Tuesday, February 7, 2017

Gerakan Anti-Ahok Menjelang Dan Saat Pilgub. Siapa Pengeraknya?

DUNIA HAWA - Pihak Polda Metro Jaya telah mendapatkan informasi adanya pengumpulan massa pada tanggal 11, 12, dan 15 Februari 2017. Bahkan, polisi sudah menerima surat pemberitahuan untuk unjuk rasa pada 11 Februari 2017.


Lihat tanggal-tanggal tersebut, sungguh berdekatan dengan Pilgub. Bila ada yang ingin protes bahwa ini murni bela Islam dan bukan politik maka otaknya perlu dibersihkan, sudah berdebu kayaknya. Lihat saja, untuk apa pengumpulan massa di tanggal 15, PAS saat akan mencoblos? Ini mau nyoblos atau intimidasi?

Aksi Anti Ahok


“Dari surat pemberitahuan yang kami dapatkan, tanggal 11 Februari, massa yang akan berunjuk rasa melakukan pengumpulan massa di Istiqlal, Shalat Subuh, lanjut dan berjalan kaki ke Monas,” ujar Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan. Dari Monas, massa akan berjalan kaki ke Bundaran HI melalui Jalan MH Thamrin dan kembali ke Monas. Mereka kemudian akan membubarkan diri.

Seruan dalam aksi ini masih tegakkan Al-Maidah 51 yang pada ujung-ujungnya adalah jangan memilih Ahok. Apakah mereka mengerti dengan apa yang dimaksud dengan minggu tenang? Minggu tenang malah dipakai untuk menyerang salah satu calon. Dan tentu saja hanya ada satu Cagub kafir di Jakarta. Ini sudah jelas gerakan politik, bukan agama.

Yang diuntungkan jelas kedua calon lain, mereka tidak diserang. Tidak mungkin kedua calon yang lain tidak terlibat dalam aksi ini sama sekali. Terlalu spesifik, demo tentang jangan memilih Ahok, sedangkan lawan mereka berdua Ahok. Bukankah ini berarti ada udang dibalik bakwan?

Masalahnya kita tidak bisa sembarang menuduh tanpa bukti. Bila ada bukti chat antara koordinator aksi dengan otak gerakan, maka tuduhan akan menjadi jelas. Chat tersebut bakal lebih hot dibanding chat Rizieq-Firza karena membuktikan adanya aktor yang memanfaatkan agama demi kekuasaan. Tanpa bukti, kita hanya bisa menerka.

Dana untuk gerakan ini juga pasti bukan daun. Bisa ratusan juta hingga milyaran untuk mengerakkan aksi ini. Semoga saja akan terungkap siapa penyandang dananya, kok dermawan sekali menghamburkan duitnya. Mending dipakai buat bangun masjid, lebih ibadah dibanding demo melulu.

Intimidasi Sebelum Menyoblos


Bagian inilah yang paling bahaya. Selain 11 Februari, polisi juga mendapatkan informasi adanya pengumpulan massa pada 12 Februari. Mereka akan membaca dan menamatkan (khataman) Al Quran di Masjid Istiqlal.

“Tanggal 15 juga rencana ada Shalat Subuh bersama di Istiqlal dan langgar-langgar masjid lainnya dan berjalan ke TPS, akan mencoblos dan mengawasi TPS. Padahal, kita tahu TPS sudah ada yang mengawasi,” kata Kapolda Metro Jaya

Mengawasi TPS?? Serius?? Apa yang perlu diawasi? Bila ada yang melanggar Al-Maidah 51 dibalik bilik suara orangnya mau digrudug gitu? Sudah jelas ini intimidasi, tujuannya sangat jelas, membuat orang takut untuk memilih Ahok. Buat apa coba ada sekumpulan orang di TPS mengawasi orang saat mereka akan mencoblos?

Kita sudah kenal serangan fajar, pembagian bantuan yang katanya bukan money politic dengan tujuan ‘membantu’ kehidupan masyarakat kecil. Syaratnya mudah, coblos di sebelah sini langsung dapat senyuman soekarno satu lembar. Sekarang beda, serangannya pas saat di TPS, ditatapi sama orang-orang stress yang dijamin akan berseru jangan pilih pemimpin kafir.

Negara jangan kalah dengan orang-orang seperti ini. Kalau perlu bila ada yang nekat menjalankan aksi saat 15 Februari, tangkap saja! Jangan sampai pemerintah kalah dengan tindakan preman, menakuti pemilih. Bukankah memilih itu harus dari hati? Bila dipaksakan pilihannya sudah jelas Pilgub menjadi cacad.

Polisi juga perlu menindak sebelum kejadiannya terjadi. Jangan sampai saat tanggal 15 Februari ada pihak-pihak tidak bertangung jawab yang mencari gara-gara. Jakarta merupakan ibukota negara, bila ada kericuhan saat Pilgub media Internasional akan memberitakannya. Mau ditaruh dimana muka kita bila tidak mampu menjaga pesta demokrasi sendiri?

Atau polisi langsung melarang karena gerakan tersebut sangat tidak etis dan dilakukan saat minggu tenang. Malah gerakan yang dilakukan saat Pilgub sudah kurang ajar. Bila setelah dilarang mereka masih ngotot, tangkap saja provokator-provokatornya. Dipastikan bila tidak ada provokatornya maka anggota yang dibawah tidak berani untuk bergerak. Salam Damai.

@evan kurniawan


Masih Relevankah Tuduhan Penistaan Agama?

DUNIA HAWA - Melalui sejarah kita semua tahu bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Tentu saja rentang waktu selama 3,5 abad bukan lah era yang singkat kalau tidak bisa dikatakan amat sangat lama. Padahal di rentang waktu yang sedemikian lama itu tak terhitung berapa kali jumlah pergerakan nasional yang muncul silih berganti untuk melawan penjajahan. Mulai gerakan budaya dan pendidikan seperti Taman Siswa, Budi Utomo dan lain-lain, gerakan sosio-ekonomi Sarekat Islam hingga pergerakan angkat senjata seperti Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), Perang Puputan dan lain-lain. Namun dari semua pergerakan hebat itu pada akhirnya seperti bermuara pada obscurity (kegamangan) karena kemerdekaan yang dinanti-nantikan tidak kunjung tiba juga. Baru setelah kehadiran generasi Soekarno-lah bangsa Indonesia dihantarkan pada kemerdekaan pada arti yang sesungguhnya.


