Monday, March 13, 2017

Sandiaga Uno Dilaporkan ke Polisi oleh Ayah Angkatnya Sendiri


DUNIA HAWA - Setelah kasus “cewek-cewek” yang sempat ramai dibicarakan, kini Sandiaga Uno dilaporkan kembali ke Polisi. Kasus “cewek-cewek”, kabarnya Sandi hanya menjadi saksi bukan terlapor. Tapi, kasus yang satu ini, Sandi menjadi terlapor. Itu artinya, ada sebuah dugaan kejahatan yang telah dilakukan Sandi.

Dan yang sungguh mengagetkan adalah Sandiaga dilaporkan oleh ayah angkatnya sendiri, Edward S Soeryadjaya. Bagaimana bisa seorang ayah angkat yang telah mendidik Uno hingga sebesar dan sesukses ini melaporkan anak emasnya sendiri? Kita tentu bertanya-tanya, ada apa ini? Mengapa tidak diselesaikan lewat jalur kekeluargaan saja?

Tindak pidana yang dilaporkan adalah tindak pidana penggelapan. Sandi dilaporkan bersama rekan bisnisnya, Andreas Tjahyadi.

Kuasa hukum Edwards, Fransiska Kumalawati Susilo mengatakan, Andreas dan Sandiaga diduga melakukan penggelapan dalam penjualan sebidang tanah di Jalan Raya Curug, Tangerang Selatan, Banten, pada 2012 silam.

Luas tanah yang digelapkan oleh Sandi kurang lebih 1 hektar. Masalah ini sebenarnya telah diupayakan untuk diselesaikan secara kekeluargaan sejak tahun 2016. Tapi, pihak terlapor tidak kunjung merespon upaya baik dari pihak pelapor.

Kata Fransiska, “Terakhir saya coba hubungi Sandiaga lewat Whatsapp tapi tidak dibalas. Kalau Andreas saya sudah lama tidak komunikasi.”

Karena lewat jalur kekeluargaan, sederhananya duduk bareng mencari solusi sebagaimana yang biasa Sandi umbar saat bicara reklamasi, tidak mendapat respon positif dari Sandi, akhirnya pihak Edward sebagai yang dirugikan mengambil jalan hukum untuk menyelesaikannya.

Sebenarnya, bukan kali ini saya Edward dikibulin oleh anak angkatnya sendiri. Dalam kasus Depo Minyak di Balaraja, Sandi juga telah menipu Edward dengan cara memalsukan dokumen lahan untuk mendapatkan penggantian ganti rugi. Sandi mengatakan sertifikat tersebut hilang.

Edward sebagai pemilik sah lahan tersebut, dimana sertifikat tanahnya ia yang pegang, jadi bingung. Mengapa diumumkan bahwa sertifikatnya hilang dan diganti dengan sertifikat yang lain? Padahal Sandi tahu bahwa sertifikat yang asli ada pada Edward. Mengapa Sandi berbohong tentang sertifikat tersebut?

Negara (Pertamina) akhirnya menelan kerugian miliaran rupiah karena harus membayar ganti rugi, sementara salah satu syarat pentingnya (sertifikat tanah yang dipegang Edward) tidak terpenuhi. Sudah membohongi ayah angkatnya, Sandi juga membohongi pemerintah agar mendapat ganti rugi atas perusahannya.

Kini masalah baru muncul lagi. Dan tetap masalah yang sama, tanah. Tindak kejahatannya pun sama, penipuan/penggelapan.

Dengan banyaknya kasus-kasus yang mencuat tiba-tiba ini, tentu publik bertanya-tanya tentang integritas Sandiaga Uno. Sandi yang suka mengedepankan duduk bersama, dialog, rembuk untuk mencari solusi atas suatu masalah atau perselisihan, ternyata, dengan ayat angkatnya sendiri ia tidak melakukannya. Ada apa ini? Apakah itu cuma jargon pemanis dalam Pilkada?

Rekam jejak itu penting untuk mengukur integritas seorang calon pemimpin. Kalau seorang calon pemimpin punya masa lalu dimana ia suka menipu orang lain, dan hingga kini ia lolos dari jeratan hukum, apakah ada jaminan ia tidak bakal menipu?

Kasus Depo Minyak Balaraja sampai saat ini kasusnya dipetieskan. Tidak ada tindak lanjutnya. Cari saja di google, kasusnya santer dan benar-benar merugikan negara. Tapi, sampai detik ini Sandi tetap bisa bebas. Dan sedang berusaha untuk menaklukan Jakarta dengan modal yang fantastis.

Dengan rekam jejak yang seperti ini, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Sandi memimpin Jakarta? Sandi memang pengusaha. Tapi pengusaha seperti apa dia? Rekam jejaknya sebagai pengusaha bagaimana? Justru, pengusaha punya motif bisnis yang kuat. Apalagi sebagai penguasa, ia punya keleluasaan untuk bertindak.

Pengusaha seperti apa Sandiaga Uno itu? Biarlah laporan Edward S Soeryadjaya yang bicara. Sebab, dengan keluarga sendiri saja tak bisa berdamai untuk urusan bisnis. Apalagi dengan warga Jakarta yang tak punya hubungan apa-apa dengannya.

Kita tunggu saja sejauh mana laporan tersebut bekerja. Kita harapkan polisi dengan cepat menindak lanjuti laporan tersebut.

