi spanduk itu perihal kesepakatan Ahok-Djarot dengan umat Islam. “Spanduk jelaskan Ahok pro Islam, gak menyatakan pilih Ahok jadi gubernur. Ini menceritakan kesepakatan Ahok-Djarot kepada umat Islam,” kata Djan saat memberi sambutan di acara pembukaan relawan Badja Bhineka Tunggal Ika, di Jalan Talang, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 Maret 2017.

Dalam spanduk itu berjudul 7 Program Kerja untuk Umat Islam Jakarta. Dalam spanduk itu dituliskan isi dari tujuh program tersebut. Disebutkan pula bahwa kesepakatan itu ditandatangani  Ahok dan Djarot pada 17 Oktober 2016. Di bagian bawah, terdapat tanda tangan dan foto Ahok-Djarot dengan kemeja kotak merah mereka.

Langkah yang perlu kita apresiasi dengan baik, membagikan informasi melalui spanduk-spanduk agar mereka yang minim akses informasi terutama dari internet dapat mengetahui program kerja Ahok terutama untuk umat Islam. Spanduk-spanduk meskipun konvensional namun tetap efektif, buktinya efek spanduk penolakan jenazah begitu kuat terasa saat kejadian penolakan jenazah alm. Hindun. Spanduk ini menurut saya ibarat meme-meme yang berseliweran di media sosial. Memang jangkauan media sosial lebih luas tapi ini Pilkada daerah sehingga tidak perlu jangkauan terlalu luas, cukup daerah Jakarta saja sehingga spanduk cukup efektif. Terutama untuk menjangkau mereka yang memiliki keterbatasan akses informasi melalui internet.

Djan menargetkan spanduk itu bisa tersebar di 2.500 rumah para pendukung Ahok-Djarot. Di tiap rumah, ia meminta spanduk dipasang satu buah. “Pasang di rumah ibu untuk kepentingan ibu-ibu sendiri. Mudah-mudahan kalau ada tetangga lewat, bisa lihat,” kata Djan pada massa pendukung yang hadir di sana.

Ia pun meminta agar spanduk tak dipasang di pagar karena akan menyalahi aturan dari Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta. Djan menilai spanduk seperti ini lebih dapat diterima ketimbang spanduk-spanduk berbau SARA yang beredar di masyarakat.

Djan menegaskan hal ini adalah bentuk komitmen pasangan inkumbem itu dalam mendukung umat Islam di Jakarta. “Marbot, gaji bulanan. Ini Ahok Cina mau janji marbot dan lain-lain dapat gaji bulanan. Pasti bawa manfaat untuk umat Islam,” kata Djan.

Dalam acara itu, Djarot ikut hadir bersama istrinya Heppy Farida. Selain itu, ada Gubernur Nusa Tenggara Timur sekaligus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Frans Lebu Raya.

2.500 rumah pendukung Ahok-Djarot, ini jumlah yang tidak main-main, jumlah yang cukup banyak. Isi spanduk tersebut diantaranya gaji bulanan untuk para marbot, dan sudah tentu ini bermanfaat bagi umat Islam.

“Hok gue gak bisa kawin sama lo, ya udah deh bikin kontrak politik menyatakan dukung umat Islam. Marbot, gaji bulanan, ini ahok China mau janji marbot dll gaji bulanan. Pasti bawa manfaat untuk umat Islam,” kata Djan.

Dia juga mengharapkan agar masyarakat menurunkan spanduk yang berbau SARA. “Ingat kita ini sedang menghadapi pilkada yang harus adil dan jujur,” ujar dia.

Saya yakin kalau dengan cara seperti ini pasti kubu sebelah kelabakan karena mereka kerap menyebarkan informasi melalui spanduk-spanduk, brosur dan lain sebagainya. Sehingga kita bisa berharap jika ini terlaksana maka elektabilitas Ahok bisa semakin meningkat dan bisa memenangkan putaran kedua ini.

@gusti yusuf


Politik Jenazah Gagal Total! Waktunya Kalian Taubat


DUNIA HAWA - Mau ketawa, kesel. Mau marah, lucu. Begitulah perasaan yang saya rasakan membaca berita mengenai beberapa spanduk penolakan pengurusan jenazah “pendukung/pemilih penista agama” oleh beberapa masjid yang dimonopoli secara egois dan menjijikkan oleh segelintir orang yang merasa masjid itu milik mereka padahal masjid adalah hasil patungan ummat atau bantuan atau wakaf dan bukan hanya milik orang-orang yang kebetulan aktif di masjid itu apalagi milik orang yang jelas otak busuknya condong ke salah satu paslon pilgub dan membawa-bawa Tuhan untuk berpihak pada mereka dalam kampanyenya. padahal pilgub maupun pilpres bahkan perang dunia sekalipun tidak berpengaruh sebutir debu pun terhadap keagungan Tuhan.

