Wednesday, March 15, 2017

Anies dan Bahaya Negara Islam


DUNIA HAWA - Tahukah Anda kalau pendukung Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta tahun ini ialah para pejuang Negara Islam? Inilah yang patut diketahui, agar kita tak silau dengan manis mulut tapi licik pikiran.

Ya, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno didukung oleh banyak kekuatan. Selain Gerindra, dan belakangan, Cendana; mereka juga didukung oleh kekuatan politik Islamis, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Front Pembela Islam (FPI). Yang belakangan disebut ini telah mengalihkan dukungan, dari Agus Harimurti ke Anies. Alasannya satu: mereka calon Muslim. Kita akan pahami satu-persatu para pendukung Negara Islam ini.

Pertama, PKS yang merupakan partai yang dirikan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Anda pasti pernah dengar, IM adalah gerakan Islam radikal yang didirikan di Mesir oleh Hassan al-Banna dan dikeraskan ideologinya oleh Sayyid Quthb. Cita-cita mereka mendirikan Negara Islam Nasional (daulah Islamiyyah) di negeri-negeri Muslim, melalui prosedur demokrasi. Maka di berbagai negara, IM mendirikan partai dan berhasil menduduki parlemen.

Di Indonesia, PKS adalah partai IM yang secara perlahan ingin mengislamkan NKRI. Tentu kita sangsi, apakah tujuan mereka akan tercapai, mengingat tabiat sebagian elitnya yang korup. Memang PKS juga telah melunakkan program politiknya, dari ingin menghidupkan Piagam Jakarta, menjadi Piagam Madinah yang disamakan dengan Pancasila.

Tapi ingat, ini hanya strategi saja agar mereka tetap bisa meraih suara rakyat yang lebih luas. Kalau punya kesempatan, partai IM ini pasti akan mewujudkan cita-cita ideologisnya. Kemauan Anies, sebagai Rektor Paramadina besutan cendekiawan Muslim progresif, Nurcholish Madjid (Cak Nur) didukung PKS, menyiratkan betapa oportunis tokoh ini. Sebuah oportunisme yang menegasikan nilai-nilai luhur bangsa, karena ia membuka jalan bagi berkuasanya IM di Indonesia.

Kedua, FPI. Memang platform organisasinya Pancasila dan NKRI. Tapi ingat, mereka, dan terutama Habib Rizieq telah lama mengidamkan “NKRI Bersyariah”. Ini bisa dibaca di disertasinya di Universitas Malaya yang berjudul, Pengaruh Pancasila dalam Penerapan Syariah Islam Di Indonesia (1996).

Yang dimaksud “NKRI Bersyariah” ialah diterapkannya hukum Islam di Indonesia, meskipun memang bentuk negaranya tidak perlu Negara Islam. Akan tetapi, sekali lagi, ini hanya akal-akalan demi islamisasi NKRI, sebab yang disebut Negara Islam ialah negara yang konstitusinya berbasis syariah.

Maka itulah, Rizieq kemudian menghina Pancasila sebagai “pantatsila”, dan menyebut Pancasila 1 Juni ala Soekarno, telah menempatkan sila ketuhanan di pantat (sila kelima). Alasannya, karena ia lebih mengidealkan Piagam Jakarta, di mana terdapat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah bagi pemeluknya” di sila ketuhanan. Tujuannya? Tentu “NKRI Bersyariah”.

Seandainya PKS menguasai parlemen dan tokohnya menjadi presiden, maka Rizieq pasti menaikkan agenda penerapan syariah ini, kepada pendirikan Negara Islam, karena syariah bisa total diterapkan, hanya di dalam bangunan Negara Islam.

Sekali lagi, kemauan Anies berkolaborasi dengan FPI menyiratkan ketiadaan komitmennya kepada NKRI, negara nasional dan Bhinneka Tunggal Ika, karena Ormas ini terkenal dengan sikap intolerannya kepada non-Muslim. Apalagi dengar-dengar, Anies telah sepakat akan menerapkan qanun jinayat, seandainya ia menang menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Anda perlu tahu, qanun jinayat adalah UU Pidana Islam berisi hukuman potong tangan, cambuk dan rajam, yang banyak dikritisi karena sifatnya yang anti-HAM. Apakah Anda mau, hukum seperti ini ditegakkan di DKI? Keistimewaan DKI bukan terletak di penerapan syariah Islam, tetapi sifatnya sebagai miniatur bangsa yang majemuk. Penarapan syariah lebih merupakan keistimewaan Nangroe Aceh Darussalam yang hingga kini masih kontroversial.

Ketiga, para pendukung khilafah Islamiyyah. Gerakan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentu akan mengarahkan anggotanya untuk lebih memilih Anies, daripada Ahok. Ingat, isu penistaan agama oleh Ahok, telah menjadi perjuangan bersama Islamisme yang menyatukan berbagai gerakan Islam ke dalam satu komando. Tidak menutup kemungkinan, para pendukung khilafah ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Anies.

Isu penistaan agama yang berkembang menuju putaran satu Pilkada Jakarta kemarin, akan berganti dengan isu “jangan memilih pemimpin non-Muslim” pada putaran kedua. Kewajiban memilih pemimpin Muslim ini merupakan ideal politik Islam, yang menjadi syarat utama bagi pendirian Negara Islam. Ini merupakan anomali di sebuah negara-bangsa, karena UUD 1945 tidak menjadikan kemusliman sebagai syarat menjadi pemimpin di negeri ini.

Dengan demikian, jika Anda memilih Anies, Anda sama saja memberi tiket bagi para pejuang Negara Islam untuk mewujudkan cita-citanya. Sebab, Pilkada Jakarta akan menjadi test case dan model bagi keberhasilan mereka dalam kancah politik Indonesia ke depan.