@muhammad nurdin


Agenda Besar Prabowo dan Tommy Soeharto Dibalik Pilgub DKI 2017


DUNIA HAWA - Demokrasi Indonesia, tahun-tahun belakangan ini terasa sangat heboh sekali, semenjak kemunculan sosok Jokowi dan Ahok, kehadiran mereka seakan-akan membangunkan kita semua untuk “melek” demokrasi, berhenti menutup mata dan mulai melangkah. Disaat yang sama, “kekuasaan” orde baru yang sangat dikecam oleh khalayak ramai seakan-akan sedang meniti kembali kekuatan, sembari mengisi amunisinya dan menunggu generasi-generasi baru yang muncul (yang belum pernah merasakan pahitnya orde baru) agar mudah dirangkul dan digerakkan, Cendana rela menunggu berpuluh-puluh tahun maka bola sementara diberikan kepada Cikeas agar menikmati masa-masanya selama 10 tahun untuk berkuasa sambil menunggu kesempatan yang tepat untuk memukul balik dan menguasai negeri. Waktu 10 tahun telah usai, Cikeas telah turun dari singgahsananya, “sempat kecolongan” oleh hadirnya Jokowi dan Ahok menjadikan PR berat bagi keluarga Cendana agar dapat kembali berkuasa di Indonesia.

Demikian pula kata-kata sugesti yang disampaikan oleh Titiek Soeharto dalam sambutannya di peringatan 51 tahun Supersemar, 11 Maret lalu di Masjid At-Tin.

Kini, setelah hampir 20 tahun reformasi berjalan, tidak membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin jauh. Dekomrasi kebablasan dan setiap orang bisa berkata dan berbuat seenaknya tanpa mengindahkan norma-norma yang ada.

Menurut Titiek, keadaan itu ternyata menimbulkan ketidak-nyamanan di berbagai tempat, sehingga sekarang banyak rakyat mulai berkata, ‘Enak Zaman Pak Harto’. “Akhirnya ingatan saya kembali pada kata-kata Pak Harto waktu itu, bahwa sejarah akan membuktikan apa yang sudah Bapak dan Ibu perbuat untuk bangsa ini. Begitu banyak rakyat saat ini yang rindu dan mendoakan Pak Harto,” kata Titiek.

Karena itu, lanjut Titiek, ia mengajak semua rakyat untuk melanjutkan perjuangan Pak Harto dalam membangun dan menyejahterakan bangsa Indonesia. Mengembalikan kinerja demokrasi yang kebablasan itu, seraya berdoa dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi kekuatan lahir batin dalam menghadapi cobaan, dijauhkan dari malapetaka dan rakyat segera diangkat dari kemiskinan dan kebodohan.

Sambutannya sangat sarat akan sugesti bahwa rakyat merindukan sosok Soeharto, bagaimana memuaskan rakyat yang rindu terhadap sosok tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah sosok yang memiliki gen dan satu darah dengan Alm. Soeharto, yaitu salah satunya Tommy Soeharto. Mengapa Tommy? Ya, penulis hanya teringat itu saja ketika menulis.

Titiek Soeharto dan Prabowo


Kita semua mengetahui, walaupun keduanya (Titiek dan Prabowo) telah berpisah namun tak dapat dipungkiri bahwa keduanya masih sering mengumbar kasih dan sayang, hal ini jelas terungkap saat Titiek menyambut Prabowo dalam acara tersebut (peringatan Supersemar ke-51), lebih jauh lagi kita melihat kebelakang bahwa Titiek adalah sosok yang selalu mendukung Prabowo ketika Prabowo maju di Pilpres 2014.

Sebagai kedua sosok (Prabowo dan Tommy Soeharto) yang dikenal sebagai Cendana, maka mungkin awalnya sulit digambarkan jika Prabowo dan Tommy akan berpasangan di Pilpres 2019, namun garis tengah mereka ada pada sosok Titiek Soeharto. Pada saat-saat ini, Prabowo tengah fokus mengkampanye-kan Anies dan Sandi untuk memenangkan Pilgub DKI 2017, ini menjadi cikal bakal yang kuat meraih posisi RI 1 (jika ibu kota telah berhasil dikuasai), hal ini jelas terungkap dengan orasi Prabowo lalu ketika menargetkan Anies-Sandi menang di DKI jika ingin melihat Prabowo maju di Pilpres 2019. Sementara, Tommy sudah memulai start duluan, berbagai partai dan ormas pendukung sudah ber-koar-koar memajukan Tommy di Pilpres 2019, mungkin ini hanya pengalihan, jika keinginan mereka Tommy menjadi Capres dan bukan Cawapres, namun tidak ada yang bisa sangka jika manuver dilakukan sementara mereka telah mengumpulkan suara dari dini, mengenai posisi Capres atau Cawapres itu adalah hal yang mudah, yang terpenting adalah suara terkunci.

Dukungan serupa juga telah dilontarkan oleh beberapa politisi dengan kata-kata magis-nya, sarat sugesti akan sosok Soeharto yang membuat kita kembali benar-benar berpikir, benarkah sosok Tommy Soeharto layak memimpin Indonesia?

Di zamannya, figur Pak Soeharto adalah seorang pemimpin yang banyak membicarakan pembangunan,” kata Anies. (sedangkan Anies sendiri menyindir Ahok yang hanya fokus terhadap pembangunan)

“Jelas ya Supersemar, kita diselamatkan dari komunisme adalah satu fakta yang enggak bisa terbantahkan. Bahwa ada kemajuan-kemajuan ekonomi, itu juga jelas,” kata Fadli, Sabtu. “Saya kira tidak ada manusia yang sempurna. Apa yang baik dari pemimpin terdahulu, kita ambil. Yang kurang baik, kita tinggalkan. Begitu saja,” tuturnya.