Saya sengaja menahan diri untuk tidak menulis tentang ini saat sedang panas panasnya karena pasti isinya bakal penuh caci maki karena saya sungguh sungguh merasa jijik.

Entah binatang mana yang punya ide seperti itu, ayat Al-Qur’an dihina habis habisan oleh mereka. Asal comot ayat, asal comot terjemahan langsung dipakai untuk memvonis orang lain munafik, biadab. Ayat Qur’an yang diturunkan oleh Tuhan dengan makna mendalam sebagai petunjuk bagi ummat manusia digunakan seolah olah Tuhan ada di pihak mereka dalam kampanye pilgub. hey kalelawar! Gila sekali kalian menghina Tuhan! Kalau tuhan mau, jangankan cuma mengalahkan Ahok, menghancurkan alam semesta juga mudah bagiNya! Taubatlah kalian!

Lanjut lagi kegilaan mereka yang dimotori oleh orang-orang bertampang simpatisan salah satu partai politik dengan penyebaran spanduk teror.

Spanduk, ya spanduk mereka pasang dimana mana dengan LAGI-LAGI mencatut ayat Al-Qur’an seenak JIDAT mereka. Mereka samakan Abdullah bin Ubay yang menjadi musuh dalam selimut terhadap Rasulullah dengan orang yang hanya ingin wilayahnya jadi lebih baik dan orang-orang yang memahami ayat Al-Qur’an dari sisi yang berbeda dari mereka. Sama seperti si Gymnastiar yang menyama-nyamakan Ahok dengan Fir’aun, ini penghinaan, Allah membuat perumpamaan tidak akan pernah sembarangan, Allah sampai menurunkan ayat untuk membahas seseorang terntunya bukan tanpa pertimbangan. Biadab sekali orang yang seenaknya menunjuk orang orang lain “wah ini nih yang di maksud oleh Allah”. Gila kalian, taubatlah kalian.

Kalian asal comot ayat untuk memvonis orang, kalian asal comot ayat lagi untuk menghukum orang yang kalian vonis demi pilgub, bayangkan ayat-ayat Qur’an kalian gunakan sesuka hati tanpa kajian mendalam, tanpa pedulikan ilmu tafsir DEMI PILGUB!

Sudahlah jangan kegeeran Tuhan berada di pihak kalian, taubatlah kalian.

Yang semakin membuat menjijikkan lagi, mereka ternyata belum puas padahal sudah menghina Tuhan sebegitunya. mereka tunjukkan perilaku-perilaku bejad yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Tuhan. mereka main kasar, mereka main intimidasi, mereka sebar fitnah dan berita bohong mereka menebar ketakutan dimana-mana. Puncaknya, ketika ada orang yang berduka karena anggota keluarganya meninggal, yang mereka fikirkan adalah keluarga tersebut harus nyoblos pasangan jagoan mereka di pilgub, sama sekali tidak punya hati dan tidak menggambarkan orang yang beragama. Taubatlah kalian para penista agama.

Jangan kepedean karena ayat-ayat yang kalian kutip sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala daerah. Kalau kalian diajak bicara konteks pasti kalian akan alergi karena sebenarnya kalian tidak faham makna ayat ayat Tuhan yang telah kalian pergunakan dengan seenaknya itu.

Auliya yg artinya ada banyak kalian paksakan semua untuk mengikuti nafsu kalian padahal bukan tentang pemilihan pemimpin lah yang Tuhan bicarakan di ayat itu. Auliya artinya juga bisa sekutu, kenapa kalian tidak ribut paslon oke oce bersekutu dengan HT? Mendingan kalian taubat saja sebelum terlambat.

Orang orang yang kalian ancam tidak akan kalian sholati bisa saja jasad duniawinya terbengkalai karena ulah busuk kalian tapi mendapatkan tempat tinggi disisi Allah nantinya. Sedangkan kalian yang memakai ayat Allah sesuka hati bisa saja akan membusuk di neraka, dan jika sudah ketetapan Allah seperti itu, satu juta orang pun yang menyolatkan jenazah kalian, tidak sedikitpun akan menyelamatkan kalian. Jadi buruan taubat deh.