Bisa jadi model ini akan mereka usung di Pilpres 2019, misalnya dengan menyudutkan Jokowi (jika beliau maju lagi sebagai Capres), sebagai orang yang melindungi “si penista agama”. Bisa saja, jika Anies menang di Pilgub DKI, ia akan diangkat, entah menjadi capres atau cawapres, dengan irama kampanye sektarian yang menegasikan non-Muslim dan kebhinekaan.

Tentu kita perlu berpikir sehat, agar republik ini tetap berdiri di atas pilar-pilar bangsa yang menjunjung tinggi keragaman sebagai Sunnatullah. Saya sendiri bukan anti-Negara Islam. Sebagai Muslim, saya tentu mencintai Islam termasuk nilai-nilai politiknya. Tetapi nilai politik Islam yang saya pahami bukanlah nilai pemecah belah; nilai egoistik yang tidak melihat konteks hidup bersama.

Apalagi semua isu politik Islam yang berlalu-lalang di Pilkada ini, tidak murni demi kepentingan Islam. Melainkan semata demi kepentingan oligarki yang bermain di belakangannya. Mari berpolitik secara cerdas!


@fazlurrahman


Politik Pencitraan Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Anies Baswedan, calon Gubernur DKI Jakarta 2017, tak lagi memiliki integritas dan kredibilitas sebagai seorang pemimpin. Ia kerap melakukan pencitraan.

Mereka yang mengaguminya sebagai pendidik muda cerdas dan penuh wibawa tak lagi mengakuinya. Kini, sosok pribadi yang dikenal handal beretorika ini mulai terkuak sikap pencitraannya.

Betapa tidak, apa yang kerap disampaikan Anies acapkali tak selaras dengan kenyataan. Apalagi menjelang Pilkada DKI putaran kedua, ia rela melakukan segala cara demi ambisi politiknya menjadi gubernur DKI Jakarta.

Tak punya prestasi


Paras yang bagus dan senyum yang dimilikinya memang menjadi nilai tambah untuk membangun image dirinya. Apalagi ia pandai menulis, beretorika, memotivasi, dan sebagainya. Namun, tak sedikitpun prestasi diraih selama menjadi pejabat publik, termasuk saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan.

Ia tidak mampu mewujudkan kata-kata indahnya menjadi kenyataan. Ia tidak mampu membersihkan kementeriannya menjadi institusi yang bersih dari korupsi dan menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien. Ia tak mampu mendukung dan melayani kepentingan para guru agar fokus mengabdi kepada pendidikan.

Padahal seorang pemimpin harus selaras ucapan dengan tindakannya. Jika tidak, maka publik akan meninggalkannya karena pencitraannya yang kerap menghalalkan segala cara untuk kepentingan politik jangka pendek.  

Anies memang sosok yang terlihat santun, lemah lembut, kalem dan berwawasan luas, ditambah paras wajah dan pembawaanya yang mendukung. Namun kesantunan dan kehalusan kata-kata Anies menyimpan banyak racun berbisa yang mematikan. Berbagai argumentasinya saat debat Pilkada putaran pertama banyak mengandung hoaks.

Kita bisa lihat dengan jelas saat kasus pengusiran Djarot dan teriakan kafir saat menghadiri Haul Soeharto di Masjid At-Tin. Dengan santun Anies mengatakan: “jika kita menghormati orang lain, pasti akan dihormati juga. Karena itu jangan pernah melecehkan dan merendahkan orang lain. Pemimpin harus menghargai rakyat, Insha Allah rakyat akan menghargai pemimpinnya.”

Tak hanya itu, Anies juga dikenal sebagai sosok yang oportunis. Faktanya, saat Jokowi maju sebagai calon Presiden RI 2014-2019, Anies  kecewa dan mengecam pencalonannya. Menurut Anies, tindakan Jokowi ketika itu hanya pencitraan semata. Anies menuduh blusukan yang kerap dilakukan Presiden Jokowi adalah politik pencitraan untuk mengambil hati publik.

Pernyataannya berbalik setelah Anies kalah dalam konvensi Partai Demokrat. Ia tanpa malu malah beralih mendukung Jokowi sebagai calon Presiden. Sikapnya pun berubah. Ia mati-matian membela Jokowi dengan memujinya sebagai sosok inspiratif dalam setiap aksi-aksi nyata turun ke bawah untuk melihat langsung problem yang dialami masyarakat.

Sikap Anies ini juga banyak yang menghujat, karena dianggap penjilat dan mencerminkan sebagai sosok yang oportunis demi ambisi politik pribadinya. Namun dengan santai, Anies menepis semua anggapan tersebut. Ia secara terang-terangan menyerang Prabowo secara eksplisit dan membela Jokowi.

Anies menganggap Prabowo sebagai penjiplak dan melakukan kampanye tidak sehat. Bahkan ia menuduh Prabowo sebagai calon presiden yang tidak mampu menepati janji-janjinya dan pelanggar HAM yang harus diproses hukum.

Saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, ia direshuffle karena melencng dari visi Presiden. Ia tidak bisa merealisasikan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga tidak terdistribusikan secara merata. Padahal ini adalah salah satu program andalan Presiden Jokowi.

Anies juga melakukan kesalahan fatal dengan salah hitung anggaran tunjangan profesi guru hingga kelebihan Rp 23,3 trilliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.

Namun setelah ia dipecat sebagai Menteri Pendidikan, malah ia tanpa malu memuji Prabowo seperti apa yang telah ia lakukan terhadap Jokowi. Anies rela menjadi Bunglon dan menjilat ludahnya sendiri.