Bahkan, ucapan serupa juga dilontarkan salah satu peserta acara yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham “Lulung” Lunggana. “Saya cukup bangga dan mengapresiasi Mas Tommy, calon pemimpin bangsa,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ada Anies dan Fadli Zon disana yang turut membanggakan sosok Soeharto dan berujung pada ingin hadirnya sosok Soeharto, mungkinkah Anies dan Zon menghianati Prabowo? Rasanya sangat tidak mungkin, yang paling mungkin adalah jika mereka (Prabowo dan Tommy) akan maju bersama. Tidak hanya itu, secara parlemen ruangan (istilah Fahri Hamzah) telah saling menyatukan kekuatan, maka parlemen jalanan tidak lupa dirangkul, maka tidaklah heran jika kemarin-kemarin terlihat kemesraan antara Tommy Soeharto dan FPI (Rizieq), peran FPI disini tidak kalah penting, peran mereka adalah menggembor-gemborkan bahwa kebangkitan PKI sudah dekat dan bahkan sudah muncul dimana-mana, dengan begitu pengukuhan Supersemar ke-51 kemarin merupakan ajang yang pas untuk meyakinkan masyarakat bahwa karena Supersemar maka komunisme atau PKI bisa dikalahkan, mind set masyarakat yang sangat mewaspadai PKI akan mudah digiring untuk menyukseskan dejavu pemerintahan yang diraih lewat manipulasi Supersemar.

Prabowo Subianto & Tommy Soeharto di Pilpres 2019? Mungkin saja (sangat mungkin).

Salam dari titik buta.

@voerbach


Ahok Didukung Demokrat, Lulung Dipecat, Gerinda Goyah


DUNIA HAWA - Jokowi bertemu dengan SBY di saat yang tepat. Sebelum putaran kedua Pilkada, pertemuan Jokowi-SBY itu amatlah penting. Berkat pertemuan itu, kini hubungan Jokowi-SBY kembali jernih. Para kader Demokratpun mendapat angin semilir nan segar dari SBY. Setiap kader dan para simpatisan Demorat, diberi kebebasan untuk memilih Ahok.

Bisa dipastikan bahwa SBY seperti pada Pilpres 2014 lalu, akan tetap berdiri netral alias nonblok. Secara kepartaian, Demokrat tidak menyatakan dukungan secara resmi kepada Ahok. Namun kader-kader Demokrat sudah banyak yang ngefans kepada Ahok. Sebut saja Ruhut Sitompul dan Hayono Isman, sudah duluan mendukung mati-matian Ahok.

Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat Adjeng Ratna Suminar sebagaimana dilansir JPNN.com, menyatakan kader-kader partainya dibebaskan dalam memilih pada Pilkada DKI putaran kedua. Menurut Adjeng, SBY sebagai ketua umum Demokrat tidak menginstruksikan kader-kader partai Demokrat untuk memilih pasangan tertentu pada 19 April mendatang.

“Kami dibebaskan kok untuk memilih”, kata Adjeng di sela-sela deklarasi dukungan Gerakan Relawan Agus-Sylvi (Gerasi) kepada duet Ahok-Djarot di Jalang Talang, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 13 Maret 2017. Alasan Adjeng memilih Ahok-Djarot karena pasangan ini sudah terbukti kinerjanya melalui Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, dan pelayanan warga sangat baik. “Ahok-Djarot sudah teruji, kenapa harus pilih yang lain?” ucap Adjeng.

Kinerja luar biasa Ahok dalam membangun Jakarta sudah sangat sejalan dengan spirit Demokrat. Demokrat kini telah berubah dan mulai terlihat waras untuk mendukung pemimpin Jakarta yang tegas, profesional, transparan, bersih, terbukti kinerja secara nyata dan menciptakan kesejahteraan bagi warga. Dan itu ada dalam diri Ahok-Djarot. Pasangan gubernur ini, sudah sangat jelas memiliki program pro-rakyat dan konsisten dalam pemberantasan korupsi.

Sementara itu keras kepalanya Lulung yang tidak mau mendukung Ahok, membuat Ketua Umum Djan Faridz berang. Hari ini, Senin 13 Maret 2017, Lulung resmi dipecat dari PPP. Menurut Dzan Faridz, karena Lulung keras kepala dan lebih memilih mendukung Anies-Sandi, maka partai harus bertindak tegas. Lulung jelas telah bertindak menyalahi anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) di partai PPP.


Selamat dipecat Lulung, sampai jumpa lagi.

“Betul (Lulung dipecat red) karena melanggar AD/ART partai,” ujar Djan melalui layanang pesang singkat kepada wartawan. Djan menegaskan  bahwa pemecatan atas Lulung  diambil berdasar keputusan DPP PPP. Selain Lulung dipecat dari keanggotaan PPP, Lulung juga dipecat dari kursi pimpinan wakil ketua DPRD DKI Jakarta.

Jelas nasib Lulung ke depan akan mengalami nasib pilu. Sangat besar kemungkinan dalam putaran Pilkada kedua 19 April mendatang, Anies-Sandi kalah. Jika demikian maka Lulung akan gigit jari, stress menyaksikan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Lulung akan merasakan pahitnya dipecat dari partai dan pasangannya yang didukungnya mengalami kekalahan. Nah itu Lulung. Lalu bagaimana dengan Gerinda?

Gerinda mulai goyah. Pengurus partai Gerinda Kecamatan Duren Sawit membelot dengan mendeklarasikan dukungan kepada Ahok-Djarot. Deklarasi dipimpin oleh Ahmad Hidayat yang sebelumnya aktif jadi pengurus Gerinda Jakarta Timur. Ahmad Hidayat sudah bertekad untuk berjuang memenangkan Ahok-Djarot untuk kembali menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.


Pengurus Gerinda Jakarta Timur mendeklarasikan dukungan kepada Ahok-Djarot, Sabtu (11/3/2017)

Ahmad Hidayat mendukung Ahok-Djarot dengan alasan bahwa sudah merasa tidak sejalan dan tidak cocok dengan janji-janji pasangan calon nomor 3. “Janjinya semakin lama semakin tinggi dan cara-cara yang ditempuh untuk menang membuat kami tidak suka,” ujar Ahmad Hidayat dalam deklarasi dukungan pengurus Partai Gerinda dan simpatisan AHY untuk Ahok-Djarot, di Jakarta Timur, Sabtu, 11 Maret 2017 lalu.