Soekarno yang paham betul dengan kondisi kemajemukan sosio-kultural masyarakat Indonesia, membawa pencerahan bagi rakyat Indonesia pada tahap bagaimana memerdekakan berpikir dengan cara menyatukan gerakan-gerakan sporadis dan parsial kian  menjadi pergerakan holistik, memproklamirkan diri menjadi negara berdaulat sebagai satu nasion. Bukan lagi hanya sebatas konsep dan pergerakan tanpa arah, tapi merencanakan secara konstruktif dan merealisasikannya dalam wujud bernegara yang sesungguhnya. Tidak heran ditilik dari sosio-kultur kebanyakan masyarakat Indonesia yang belum siap dengan kondisi saat itu, pasca proklamasi pun masih banyak di antara rakyat Indonesia sendiri yang masih saja tidak percaya, saling mempertanyakan apakah setelah 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka.


Benang Merah Pencerahan Pemikiran Soekarno dengan Renaisans Eropa


Pencerahan pemikiran adalah sebuah terobosan besar terhadap kondisi yang dirasakan tersumbat dan merongrong dalam suatu situasi yang stagnan. Inilah yang terjadi di Indonesia selama 350 tahun pada masa pra proklamasi 17 Agustus 1945, hal sama yang juga terjadi di era abad pertengahan di Eropa. Diawali dengan abad kegelapan ketika kekaisaran Romawi runtuh, serbuan masif bangsa Moor dan Saracen, secara perlahan kehidupan masyarakat di Eropa mulai meredup. Kehidupan menjadi demikian keras, kejahatan merajalela, ekonomi sulit, tatanan sosial mandul, hukum jalanan berlaku di mana-mana dan raja-raja kecil mulai bermunculan di Eropa.

Di saat itu lah Gereja mulai makin mengukukuhkan eksistensinya mengambil alih peran penjaga moralitas dan hukum, yang sayangnya juga sekaligus memberangus kekebasan berpendapat individu per individu. Para patriarch Gereja makin lama menjadi makin dominan, segala keputusan pemerintahan tidak ada yang lolos tanpa sepengetahuan mereka. Bahkan Paus juga punya kuasa absolut untuk memerintahkan raja di suatu negara untuk maju berperang melawan bangsa Saracen ke medan crusade (perang salib). Dominasi Gereja juga membawa dampak langsung pada kehidupan spiritual masyarakat. Segala hal yang berbau transendental menjadi acuan utama, kedekatan mereka dengan para patriarch (ulama) juga memotivasi orang untuk berlomba-lomba menjadi siapa yang merasa paling dekat dengan Tuhan. Hal ini tidak berlangsung lama sebelum realitas sejarah sekali lagi membuktikan sebuah adagium klasik yang berbunyi, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely“. Semakin absolut suatu kekuasaan, semakin besar kecenderungannya untuk berlaku korup.

Dominasi Gereja yang sedemikian submisif mengikat dan mengamputasi pikiran-pikiran kritis setiap individu, membuat orang hanya berfokus pada unsur transendental (vertikal) dan cenderung mengabaikan keharmonisan dengan sesama (horisontal). Orang mulai gampang menjustifikasi yang lainnya ketika dia merasa yang paling dekat dengan patriarch (ulama) yang notabene perwakilan Tuhan. Pada akhirnya orang-orang “alim-ulama” itu sendirilah yang mengko-optasi eksistensiNya dan berlaku seolah merekalah tuhan (t kecil) itu sendiri.

Memang amatlah mudah untuk menjustifikasi orang lain yang berpikiran kritis dengan stigma “blasphemy (penistaan)”, ketika kita sendiri terkungkung dalam eksesif dogma agama yang transendental hanya mengarah secara vertikal. Lalai bahwa secara horisontal, akal budi manusia juga adalah karunia ciptaanNya dan aspirasi pemikiran kritis juga sama berharganya sebagai anugerahNya. Golden Rule yang terkandung dalam setiap agama, sebenarnya selain menuntun kita untuk memulikan Dia, juga mengarahkan secara horisontal untuk menghormati sesama kita sendiri. Apabila dogma hanya menuntut kita secara submisif (kepatuhan buta) tanpa memberi ruang untuk mengembangkan pencerahan pikiran secara kritis, maka agama tersebut benar-benar hanya mengungkung manusia menjadi zombie hidup.

Kembali ke Eropa, himpitan dominasi dari kombinasi gereja-monarki dan kesulitan hidup yang semakin lama dirasakan semakin menyesakkan membuat masyarakat bergejolak, yang pada akhirnya meledakkan momentum besar bernama Renaisans. Diawali dari kota Florence – Italia, gerakan ini menyebar cepat ke seluruh daratan Eropa, masyarakat seperti tergugah dari mimpi panjang dan mulailah ide-ide cemerlang bermunculan baik dimulai dari aspek seni, budaya, politik, ekonomi bahkan spiritual. Orang diingatkan kembali akan pentingnya Golden Rule yang terkandung dalam setiap agama – one should treat others as one would like others to treat oneself (apabila engkau ingin diperlakukan baik oleh orang lain maka hormati jugalah orang lain tersebut) -. tidak peduli apakah orang lain tersebut itu mau islam, kristen, komunis, caucasian, hispanic, semit, agnostic bahkan kafir sekalipun.

Pasca Renaisans, dogma agama memang mulai dikesampingkan, tapi esensinya melalui Golden Rule tumbuh subur di Eropa lewat pemahamannya yang saat ini kita kenal bernama “humanisme”. Sebagai contoh, jadi tidak usah heran, kenapa warganegara AS sendiri juga protes keras ketika presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan melarang imigran masuk AS karena humanisme memang berlaku universal. Gereja tidak lagi menjadi satu-satunya acuan moral, namun secara drastis bertransformasi menjadi holistik, di mana individu per individunya mengalami pencerahan dalam cara berpikir baru dan Eropa memulai era keemasannya. Menginspirasi lahirnya Trias Politika yang memisahkan aspek-aspek kekuasaan menjadi 3 bagian untuk mencegah perlakuan korup merajalela.

