Friday, February 10, 2017

Prediksi Langkah Sang Mantan

DUNIA HAWA - Pilkada DKI sudah di depan mata, debat hari ini akan menjadi saat terakhir masing-masing Paslon untuk “menjual” dirinya sebelum minggu tenang. Pada tahap ini para penonton siap-siap menyaksikan jurus-jurus sakti level 10 apalagi yang akan keluar untuk makin memeriahkan pertarungan ini.
Sebenarnya tak perlu jadi ahli atau survey untuk memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya, sederhana saja.


Dimulai dari cuitan-cuitan penyadapan yang diduga dilakukan oleh sang penista agama dan konco-konconya, tuduhan yang sangat serius mengingat tidak pernah ada kata-kata penyadapan, bukti rekaman atau transkrip yang pernah diucapkan oleh Ahok dan tim pengacaranya.

Lalu kejadian kemarin ‘digerudug’ ratusan massa misterius yang berteriak-teriak di depan rumah pepo, teriakan-teriakan yang belum dapat diklarifikasi, apa yang diteriakan, dan kepada siapa mereka berteriak, tidak jelas maunya apa. Tapi yang pasti publik sengaja diarahkan untuk beropini bahwa ada pihak-pihak yang ‘membully’ keluarga sang mantan. Bukti bahwa ada yang mendzolimi keluarga sang mantan.

Aksi Super Duper Damai 112 besok sudah disiapkan, meski sudah dipindahkan ke dalam kawasan Masjid Istiqlal, tapi show must go on, dengan susunan acaranya yang kira-kira adalah :

•Jam 07.00-08.00 Kumpul (daftar ulang)

• Jam 08.00-09.00 Pembukaan oleh imam besar

• Jam 09.00-10.45 Orasi ‘membela’ Islam jilid 4

• Jam 10.45-11.30 Menjelek-jelekan dan memastikan tidak ada yang pilih paslon dua,

• Jam 11.30-12.15 Pengarahan untuk mewaspadai kecurangan-kecurangan yang akan terjadi di Pilkada

• 12.15-12.45 Takbir sampai serak,

• 12.45-13.30 Pembagian makan siang dilanjutkan bagi- bagi souvenir

Aksi yang agak kurang semangat dan peminat ini diprediksi sebagai upaya terakhir untuk memastikan tidak ada yang memilih Paslon yang kafir, penista agama, yang sudah menyakiti ulama sejagat raya. Meski kehadiran sang imam besar belum dapat dipastikan mengingat jadwalnya yang sudah sangat padat. Tapi dapat dipastikan akan meriah!

Berikutnya adalah langkah-langkah mendeskreditkan KPU, KTP-KTP palsu beredaran disana-sini, data-data DPT yang tidak sinkron dan tidak credible, kecurangan yang terjadi terstruktur , sistematif dan massif. Menimbulkan kecurigaan yang sangat besar bahwa ada yang mendzolimi putera kesayangan sang mantan- baper tingkat dewa.

Relawan-relawan nomor dua juga harus berhati-hati, jika tidak hati-hati relawan yang sudah bersiap menjadi pengawas di TPS-TPS akan menjadi boomerang, dijadikan alasan bahwa adanya tekanan kepada petugas TPS sehingga hasilnya tidak netral, atau bahkan ada petugas-petugas KPU yang berpihak kepada paslon no 2.

Hal-hal tersebut akan dijadikan modal kuat ketika nanti hasil pilkada keluar, jika memang benar putera mahkota ketinggalan jauh dari paslon yang lain, maka akan sangat mungkin kubu sang mantan akan membuat kegaduhan yang luar biasa besar, membawa hasil pilkada ke MA, bahkan kalau perlu kasusnya lebih besar dari kasus Ahok sang penista dan Mirna kopi beracun digabungkan.