Tidak sampai di situ, setelah bergabung dengan kubu Prabowo agar bisa menang menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies kembali menjilat ludahnya dengan mendekati FPI. Ia menyambangi FPI yang dulu ia anggap sebagai kelompok ekstremis yang kerap membuat keributan dan kegaduhan di republik ini.

Dengan retorika manisnya, Anies berhasil merayu FPI sehingga tak heran jika FPI bahu membahu membantu Anies memenangkan Pilkada DKI.

Publik dewasa


Publik paham betul bahwa politik pencitraan yang dilakukan Anies. Publik paham bahwa sudah menjadi kebiasaan umum calon kepala daerah mendadak islami menjelang pemilu. Seperti memakai kopiah, berpakaian islami, sampai kunjungan ke berbagai majelis taklim. Publik tidak akan memilih pemimpin yang hanya bisa menggunakan agama sebagai alat politik.

Publik tidak bisa dibohongi dengan politik pencitraan. Meskipun politik semacam ini menyebar luas dengan segala pencitraannya, namun publik tetap berpegung teguh pada rasionalitas dan rekam jejak (treq record) yang telah dilakukan oleh masing-masing paslon.

Publik sudah sangat dewasa. Model kampanye sehat dengan proses dialog, adu visi-misi dan strategi yang kreatif merupakan prioritas utama dalam menentukan pilihannya. Sedangkan politik pencitraan Anies dengan cara berpeci, beretorika penuh janji dan sebagainya sama sekali tidak akan laku untuk warga Ibu Kota.

Kini, Anies Baswedan sudah berubah. Para pengagum yang dulu memuja dan terpesona dengan gerakan Indonesia mengajarnya, perlahan mulai meninggalkannya. Lalu pantaskan ia memimpin Ibu Kota ?


@ibnu said



“Tamparan” Keras Ketika Kyai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa…


DUNIA HAWA - Bermaksud melakukan kunjungan politik berharap untuk dengan mulus mendapatkan klaim dukungan ataupun seakan niat berkomunikasi menunjukkan kerangka kesantunan “berbasa-basi”dilakukan pasangan calon nomor urut tiga (Anies-Sandi).

Mendapatkan pesan yang jelas dan tegas dari Kyai Said Aqil Siradj bahwa NU  tidak boleh berpihak dan juga tidak boleh ikut dalam kegiatan kampanye cagub-cawagub.

Kedatangan pasangan calon yang jelas diartikan untuk kepentingan pencalonannya dalam kerja-kerja politik dengan harapan mendapat dukungan justru mendapat tamparan “wejangan” yang keras, bahwa kebiasaan Anies yang selalu berpenampilan santun mendatangi setiap orang untuk berkomunikasi politik seperti yang dilakukan ke “markas” FPI  bertemu dengan Rizieq sebagai ormas yang intoleransi dengan maksud mendapatkan dukungan dengan alasan “menaungi semua” didapat dengan dukungan yang nyata dari gerakan FPI yang jelas-jelas bukanlah partai politik namun aktif sekali melakukan pembelaan seakan jelas menjadi tim sukses pasangan calon ini.

Saat berdalih “dicukupkan” menjadi menteri yang jelas dipecat oleh Jokowi karena budaya kerja yang tertinggal dari kecepatan gerakan dibandingkan “teman”nya di kabinet dan berkawan dengan partai Islam yang dalam aktifitasnya melakukan radikalisasi massa nya dengan isu menggeser ideology pancasila menjadi keislaman dan membuktikan garis politik Anies “kanan kiri oke oce” yang penting berkuasa, seperti dalam suatu kesempatan dia mengatakan yang penting berkuasa dahulu, bagaimana bisa menjadi pemimpin jika tidak memiliki kekuasaan.

Pernyataan yang sesaat bisa dibenarkan, namun jika direnungkan ternyata membuktikan “kehausannya” terhadap kekuasaan.

“Tamparan” keras ketika Kyiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa “….membangun Islam yang bermartabatlah, bukan Islam yang abal-abal, yang emosional, Islam yang bermartabat dan berbudaya”. Dan saya yakin beliau mantan rektor, mantan menteri, intelektual (lulusan) Amerika….” Seakan dengan sangat jelas mengatakan bahwa Anies yang kerap tampil dengan model komunikasi yang menjenuhkan dengan kelihaiannya bernarasi, merangkai kata dan berbicara runut runtut sebagai penggambaran dari kalangan mana dia berasal. Kesantunan yang tidak dilengkapi dengan niat yang tulus sesuai dengan apa yang diucapkan akan menjadi bukti bahwa Anies dituduh “membual”

Kedatangan Anies dan Sanidaga hadir di PBNU bersama ketua umum partai Perindo Hary Tanoesoedibjo ingin mendapatkan doa restu dan nasehat dan mendapatkan “tamparan” keras terhadap perilaku selama ini yang membuahkan kesan negative masyarakat terhadap pasangan calon ini yang selalu saja membawa isu agama dalam kampanyenya yang menandakan sebagai islam “abal-abal” dan tidak bermartabat.

Ini adalah pertemuan politik yang mungkin saja tidak menyenangkan buat pasangan calon ini, biasanya mereka datang keberbagai golongan yang dengan senyum-senyum dan simbul kesantunan berhasil “membius” dengan kata-kata Jakarta yang menyatukan, dari preman, mantan napi dan koruptor yang penting Islam..pilihlah pemimpin Islam, sebagai senjata permainan politik pasangan calon Anies-Sandi. Mendapatkan respon yang tegas dan jelas bahwa ketika memainkan isu agama, spanduk menolak jenasah yang keluarga atau dia mendukung Ahok-Djarot, memobilisasi masyarakat yang katanya mempersatukan namun golongan tertentu saja kenyataannya, saat dia dan massa pendukungnya memainkan isu SARA yang ditangkap oleh masyarakat dimana dampaknya terasa sekali perpecahan akibat dari permainan politik yang berbau agama ini.