Sekarang jadi lucu, karena begitu ada kejadian nenek Hindun semua jadi berkelit, ngeles ngeles sini karena ketakutan. Loh, kenapa mesti takut? Harusnya kalian bangga dong karena konsisten. Kalian merasa takut karena di hati kecil kalian sadar bahwa tindakan kalian salah. Syukur lah, itu tanda kalian memang berada di jalan yang salah.

Ditengah semua itu untunglah ada ormas-ormas yang teguh dan teduh seperti NU dan Banser dan beberapa Masjid yang berani menempelkan spanduk “siap menyolatkan dan mengurus jenazah Muslim manapun” sungguh tindakan yang membuat saya bangga sebagai ummat Islam.

Untuk para pendekar spanduk “menolak menyolatkan” taubatlah kalian, yang kalian lakukan hanya merusak citra Islam bahkan di mata sesama muslim, kalian menunjukkan seolah-olah Islam itu kejam dan suka memaksakan kehendak. Taubatlah kalian sebelum kalian disiksa karena mempermainkan agama dan ayat Allah, karena walaupun jutaan orang menyolatkan jenazah kalian, itu sama sekali tidak akan merubah ketetapanNya.

Dari sudut gerbang utama negara ini saya bercurah pendapat…

@muhammad sabri


“Dejavu” Kotak-Kotak, Apakah Pertanda Kekalahan Anies-Sandi?


DUNIA HAWA - Dulu, saat Pilkada 2012, tepat pada putaran kedua, relawan Fauzi Bowo pernah membuat sebuah “slogan” dalam spanduk-spanduk mereka yang bertuliskan “Warga Jakarta Jangan Terkotak-kotak”. Slogan ini tentunya menyindir pasangan Jokowi-Ahok yang berseragamkan kemeja kotak-kotak. Selain menyindir, semangat slogan ini tertuju pada upaya penyatuan seluruh elemen masyarakat di DKI Jakarta.

Sayangnya, Fauzi Bowo harus mengakui keunggulan Jokowi-Ahok. Petahana akhirnya tumbang, digantikan pemain baru yang ternyata jauh lebih tangguh dan populer dibanding Petahana yang sudah malang melintang di Jakarta. Sebagai orang Betawi asli, kekalahan ini sungguh menyesakkan bagi Fauzi Bowo.

Lima tahun setelah kejadian tersebut. Tepat pada putaran kedua. Ada seorang calon gubernur yang mempunyai upaya serupa dengan apa yang telah Fauzi Bowo tempuh dulu. Ia adalah Anies Baswedan. Ia pernah mengatakan, “Gubernur DKI harusnya bisa mempersatukan. Tidak boleh malah mengotak-ngotakkan, tidak boleh malah memancing perpecahan.”

Spirit yang dihembuskan Fauzi Bowo dulu sama persis dengan yang Anies Baswedan hembuskan kini. Mengatasnamakan “persatuan” dengan menghajar upaya “mengotak-ngotakkan” masyarakat di Jakarta.

Adanya kata-kata “mengotak-ngotakan” itu artinya lawan politik mereka secara tidak langsung telah dituduh mengotak-ngotakkan warga Jakarta. Dulu Jokowi-Ahok yang seakan-akan dituduh “kotak-kotak”, kini Ahok-Djarot sebagai tertuduhnya.

Saya merasa ini seperti “dejavu” politik. Apakah kekalahan Fauzi Bowo akan terulang kembali melalui perantaraan Anies Baswedan?

Memang terasa magis. Saya pun mencoba menghindarkan diri dari konsep-konsep mistis dalam politik. Sebab, faktor penentu kemenangan seorang calon gubernur dan wakil gubernur tidak bisa ditentukan dengan tanda-tanda yang rentan dinilai “cocokologi” tersebut.

Tapi, menarik untuk ditelusuri tagline yang digunakan Fauzi Bowo untuk menghajar Jokowi-Ahok berupa “kotak-kotak”. Apa benar Fauzi Bowo hendak menyatukan warga Jakarta? Dan apa benar Jokowi-Ahok mengotak-ngotakkan warga Jakarta?