Mungkin setelah itu langkah-langkah bertemu dengan Pakdhe akan terasa lebih curam dan terjal, sang mantan akan makin sering cuit-cuit merasa dipinggirkan dari arena, sebagai korban penguasa, sudah dicurangi-dicuekin lagi sama Pakdhe, berharap makin banyak yang simpati, membangun momentum untuk hak angket.

Kalo itu yang benar-benar terjadi, bersiap-siaplah untuk menyaksikan dagelan-dagelan berikutnya. Saya cuma kasihan dengan para pemimpin yang benar-benar ingin membangun negeri ini, harus terganggu konsentrasinya, harus ‘membuang’ energinya untuk mengurusi hal-hal yang sebenarnya menghambat pembangunan bangsa ini.

Rencana-rencana kerja yang sudah disiapkan jauh-jauh hari mungkin harus digantikan dengan pemanggilan-pemanggilan, pemeriksaan saksi-saksi. Kinerja pemerintah yang maunya kerja harus diganggu oleh unjuk rasa/ demonstrasi yang ditujukan untuk membela ketidakadilan.

Apalagi jika kasus Ahok dihentikan dan kasus chat seks Fitsa Hots, kasus penghinaan Pancasila, penghinaan pecalang, dan yang lain-lainnya diteruskan maka bisa jadi provokasi akan terus berlanjut, sang mantan akan terus memakai premis ketidakadilan hukum yang selalu memihak kepada penguasa dan antek-anteknya.

Kalo sudah begini saya tak sabar menanti langkah-langkah cantik dari Pakdhe Jokowi CS selanjutnya. Selama ini dengan cara yang khas Pakdhe Jokowi terlihat sangat piawai, terkesan santai namun jitu, menjawab semua tantangan yang mencoba menghambat atau menjatuhkannya.

Kita doakan saja semoga Pakdhe diberikan kesabaran dan kebijaksanaan untuk kembali membuktikan kualitas maestronya, memimpin bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik.

Mari kita simak babak selanjutnya.

@leonardo dosduo


(Kampanye Paslon1) Ketika Tuhan Dipaksa Kampanye

DUNIA HAWA - Entah jurus apalagi yang dipakai oleh mas Agus hanya untuk memenangkan pilgub DKI ini. Sesudah sibuk bela agama, diteruskan bela ulama, sekarang Tuhanpun diseret-seret untuk kampanye.


Tema kampanyenya sebenarnya doa bersama. Tapi kemudian seluruh yang hadir disana harus berbaiat untuk memenangkan paslon 1.

Baiat adalah pengucapan sumpah. Dan dengan nama Tuhan yang diseret ke lapangan, proses baiat pun terjadi.

"Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, dengar kesaksian kami ya Allah untuk berjanji memilih nomor satu, memenangkan Agus-Sylvi, untuk menjadi gubernur Muslim di Jakarta.." kata si ustad yang percaya diri Tuhan dekat dengannya. Mungkin dia "orang dalam".

Belum selesai sampai disitu, ditebarlah ancaman. "Siapa yang sudah dibaiat, bila sampai waktunya tidak memilih nomor satu, maka akan menerima risikonya.."

Wow... Saya sampai tidak bisa berkata apa-apa membacanya. Sampe segitunya?? Entah saya harus menilainya bagaimana.
Ini bisa dibilang level penghinaan tinggi terhadap sifat keTuhanan. Seolah Tuhan bisa seenaknya diseret untuk kampanye dan harus tunduk pada keinginan si ustad yang -sudah pasti- timsesnya mas Agus.

Dan mas Agus pun senyum-senyum sesudah pembaiatan itu. "Sampai bergetar saya.." Katanya. Entah apanya yang bergetar. Mungkin lupa, henponnya gak dimatikan nada getarnya.

Tuhan sering diseret paksa dalam kampanye. Tapi kampanye kali inilah yang benar-benar memperkosa Tuhan dalam sifatNya. Seolah Tuhan akan menghukum keras mereka yang sudah bersumpah dan nanti ingkar tidak memilih Agus.

