Saturday, February 4, 2017

Pepo (Sedang) Bermimpi

DUNIA HAWA - Hari ini, SBY atau Pepo menghadiri kampanye paslon 1 di GOR Ciracas, Jakarta Timur bersama Memo tercinta. Dalam aksi kampanye tersebut, SBY memberikan beberapa wejangan kepada seluruh peserta kampanye yang hadir. Masih memiliki aroma kepemimpinan pasca menjadi presiden Indonesia selama 10 tahun, SBY nampak percaya diri dalam memberikan wejangan.


Ada beberapa kalimat yang beliau suarakan untuk mendukung Paslon 1 yang menurut saya kurang tepat diucapkan oleh beliau selaku mantan pemimpin. Kalimat tersebut berikut ini:

“Mestinya saya pensiun tapi kenapa saya turun gelanggang? Karena saya melihat situasi yang memprihatinkan. Situasi Jakarta dan situasi tanah air kita.”

Saya benar-benar tergelitik dengan perkataan Pepo yang satu ini. Dari ucapan beliau, saya berpikir bahwa  Pepo benar-benar sedang bermimpi. Bermimpi masih menjadi pemimpin, sehingga beliau merasa wajib mengatur Jakarta dan tanah air Indonesia tercinta (lagi). Mungkin karena mimpi ini terus hadir dalam kehidupan Pepo, maka Pepo melakukan apapun untuk tetap bisa memimpin, termasuk memimpin melalui anak kesayangannya. Maklum, sudah sangat sepuh kalau harus memimpin (lagi).

Pepo mengatakan bahwa situasi Jakarta dan tanah air dalam kondisi memprihatinkan. Pepo sehat? Apa mungkin Pepo sedang bermimpi saat mengatakan itu? Pepo tidak sadar sama sekali bahwa sedikit banyak Pepo ada di balik “Jakarta dan tanah air yang memprihatinkan” ini? Kok Pepo mudah sekali dalam menjustifikasi kondisi Jakarta dan tanah air sekarang akibat pemimpin yang sekarang. Lalu apa kabar dengan masa kepemimpinan Pepo dulu? Bukankah ini juga masih dampak kepemimpinan Pepo? Contohnya gampang banget, tu Si Patrialis. Oh Pepo, segeralah banggun!

Apa Pepo tidak sadar bahwa tindakannya “menuduh” Ahok menyadap itu adalah salah satu sumber alasan memprihatinnya kondisi Jakarta dan tanah air ini? Semakin sepuh seharusnya semakin bijaksana, bukan semakin mudah menyimpulkan tanpa melihat tindakan diri sendiri yang justru malah memperburuk keadaan Jakarta dan tanah air.

Ungkapan lain Pepo yang tak kalah menggelitik adalah sebagai berikut:

“Kita ingin Jakarta di masa depan makin baik, makin maju, tidak terus gonjang ganjing seperti sekarang ini, tidak boleh berjarak satu sama lain. Tidak boleh pemimpinnya tidak amanah dan tidak mencintai rakyatnya,”

Apakah dengan rumah apung dan vertical housing yang hampir tidak mungkin bisa terwujud itu bisa memajukan Jakarta? Lagi-lagi mimpi Pepo ini semakin dipaksakan ya, sama halnya bermimpi menjatuhkan Ahok dengan isu penyadapan yang digembor-gemborkan itu.

Siapa yang disebut-sebut Pepo sebagai pempin yang tidak amanah dan tidak mencintai rakyatnya ini? Jika yang dimaksud Pepo adalah Ahok-Djarot, Pepo benar-benar tidak sedang sadar saat ini. Pepo tidak sadar bahwa pejabat-pejabat pilihannya malah banyak yang jadi penghuni hotel gratis berfasilitas minim alias jeruji besi.

Saya heran, kok ada mantan pemimpin yang tidak bisa melihat mana pemimpin yang amanah dan yang tidak. Apakah menurut Pepo pemimpin yang amanah itu adalah yang menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, sehingga pemimpin-pemimpin yang bersih dan tidak korupsi adalah pemimpin yang tidak amanah baginya? Sungguh ironi sekali Pepo tersayang ini.

“Terlalu lama mereka menunggu pemimpin sejati, cerdas, tegas tapi sayang pada rakyatnya. Bukan pemimpin yang … saudara tahu semuanya. Pemimpin yang tidak konsisten dan kiri kanan oke. Kalau kiri kanan oke, kalau tidak sayang rakyatnya bukan pemimpin rakyatnya, kalau tidak mencintai rakyat dan tidak konsisten, Jakarta dapat apa?”