Bisa dibilang salah satu tonggak yang paling penting dari gerakan Renaisans ini adalah Revolusi Perancis (1789-1799), di mana kombinasi kekuasaan Gereja dan Raja Louis XVI digulingkan, dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru Liberte, Egalite, Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Dan efek dominonya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk kekuatiran kerajaan Inggris yang seketika merombak sistem pemerintahannya dari monarki absolut menjadi monarki parlementer. Tujuan kerajaan Inggris amat jelas, ingin membagi-bagi agar kekuasaan tidak terkonsentasi di satu tangan, bahkan dengan mengadopsi sistem parlementer berarti memberi kesempatan dari kalangan rakyat untuk turut menjalankan roda pemerintahan. Kembali ke Itali, berlanjut akhirnya pada Perjanjian Lateran (1929), di mana Mussolini yang menyadari betapa berbahayanya menyatukan agama dan politik dalam satu agenda kekuasaan, mengilhami dia untuk memberikan Gereja satu daerah otonomi yang lebih terfokus pada aspek spiritual semata dan meninggalkan wacana sekularisme, atau dengan singkat kata Gereja dikembalikan ke khittahnya. Daerah otonom itu adalah satu negara kecil yang kita kenal bernama bernama Vatikan.

300 tahun yang lampau benua biru telah memberi kita pelajaran yang amat berharga, betapa mahal biaya yang harus dibayar ketika kita mencampur-adukkan agama dengan politik. Sejatinya, Renaisans adalah bentuk otokritik dari masyarakat Eropa terhadap otoritas Gereja yang kebablasan, yang menuntut penganutnya untuk semakin submisif. Alih-alih membukakan cakrawala pemikiran kritis, eksesif dogma justru mengungkung dan membuat penganutnya menjadi semakin fanatik/radikal. Begitu pun di Indonesia saat ini masih berkutat dengan stigma “mengkafir-kafirkan” dan “mengkomunis-komuniskan” ketika orang lain tidak sehaluan dengan kita. Tentu ada pertanyaan besar, ketika atas nama dogma kita menjadi demikian defensif dan semakin antikritik dengan gampangnya menuduh orang lain melakukan penistaan agama – sekalipun ujaran itu diutarakan dalam wacana diskursus -, orang tentu akan semakin bertanya-tanya, kira-kira ada udang apa di balik bakwan? Kebenaran tetap akan menjadi kebenaran jika bisa bertahan walaupun dihantam badai kritik. Tapi kebenaran yang tidak dapat bertahan terhadap ujian kritik, bisa jadi kebenaran tersebut dibangun di atas fondasi lautan pasir.

Apakah kita setelah 72 tahun merdeka masih ingin terkungkung dengan pemikiran-pemikiran primordial, bukannya maju tetapi malah set back ke masa kegelapan seperti Eropa tiga abad yang lampau? Dogma agama di Indonesia mau tidak mau harus diakui masih bersifat paternalistik, di mana para penganut keagamaan masih gampang kehilangan arah dan kepercayaan diri karena segala sesuatu yang menyangkut hal spiritual biasanya amat bergantung pada kaum patriarch (ulamanya). Mungkin kita masih butuh 350 tahun lagi untuk berjuang keluar dari kekerdilan cara berpikir kita betapa destruktifnya mencampur-adukkan agama dengan politik. Wallahu a’lam bishawab…..

@edison winston tambunan


Reaksi SBY Pasca Penggerudukan, Baper Atau Sengaja?

DUNIA HAWA - Penggerudukan kediaman baru SBY oleh sekelompok massa berbuntut panjang. Panjang karena cuitan SBY yang kembali mambuat sensasi. Bereaksi di Twitter kala menghadapi masalah, itulah ciri khas seorang SBY, alih-alih membawa kasus ini ke dalam proses hukum. Kalau memang merasa tidak benar, silakan laporkan dan buat laporan, bukannya melontarkan cuitan yang membuat sebagian orang tidak simpatik.


Dan kali ini bola panas dilempar kian jauh, sudah mengarah ke Istana. Seperti diberitakan Merdeka, staf khusus Kepresidenan menyesalkan pernyataan Jubir Partai Demokrat Rachland Nashidik yang mengatakan aksi demonstrasi di kediaman baru SBY terkait (ada hubungannya dengan) pengarahan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, dituduh mengerahkan saat Jambore Nasional Mahasiswa Indonesia di Cibubur.

Padahal menurutnya kehadiran Kepala Staf tersebut adalah karena undangan panitia Jambore. Pada pertemuan itu, Teten mengajak mahasiswa turun ke desa untuk memastikan program-program di desa berjalan dengan baik untuk mendukung kemajuan desa. Selain itu, dia juga mengimbau mahasiswa untuk selalu mendukung NKRI, mampu bersaing di tengah ketatnya persaingan global, membantu menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi dan sosial dengan cara mendapatkan akses terhadap hasil pembangunan. Jadi intinya, tidak ada provokasi yang diarahkan untuk menggeruduk rumah SBY.

Mari kita dengarkan tanggapan panitia Jambore. Ketua pelaksana Jambore Septian membenarkan peserta Jambore mendatangi kediaman SBY tapi bukan untuk menggeruduk. Mereka mengaku membagikan selebaran sehingga tidak meminta izin dari kepolisian. Setiap mahasiswa yang mengikuti Jambore dibagikan selebaran yang berisi hasil musyawarah yang salah satu poinnya adalah kesepakatan telah terjadi kegaduhan politik di tanah air yang kurang kondusif pasca SBY mengeluarkan cuitan di Twitter yang menimbulkan gejolak di masyarakat. Septian melihat berbagai pihak saling mengadu domba dan memanas-manasi pihak lainnya akibat pernyataan tersebut.

Jelas dong, contohnya banyak kok, salah satunya adalah isu penyadapan yang berdasarkan asumsi SBY sendiri. Karena kondisi tersebut berpotensi memecah belanh bangsa, itulah yang menjadi alasan mahasiswa mendatangi rumah SBY untuk mengingatkan. Mereka ingin mengingatkan SBY agar jangan baper dan sering tersinggung. Negarawan harus memberikan contoh yang baik karena setiap pernyataannya dapat berdampak luas dalam kehidupan masyarakat.

SBY kali ini makin serius dengan kebaperannya. Dia yang prihatin, kita pula yang makin prihatin melihat keprihatinannya. Dan sekarang malah menuduh pihak Istana berada di balik semua ini. Kalau sudah berbicara istana, saya bisa melihat Jokowi kembali ditargetkan. Jokowi mungkin sedang dibidik untuk menjadi kambing hitam atas segala yang telah terjadi mulai dari isu penyadapan hingga penggerudukan rumah. Sebuah strategi yang basi dan tidak akan mempan lagi.