Mungkin -ini mungkin ya- sudah terdengar selentingan bahwa paslon 1 adalah paslon paling royal, meskipun laporan dana kampanyenya dilaporkan paling rendah. Banyak yang datang sekedar untuk dapat uang atau barang, tapi urusan mencoblos nanti dulu..

Nah supaya si penyandang dana tenang, maka si ustad pun menggadaikan dirinya untuk menyeret Tuhan ke lapangan dalam konsep baiat. Yang penting si tuan senang, biar amplop tebal mengalir lancar.

Entah apa lagi nanti yang akan dilakukan. Bela agama sudah usai. Bela ulama, gak mempan. Kalau sudah nyeret Tuhan nanti gada pengaruhnya, apa harus berkata," Sebenarnya.. Sayalah Tuhan.." hanya supaya terpilih jadi Gubernur DKI?

Mereka yang mudah mengatas-namakan Tuhan, sebenarnya adalah mereka yang nanti juga mudah menghianatinya.

"Ya Tuhan YME.. bagaimana pendapatMu?".

"Maap, gua maennya di twitter sekarang. Di fesbuk gada yang baper.."

Ah, makin mengerikan dunia ini. Mending seruput kopi..

@denny siregar


Buat Ahok, Anies Lebih Mengerikan? (Waspadai Kesantunan)

DUNIA HAWA - Kontradiksi dalam Pilkada DKI merupakan pertentangan tingkat mikro di Jakarta, yang dengan jelas merepresentasikan pertentangan tingkat makro di Indonesia, antara Jokowi dengan para borjuis rente yang sudah meledak semenjak Pilpres 2014 yang lalu. Karena itu maka Jokowi dan Ahok memang tidak bisa dipisahkan, karena mereka adalah simbol dari perjuangan dalam melawan “sekarang dan selamanya” menghadapi kekuatan borjuis rente yang terus menerus menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Indonesia.


Salah satu calon harus menghadapi dua kekuatan lama, yaitu AHY mewakili kekuatan SBY dan Anies mewakili kekuatan Prabowo, dan dua kekuatan lama ini sudah turun gunung. Keduanya identik dengan oligarki borjuis.

Namun disisi lain, nama AHY terangkat lebih dulu dalam ruang “populis” yang dalam hal ini merupakan lawan Ahok. Baik itu karena dia putra sang mantan sekaligus bully kepadanya dimedia sosial. Hingga tampak seperti dia unggul dan lawan yang menakutkan, ditambah lagi barisan mobilisasi massa disebut-sebut berada dalam skuat tim AHY.

Ada sesuatu yang tampak adem dan santai yang harus diperhatikan. Siapa lagi kalau bukan Anies Bawesdan. Namanya terus menanjak dalam grafik survei bahkan sampai debat pada putaran ke-dua, Anies menyalip AHY. Seperti yang saya buka di awal tulisan bahwa selain ada kekuatan SBY dalam lawan Ahok, jangan lupa dibelakang Anies ada Prabowo, yang juga sangat piawai dalam strategi politik. Ketika pilpres menghadapi Jokowi, selisih suara tidak begitu telak.

Litbang Kompas melakukan survei untuk melihat preferensi publik pada Pilkada DKI Jakarta pada 28 Januari-4 Februari 2017. Hasil survei menunjukkan bahwa cagub-cawagub nomor pemilihan satu DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni memiliki elektabilitas 28,2 persen.

Kemudian, elektabilitas cagub-cawagub nomor pemilihan dua Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat sebesar 36,2 persen, dan pasangan nomor pemilihan tiga Anies Baswedan-Sandiaga Uno memiliki elektabilitas 28,5 persen.

Sementara itu, responden yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) sebanyak 7,1 persen.