Kita ketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan Fauzi Bowo (Foke) dalam putaran kedua Pilkada DKI 2012 silam adalah masifnya isu SARA untuk menyerang Ahok yang non-muslim dan China. Sementara Jokowi adalah Jawa. Meski Foke-Nara tidak menghembuskan kata-kata yang berbau SARA, tapi pendukung-pendukungnya yang ramai-ramai mengeroyok Ahok dengan isu SARA.

Publik akan berasumsi bahwa pasti kubu Foke-Nara yang melancarkan kampanye hitam berbau SARA dalam putaran kedua waktu itu. Sebab, cuma tersisa dua kontestan. Dan kontestan yang diserang sudah pasti Jokowi-Ahok. Dan pihak yang mau tidak mau dituduh bertanggung jawab adalah Foke-Nara.

Ternyata, isu SARA justru malah menguntungkan kubu Jokowi-Ahok. Warga Jakarta muak dengan upaya “mengotak-ngotakan” yang dilakukan oleh kubu Foke-Nara. Warga Jakarta yang dapat dibilang heterogen, tapi dalam pesta demokrasi di Ibukota ini digunakan isu ras dan agama untuk menjegal lawan politiknya, pada akhirnya hal ini menjadi bumerang bagi kubu Foke-Nara.

Jokowi-Ahok mendapat simpati yang luar biasa dari para pendukungnya. Meski partai-partai lari ke Foke-Nara, tetap saja tidak dapat membendung suara Jokowi-Ahok yang melesat tanpa hambatan, walaupun dihajar kiri dan kanan.

Jelas bukan, pihak mana yang sebenarnya mengotak-ngotakkan warga Jakarta? Mengapa harus menghembuskan isu SARA? Mengapa harus menghembuskan sentimen Betawi-non Betawi? Atau muslim-non muslim? Bukankah ini upaya mengotak-ngotakkan warga Jakarta?

Lalu kita lihat sekarang. Kubu mana yang terlihat bermain isu SARA? Tentu para pendukungnya Anies-Sandi. Mulai dari politisasi Al-Maidah 51 untuk menjegal Ahok sebagai pemimpin. Lalu politisasi At-Taubah 84 untuk menakut-nakuti para pendukung Ahok dengan ancaman mayatnya tidak akan dishalatkan kalau meninggal.

Belum lagi khutbah tiap hari Jumat yang itu-itu saja pembahasannya. Haram memilih orang kafir sebagai pemimpin. Mayatnya tidak akan dishalatkan. Berputar disitu terus. Dan akan berhenti jika Pilkada telah selesai.

Apalagi kita melihat tidak tegasnya Anies melihat isu “penolakan mayat para pendukung Ahok” yang secara hukum telah melanggar aturan Pilkada. Anies justru malah mengomporinya dengan kata-kata, itu adalah respon balik warga karena adanya ancaman tentang pencabutan KJP.

Belum lagi kedekatan Anies-Sandi dengan ormas-ormas radikal dimana pendirinya menjadi tersangka kasus penghinaan Pancasila, kita sudah tahu bakal seperti apa kota Jakarta nantinya. Belum lagi munculnya tagline “Jakarta Bersyari’ah” yang sesama pendukung Anies-Sandi bertengkar tentangnya.

Jadi sebenarnya, siapakah yang mengotak-ngotakkan warga Jakarta? Kalau para pendukungnya Anies-Sandi cuma mampu memainkan isu SARA, apa yang akan dibangun nantinya untuk Ibukota?

Apakah benar ini semua ini merupakan “dejavu” Pilkada DKI, yang artinya Anies-Sandi yang akan kalah? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

@muhammad nurdin


Setelah Dana RW Hingga 3 Milyar, Anies Berjanji SEMUA Ormas Mendapatkan APBD


DUNIA HAWA - Berjanji itu sangat gampang. Apalagi kalau sedang pilkada, janji ditebar bagai kacang goreng dimana-mana. Janji surga memang indah, tapi realisasinya tidak masuk akal. Perhatikan di Pilkada Jakarta, siapa yang paling sering berjanji surga.

Anies kembali berjanji yang sangat termasuk politik uang. Bila terpilih Anies akan menjanjikan semua ormas mendapatkan uang dana dari APBD. Ya, APBD. Uang rakyat akan disalurkan ke ormas-ormas. SEMUA ormas akan mendapat kucuran dana rakyat.