Dukungan dari kader Gerinda ini jelas menambah amunisi Ahok untuk bertarung dengan Anies. Ada sekitar 6.000  suara pasangan nomor urut tiga akan dikerahkan Hidayat untuk berbalik mendukung Ahok-Djarot. Demi mendukung Ahok, Hidayat tidak takut dipecat. Alasannya Hidayat sudah muak melihat pasangan Anies-Sandi yang menggoreng dan mencampur-adukkan agama dengan politik. Spanduk yang menolak mensolatkan mayat pendukung Ahok, adalah contoh konkritnya. Itu jelas perbuatan yang sangat menjijikan.

Kini dengan berbagai dukungan baru itu, Ahok dipastikan sedikit demi sedikit mulai meraup suara dari pasangan Agus-Sylvi. Hal itu membuat Ahok semakin di atas angin. Kampanye Ahok yang senyap, dengan mendatangi langsung warga yang dilanda kesusahan mulai menarik simpati warga Jakarta. Kunjungan Ahok untuk mendatangi keluarga nenek Hindun, adalah salah satu usaha Ahok untuk meraih simpati warga dan kini menjadi viral di sosial media.


Ahok mengunjungi langsung keluarga nenek Hindun

Nah, dengan adanya dukungan kader elit Demokrat dan warga Jakarta akar rumput, maka langkah Ahok untuk menjadi gubernur DKI Jakarta periode kedua semakin lapang. Berkat kinerjanya yang luar biasa untuk membangun DKI, kader partai Gerinda terpaksa membelot mendukung Ahok. Sebagian kader Gerinda yang masih waras, sudah muntah dan mencret mendengar janji-janji surga dari Anies-Sandi.

Sementara itu Lulung yang sampai kiamat tetap menyerang Ahok karena lahannya di Tanah Abang telah dihancurkan oleh Ahok, tetap keras kepala mendukung Anies. Dan keputusan itu membuat Lulung dipecat dari keanggotaan PPP dan kursi ketua DPRD DKI Jakarta. Akibat pemecatan itu, bisa dipastikan Lulung akan semakin terpuruk bersama proyek USB-nya.


@asaaro lahagu

Matinya Jiwa Manusia-Manusia Bumi Datar

Potret Kekerasan Massa dalam Pilgub DKI Jakarta



DUNIA HAWA - "Kekerasan adalah senjata orang yang jiwanya lemah."  Itulah kalimat yang terlontar dari Mahatma Gandhi, seorang aktivis sekaligus pemimpin spiritual yang melakukan aksi tanpa kekerasan dalam menentang koloni Britania Raya. Melakukan perjuangan menuju kemerdekaan secara damai.

Kisruh akibat gesekan agama dan politik dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama makin ke sini makin bergeliat liar.

Betapa tidak? Pada awalnya hanya Equil dan Sari Roti yang diboikot sebagai produk "kafir", kini orang mati pun terancam diboikot jika menentukan pilihan politik berbeda.

Mereka yang mati jika diketahui semasa hidupnya sebagai pendukung pasangan Ahok-Djarot akan ditolak oleh mereka-mereka yang mengaku "suci", tidak boleh disalatkan atau dimakamkan. Sebuah tindakan yang memang cukup keji dan ganas terlebih mereka menjustifikasi pemahaman salah mereka dalam memahami perintah Al-Quran.

Seruan kebencian juga bergaung dari beberapa manusia-manusia sumbu pendek pada saat Djarot menghadiri acara pengajian Haul Soeharto. "Huuuuuu", "woooo" begitu teriakan mereka-mereka yang mengaku "suci" terhadap Djarot selaku pendamping "gubernur penista".

Namun sikap Djarot benar-benar patut diacungi jempol karena ia tetap berani dan terus memasang senyum ketika ia disoraki oleh para pembencinya. Ia tidak peduli dengan beberapa tamu yang menghujatnya karena ia hanya fokus menghormati undangan yang telah diberikan kepadanya.

Djarot tidak menyimpan dendam terhadap mereka, betapa kuat karakternya sebagai seorang negarawan. Apakah kita mampu bersikap seperti itu? Barangkali tidak, kita pasti akan merasa takut dan terancam.

Berkaca dari aksi-aksi manusia bumi datar, terlihat betul betapa jiwa mereka mengalami kekeringan dan mati. Rasa kemanusiaan itu hilang dari jiwa-jiwa "suci" mereka. Benci akut membuat mereka hidup dalam penyakitan, terus menerus menebar benci. 

Sungguh heran, mengapa mereka bisa setega itu melakukan kekerasan terhadap sesama manusia yang meskipun seiman?

Keheranan itu semakin bertambah ketika mereka begitu mudahnya teriak "kamu Syiah, antek komunis, antek PKI, antek liberal, antek aseng, munafik dan kafir" terhadap orang lain yang berbeda pilihan politik.

Kekerasan yang dilakukan menjadi sebuah ekstasi massa yang mengakibatkan mereka kecanduan. Para pelaku mengalami penumpulan rasa bersalah, simpati dan empati. Akal sehat dan tanggung jawab moral dalam diri seolah sirna begitu saja hilang kendali. 

Mereka terseret jauh atas desakan "kebersamaan". Mereka yang pada awalnya hanya terkotak-kotak di rumah, kemudian harus meleburkan diri di sebuah kerumunan massa yang secara otomatis melunturkan ciri-ciri personal mereka sehingga mau tidak mau mereka mengikuti sikap sesamanya dalam apa yang disebut sebagai "ruang kolektif".