Septian juga mengatakan bahwa aksi ini dipicu karena dukungan terhadap Antasari yang kebetulan juga hadir sebagai pembicara. Antasari kala itu menyiratkan bahwa kasus yang menimpanya hingga menyeretnya ke jeruji besi adalah kriminalisasi. Sabar ya Pak. Semua juga sudah tahu kasus bapak terlihat jelas direkayasa. Antasari adalah korban yang semoga saja dalam waktu dekat biang kerok ini dapat segera diciduk dan diberikan balasan yang setimpal.

Dan satu hal lain yang disampaikan Antasari adalah ada banyak kasus di era SBY yang belum tuntas. Mendengar ini, pantas saja SBY dan Demokrat kelabakan, sampai-sampai bikin pernyataan bahwa Kepala Staf Kepresidenan terkait dengan demonstrasi. Menutupi kepanikan dengan menyerang pihak lain. Rupanya Antasari ada sedikit bernyanyi, bisa jadi ini penyebab SBY makin lama makin tidak jelas reaksinya, terlalu berlebihan dan kekanak-kanakan.

Ada juga yang mengatakan bahwa (menurut rumor yang saya dengar) koordinatornya adalah Adian Napitupulu yang merupakan kader PDIP. Ada juga yang mengatakan Jambore adalah atas inisiasi partai PDIP. Yes, kalau memang begitu, silakan SBY laporkan saja. Kalau mau berurusan, silakan berurusan dengan PDIP. Tapi yang saya tidak duga adalah kenapa harus kait-kaitkan ke Istana atau Jokowi. Isu penyadapan juga begitu, mengaitkan Jokowi dengan meminta Jokowi memberikan penjelasan. Padahal Jokowi tidak ada hubungannya dengan itu. SBY seperti ingin bahkan sudah desperate terhadap Jokowi. Saya yakin Jokowi paling akan berkomentar, “Jadi orang jangan suka ngeluh ya.” Atau begini, “Urusannya dengan situ, kok barangnya digiring ke saya?”

Coba deh flashback kembali ketika Ahok terkena kasus Al-Maidah, Jokowi diseret-seret karena diduga membantu Ahok. Saat isu penyadapan, Jokowi juga diseret-seret. Sekarang isu penggerudukan, pihak istana pun dibawa-bawa. Jokowi lagi ujung-ujungnya. Nanti kira-kira apa lagi ya? Makin dekat Pilkada, makin gila saja situasi. Masih harus bersabar selama 8 hari ini.

@xhardy


NU Berubah Radikal?

DUNIA HAWA - Seseorang menulis, “Saya ini sudah jadi Nahdliyin sejak jabang bayi, tapi mau punya KartaNU saja mesti nunggu lama. AHY cukup menemui Kyai Ma’ruf Amin langsung dapat KartaNU.” Melihat itu saya sedih. Secara tidak langsung, itu adalah kritik meskipun bernada humor, dan perkaranya sepele saja.


NU kultural memang memiliki perbedaan mencolok dengan NU struktural. NU kultural melihat kyainya, bukan oknum dalam struktur NU. Sedangkan yang struktural mirip tentara, begerak karena komando. Kadang menghormati senior secara berlebihan. Jadi walaupun struktur NU menjerit sampai parau, sebagian NU kultural berbuat berbeda.

Bagaimanapun, NU adalah jam’iyah, kumpulan, organisasi, banyak orang yang tidak tertampung secara struktural di dalamnya. Sering juga ada tarik-ulur beberapa kubu juga di dalamnya. Misalnya terdengar selentingan tentang kubu Gus Sholah dan kubu Kyai Said.

Namun secara umum, orang-orang NU mendengar apa kata kyai. Meskipun kemudian ada dualisme juga di sana, antara kyai saklek dan toleran. Masing-masing punya jamaah sendiri.

NU secara tegas telah kembali pada Khittoh 1926. NU tidak masuk dalam perpolitikan. Sebagai organisasi, mungkin, tapi bagi individu di dalamnya belum tentu. Telah gamblang terbaca bagaimana kritik humor di atas tadi. AHY dan Demokrat adalah bagian dari politik. Persoalannya kemudian, struktur NU secara individual boleh berpolitik atau memiliki tendensi politik. Kyai ini menyuruh mencoblos itu, dan seterusnya. Mereka lupa, bahwa publik tetap melihatnya sebagai struktur NU.

Kyai-kyai itu boleh bersilat lidah, politik memang tidak haram, tapi tendensi politik itu sama saja menjual nama organisasi. Pada akhirnya akan menjual agama dan umat. Ini yang tidak disadari. Kenapa NU kembali pada Khittoh 1926? Karena alasan di atas.

Lalu orang-orang itu akan mengutip kalimat bijak, bila orang baik tidak berpolitik, orang jahat yang akan menguasai negara. Padahal ucapan itu mestinya dalam konteks revolusi. Persis keterlibatan NU sebagai mesin politik di awal kemerdekaan. Setelah situasi kondusif dan tertib, qoul semacam itu tidak bisa dibuktikan. Karena semua manusia berpotensi baik, sekaligus buruk. Menteri agama korup itu bukan karena ia tak hebat ilmu agamanya.

Saya selalu menekankan, agamawan tidak boleh berpolitik. Entah itu kyai, pastor, pendeta, biksu, brahmana, atau pemuka agama apapun. Karena akan ada kultus berlebihan nantinya. Hal itu terbukti ketika Kyai Ma’ruf Amin hadir sebagai saksi di pengadilan. Pengacara menanyakan soal sambungan telepon dengan SBY, Kyai Ma’ruf ngotot mengatakan tidak ada. Namun SBY malah mengatakan ada.

Sekarang persoalannya jadi runyam, Kyai Ma’ruf yang bohong atau SBY? Sebenarnya gampang membuktikan. Paling pahit, seret SBY ke pengadilan untuk memberikan kesaksian. Namun kultus individu secara berlebihan ini yang berbahaya. Jika itu dilakukan, akan ada gejolak. Padahal jelas, saksi tidak boleh bohong, dengan dalih apapun.