Kalimat ini butuh banyak penjelasan dan bukti. Jangan main fitnah dan menyebarkan sesuatu yang tidak benar. Selama ini ternyata bukan media saja yang hoax, tapi kata-kata juga ada yang hoax. Kalimat dari Pepo ini contohnya. Apa yang Pepo maksud dengan pemimpin tidak konsisten? Bukti ketidakonsistenan Ahok-Djarot dibagian mana ya? Bikin kalimat jangan ngapung gitu lah, yang jelas. Nagpungnya cukup mimpi bikin rumah aja. Hehehe

Jakarta dapat apa? Jakarta dapat apa yang tidak bisa Anda dan Agus Sylvi berikan. Itulah jawabannya Pep. Pepo ini tinggal di Jakarta kok kaya mimpi saja, tidak bisa merasakan perubahan Jakarta. Hidup itu tidak hanya sebatas mimpi yang tanpa rasa tanpa karsa dan nurani. Hidup memang butuh kewarasan untuk merasakan kenikmatan, bukan sekedar mimpi.

@arin vita


Bola Panas Antasari di Kotak Pinalti SBY

DUNIA HAWA - Entah bagaimana SBY akan mengantisipasi hal ini. Antasari Azhar akan berlabuh ke kubu oposisi politik SBY. Masuknya Antasari ke dalam kubu oposisi SBY sebenarnya tidak akan pernah bermasalah jikalau pada masa pemerintahan sebelumnya ia tidak dizalimi. Masalahnya, kondisi saat ini menjadi tidak menguntungkan SBY karena Antasari pernah dizalimi di era kepemimpinannya. Antasari menjadi buah simalakama bagi SBY karena rezimnya sendiri.


Sebenarnya buah simalakama bagi SBY bukan hanya Antasari. Para eks petinggi Demokrat yang tercokok kasus korupsi pun tinggal mengunggu waktu yang tepat untuk melawan mantan bos mereka. Tidak dapat dipungkiri betapa besar niatan mereka untuk merongrong SBY. Ini terlihat dari getolnya nama si “pangeran lengan panjang” yang disebut berulang-ulang pada saat persidangan Tipikor berlangsung.

Yang terbaru adalah cuitan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat sendiri pada periode 2010-2013. Cuitan tersebut jelas-jelas menjadi sindirannya terhadap mantan Presiden keenam, SBY.

Kita tidak dapat memungkiri, para eks petinggi ini menyimpan “hasrat” yang besar terhadap SBY karena mereka seperti dikorbankan oleh beliau. Memang suara mereka saat ini masih lemah, tapi kita tunggu saja bagaimana kelanjutannya nanti. Yang saat ini menjadi ancaman pasti bagi SBY adalah Antasari dan proyek-proyek koruptif yang ia sisakan sendiri pada 10 tahun rezimnya. Karena itulah, tidak heran kenapa saat ini beliau begitu bernafsu untuk men-titik-titik-an pemerintahan saat ini.

Antasari dan Pegungkapan Kembali Kasus Pembunuhan Nasrudin


Upaya terdekat yang saat ini sedang mengancam kekuatan politik SBY adalah pembukaan kembali kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Kasus ini memang terlalu dipaksakan karena begitu banyak kejanggalan yang gamblang. Herannya, dengan kejanggalan-kejanggalan yang muncul, Antasari tetap divonis bersalah. Bayangkan, kekuatan sebesar apa yang dapat membuat kesaksian dan pembuktian yang cacat menjadi valid? Salah satunya adalah pengakuan Kombes Pol. Williardi Wizard di muka persidangan. Beliau diminta untuk membuat BAP yang dikondisikan supaya Antasari dinyatakan bersalah. Ini fakta pengakuan yang luar biasa!

Pengakuan Williardi inilah yang menyelamatkan nyawa Antasari yang sudah diujung nadir. Sebab, otak pelaku pembunuhan berencana sulit untuk lolos dari jeratan vonis hukuman mati. Akibat pengakuan tersebut, Antasari sulit untuk dijatuhi hukuman mati; dan sebenarnya juga sulit untuk dinyatakan bersalah. Bahkan dalam tahap persidangan, Williardi sendiri mencabut BAP yang dia sahkan dan meminta maaf kepada Antasari. Tapi bagaimana akhirnya? Beliau tetap dijatuhi hukuman 18 tahun penjara, hebat bukan?

Yang menarik perhatian adalah diamnya SBY kala itu. Dengan alasan tidak ingin mengintervensi hukum, SBY terkesan janggal. Kejanggalan ini nampak ketika SBY memberikan remisi hukuman yang sangat besar kepada Aulia Pohan, besannya yang diciduk KPK di bawah kepemimpinan Antasari. Padahal, Aulia Pohan terbukti bersalah dan terlibat kasus korupsi penyelewengan aliran dana kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) kala itu.

Apa yang mencengangkan adalah, setelah pada tanggal 30 September 2009 Pengadilan Tinggi Tipikor menjatuhkan vonis hukuman 4 tahun 6 bulan penjara, pada Maret 2010 Mahkamah Agung (MA) memotong masa hukuman menjadi 3 tahun. Dan masih pada tahun yang sama, pada bulan Agustus 2010, Aulia Pohan dan ketiga rekannya sudah berstatus bebas bersyarat dan dapat pulang ke rumah masing-masing. Ini semua akibat dari remisi yang diberikan oleh Presiden kala itu, SBY. Hukuman sudah ringan, dapat remisi pula. Dari dijatuhkannya vonis hingga status bebas bersyarat, rentang waktunya hanya berselang selama 11 bulan saja.