Itulah yang menjadi ciri khas kekerasan massa, ruang kolektif terbentuk akan "kebersamaan" sehingga tindakan yang dihasilkanpun bersikap kolektif. Wajar jika mereka bersama-sama teriak lantang: "Pancung, gantung, bunuh Ahok."

Wajar jika mereka satu suara menolak menyalatkan dan menguburkan jenazah pembela penista agama. Ruang kolektif memaksa mereka menghilangkan nalar akal sehat, membelokkan agama sebagai sesuatu taken for granted untuk kebaikan menjadi perwujudan ekstrem yang jauh dari nilai-nilai keagamaan. 

Kekerasan ekstrim itu jelas berbeda dengan konteks kekerasan yang dilakukan secara individu. Hal itu dikarenakan mereka tidak melakukan itu hanya sekadar rasa dendam, atau kebencian personal melainkan juga akibat dipanaskan oleh "kompor" dalam sebuah kelompok.

Aturan hukum memang sudah mengatur secara jelas konsekuensi hukum karena kekerasan individu, namun jika kekerasan dilakukan oleh massa akan sangat dilema hukum dalam menentukan siapa-siapa saja yang bersalah dan patut dipidana.

Karena pada dasarnya kekerasan massa dilakukan di luar batas hukum. Merekalah yang justru bertindak melampaui hukum itu sendiri. 

Empedokles, seorang filsuf penganut pluralisme beribu-ribu tahun silam telah memaparkan bahwa manusia tidak akan melakukan kekerasan terhadap orang lain jika manusia itu menganggap sama pihak lain. Otomatis, Empedokles menarik kesimpulan bahwa jika sebuah massa melakukan kekerasan, tentu pihak luar akan dianggap yang "lain" 

Jenazah-jenazah yang terancam ditolak untuk dikuburkan atau disholatkan, Djarot yang diteriaki pada saat Haul Soeharto, Ahok yang diteriaki "gantung, bunuh dan pancung" pada beberapa aksi diposisikan sebagai korban atau target yang harus diasingkan, disingkirkan, dikucilkan, dibenci.

Korban mengalami proses dehumanisasi sampai sebatas sekadar objek untuk diinjak-injak, dicaci, disingkirkan melalui berbagai macam aksi massa.

Massa pada dasarnya memang terdiri dari individu-individu yang bergerak secara anonim. Coba saja suruh salah satu peserta aksi untuk memperkenalkan "7 juta" peserta lainnya secara rinci, apa bisa? Tentu tidak.

Mereka membawa stigma sebagai senjata destruktif untuk dibenturkan kepada pihak lain. Sehingga massa yang melakukan aksi kekerasan tidak lagi melihat orang dari pihak lain sebagai manusia melainkan sebagai musuh yang harus segera dibasmi. 

Mereka tidak mau memahami secara mendalam pokok persoalan yang terjadi, kesabaran untuk berpikir secara terbuka juga ikut sirna dari kepala.

Hal itu membuat massa yang melakukan kekerasan massa atas nama agama mencari jalan pintas dengan mencari "pembenaran" yang cepat. Memang sangat disayangkan, mereka menggunakan cara-cara ekstrim untuk mencapai tujuan politis, jauh dari nilai-nilai yang Islami. 

Kekerasan massa semata-mata tidak dilakukan atas "naluriah" atau "spontanitas". Mencaci, menghina, meneriaki, hingga memukul atau melukai yang "lain" dilakukan karena dianggap bernilai bagi kelompok. Wajar jika mereka menganggap aksi ekstrim mereka sebagai upaya membela ini, itu dan anu.

Mereka juga mengalami gejala panik massa, sehingga mudah untuk terprovokasi dan dimobilisasi dalam melakukan aksi kekerasan. Terjadi sebuah perversi dalam menentukan mana yang benar dan yang salah.

Ketika caci maki, hujatan, teriakan, kekerasan fisik terhadap individu lain pada awalnya dianggap sebagai aksi cacat moral, maka lewat kekerasan massa aksi itu menjadi "lazim".

Agama sebagai sesuatu yang sudah dianggap taken for granted serta terbentuk melalui proses yang panjang lewat sejarah, serta melebur dengan konteks sosial budaya masyarakat setempat.

Gerakan kekerasan massa atas nama agama memperlihatkan bahwa agama sebagai sesuatu yang lahir secara suci bisa sewaktu-waktu terkontaminasi oleh ulah-ulah manusia yang bergerak secara ekstrim dalam memahami agama. 

Haryatmoko (2003, h. 68) menyebutkan bahwa persoalan seperti itu menimbulkan sebuah kritik tersendiri terhadap agama sebagai sebuah ideologi.

Bukan dalam artian kritik untuk menjatuhkan dan melemahkan nilai-nilai keagamaan atau pembenaran atas pandangan atheis, melainkan sebagai upaya untuk menjadikan agama menjadi lebih baik melalui penyesuaian diri terhadap realitas majemuk.

Seyyed Hosein Nasr dalam bukunya the Heart of Islam menampik secara keras menggunakan agama untuk menjalankan kekerasan massa bukanlah sesuatu yang dibenarkan.

Pluralisme dalam kehidupan beragama maupun kebangsaan bukan disikapi melalui konflik yang semakin memperkeruh situasi.

Situasi yang semakin kacau oleh aksi-aksi seperti itu memang sudah sepatutnya ditindak oleh aparat penegak hukum. Menindak tegas mereka-mereka yang menjadi dalang di balik kekerasan massa itu perlu dilakukan untuk menimbulkan efek jera yang konsisten.

Di sisi lain, proses belajar sosial tentang kekerasan massa perlu diminamilisir khususnya oleh media massa, dengan tidak mengungkapkan secara detail tindakan kekerasan massa.