Orang-orang lalu mempersoalkan tekanan dalam persidangan. Padahal semua orang di hadapan hukum sama. Selama hakim tidak menghentikan, proses tanya-jawab boleh terus berlanjut. Namun kenapa mereka tidak menerima hal lumrah ini? Karena kultus berlebihan terhadap individu tadi. Manusia berpotensi salah. Faktanya, baru saja pendeta menyuap ulama. Pengetahuan agama terbukti tidak mencegah seseorang untuk korup.

Ketika mendengar Banser menyatakan mengambil sikap tegas atas peristiwa itu, saya kaget. Apakah NU telah berubah? Terlebih manakala Banser Jakarta Selatan hendak melakukan demonstrasi ke Rumah Lembang. Show of force (pamer kekuatan) semacam ini bukan tradisi NU. Kalau FPI atau GNPF jangan ditanya. Hidup mereka itu memang hanya dari demo ke demo berikutnya.

Peristiwa kasus penistaan agama ini membesar karena itu tidak diselesaikan dengan cara NU. Apakah ada kyai NU yang ngawur dan main gebuk di masa lalu? Tidak. Kalau ormas radikal iya. Mestinya dalam kasus ini ada mediasi, ada islah, ada pertimbangan maslahah. Namun MUI meski diketuai tokoh NU, toh tidak menjalankan tradisi NU ini. Mereka malah mengeluarkan pernyataan sikap, lalu mendorongnya masuk pengadilan. Pelaku sengaja didorong tanpa ada upaya mediasi, islah, dan maslahah.

Ini bar-bar. Bahkan bukan tradisi Nusantara. Cara padang pasir. Orang-orang kita berbaik sangka dulu, mengundang dan menanyakan duduk persoalan. Jikapun pelaku memang melakukan itu dengan sengaja, masih ada jalan menarik diri. Minta maaf dan berjanji tidak mengulangi. Jika ada kerusakan, baru diwajibkan mengganti atau justru diikhlaskan. Ini kalau islam rahmatan lil-alamin (islam rahmat bagi seru sekalian alam). Namun kalau islam rahmatan lil muqorrobin (islam rahmat bagi kelompok terdekat), menutup pintu mediasi dan islah.

Saya terus terang sudah menyiapkan tanggapan keras, jika Banser NU Jaksel menggeruduk Rumah Lembang. Bukan karena Ahok sebenarnya, tapi karena kecewa jika itu terjadi. Aksi seperti itu bukan cara NU. Apa bedanya nanti dengan FPI, HTI dan ormas-ormas coro yang suka bikin gaduh itu? Citra NU yang tidak zalim akan tercoreng oleh beberapa gelintir orang yang merasa lebih NU. Akan muncul fenomena NU struktural merasa lebih memiliki NU dari khalayak NU kultural.

Guru-guru saya tidak masuk NU strukyural, tapi apakah ada yang meragukan ke-NUannya? Teman-teman saya nasabnya mulia, punya pondok pesantren, tapi jadi pelukis, seniman, penyair. Apakah ke-NUan mereka juga patut dipertanyakan? Lalu muncul segerombolan orang yang mendadak lebih NU dari kalangan kultural. Bukankah ini menyedihkan?

Syukurlah hal itu tidak terjadi.

Baru saja datang info, Banser Jaksel mendengarkan Kyai, mematuhi atasan. Mereka tidak jadi melakukan aksi show of force itu. Jadi, jika ada oknum yang mengatas-namakan NU atau Banser dalam acara penggerudukan itu dapat dipastikan palsu.

Kabar itu menenangkan saya. Dapat disimpulkan, NU belum berubah. Masih memegang asas, sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami taati). Meskipun ada oknum yang bermain-main dengan politik, padahal NU sudah kembali pada Khityoh 1926. Non-partisan, non-politik. Semoga oknum semacam itu menyadari, publik tetap melihat tingkah mereka sebagai wakil NU. Jangan sampai ada tudinhan, banyak orang yang secara sengaja atau tidak “mencari hidup di NU”, padahal Kyai Wahab Hasbullah pernah mengatakan, “Hidupkan NU Ini, namun jangan sekali kali mencari hidup di NU”.

Ulama hendaknya mandito, mengurus umat, mengawasi politik dari belakang. Bukan malah ikut jadi aktor dan membuat gaduh. Kelas mereka terlalu agung dan mulia untuk melakukan hal hina seperti itu. Hal itu juga untuk menghindari pengkultusan membabi-buta. Karena mereka tidak ma’sum (terjamin) sedangkan umat banyak yang masih panasan.

Kalau ulamanya korup, situ mau ikut korup? Kalau ulamanya kawin lagi, situ juga mau ikut kawin lagi? Bukannya situ jomblo, satu saja belum? Eh…

@kajitow elkayen


Ya Tuhan YME, Lindungi Bapak SBY

DUNIA HAWA

Ya Tuhan YME. tolong lindungilah bapak SBY.. Beliau sekarang resah dan gelisah. Mungkin karena elektabilitas anaknya semakin rendah, sehingga ibu marah-marah. Mau moshing kok badan sudah tidak berdaya, akhirnya hanya bisa cuit-cuit saja.


Ya Tuhan YME, lindungilah bapak SBY..
Beliau sudah sangat lelah, 10 tahun menduduki jabatan bukanlah hal yang mudah. Tapi beliau staminanya masih oke ajah, kalau perlu memimpin selamanya. Tapi lewat keluarga.

Usia bukanlah halangan. Yang menghalangi cuman si tukang kayu aja. Kenapa juga doi jadi Presiden? Bikin susah orang serumah..

Mana yang diundang ke istana cuman orang-orang itu aja. Masak doi lupa siapa yang dulu jadi kepala negara? Undang napa, tapi harus pake karpet merah ya..

Ya Tuhan YME, dengarlah doa bapak SBY..

Yang ditulis singkat di twitter tentang kondisi negeri ini. Tapi kenapa Tuhan seperti tidak meresponnya? Apa karena Engkau tidak mem-follownya?

"Ssst... Gua mainannya fesbuk. Lebih banyak karakternya.. Apalagi sekarang bikin status ada warna-warnanya.."

Ya Tuhan YME, bapak SBY sedang bertanya kepada bapak Presiden dan Kapolri, kira-kira gimana jawaban mereka berdua?

"Bentar... Mereka juga lagi diskusi ma gua..". Ya Tuhan YME... "Norak lu.. Manggil-manggil mulu..."

Seruput...