Survei kali ini merekam perubahan pola dukungan masing-masing pasangan calon bila dibandingkan dengan hasil survei Litbang Kompas pada 7-15 Desember 2016. Elektabilitas Agus-Sylvi menurun, sementara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi meningkat. (Kompas.com)

Anies Bawesdan dkk, sangat pandai memainkan suasana dan hiruk pikuk percaturan politik dalam Pilkada DKI yang cukup memanas lantaran membawa sentiment agama. Tim Anies seolah-olah tidak mau ikut terlibat dan terjebak, namun secara terselubung sebenarnya mereka memanfaatkan kondisi ini. Hal ini dapat kita lihat Anies yang bergerilya termasuk menemui Rizieq Shihab meskipun hanya sekedar silaturahmi.

Disisi lain dalam acara stasiun televisi yaitu Mata Najwa. Terlihat juga Anies menyinggung soal Al-Maidah 51, yang artinya sentimen agama yang bombastis secara tidak langsung juga dimainkan oleh Anies Bawesdan.

Survei berikutnya, dari sumber berita yang berbeda yang dikabarkan oleh detik.com, menunjukkan bahwa petahana, pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat memiliki elektabilitas 31,9% diikuti oleh Anies Rasyid Baswedan–Sandiaga Salahuddin Uno 23,2% dan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni dengan elektabilitas 16,7%. Masyarakat Jakarta yang belum menentukan pilihan sebesar 28,2%,”. Yang mana hal ini Anies Bawesdan hanya terpaut 7% dari Ahok.

So, wajar jika SBY lagi pusing-pusingnya sekarang. Disini juga ada Prabowo, dan keduanya sama-sama berambisi.

Jika AHY terus merosot, tidak menutup kemungkinan apabila terjadi dua putaran, dimana hal ini adalah pertarungan Ahok dan Anies (Kekuatan Prabowo). Apabila hal ini menjadi nyata dan kenyataan, maka dapat berbuah ancaman.

Anies Bawesdan akan tetap memanfaatkan suasana sentiment agama dan akan lebih gencar. Karena kalau mencoba netral, bahwa tidak semua pemilih berwatak rasional. Kecenderungan komunal akan tetap melihat bahwa kepentingan publik tidak begitu penting ketimbang surga dan neraka. Yang mana politik identitas akan tetap bermain dalam hal ini, untuk menguasai masyarakat kontemporer urban yang doyan mendengarkan ceramah ustad selebritis produk neo-capital. Dan suara kubu AHY yang seandainya keok bisa beralih ke Anies Bawesdan.

Saya berpandangan bahwa tim Ahok untuk fokus dengan siasat Anies, dan tidak bisa dipungkiri bahwa namanya kian menanjak. Meskipun pembuktiannya ada pada penghitungan suara. Apalagi ditambah orasi Prabowo “jika mau saya jadi presiden 2019, pilih Anies-Sandi”. Meskipun itu bukan patokan. Anies Bawesdan memang pada kenyataannya lebih menakutkan ketimbang AHY.

Santun tapi MENERKAM

@losa terjal


Larangan Aksi 112 dan Politik Belah Bambu

DUNIA HAWA - Diakui atau tidak Aksi 212 yang (katanya) berhasil mengumpulkan 7 juta orang di Monas, telah meresahkan pemerintahan Presiden Jokowi karena menyebabkan polarisasi di masyarakat yang bisa merobek kebhinekaan Indonesia. Arsitek aksi ini, yakni Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF), berhasil memanfaatkan momentum kasus dugaan penistaan agama dan membetot perasaan bawah sadar sebagian umat Islam yang tersinggung, bahwa saatnya untuk berkata bahwa Islam sama sekali tidak boleh dinistakan.


GNPF ingin terus mempertahankan momentum ini melalui kampanye “Spirit 212 Bela Islam” yang memunculkan wajah mereka sebenarnya yang makin politis. Karena unsur ini, GNPF tidak mampu mengarahkan biduknya dengan sistematis dan taktis untuk menjadi kelompok penekan yang permanen.