Pemerintah perlu menggiatkan lagi hubungannya dengan organisasi-organisasi keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah untuk merangkul mereka-mereka yang labil ke jalan kelompok yang konstruktif dan produktif sesuai citra keagamaan moderat bangsa ini dan tentunya nilai-nilai keindonesiaan.

Mereka yang memposisikan diri sebagai pemimpin baik di pemerintahan atau organisasi masyarakat sipil lainnya sekiranya menjunjung sikap ke-Kita-an sebagai wujud pelaksanaan kebhinnekaan.

Semua sama, tidak ada yang "lain", tidak ada yang harus "disingkirkan".  Menjalin komunikasi secara erat lintas etnis, agama, suku dan ras rasanya menjadi tanggung jawab moral nyata untuk memerangi pihak-pihak yang lantang bersikap ekstrim merusak nilai-nilai persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa.  

Sudah selayaknya sebagai pemeluk agama perlu berpandangan pemahaman keagamaan tidak melulu berangkat dari kehendak diri sendiri atau suatu kelompok pemeluk melainkan juga harus didasarkan pada kesadaran realitas kehidupan yang majemuk. 

Di sisi lain, umat beragama Indonesia yang memiliki pandangan moderat perlu saling merangkul sesamanya dalam rangka mengajak untuk mengubah visi keberagaman yang sempit, ekslusif dan normatif ke dalam visi yang inklusif dan humanis. 

@dylan aprialdo rachman


Soeharto, PKI dan Pilpres 2019


DUNIA HAWA - Saya sejak lama yakin, bahwa ruh Soeharto akan dibangkitkan kembali. Kekuasaan itu manis rasanya dan orang yang sudah pernah mencicipinya selalu ingin merasakannya lagi. Terutama dari keturunannya yang punya ambisi untuk kembali menguasai negeri ini.

Dan cara membangkitkan ruh Soeharto adalah dengan mencuci namanya. Di dunia marketing namanya re-branding.

Cara melakukan rebranding awal adalah dengan mengingatkan masyarakat bahwa "sungguh enak pada masa pemerintahan Soeharto". Harga murah, negara aman, proyek lancar dan lain-lain. Jadi wajar ketika sedang berkendara di jalan, kita menemukan gambar Soeharto di bak-bak truk dan spanduk-spanduk dengan kata, "Enak jamanku, tho".

Kata "enak" disini untuk menghapus stigma bahwa Soeharto adalah rezim yang begitu otoriter yang membungkam banyak mulut para penentangnya.

Kata "enak" dengan harga pangan dan barang murah juga untuk menghapus memori banyak orang bahwa banyaknya subsidi di era Soeharto, membuat kita sekarang sibuk membayar hutang dan akhirnya tunduk dibawah kaki IMF akibat hampir bangkrut karena KKN besar-besaran di hampir semua sektor.

Sesudah selesai melakukan langkah awal dengan "Enak zamanku, tho", baru dimulai langkah kedua, yaitu isu bangkitnya PKI.

Isu PKI sejak dulu selalu dimainkan oleh Soeharto. Dengan pasal-pasal karet yang sengaja dibuat, maka isu PKI ini sukses membungkam banyak suara. Bicara tentang PKI pada masa itu bisa hilang tak ketahuan dimana belantaranya.

Dan melalui ormas-ormas Islam, isu PKI dibangkitkan kembali hanya untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa Soeharto-lah pahlawan pemberantas PKI. Kita ditakut-takuti dengan isu itu dan bahkan seorang mantan Jenderal pernah mengatakan sudah ada 15 juta PKI di Indonesia ini.

Dan isu PKI paling cocok disandingkan dengan isu anti China. Seperti kita tahu juga, masalah SARA dengan menyudutkan etnis China adalah senjata utama rezim Soeharto untuk mempertahankan kedudukannya.

Ingat tragedi 1998?

Kental sekali isu anti China di peristiwa itu, hanya untuk menunjukkan kepada masyarakat, "Benar kataku tho..". Belum tragedi-tragedi lama bentrok antar etnis yang dipelihara, diredam dan dipakai lagi sebagai bagian dari sandiwara politik.

Dan ketika semua sudah siap, maka -Tarrrraaa- muncullah Tommy Soeharto yang diangkat sebagai reinkarnasi bapaknya. Terlalu gamblang benang merahnya. Tommy dipersiapkan sebagai Capres 2019, karena memenuhi beberapa syarat, yaitu muda, ganteng, kaya raya dan punya nama Soeharto di belakangnya.

Siapakah dibalik semua ini?

Banyak yang punya kepentingan. Terutama ketika banyak juga yang ragu bahwa Prabowo bisa menang melawan Jokowi di 2019. PKS juga punya andil besar disini, karena sejak lama merekalah selalu mendesak supaya Soeharto dijadikan pahlawan nasional.

Pilpres Indonesia kali ini akan berlangsung menarik, tapi juga keras. Untuk memenangkan Pilpres 2019, maka yang harus dilakukan adalah menguasai Jakarta dan Jawa Barat.

Jawa Barat? Kenapa begitu penting?

Nanti kita bahas di tulisan selanjutnya. Sekarang seruput kopi dulu, biar mata segar dan bisa melihat dengan jelas "gambar besar"nya.

Oke oce...

@denny siregar


Anies Baswedan, Islam Radikal dan Narasi Orde Baru


DUNIA HAWA - Kontestasi politik di DKI Jakarta semakin memanas. Putaran ke-II pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta memasuki tahap baru, berupa perubahan peta politik serta pergeseran dukungan untuk masing-masing pasangan calon (paslon). Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot) dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Uno) bersaing ketat untuk memperebutkan simpati publik di Jakarta. 