@denny siregar


Anies dan Amnesia Akut Prabowo

DUNIA HAWA - Kita tentunya masih ingat situasi politik menjelang pemilihan presiden pada 2014 silam. Panas, tentu saja. Menegangkan, pastinya. Pertarungan merebut kursi RI-1 yang bisa disebut sebagai sajian demokratis yang paling menegangkan. 


Menegangkan karena pertarungan tersebut merupakan representasi dari kalangan militer (purnawirawan) versus masyarakat sipil. Prabowo Subianto yang mewakili militer melawan Joko Widodo yang merupakan wakil dari rakyat sipil.

Selain itu, pertarungan itu juga melibatkan beragam kampanye hitam dan kampanye negatif dari kubu Prabowo terhadap kubu Jokowi; kasus Obor Rakyat barangkali bisa mewakili jenis tersebut. 

Syukur alhamdulilah, bahwa tensi persaingan di masa-masa kampanye pemilihan presiden tersebut segera turun setelah Jokowi-JK dilantik.

Prabowo dianggap sebagai seorang negawarawan yang mampu menempatkan diri sebagai lawan politik yang baik bagi pemerintahan berjalan, terutama sebagai oposisi yang setia mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil bagi bangsa Indonesia. 

Sosok Anies yang Manis di Pilpres 2014 


Ada satu hal yang menarik dari momentum pemilihan presiden 2014: hadirnya Anies Baswedan ketua tim pemenangan pasangan Jokowi-JK. Sudah pasti lawan politiknya Anies pada waktu itu, yang notabene pro Jokowi-JK, adalah Prabowo Subianto. 

Anies Baswedan dengan latar belakangnya sebagai akademisi yang cerdas dianggap tepat memjabati ketua tim pemenangan. Jokowi perlu bersyukur memiliki Anies Baswedan sebagai salah satu think tank beliau yang kokoh dan tangguh menahan serangan kubu sebelah, bahkan membungkam lawan politik Jokowi. 

Saya makin yakin untuk tidak memilih orang yang sudah menghabiskan uang enggak tahu berapa jumlahnya selama bertahun-tahun beriklan, untuk sebuah posisi, seakan-akan hidup itu hanya untuk jadi presiden. Sementara Jokowi menghabiskan waktu 15 tahun terakhir untuk bekerja mengabdi kepada masyarakat.

Demikian Anies Baswedan pada waktu itu. 


Satir Anies itu tentu saja dimaksudkan untuk menyindir Prabowo yang dianggapnya tak layak menjadi suksesor Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI.

Bagi Anies, Prabowo bukanlah orang yang tepat untuk jabatan tersebut. Prabowo, menurutnya, tidak memiliki pengalaman sebagai pemimpin sipil seperti Jokowi yang sudah malang melintang dalam memimpin masyarakat sipil.

Dengan satir tersebut, Anies hendak mengatakan bahwa Prabowo tak lebih dari sekedar bintang iklan yang narsis. Tak lebih!

Selain itu, Anies Baswedan juga mengatakan bahwa Prabowo adalah representasi Orde Baru yang hendak menancapkan kakinya di negeri demokratis ini. 

"Kita tak inigin pendekatan lama dipakai memimpin negeri ini, kesempatan orang lama (Prabowo dan Orde Baru) sudah cukup. Biarkan generasi muda (Jokowi) membuat terobosan memajukan negeri", kata Anies. 

Anies menganggap Prabowo tidak lain daripada pengejawantahan Soeharto masa kini yang selalu menggunakan pendekatan militeristik dalam memimpin.

Dengan demikian, menurut Anies, Prabowo dan Soeharto sama saja dan tak layak dan pantas menjadi pemimpin bangsa karena akan membangkitkan trauma bangsa Indonesia akan keterpasungan kebebasannya selama Orde Baru berkuasa. 

Satir Anies Baswedan terhadap Prabowo yang paling menohok dan mencolok mata kita adalah tentang Prabowo sebagai trouble maker di saat dirinya menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus. 

"Tugas kita adalah membantu orang baik agar negeri ini menjadi baik. Kalau kita membantu orang yang bermasalah, jangan-jangan kita akan terciprat dan terseret masalahnya", ungkap Anies. 

Prabowo dianggap sebagai pelanggar HAM berat masa lalu yang bertanggung jawab atas penculikan aktivis mahasiswa yang memberontak melawan Orde Baru. Posisi politik Anies, pada waktu itu, jelas tidak mengizinkan orang jahat yang tangannya berdarah atas kemanusiaan seperti Prabowo, menjadi pemimpin Republik.

Bagi Anies, tak ada tempat bagi pelanggar HAM berat untuk menjadi pemimpin Indonesia.

Saat itu, saya menganggap Anies adalah salah satu representasi intektual Indonesia yang kritis dan cerdas dengan posisi moral politik yang tegas dan jelas, hitam putih tak abu-abu, dan suara kebaruan yang lahir dari rahim reformasi.

Hari ini, bagi saya pribadi, Anies tak lain adalah pecundang kesucian intelektual yang ia dipegang teguh pada waktu itu demi menghamba pada pragmatisme politik kekuasaan. Anies rela mengangkangi prinsip-prinsip moral politik dalam demokrasi demi memenuhi hasrat berkuasanya. 

Keberpihakannya kepada golongan garis keras di Republik ini, kepada FPI terutama, membuat posisi moral politiknya tak lagi hitam putih, bukan pula minus malum, tapi abu-abu oportunis.

Anies kini bukan lagi seorang idealis, ia hanya sekedar seorang oportunis sejati yang bersembunyi di balik retorika indah penuh bualan. Anies, saya adalah satu orang dari banyak anak muda yang cukup menyesal dengan keputusan Anda! 

Amnesia Akut Prabowo?


Keputusan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, bagi banyak orang merupakan tindakan seorang negarawan sejati.

Hal itu mengingat Anies Baswedan merupakan sosok antagonis yang melawan Prabowo habis-habisan di pemilihan presiden silam. Namun, tak sedikit yang mencela keputusan politik Prabowo memilih Anies menjadi calon gubernur Ibu Kota. Saya salah satu di antara sedikit orang tersebut. 

Mengapa? Pertama, tak sedikit orang Indonesia gampang melupakan masa lalu kelam yang menimpa dirinya. Prabowo salah satunya; Anies tentu saja masuk dalam kategori ini.