Perkembangan GNPF ke depan sebagai gerakan sosial keagamaan dapat diprediksi melalui anatomi gerakan sosial yang dikemukakan sosiolog Herbert Blummer. Menurut Blummer, ada empat tahapan proses gerakan sosial yakni emerge (kemunculan), coalescene (bergabung), bureaucratization (formalisasi), dan decline (penurunan). GNPF sudah melalui dua tahapan pertama dan memasuki tahapan formalisasi. Di sinilah GNPF terseok-seok, utamanya karena gerakan itu bentuknya informal.

GNPF dan Frustrasi Kelompok
GNPF hanyalah sekadar pengorganisir massa yang berhasil mengompori dan memobilisasi sebagian Muslim di Indonesia untuk merasa bahwa “mereka tersakiti karena ucapan Ahok.” Selebihnya, mengutip penjual tahu bulat yang pakai mobil pick up, Aksi Bela Islam 411 dan 212 digoreng dadakan tanpa persiapan, apalagi susunan organisasi yang solid.

Para pionirnya gagal melembagakan gerakan itu dalam struktur organisasi formal sesudah aksi 212. Seperti yang dikemukakan Blummer, proses kooptasi di GNPF bisa menjadikan gerakan ini lumpuh karena hanya mengandalkan tokoh-tokoh agama yang hadir dalam Aksi 411 dan 212. Tidak ada tokoh lapis kedua yang bisa menggantikan tokoh-tokoh yang sudah terkenal.

Selain itu, tersirat ada friksi di GNPF tentang tujuan akhir yang ingin dicapai. Arifin Ilham, misalnya, cenderung menarik diri dari GNPF dan nampaknya hanya bersedia memberikan “dukungan moral” saja. Demikian juga Abdullah Gymnastiar yang ogah ikut-ikutan berpolitik. Sementara Bachtiar Nasir, sang empunya gagasan, tidak punya massa solid seperti dua tokoh itu atau Habib Rizieq. Bachtiar Nasir sekadar dalang ideologis, bukannya eksekutor atau pelaksana lapangan.

Tidak heran jika gagasan membentuk Indonesia yang bersyariah dengan tujuan jangka pendek memenjarakan Ahok seperti patung es yang perlahan lumer. Bachtiar Nasir, sang jenderal lapangan, berusaha menghidupkan gerakan ini. Namun seperti halnya sifat organisasi informal, GNPF “menyuntik paksa” norma-norma yang ingin dicapai, hingga massa pendukungnya merasa tertekan.

Gerakan salat subuh berjemaah, misalnya, makin sepi karena pemaksaan norma-norma anti-Ahok yang terus diulang-ulang hingga simpatisan merasa bosan. Ini menyebabkan banyak dari mereka yang tadinya bersimpati justru merasa dikekang dan “diperintah seenaknya” oleh para koordinator GNPF.

Kuda Tunggangan yang Makin Lemah

“Master Plan” GNPF juga bisa berujung gagal karena faktor Front Pembela Islam (FPI). Ormas ini adalah kuda tunggangan utama GNPF yang mampu menghentak perhatian masyarakat lewat manuver Rizieq Shihab. Dialah yang mampu menghimpun massa besar dan berani tampil di hadapan, bertarung dengan aparat keamanan, dan rela berperih mata ketika terjadi kerusuhan. Di luar Rizieq, tokoh-tokoh GNPF lainnya cuma bisa mampu “meramaikan” aksi 411 dan 212 dengan mengerahkan jemaahnya dan hanya mengambil tugas ringan, seperti bersih-bersih sampah kemudian pulang dengan bis mewah.

Tapi kuda tunggangan itu kini lemah karena terlampau percaya diri. Rizieq Shihab setelah 212 makin agresif menyuarakan intoleransi hingga akhirnya dia tersandung diberondiong enam laporan yang semuanya memungkinkan dia menjadi tersangka. Bahkan kini Rizieq dinyatakan sebagai tersangka pelecehan Pancasila.