Saya ulangi lagi, SEMUA ormas. Termasuk FPI dan sejenisnya juga mendapatkan dana. Setelah membuat demo yang menyusahkan polisi sekarang mereka mendapatkan janji duit langsung dari negara. Bagi yang ingin punya duit tapi males kerja silahkan saja buat ormas. Ormasnya terserah, misalkan ormas yang berkecimpung di bidang pengajaran ilmu bumi datar. Ormas bumi datar tetap dapat duit, toh janjinya SEMUA ormas.

Money Politic, Senyum Soekarno (Uang 100 rb) Selalu Terindah


Cagub Anies Baswedan mengatakan Muslimat NU Jakut selama ini tidak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah daerah. Hal tersebut lantaran ormas khusus perempuan itu tidak ada di tingkat kota.

“Jadi mereka mengeluhkan tentang dukungan organisasi yang menurut mereka tidak cukup. Jadi bagaimana ormas Muslimat NU, misalnya itu, tidak cukup dapat dukungan. Dan karena Provinsi Jakarta ini khusus, maka yang tidak setara level kota tidak mendapat (bantuan),” kata Anies.

Memangnya apa yang salah dengan hal itu pak Anies? Ormas tidak berhak mendapatkan dana APBD. Oleh karena itulah dana ke ormas disebut sebagai HIBAH. Sumbangan, dana yang diberikan karena ormas tersebut dianggap bermanfaat. Bukan karena ormas harus didanai oleh negara. Sekarang malahan Anies dengan koplaknya berjanji SEMUA ormas akan mendapatkan uang rakyat.

Mantan Mendikbud itu menyatakan akan memastikan semua ormas di Jakarta mendapatkan dukungan dari Pemda. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun Anies belum memiliki taksiran berapa anggaran yang dibutuhkan untuk penyaluran bantuan tersebut.

Ini sudah jelas politik uang. Bila saya terpilih maka semua ormas akan mendapatkan uang APBD. Bukankah ini sudah menjanjikan uang? Anies juga pernah menjanjikan setiap RW bisa mendapatkan dana hingga 3 Milyar. Uangnya ya jelad dari APBD. Dibanding memperbaiki jalan dan sekolah Anies lebih memilih bagi-bagi rejeki.

“Komitmen kita adalah kita ingin memastikan semua ormas di Jakarta dapat dukungan dari Pemda dan dananya ada. Begitu ada keberpihakan, dananya bisa disalurkan kepada mereka,” ujarnya.

Perhatikan kata-katanya. Begitu ada keberpihakan, dananya bisa disalurkan kepada mereka. Wah, Anies secara terang-terangan menyatakan bila ingin duit pilihlah saya. Tidak mungkin keberpihakan itu ke Ahok. Ini jelas agar ormas-ormas di Jakarta semakin agresif memenangkan Anies. Kalau mayat sudah sulit dipolitisi, cari lagi yang lain.

Kalau perlu hantu dan sejenisnya pun dipolitisi. Misalkan ada testimoni dari pocong, kalau pilih Ahok ‘hidupnya’ sebagai makhluk halus jadi susah. Atau testimoni dari kuntilanak, aplikasi Qlue menganggu mereka saat beraktifitas. Saat ada penampakan langsung dilaporkan ke Ketua RT. Hidup mereka menjadi tidak tentram

Siapa yang rela uang pajak mereka digunakan untuk membiayai ormas ga jelas? Ada berapa ratus ormas di Jakarta ini? Kalau ada 200 ormas saja dan setiap ormas mendapatkan dana 1 Milyar per tahun, itu sudah uang rakyat 200 Milyar per tahun. Anda mau uang anda untuk membiayai FPI dan sejenisnya?

Enak sekali Anies ini. Memangnya Jakarta itu punya siapa? Kenapa berjanji memakai dana APBD seenaknya sendiri? Itu bukan duit Anda lho. Itu semua uang rakyat, dibayar agar kotanya semakin baik. Bukan membiayai ormas yang tidak jelas tujuannya. Tidak semua ormas di Jakarta itu baik lho.

Entah janji apalagi yang akan disampaikan oleh Anies. RW dijanjikan duit, Ormas dijanjikan duit. Bentar lagi setiap warga Jakarta akan dijanjikan duit fresh langsung dari APBD. Syaratnya ya Anies terpilih jadi Gubernur. Melihat janji Anies ini seperti merasa logika dunia sudah dihilangkan. Janjinya bikin tepok jidat!

Salam MAnies

@evan kurniawan