Sebutan yang pantas terlontar saat kunjungan ini”…..membangun Islam yang moderat, yang bermartabat dan bukan Islam yang abal-abal yang emosional….”

Kedatangan ini bersama ketua umum partai Perindo Hary Tanoesoedibjo ketika berkunjung ke FPI mengapa tidak dilakukan Anies dengan jargonnya “Jakarta yang mempersatukan”, ajak HT saat ke FPI dan duduk dibarisan depan di dalam Mesjid saat Anies “memainkan “ orasi politiknya, hal ini tidak dilakukan oleh Anies.

Semakin tingginya tensi politik dan aktivitasnya serta  terbatasnya waktu yang singkat sehingga pilihan aksi “teror” yang cenderung dilakukan menjadi pilihan pasangan calon yang memang tidak mempunyai program yang masuk akal, dimengerti dan berguna untuk kebutuhan masyarakat.

Teror,fitnah-fitnah dan mobilisasi masa Islam radikal kerap dimainkan untuk memenangkan Pilkada DKI, pesan yang jelas bahwa membangun masyarakat  yang bermartabat, berbudaya dan tidak emosional adalah hal yang pantas dan harus dilakukan oleh orang hendak maju menjadi pemimpin di negara yang berbhineka ini.

@dudi akbar


Belajar Berhianat dari Panji


DUNIA HAWA - Saya sebetulnya tidak kenal Pandji Pragiwaksono. Juga jarang sekali menonton aksinya. Yang saya tahu dia seorang yang ahli bermain standup komedi atau melawak sendirian diatas panggung.

Orang yang diatas panggung mampu membuat orang lain tertawa, tergolong orang yang cerdas. Apalagi jika dia monolog, tentu kecerdasannya diatas rata-rata. Dan biasanya topik yang paling membuat orang tertawa adalah ketika kita mentertawakan diri sendiri dengan membawakan kekurangan kita menjadi kelebihan.

Hanya sampai disitu saya mengenal Pandji. Sampai ia akhirnya menjadi timses salah satu paslon di Pilgub DKI.

Banyak celotehannya yang membanggakan calon yang didukungnya. Dan kebetulan saya akhirnya tahu bahwa Anies -salah satu calon- adalah teman dekatnya. Sulit sekali memang ketika akhirnya seorang teman dekat meminta kita untuk menjadi pendampingnya. Apalagi ini dalam ajang politik, tempat banyak manusia berubah sesuai kepentingannya.

Saya teringat seorang teman yang sempat menderita. Ia dulu mendukung temannya supaya menjadi Kepala daerah. Ia berjuang mati-matian, mengerahkan seluruh apa yang dia punya supaya temannya menjadi apa yang dia inginkan.

Dan ketika temannya jadi, ia pun menjadi satu dari sekian orang yang bangga. Ia mendampingi temannya itu beberapa saat, sebelum akhirnya ia sadar bahwa sang teman berubah.

Apa yang ia lihat bahwa sang teman tidak mampu keluar dari pusaran politik yang keras, yang mengharuskannya menjadi pribadi yang berbeda. Sang teman menjadi oportunis dan sudah tidak pada jalur awal ketika ia berikrar.

Akhirnya -karena tidak tahan menderita- temanku keluar dan tetap menjaga pertemanan baik dengan temannya yang sudah menjadi tokoh itu tetapi tidak mau lagi terlibat dalam setiap keputusan politik yang jauh dari semua retorikanya.
Temanku tidak bisa berkhianat pada nuraninya. Kebenaran yang dulu dijunjungnya tidak ingin ia pertaruhkan lebih jauh hanya karena pertemanan. Teman tetap teman, ideologi tidak bisa dilacurkan, begitu katanya.

Lalu saya melihat Pandji dan saya kagum padanya. Pandji -dalam rekam jejak digitalnya- adalah seorang yang humanis, ideologis bahkan berani menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan.

Ia pernah menyampaikan "FPI jangan pernah dibubarkan dan harus tetap ada, biar kita tahu kalau orang yang gak pernah sekolah jadinya kaya apa".

Dan sekarang ketika teman yang ia dukung itu juga didukung FPI, ia menjadi berbeda dan berkata bahwa yang dilakukan Anies adalah menjadi jembatan pemersatu.

Pandji tiba-tiba menjadi orang yang naif yang menganggap bahwa FPI begitu mudah diatur dan ditata. Ia tidak pernah berfikir bahwa Anies lah yang nantinya akan ditata oleh FPI, sama seperti Arya Bima Walikota Bogor yang dikungkung oleh HTI.

Pandji tidak sadar, bahwa FPI jauh lebih besar, lebih kuat dari seorang Anies yang bahkan sulit menjaga konsistensi ucapannya sendiri.

Dan sekarang Pandji kembali harus menelan ludahnya sendiri ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Anies si teman itu, berteman baik dengan keluarga Soeharto yang juga menjadi pendukungnya dalam pilgub ini.

Padahal Pandji pernah mengkritik betapa parahnya orang yang ingin kembali ke masa Orba. Ia bahkan pernah memakai kaos yang berkonsep, "32 tahun Soeharto, uang dan darah.." Dan sekarang, ia harus mencoba mengkhianati nuraninya ketika ia melihat bahwa Cendana ada dibelakang temannya.

Mungkin Pandji berfikir sama, "Ah, Anies mampu menjadi jembatan yang baik dengan keluarga Soeharto..." Pandji membayangkan Anies adalah Superhero pemersatu yang dengan tubuh ringkihnya berhasil menguasai FPI dan keluarga Cendana.