Prabowo memilih lawan politiknya yang menghina dirinya habis-habisan di masa lalu; dan Anies, dengan sadar dan waras, menerima pinangan orang yang dulu dia cap sebagai penjahat kemanusiaan, yang dia anggap sebagai trouble maker.

Anies dan Prabowo sama saja, sama-sama gampang melupakan demi kepentingan politik mereka, tentunya. 

Kedua, mengapa Prabowo meminang Anies? Jawabannya sederhana saja, karena tak ada kader Gerindra yang mampu bersaing di Pilkada DKI Jakarta.

Sandiaga Uno tentunya bukan solusi yang tepat untuk persoalan-persoalan yang rumit di Jakarta. Itu makanya pecatan menteri ini dianggap pas untuk itu, tanpa peduli dirinya pernah mencap Prabowo sebagai penjahat HAM di masa lalu.

Tapi sayangnya, belakangan, setelah melihat dalam debat-debat yang sudah berlangsung, Anies belum mampu menjawab kebutuhan Jakarta. Ia masih nyaman berkanjang di dunia ide yang mengawang-awang tak menyentuh bumi. 

Ketiga, Prabowo lupa kalau ternyata Anies adalah pecatan menteri. Yang namanya pecatan pastinya orang yang bermasalah; tak mungkin orang yang berprestasi dipecat.

Prabowo lupa akan kata-kata Anies yang menyebut: "kalau kita membantu orang yang bermasalah, jangan-jangan kita akan terciprat dan terseret masalahnya." 

Prabowo tak peduli masalah apa yang sudah membuat Anies dipecat, dengan watak oportunisnya, ia menunjuk Anies sebagai calon gubernur. Kadang politik membuat lumpuh akal sehat, Prabowo sedang mengidapnya. 

Di Jakarta, saat ini, kita sedang menghadapi calon gubernur yang tak konsisten antara kata dan perbuatannya: Anies Baswedan. Kita sedang menghadapi sosok Anies yang menjilati ludahnya sendiri. 

Bagaimana mungkin orang yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri, yang tidak komit dengan kata-katanya sendiri, mau membahagiakan warga Jakarta dengan janji-janjinya?

Saya sangsi Anies bakal menepati janji-janji manisnya selama masa kampanye ini ketika nanti menjadi gubernur. 

Saran saya untuk para pemilih: lihat rekam jejaknya, jangan dengar retorika yang indah, jangan lihat senyum yang manis. Retorika dan senyum gampang sekali dikhianati...

@claudia angeline



Haruskah Mempersoalkan Iman Orang Lain?

DUNIA HAWA - Isu politik belakangan ini cukup menyedot perhatian banyak orang. Hal ini ditandai dengan begitu banyaknya perdebatan, hoax yang bertebaran, dan ditambah dengan media yang nyaris selalu menayangkan isu-isu Pilkada.


Di satu sisi, mungkin ini menjadi tanda bahwa masyarakat semakin melek politik, namun di sisi lain malah semakin meresahkan. Ada anggapan bahwa bangsa ini kian terpecah karena pilihan politik.

Di antara sekian banyak alasan terkait anggapan tersebut adalah dipermasalahkannya iman seorang calon yang sedang bertarung. Tidak sampai di situ, iman pendukung calon tersebut pun kian diumbar atau malah dicari titik lemahnya untuk menaikkan atau malah menurunkan elektabilitas sang calon.

Bisa jadi, cara ini dipandang masih relevan oleh sebagian orang, namun oleh yang lain dirasa harus ditinggalkan.

Pertanyaan yang mendasar harus dijawab menurut saya adalah, apakah harus kita mempersoalkan iman orang lain? Bukankah sebaiknya kita memperbaiki diri sendiri tanpa harus mempersoalkan iman orang lain?

Adakah kita ditanya terkait amalan orang lain? Bukankah Tuhan bertanya tentang perbuatan kita, dan bukan orang lain? Mengajak (berdakwah) yes, tapi mempersoalkan iman mereka, apa urgensinya?

Coba kita perhatikan fenomena maha dahsyat 212 tempo hari, apa penyebab aksi tersebut?

Jelas, karena Ahok mempersoalkan keyakinan orang lain. Tidak sekadar mempersoalkan, ia bahkan menuduh mereka yang menyampaikan keyakinannya (al-Quran) sebagai upaya membodohi atau membohongi orang lain.

Sepertinya itu sebagai balasan karena ada pihak yang mempersoalkan keyakinannya. Ahok merasa risih dengan al-Maidah 51 yang disampaikan untuk menjegalnya, hingga akhirnya ia katakan bahwa orang yang menyampaikan ayat itu membodohi orang lain.

Baru-baru ini, iman seorang calon lainnya dipersoalkan pula. Namun kali ini menyasar Anies Baswedan, bukan iman non-muslim sebagaimana biasanya terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Hal ini terkait dengan jawaban Anies di Mata Najwa terkait dengan sikap poltiknya. Kala itu najwa Shihab bertanya ke Anies soal sikap poltiknya, apakah Anies sependapat dengan FPI yang menolak non-muslim menjadi Gubernur DKI dan provinsi lainnya?

Tersirat dari pertanyaan itu adalah agar Anies menjawab bahwa ia sependapat dengan FPI. Tujuan politisnya adalah agar orang tidak memilih Anies karena ia anti-NKRI dan rasis.

Asumsi dibangun karena sebagian orang mengira bahwa FPI itu anti-NKRI, anti Kebhinnekaan, dan tentunya dibenci oleh banyak orang. Saya tidak menuduh bahwa ini tujuan dari si penanya, namun bisa dipastikan bahwa ini adalah tujuan dari orang yang ingin Anies kalah dalam Pilkada DKI nanti.

Tapi sayang, saat itu Anies malah menjawab dengan bijak bahwa Anies percaya (mengimani) al-Maidah 51. Tidak ada kata-kata bahwa ia sepakat dengan FPI. Tapi, FPI tidak perlu kesal dengan jawaban itu karena jawaban itu megnakomodir hasrat FPI.

Anies menyambung jawabannya bahwa dalam konteks Pilkada, maka semuanya tergantung rakyat, rakyat yang menentukan.

Dari jawabannya itu, saya tidak mendengar ada kalimat dari Anies yang mengatakan bahwa non-muslim tidak bisa menjadi gubernur DKI. Itu sebabnya saya menyebut jawaban Anies sebagai jawaban yang bijak; dipikirkan sebelum dikatakan.