Sebelumnya, pada putaran pertama Pilkada DKI pada 15 Februari 2017 lalu, Ahok-Djarot  memimpin perolehan suara dengan 2.364.577 suara (42,99 5), sementara Anies-Uno meraup 2.197.330 (39,95 %), sebagaimana data yang dilansir Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta. Pasangan Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni terpental dari ring Pilkada, berada pada nomor buncit dukungan suara. Selanjutnya, pada 19 April 2017 nanti, akan diselenggarakan Pilkada putaran ke-2 untuk memilih pemimpin DKI Jakarta.

Menariknya, terjadi pergeseran peta politik dan konstelasi dukungan terhadap masing-masing pasangan calon. Esai ini, hendak mengurai lebih dalam, bagaimana perubahan peta dukungan ini terjadi? Di sisi lain, imajinasi tentang Orde Baru yang dibangkitkan kembali, akankah signifikan untuk mendulang suara?

Penulis juga akan mengulas sosok Anies Baswedan yang pada proses Pilkada DKI Jakarta, bergerak menuju kelompok Islam garis keras, dalam hal ini merapatnya kubu Anies-Uno di bawah payung Front Pembela Islam (FPI) dan figur Rizieq Syihab. 

Imajinasi Orde Baru 


Ada dua peristiwa penting yang menjadi sorotan penulis, yakni merapatnya Anies Baswedan ke kubu Islam garis keras dan bangkitnya imajinasi Orde Baru. Dua hal ini, menjadi penanda betapa realitas politik masih membuka kemungkinan-kemungkinan yang merupakan gerbang untuk mencari tambahan suara. Sementara, isu-isu agama, etnis dan sentimen ideologi semakin mengeras, membuat publik terbelah. 

Kunjungan politik Anies Baswedan ke markas FPI di Petamburan, Jakarta, pada 1 Januari 2017 lalu menjadi catatan penting untuk menilai karakter dan visi keagamaan Anies. Di forum ini, Anies menilai bahwa dirinya datang untuk menetralisir fitnah-fitnah yang selama ini menghantam dirinya. Mulai dari liberal hingga Syiah.

Tentu saja, merapatnya Anies ke kubu FPI, yang selama ini menjadi representasi kelompok Islam garis keras yang berkolaborasi dengan jaringan Wahabi, menjadi tanda tanya. Jika sebelumnya, Anies sering menolak kekerasan beragama dan mengecam ormas radikal, maka pada proses Pilkada terjadi sebaliknya: silaturahmi politik untuk saling mendukung. 

Momentum kedua, yakni pada rangkaian Haul Soeharto dan peringatan Supersemar. Agenda ini diselenggarakan di Masjid at-Tien, kompleks TMII, pada Sabtu, 11 Maret 2017 lalu. Hadir pada agenda ini, barisan keluarga Cendana (Siti Hardijanti Rukmana, Siti Hediati Hariyadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih), Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Hadir juga Ustadz Rizieq Syihab dan Ustadz Arifin Ilham. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat yang datang untuk memenuhi undangan, diusir dari forum ini. Agenda shalawat yang kental dengan nuansa politik. 

Pada agenda ini, Anies Baswedan mengungkapkan betapa sejarah menjadi teropong untuk melihat masa depan. Ia berkomentar normatif mengenai silang sejarah Orde Baru. “Indonesia punya begitu banyak peristiwa bersejarah. Tugas kita adalah belajar dari sejarah untuk masa depan. Jadi, menengok ke belakang bukan sekedar untuk mempelajari masa lalu, tapi mengambil hikmahnya untuk Indonesia masa depan,” jelas Anies di Masjid at-Tin, sebagaimana dilansir Tempo (12/03/17).

Merapatnya Anies Baswedan ke kubu FPI dan barisan Cendana, merupakan pertanda betapa politik memiliki logikanya sendiri. Jika sebelumnya Anies sering mengungkapkan tentang bahaya kelompok radikal, ia mengkhianati ucapannya sendiri.

Jika selama ini, Anies hadir sebagai representasi cendekiawan-politik era reformasi dengan membawa agenda perubahan, ia sejatinya mengkhianati cita-citanya sendiri. Ambisi politik menjadikan Anies bersanding dengan keluarga Cendana dan merapat di lingkaran Islam garis keras. Inilah realitas politik negeri ini. 

Jika kita jeli melihatnya, tentu saja isu-isu tentang penistaan agama, cina-kafir, maupun bangkitnya komunis-PKI menjadi bagian dari komodifikasi politik untuk mendulang simpati publik. Namun, efek buruknya, masyarakat kita menjadi terbelah dan terpecah, hingga terjadi intoleransi di tingkat warga.

Kasus penolakan untuk menshalati jenazah, merupakan rententan dari kontestasi politik yang membelah warga. Beruntung, para pemuda Ansor dan Banser siap menshalati jenazah warga yang meninggal dan tertolak di kawasannya sendiri. 

Langkah zig-zag Anies Baswedan dan imajinasi Orde Baru, merupakan penanda proses politik DKI Jakarta yang mengancam toleransi. Kita perlu melihat bagaimana efek negatif dari politisasi agama dan meningkatnya isu SARA menjadi bagian kontestasi politik. Sudah seharusnya kita berpikir sehat dan jernih untuk mematangkan proses demokrasi.


@munawir aziz


Siapa Penista Agama Sebenarnya?


DUNIA HAWA - Tulisan ini masih seputar pilkada DKI Jakarta. Kini babak baru putaran kedua telah dimulai. Pilkada kedua kali ini menyisakan dua paslon, yakni Ahok-Djarot dan Anis-Sandi. Pasca penetapan akan adanya putaran kedua masing-masing paslon melakukan kampanye dengan cara masing-masing.

Jakarta sebagai peradaban paling maju dibanding daerah lain. Memiliki daya tarik yang kuat. Hingga tak heran kesibukan hinga kemajemukan tumpah  di sana. Seiring kemajemukan warga Jakarta mestinya menjadi tolak ukur bagi terjalinya hidup rukun dan toleran dalam keberagaman.