Disinilah saya kagum dengan Pandji, karena biar bagaimanapun bagi saya pelajaran yang tersulit adalah berkhianat pada nurani sendiri... Pandji jauh lebih jago dari itu.

Itulah kenapa saya lebih senang berteman dengan secangkir kopi. Ia pahit, hitam dan dengan segala keburukannya ia jujur. Dan jujur itulah sumber kenikmatan sesungguhnya. Seruput dulu, ah..

@denny siregar


10 dari 14 Jaksa Nyatakan Ahok Tidak Bersalah


DUNIA HAWA - Sidang kasus Ahok menarik perhatian banyak orang. Apakah Ahok bersalah atau tidak? Kita lihat nanti diputusan akhir persidangan. Namun dari 10 dari 14 jaksa menilai tidak ada penodaan agama seperti yang diutarakan oleh I Wayan Sudirta anggota tim kuasa hukum terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.

“Asal diketahui, 10 dari 14 jaksa yang memproses kasus tersebut menyatakan tidak ada penodaan,” kata Wayan di Jalan Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/3/2017).

I Wayan Sudirta menjelaskan, jaksa penuntut umum yang menangani kasus dugaan penodaan agama mengaku tidak memiliki bukti yang menunjukan adanya tindak pidana tersebut.

Kita juga dapat melihat bahwa enam ahli hukum pidana yang dipanggil penyidik juga menyatakan hal yang serupa.

Sama dengan yang diutarakan oleh Wayan sehingga Wayan meyakini kasus tersebut merupakan rekayasa dan Ahok yang menjadi korbannya. Saat ini, menurut Wayan, jaksa penuntut umum tengah berusaha keras untuk membuktikan dakwaannya.

“Dikorbankan dia, direkayasa dia. Sekarang pontang-panting jaksa harus membuktikan dakwaannya. Semua saksi juga de auditu. Dari ahli yang dipanggil penyidik, 6 ahli pidana menyatakan tidak terbukti menodai agama,” kata Wayan.

Pada sidang ke-14 kasus penodaan agama, kuasa hukum menghadirkan ahli hukum pidana dari UGM, Edward Omar Sharif Hiariej. Edward merupakan saksi yang awalnya akan didatangkan JPU. Saat dihadirkan dalam persidangan, JPU pun menolak menggali keterangan dari Edward.

Dari kesaksian Edward kemarin dan juga saksi ahli pidana yang lainnya terlihat jelas bahwa kasus ini hanya rekayasa belaka.Edward sebagai saksi ahli pidana mengatakan bahwa pasal 156a yang lebih detail dari pasal 156 mengharuskan adanya unsur kesengajaan sehingga harus ada niat dari pelaku untuk menistakan agama.

Dari sini kita bisa menilai bahwa untuk mengetahui apakah niat tersebut ada atau tidak maka kita harus melihat kehidupan sehari-hari Ahok. Nah kita tahu sendiri bagaimana Ahok selama menjabat jadi Gubernur justru banyak membantu umat muslim. Dari mendirikan mesjid hingga memberangkatkan marbot untuk umrah atau naik haji.

Dari persidangan sebelumnya yang menghadirkan supir Ahok dan teman dekat Ahok semasa kecil, kita dapat gambaran bahwa Ahok itu bukan orang yang rasis. Dia tidak pernah menghina agama orang sebelumnya, lalu tiba-tiba disangka melakukan penistaan? Yang bener aja lah. Supir Ahok kerap diingatkan untuk sholat Jumat dan Ahok menunggu dimobil. Sementara teman Ahok sejak kecil mengatakan bahwa Ahok tidak pernah menistakan agama. Kerap diskusi tapi diskusi yang sehat, bukan model debat yang saling menjatuhkan argumen lawan. Selain itu Ahok juga memberangkatkan empat orang untuk naik haji.

Jadi jelas ini hanya upaya mengkriminalisasi Ahok yang sedang ikut Pilkada agar kalah. Dan Terbukti upaya tersebut sejauh ini cukup berhasil menggerus suara Ahok. Ahok yang tadinya memiliki elektabilitas diatas 60% tergerus hingga sempat hanya 10% menurut LSI. Beruntung Ahok dan pendukungnya dapat meningkatkan lagi elektabilitasnya hingga menang pada putaran pertama.

Agama kerap digunakan oleh lawan-lawan Ahok untuk menjegal Ahok. Terbukti saat ia kalah di Bangka Belitung, ayat yang sama kerap digunakan untuk menjegal Ahok. Mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Belitung Juhri mengatakan banyak selebaran bermuatan kampanye hitam yang menyerang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat ia menyalonkan diri sebagai calon gubernur Bangka Belitung pada pemilihan kepala daerah 2007 silam.

“Isinya adalah larangan untuk memilih pemimpin yang tidak satu akidah,” ujar Juhri dalam persidangan di Ruang Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pada Selasa (14/3). Juhri mengatakan selebaran serupa memang kerap muncul di daerahnya saat pemilihan kepala daerah berlangsung. Baik pemilihan gubernur, maupun bupati.
“Begitu kami cek alamat sekretariat yang ada di selebaran, kami justru tidak bisa menemukannya. Nomor telepon yang tercantum pun tidak bisa dihubungi. Kami menduga ini adalah bentuk black campaign,” katanya.

Selebaran ini, kata Juhri, memang tidak secara langsung menyebut nama Ahok. Namun saat itu, dari lima calon gubernur yang menyalonkan diri, hanya Ahok yang tidak beragama Islam. Sedangkan untuk calon wakil gubernur yang beragama non muslim ada satu orang yang beragama Budha.