Pelaporan demi pelaporan juga mendera elite FPI lainya. Munarman menjadi tersangka pelecehan agama Hindu. Novel Chaidir Bamukmin dan Muchsin Alatas dilaporkan oleh tim pengacara Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan saksi palsu. Tidak hanya itu, Bachtiar Nasir juga harus berurusan dengan kepolisian terkait tindak pidana pencucian uang dan kasus makar. Semua perkara hukum itu membuat FPI dan GNPF terkuras energinya dan tidak bisa berkonsentrasi mewujudkan niatnya.

Sialnya, media sosial yang mendukung mereka, termasuk Twitter Rizieq Shihab, diberangus. Ini kerugian sangat besar karena jangankan mereka menyebarkan propaganda, menangkis tuduhan saja mereka terseok-seok. Mereka sekarang bergerak di grup-grup Whatsapp yang tentu saja efek propagandanya terbatas.

Politik Belah Bambu
Lemahnya GNPF sebagai organisasi tersebut memudahkan pihak keamanan dan negara untuk mengendalikan gerakan ini dengan menyekat berbagai kelompok yang terlibat dalam aksi 212 agar tidak bisa bergabung satu sama lain dalam satu gerakan. Ellen Lust-Okar, peneliti dari Universitas New York, dalam disertasi doktoralnya berjudul Divided They Rule: The Management and Manipulation of Political Opposition, mengatakan otoritas negara dalam menghadapi gerakan oposisi berusaha memisahkan mereka dalam tiga kategori: moderat, loyalis ideologis, dan radikal.

Perlakuan negara terhadap tiga kelompok ini berbeda-beda, mulai dari yang akomodatif (moderat), akomodatif terbatas (loyalis) dan represif ( radikal).

Setidaknya ada dua kelompok moderat di GNPF, yakni Arifin Ilham dan Abdullah Gymnastiar. Dua tokoh ini diberi “keistimewaan” untuk berdekatan dengan pemangku keamanan, seperti Panglma TNI dan Kapolri. Beberapa acara dua tokoh ini dihadiri Jenderal Gatot dan Jenderal Tito. Sementara MUI sudah “disterilkan” sebelum 212 dengan pernyataan ketuanya agar GNPF jangan memakai nama MUI.

Adapun kelompok loyalis ideologis, yakni yang sejak lama memperjuangkan simbol-simbol perjuangan, pihak keamanan memberikan konsesi terbatas pada FPI setelah “membiarkan” ormas ini bertindak dan berbicara “seenaknya” kemudian terperangkap lewat hujan laporan pelecahan. Kita tidak tahu apakah terjadi deal tertentu antara pihak keamanan hingga FPI melempem belakangan ini. Rizieq Shihab juga tidak mengeluarkan pernyataan apa pun menjelang pencoblosan. Melihat kiprahnya ke belakang adalah keanehan tersendiri mengapa Rizieq bungkam.

Namun, sudah pasti, jika FPI tetap ngotot turun ke jalan pada 11, 13, dan 15 Februari 2017, polisi akan mengambil tindakan represif. Karena itu, FPI sejak awal menyatakan berada dalam barisan komando Forum Umat Islam (FUI) dalam melaksanakan aksinya di masa tenang itu. Dua perlakuan berbeda ini jelas menyekat Bachtiar Nasir yang bisa dianggap sebagai kelompok radikal mengingat dia adalah jenderal lapangan yang mengatur semua kegiatan, baik di 212 dan sesudahnya.

Sekatan ini jika berhasil akan menyudahi perjuangan GNPF menjadi kelompok penekan yang permanen karena dijauhkan dari kelompok yang mempunyai massa. Tolok ukur keberhasilan cara-cara belah bambu ini mungkin bisa kita lihat di 11, 13 dan 15 Februari 2017.

@budi setiawan