Tentu ada yang berkata bahwa jawaban Anies sama saja dengan FPI, Anies mengharamkan non-muslim menjadi Gubernur di DKI.

Mereka bertanya, bukankah maksud Anies demikian? Saya katakan bahwa itu adalah maksud yang kalian mau. Kalian ingin Anies di posisi itu. Dengan begitu kalian akan mengatakan bahwa Anies tidak Pancasilais, tidak bhinneka, dan intoleran. Singkatnya kalian ingin Anies itu sama dengan FPI yang kalian beri label demikian.

Untuk itu, saya mengajak siapa saja untuk mengecek kembali profil Anies, siapa Anies sebenarnya. Jika tidak mau, mungkin penjelasan berikut dapat menggambarkan sosok Anies yang kalian persoalkan itu.

Pertama, Anies tidak bilang soal maksud dari ayat itu. Sehingga kita tidak dapat mengetahui arti apa yang ia imani dari ayat tersebut?

Nah, dengan demikian, sewajarnyalah setiap muslim meyakini al-maidah 51. Jika ada muslim yang tidak meyakini satu ayat saja dari isi al-Quran, tentu imannya dipertanyakan, apakah boleh menjadi muslim yang demikian?

Namun, kita asumsikan saja bahwa maksud Anies meyakini al-Maidah 51 itu sebagai larangan memilih pemimpin kafir. So, di mana salahnya? Itu keyakinan Anies, imannya Anies, haruskah kita persoalkan?

Kamu persoalkan orang yang menghalangi Ahok karena Ahok non-Muslim, tapi kau persoalkan pula iman Anies karena ia Muslim yang harus percaya pada al-Quran. Bukankah kau sedang mempersoalkan dirimu sendiri?

Ini soal keyakinan individual. Jelas berbeda halnya dengan pilkada. Dalam pilkada, siapa memilih dan siapa dipilih oleh siapa, ya sah-sah saja.

Coba kita ambil contoh lain, dan ini sekadar perumpamaan. Nana bertanya (misalnya), "Pak Anies, FPI mengharamkan seseorang membuka aurat. Apa pandangan Anda? Apakah Anda setuju dengan FPI?"

Anies menjawab bahwa ia percaya pada ayat tentang kewajiban menutup aurat. Lalu karena jawabannya itu, Anies dituduh tidak nasionalis, anti kebhinnekaan, dan lain sebagainya. Padahal Anies sedang berbicara dalam konteks iman, maka demikianlah keimanannya.

Berbeda konteksnya ketika Anies berbicara soal masyarakat Indonesia. Di Indonesia memakai baju batasannya cuma UU Pornografi. Coba kita renungkan tamsilan di atas, apakah Anies salah atau sekurang-kurangnya patut disayangkan karena pernyataan atau jawabannya itu? Di mana letak kesalahannya?

Saya berpandangan bahwa persoalan keyakinan atau aqidah adalah hak individual atau privasi setiap orang. Semua orang bebas mau memilih keyakinan mana saja serta menjalankan keyakinannya itu.

Nah, apakah salah saat Anies meyakini al-Maidah 51 yang merupakan bagian dari al-Quran, dan al-Quran penyempurna dari kitab-kitab. Anies tidak salah. Justru ini merupakan bagian dari rukun iman (bagi Muslim) yang dijamin kebebasan untuk memeluk dan mengamalkannya.

Terakhir saya ingin menekankan bahwa iman kitalah yang paling penting untuk kita kroscek, apakah sudah benar? Prinsipnya jelas bahwa bagimu agamamu, dan bagiku agamaku, bukan yang benar agamaku, maka kau harus seperti aku.

Anies tidak melarang, tidak menghambat, tidak pula mencekal lawannya karena agama. Saya ulangi bahwa Anies bahkan mengatakan bahwa pilkada soal pemilihan, maka rakyatlah yang memilih.

Ia selalu pula mengatakan bahwa ini merupakan pentas, tempatnya adu gagasan. Tidak pernah ia persoalkan agama lawannya. Anies percaya dengan ide dan pendekatan yang ia gunakan. Buktinya pun sudah ada, dan baik hasilnya.


@khairil akbar


Puisi untuk Sang Mantan


DUNIA HAWA

10 tahun kita bersama
Entah kenapa tak terasa apa-apa
Semua biasa-biasa saja
Dan kita berpisah tanpa ada sedikitpun rasa
Lalu kau muncul mendadak


Aku baru tahu kau sudah punya anak
Yang kau bangga-banggakan ke semua sanak
"Lihatlah, dia akan berkuasa kelak.."
Kau dorong dia keatas
Meski ilmunya kurang tuntas
Tapi kau tak perduli
Yang penting orang melirikmu kembali
Oh mantanku..
Kau terus bersandiwara di depanku
Merasa disakiti dan prihatin selalu
Wajahmu terlihat sendu, tapi dibelakangku engkau selalu punya cara untuk mengadu
Hatimu mangkrak
Badanmu sudah terlihat bengkak
Ketika ku melihatmu di layar kaca itu
Aku kaget dan berseru, "wat de pakk !"
Sudahlah, sudahi semua drama itu
Jangan baper dan curhat melulu
Hatiku sudah tidak bisa kau sentuh
Meski kau selalu bilang

"Jika tidak bisa mencintaiku, cintailah anakku. Dia adalah cerminku..
Hanya dia bisa moshing sedangkan aku sudah terlalu berat untuk dipangku.."
Aku bosan dengan cuitmu
Sungguh..
Kau selalu begitu
Rusuh2 sendiri, baper2 sendiri, demo2 rumah sendiri, eh ngancem2 sendiri..
Kau ini sebenarnya mantanku apa Raam Punjabi ?
Ya Allah ya Tuhan YME
Aku meminta kepadaMu
Jawablah doa-doa mantanku itu
Kalau Kau diam, dia bisa terus bertanya pada bapak Presiden dan Kapolriku..
Oh, mantanku..
Ingin kuberikan kau secangkir kopi
Biar tahu bagaimana pahitnya hidup ini
Apalagi dengan pasangan galak di rumah yang selalu menanti..
"Pih, pokoknya anak kita harus menang, menang dan menang ! Kalau kalah, apa kata besan kita nanti ??"
Mau seruput, sudah habis kopinya..

Ada yang mau ngunyah cangkirnya .

@denny siregar