“Tapi, yang namanya pemimpin itu yang nomor satu. Biasanya, kalau dia hanya seorang wakil, tidak dapat penyerangan seperti itu,” ujarnya.

@gusti yusuf


Kasus Ahok Sudah Hampir Selesai, Kasus Sandiaga Baru Mau Mulai


DUNIA HAWA - Saya tidak akan banyak basa-basi di sini dan tidak akan banyak membahas masalah teknis dari kasus yang sedang dihadapi Sandiaga Uno. Diketahui pada Rabu lalu, Sandiaga Uno bersama rekan bisnisnya Andreas Tjahyadi dilaporkan oleh Ketua Dewan Direksi Ortus Holdings Edward Soeryadjaya atas tuduhan penggelapan saat melakukan penjualan sebidang tanah seluas kurang lebih satu hektare yang berlokasi di Jalan Raya Curug, Tangerang Selatan pada tahun 2012 lalu.

Argo Yuwono selaku Kabid Humas Polda Metro Jaya mengatakan proses hukum kasus ini tidak terkait dengan Pilkada putaran kedua. Argo juga mengatakan meski kasus ini terjadi pada tahun 2012 lalu, proses hukum Sandiaga akan ditangani sesuai hukum yang berlaku, sama halnya dengan penanganan kasus yang sedang menjerat Ahok. “Ahok saja diproses kok. Semua laporan kami periksa,” katanya. Sampai detik saya menulis ini, belum dipastikan kapan akan dilakukan pemanggilan terhadap Sandiaga untuk dimintai keterangan oleh penyidik.

Sama seperti yang sudah-sudah, jangan bilang ini terkait dengan Pilkada DKI Jakarta meski waktunya memang pas. Cukup lihat Ahok sebagai standar. Lihat apa yang terjadi pada Ahok? Ucapannya mengenai Al-Maidah membuat kasusnya tetap diproses meski sedang dalam masa Pilkada. Nah, kalau ingin adil, tidak masalah dong kalau kasus yang menjerat Sandiaga diperlakukan dengan sama pula seperti yang dikatakan Argo tadi.

Saya yakin banyak yang akan menyayangkan ini, terutama yang satu itu. Saya juga yakin banyak yang merasa ini terlalu kebetulan, mengapa baru dilaporkan sekarang padahal ini terjadi pada tahun 2012 lalu. Tidak ada yang kebetulan. Kalau masih ngotot ingin mengatakan kebetulan, lihat kembali kasus yang sedang dihadapi Ahok, maka jawabannya akan terlihat jelas. Makanya saya sangat suka memberikan bantahan seperti ini, cukup suruh mereka melihat apa yang sudah terjadi pada Ahok karena situasinya mirip.

Ingin bilang kasus ini dipolitisasi? Lihat saja kasus Ahok apakah dipolitisasi atau tidak? Ahok diperlakukan seperti itu, dan tidak ada yang salah jika Sandiaga juga mendapatkan perlakuan yang sama. Setiap laporan diperiksa, ditindaklanjuti dan diproses. Semua sama, masih ingat dengan pernyataan SBY mengenai equality before the law?

Kasa hukum Edward, Fransiska Kumalawati mengatakan kliennya telah berupaya menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan bersama Andreas dan Sandi. Dan ternyata upaya tersebut telah ditempuh sejak Januari 2016, tapi Andreas dan Sandi tak kunjung menyelesaikan masalah tersebut hingga saat ini. Fransiska juga sudah menghubungi Sandi melalui WhatsApp tapi tidak dibalas.

Januari 2016 adalah waktu di mana tidak ada yang tahu bahwa Sandi akan mencalonkan diri sebagai wakil gubernur menemani Anies Baswedan. Jadi ini adalah bukti kalau laporan atas kasus ini tidak terkait dengan Pilkada. Heran saja bagi mereka yang bilang ada yang sengaja mencari-cari kasus ini untuk membela Ahok. Sungguh stres dan gila pemikiran seperti itu. Saya tinggal mentahkan saja dengan pertanyaan, “Ahok sudah diproses, mau ribut apa lagi?” Lagipula Ahok dulu juga sering dicari-cari salahnya lewat Sumber Waras yang sampai sekarang tidak terbukti.

Kecuali Sandiaga dilaporkan setelah dia mencalonkan diri, bolehlah kita mengatakan ada unsur Pilkada yang dilibatkan. Nyatanya pihak yang merasa dirugikan sudah menempuh jalan penyelesaian sejak Januari 2016 yang mana belum masuk musim Pilkada. Bisa dikatakan salah Sandiaga sendiri yang tidak berusaha menyelesaikan masalah ini.

Dan ada satu pola yang selalu terlihat. Tiap kali ada orang yang mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah, maka biasanya masa lalunya akan diobok-obok lagi. Masa lalu yang sudah mati kadang bisa tumbuh subur lagi. Ini dikarenakan fokus yang makin tajam terhadap seseorang. Seandainya Sandiaga tidak mencalonkan diri jadi wakil gubernur, tentu berita ini tidak akan heboh. Makanya saya setuju, kalau mau jadi kepala daerah atau pejabat, mending jujur dan bersih ketimbang dikorek masa lalunya. Jika masa lalu seseorang banyak yang tidak beres, siapa-siap saja hancur lebur.

Yang jujur saja sengaja dicari-cari kesalahannya, seperti yang terjadi pada Ahok. Ahok keseleo lidah sedikit saja, langsung dijadikan kesempatan emas pun untuk melancarkan aksi tidak waras. Apalagi kalau pejabatnya tidak jujur, berharaplah yang lebih buruk dari Ahok.