Sayangnya kini momentum pilkada di Jakarta khususnya, telah membawa arah politik model baru. Model Politik sepertinya sudah lagi tidak sehat. Beragam cara dilakukan untuk mencapai kekuasaan. Kenyataan ini jelas politik telah mengalami disorientasi. Dari orientasi kebangsaan menjadi orientasi identitas atau golongan.

Politik model baru yang saya maksud adalah politik agama. Di Jakarta, majemuk warganya, sangat sensitif tentunya jika bicara soal agama. Bahkan belum lama ada kasus dugaan penistaan agama kepada Ahok-Djarot. Kini telah berbulan-bulan Ahok menjalani proses hukumnya secara terbuka.

Pertanyaanya, apakah Ahok benar-benar telah menistakan Agama? berdasarkan keyakinan Ahok memang non muslim. Dalam demokrasi tidak ada status identitas yang membedakan perolehan hak dan kewajiban. Termasuk hak sipil-politik.

Sampai proses sidang yang kesekian kalinya, hingga putaran kedua pilkada dimulai, Ahok sangat kooperatif. Baik dalam proses hukum politik, maupun tanggungjawabnya sebagai gubernur. Pidato Ahok menyebut al-Maidah di Pulau Seribu itu bukan dalam proses kampanye, itu dilakukan sebelum pilkada berlangsung.

Ahok-Djarot sama sekali tidak diuntungkan melalui kasus ini. Terutama dalam proses pilkada. Ahok juga tidak menggunakan kasus yang menimpanya sebagai bentuk proses kampanye. Karena justru itu hakikatnya menjatuhkan elektabilitasnya. Namun tidak demikian, putaran pertama Ahok memenangi suara warga Jakarta.

Melihat kemenangan Ahok, penistaan itu sekedar wacana publik. Warga Jakarta tau benar kalau mereka membutuhkan pemimpin yang serius bekerja. Jika demikian demokrasi di Jakarta masih baik. Tidak penting apa agamaya jika dia bekerja serius untuk Jakarta itu adalah yang terbaik.

Lalu apa sebenarnya penistaan Agama? “penistaan agama”, kata ini mesti dijernihkan terlebih dahulu. Seperti apa orang yang menistakan agama? Kecenderungan seorang penista cenderung melakukan tindakan diluar nilai agama.

Misalnya, agama mengajarkan kebaikan. Tapi ada umat yang melakukan kekerasan atas nama agama. agama melarang korupsi, ada umat taat tapi korup trilyunan. Ada juga korupsi dana pengadaan al-Qur’an, bukankah itu lebih menistakan agama.

Ahok-Djarot selalu bersikap terbuka dan toleran kepada agama-agama. Ahok dekat dengan tokoh-tokoh ulama keIndonesiaan. Ahok santun kepada umat Islam. Bahkan Ahok telah menjadikan Makam mbah Priok sebagai cagar budaya.

Ahok ini sosok yang toleran, menghargai keragaman agama. Selama proses pilkada, Ahok sama sekali tidak menggunakan politik SARA. Faktanya Ahok masih banyak mendapat dukungan dari elemen lintas agama.

Lalu siapa yang menistakan agama? Ia yang menjadikan agama sebagai proses politik. Memanipulasi iman sebagai proses meraih kekuasaan. Agama dijadikan sebagai senjata untuk merengkuh tujuan identitas. ini jelas-jelas penistaan agama.

Agama yang sebenarnya sebagai sarana beribadah, dijadikan sebagai sarana kampanye. Bukankah itu penistaan agama. Agama itu sifatnya mengarahkan kepada kebaikan, bukan kesesatan. Jika agama digunakan untuk memanipulasi suara, mengarahkan orang berdasarkan keyakinan memilih pemimpin yang tidak benar, bukankah itu penistaan terhadap agama.

Kini bangsa kita sedang perang melawan intoleransi yang digerakan kaum radikal agama. Untuk melawan kelompok intoleran mesti diadakan kerja kolektif lintas identitas. Pasalnya kaum intoleran kini telah bergerak dengan berjubah politik, membentuk partai, menguasai publik, dan merebut kekuasaan.

Jika kaum intoleran berkuasa, sudah tidak akan bisa dibendung lagi paham-paham radikal di negeri ini. Apalagi Jakarta sebagai poros gerakan politik kebangsaan. Kita perlu membendung gerakan kaum intoleran juga melalui poros gerakan wacana agama, sosial, dan juga politik.

Khilafah islamiyah, itu gerakan ideologis yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama. tujuannya melemahkan pancasila. Kaum intoleran itu kini sedang berjuang mencapai tujuanya melalui jalur politik dengan memanipulasi dalil-dalih agama.

Bahaya politik kaum intoleran kini telah berusaha mencapai porosnya di Jakarta. jangan biarkan gerakan politiknya menang dan menguasai poros politik itu. Tindakan mereka memanipulasi agama dalam berpolitik itu penistaan agama yang sebenarnya.

Jika ada paslon yang berkomplot dengan kaum intoleran itu juga sebuah penistaan. Karena ia telah berkerja sama untuk memuluskan jalan dalam melemahkan sistem negara bangsa. JIka Jakarta jatuh kepada kelompok intoleran maka Jakarta akan dijadikan basis dalam melemahkan sendi keragaman yang sebenarnya adalah fondasi persatuan dan kesatuan bangsa.

Memilih pemimpin harus mempertimbangkan dimensi gerakan kaum intoleran. Karena kaum intoleran kini menggunakan gerakan politik untuk menguasai wacana publik. Untuk itu, pilihlah pemimpin yang mengusung pentingnya membangun dialog keragaman dan toleransi, bukan yang berkomplot dengan kaum-kaum intoleran.


@febri hijroh mukhlis