Memang tidak disebutkan kapan laporan ini akan diproses. Ini bukan berita bagus buat Sandiaga karena kalau diproses sebelum hari pencoblosan, rugi banget. Ini benar-benar tembakan yang cukup mematikan. Di sisi lain kasus Ahok sudah berjalan sangat jauh dan mungkin akan selesai, tapi kasus Sandiaga malah akan baru dimulai. Pada putaran pertama, meski Ahok dihadang kasus dugaan penistaan agama yang begitu heboh, dia tetap bisa memenangkan suara terbanyak. Bagaimana dengan Sandiaga sendiri? Apakah dia juga bisa bertahan seperti Ahok? Menarik untuk disimak.

@xhardy


Kasihan, Pengurus Mesjid Ini Dipecat Secara Tidak Hormat Karena Dukung Ahok


DUNIA HAWA - Beberapa hari yang lalu, di media sosial dihebohkan dengan beredarnya sebuah surat pemecatan terhadap seorang pengurus Mesjid Darussalam yang merupakan pendukung Ahok di wilayah RT 06 RW 02, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

Setelah kasus ini heboh, maka pendukung Anies-Sandi langsung “bereaksi” dengan mengatakan bahwa berita ini adalah berita hoax, berita fitnah untuk menyudutkan paslon Anies-Sandi.

Bagi pendukung Anies-Sandi yang mengatakan Surat pemecatan tersebut adalah berita hoax, berita fitnah dan alasan lainnya, berikut saya share video pengakuan pengurus mesjid pendukung Ahok yang dipecat secara tidak hormat tersebut :

Pendukung Anies-Sandi masih berani ngeles ???

Fakta kasus pemecatan pengurus mesjid pendukung Ahok

Pak Rasyidin Nawi, 68 tahun, dipecat dari jabatannya sebagai pembina Masjid Darussalam, di RT 06 RW 02 Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. 

“Saya dipaksa untuk bikin surat pengunduran diri,” kata Rasyidin seperti yang dimuat dalam media nasional ini.

Pak Rasyidin mengatakan dia dipecat karena mendukung pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Pemecatan itu, kata dia, terjadi setelah pengurus masjid mengadakan rapat kerja di Puncak, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. “Raker di Bogor, akhirnya kesepakatannya itu saya dipecat,” kata dia seperti yang dilansir oleh media nasional ini.

Pak Rasyidin membenarkan bahwa beliau mendukung Ahok-Djarot dan menjadi koordinator Kelurahan Pondok Indah dan Pondok Pinang untuk pemenangan Ahok. Beliau mendukung Ahok sejak masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta yang mendampingi Joko Widodo. “Kinerjanya bagus, bersih, berani menutup tempat maksiat. Coba itu di Kalijodo, orang muslim waktu gubernur muslim pada diam saja,” ujar beliau seperti yang dilansir dalam media nasional ini.

Sejak pemecatan pada 4 Februari 2017, Rasyidin tidak lagi shalat di masjid itu, dan memilih untuk mengunjungi masjid di wilayah lain. Padahal, Rasyidin merupakan ahli waris Masjid Darussalam yang dibangun pada 1918. Meski begitu, Rasyidin menegaskan hubungannya dengan para pengurus masjid itu kini masih baik. “Baik. Saya mundur, enggak salat lagi di sana karena orang (pendukung) Ahok tidak boleh shalat di sana,” ujar beliau seperti yang termuat dalam media nasional ini.
Ketua Umum Pengurus Masjid Darussalam Abdul Ghafur membenarkan postingan foto tersebut. Abdul Ghafur juga membenarkan telah memecat Rasyidin Nawi yang sebelumnya menjabat sebagai pembina Masjid Darussalam, Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Dia mengungkapkan, pemecatan tersebut dilakukan pada Februari 2017 bertepatan dengan keluarnya surat keputusan pemecatan terhadap Rasyidin. Surat tersebut, ujar dia, disepakati dalam rapat kerja para pengurus Masjid Darussalam di Bogor, Jawa Barat.

Menurut Abdul Ghafur, keputusan Rasyidin untuk mendukung pasangan calon nomor dua itu bertentangan dengan kesepakatan para pengurus mesjid. Padahal, menurut dia, Rasyidin sudah diperingatkan beberapa kali terkait dengan kesepakatan agar memilih pemimpin muslim. “Itu konsekuensi sebagai pengurus,” kata Ghafur saat ditemui di kediamannya, di Jalan Pondok Pinang III, Jakarta Selatan seperti yang dimuat dalam media nasioanl ini.

Ghafur menambahkan, sikap dukungan politik Rasyidin ditunjukkan secara terang-terangan. Bahkan, dia mengklaim bahwa Rasyidin sudah mengikrarkan diri dengan memakai baju kampanye Ahok-Djarot. Juga ikut menggalang massa. “Padahal dia orang yang ditokohkan. Dia itu sebagai penasihat mesjid,” kata Ghafur seperti yang dikutip dalam media nasional ini.

Setelah membaca kisah nyata yang terjadi di atas, penulis jadi berpikir :

Sungguh mengerikan. Hal ini terjadi di depan mata kita sendiri bahkan di kampung kita sendiri.

Pak Rasyidin Nawi yang sudah berusia 68 tahun saja berani dipecat secara tidak hormat dari jabatannya sebagai pembina Masjid Darussalam, di RT 06 RW 02 Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan oleh mereka, apalagi kita yang masih muda dan bukan siapa-siapa ??

Sebelum pilkada saja, mereka sudah berani “kurang ajar” kepada sesepuh mesjid ??? Apalagi setelah Pilkada nanti ???

Pak Rasyidin Nawi yang merupakan ahli waris mesjid saja “diusir” dari mesjid tersebut, apalagi orang lain ???

Jika sudah demikian, perkenankan Penulis bertanya beberapa hal kepada Anies-Sandi :

Benarkah jika Anies-Sandi menang, pengurus mesjid pendukung Ahok akan dipecat seperti kasus Pak Rasyidin di atas ???

Benarkah jika Anies-Sandi menang, pengurus mesjid pendukung Ahok akan “diusir” seperti kasus Pak Rasyidin di atas ???

Benarkah jika Anies-Sandi menang, jenazah pendukung Ahok tidak diurus oleh pengurus mesjid setempat seperti kasus almarhumah nenek Hindun di kawasan karet, setia budi yang sempat heboh beberapa hari yang lalu ???

Benarkah jika Anies-Sandi menang, jenazah pendukung Ahok akan diurus setelah keluarganya “dipaksa” menandatangani surat dukung Anies-Sandi seperti kasus keluarga Pak Yoyo.

Wow, penulis tidak bisa membayangkannya…

Sungguh mengerikan jika hal itu benar-benar terjadi…

Masihkah kita percaya dengan “mulut manis” yang pandai “bersandiwara” dengan santunya mengatakan akan merajut tenun kebangsaan tapi pendukungnya sudah merusak persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa di Indonesia ???

Apakah kita mau hal itu terjadi di Ibukota negara Indonesia (Jakarta) yang kita cintai ini ???

Sungguh mengerikan melihat orang yang mengklaim dirinya “agamis” tapi kelakuannya “komunis” yang menghalalkan segala cara demi kepentingan politik duniawi tapi malah teriak anti komunis ???

Kalian WARAS ??

@nafys

Suriah Kecil Itu Bernama Indonesia


DUNIA HAWA - Perhatikan. "Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur’an kecuali tinggal tulisannya saja. Masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk, serta ulama-ulamanya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit …” (HR. Al Baihaqi)

Melihat Indonesia sekarang, saya sudah bisa membayangkan apa yang terjadi pada Suriah ketika awal-awal perang.

Suriah -negeri plural tempat tinggal berbagai macam agama dan kepercayaan hidup berdampingan dengan damai- akhirnya runtuh karena masyarakatnya terpengaruh isu sektarian.

Suriah yang persenjataan dan keamanannya begitu kuat -karena itu warga Palestina sering minta perlindungan kepada mereka- dihancurkan dari dalam. Warga Suriah ternyata rentan dengan isu provokasi yang mengangkat agama sebagai senjata penghancur massal.

Situasi awal hancurnya Suriah, persis seperti yang digambarkan hadis akhir zaman diatas. Masjid-masjid di Suriah tumbuh dengan pesat. Provokasi melalui masjid, menjadikan masjid bukan lagi menjadi tempat yang meneduhkan, melainkan sumber angkara murka.

Islam yang pada awalnya diturunkan sebagai agama rahmat bagi semesta alam, dibelokkan menjadi agama yang menakutkan. Itulah yang dimaksudkan "Islam hanya tinggal namanya saja".

Teriakan Allah Maha Besar dimana-mana, tetapi bukan dalam rangka takjub akan kebesaran Tuhan. Nama Tuhan menjadi identik dengan bahasa perang. Yang terjadi akhirnya pelecehan terhadap kata "AllahuAkbar" menjadi Ahmad Albar dan segala macam. Islam tinggal nama, tetapi kosong dengan keilmuan.

Para pembaca Alquran banyak. Mereka dilahirkan dan dididik sebagai penghafal. Bacaan mereka bagus dengan suara merdu mendayu.Tapi sedikitpun mereka tidak paham makna dan tujuan dari ayat-ayatnya. Akhirnya tafsir kalimat dalam Alquran dipelintir habis demi kepentingan satu golongan. 

Dibelokkan sesuai keinginan pemesan.

Itulah yang dimaksud "Alquran tinggal tulisannya saja". Kering akan pesan yang bermanfaat. Masjid kosong akan petunjuk, karena di dalamnya sudah sulit menemukan penunjuk arah yang benar. Masjid-masjid dipenuhi nafsu yang jauh dari petunjuk Alquran, malah berfungsi sebagai basecamp perang yang hanya melindungi golongan mereka saja.

Dan dari "Islam yang tinggal namanya saja", juga "Alquran yang tinggal tulisannya saja", lalu "Masjid yang kosong dari petunjuk", maka lahirlah "ulama-ulama jahat" bahkan paling jahat di kaki langit.

Kenapa disebut paling jahat? Karena dari merekalah lahir pemikiran-pemikiran radikal yang diamini oleh banyak pengikutnya.

Ulama-ulama yang berpihak pada penguasa. Yang dimaksud penguasa disini bukan hanya pemerintahan, karena pada masa Islam ada pemerintahan yang benar. Tetapi penguasa yang punya tujuan sangat jahat, untuk memporak-porandakan satu wilayah demi nafsu berkuasanya.

Dan seharusnya mata kita terbuka akibat dari kejadian itu semua melalui contoh di Suriah. Tuhan masih sayang pada negeri kita, karena peristiwa Suriah-lah yang menjadi guru kita, bukan kita yang menjadi contoh dari banyak negara.

Saya selalu memohon perlindungan kepada Tuhan supaya Indonesia dijauhkan dari semua hal tentang kekejian yang terjadi di Suriah.

Tapi yang saya takutkan, demi bisa memisahkan mana benar dan mana salah, Tuhan bisa saja memberi kita pelajaran dalam bentuk kejadian yang sama supaya kita paham. Hanya supaya kita paham saja.

Setiap kali ditanya, "apa ada kemungkinan kita bentrok fisik seperti apa yang terjadi di Suriah..", selalu kopi saya mendadak begitu pahit untuk di seruput. Kemungkinan itu ada... dan sangat besar.

@denny siregar