Satu fakta menarik, Menteri Hukum dan HAM pada saat itu adalah Patrialis Akbar yang terjerat kasus OTT KPK saat ini.

Inilah yang membuat Antasari terus bertanya-tanya, apakah SBY marah karena besannya ditangkap KPK? Padahal SBY sendiri yang memunculkan KPK. Ini yang mengherankan. Ibaratkan mantan ketika dulu masih pacaran, waktu ditanya mau makan ke mana? Dia bilang terserah, ketika sudah sampai ke restorannya, eh dia malah jadi marah karena kita ajak ke sana. “Ya Allah, Tuhan YME…”

Wacana Antasari Menjadi Jaksa Agung


Selain akan dibukanya kembali kasus Nasrudin, kondisi lain yang akan mengancam keberadaan dinasti Cikeas adalah dengan diangkatnya Antasari menjadi Jaksa Agung. Sekalipun masih berupa wacana, hal ini sudah merupakan suatu bahasa yang bermakna. “SBY jangan coba main-main untuk mengganggu pemerintahan yang sekarang, cukuplah saja jadi mantan yang baik”, mungkin kira-kira begitu maknanya.

Dengan diangkatnya Antasari, maka akan ada keluwesan bagi pergerakkan dirinya untuk mengusut kasus-kasus rezim sebelumnya yang dikubur rapat-rapat selama ini. Salah satu kasus yang juga menarik adalah soal IT KPU yang disinyalir janggal dan memengaruhi hasil Pemilu pada tahun 2009. Kala itu SBY memenangi kursi Presiden RI untuk kali kedua.

Dalam penafsiran saya, semua pengusutan akan mulai intens dikerjakan setelah Pilkada DKI Jakarta selesai, persis seperti apa yang pernah disampaikan Antasari bahwa dia akan mengambil keputusan penting pada sekitaran Februari. Ini penting untuk menjaga agar situasi tetap kondusif sebab Pilkada DKI sedang berlangsung.

Jadi, waktu SBY sebenarnya tinggal sedikit. Maka dari itu SBY berusaha betul mendapatkan momentum di Pilkada DKI. Apakah kita tidak heran? Mengapa dua kali momentum munculnya SBY di media publik, beliau selalu berusaha mengaitkannya dengan Presiden? Padahal, Pilkada DKI ya berkaitan dengan DKI, tapi yang disasar dan disinggung selalu saja Presiden. Ada apa pak mantan? Mungkinkah mantan masih mendambakan rasa-rasa yang dulu pernah ada? Mungkin saja. Hehe.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca, SBY sekarang harus menghadapi hantu yang dulu sempat hendak ia bunuh. Antasari sebenarnya sudah dijerat dengan vonis hukuman mati oleh JPU, tapi Tuhan berkata lain. Pengakuan Kombes Williardi dan kejanggalan lainnya membelokkan arah nasib Antasari, dari yang akan menjadi terpidana mati, akhirnya divonis 18 tahun penjara. Sekarang, SBY harus berhadapan dengan hantu itu. Akankah nanti kita lihat gurita keok di tangan sang kodok? Kita nantikan saja.

@nikki tirta


Penyadapan SBY, Watergate Indonesia?

DUNIA HAWA - Mantan Presiden RI Ke-6 lagi-lagi mengungkapkan curhatnya melalui konferensi pers yang kali ini mengklarifikasi soal percakapan dirinya dengan Ketua MUI Ma’ruf Amin melalui telepon. SBY menegaskan bahwa percakapannya dengan Ma’ruf Amin hanya sebatas untuk mengonfirmasi ulang kedatangan sang anak, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sylviana Murni untuk memohon restu kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.


Ia juga membantah bahwa pihaknya menekan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan fatwa bahwa Ahok melakukan penistaan terhadap agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, SBY merasa disadap ala-ala skandal Watergate, sebuah skandal politik kompleks yang terjadi antara tahun 1972-1974. Bisakah dugaan penyadapan SBY kali ini disamakan dengan skandal Watergate?

Secara konteks, persamaan itu tidak wajar mengingat Watergate merupakan skandal yang sangat gila dan tidak pantas dibandingkan dengan dugaan penyadapan yang dialami SBY. Mengapa terbilang gila? Skandal ini muncul di kawasan perkantoran Watergate, Washington DC, di mana pada waktu itu telah terjadi penangkapan 5 orang yang berusaha membobol masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang alat penyadap dan mencuri beberapa dokumen penting yang ada. Insiden yang terjadi pada masa kampanye tersebut, setelah diselidiki, ternyata dilakukan oleh kelompok pendukung Nixon, Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden. 

Apa yang dikatakan SBY bahwa Presiden Jokowi diharuskan menjawab (sebenarnya dimintai pertanggungjawaban) rasanya terlalu berlebihan.

Watergate murni merupakan skandal politik menjelang pemilihan presiden yang dilakukan Nixon selaku Presiden Amerika dari Partai Republik untuk memenuhi kepentingan dirinya dan partai yang bersangkutan. Alasannya, ada bukti-bukti bahwa ada upaya Nixon menghalangi penyelidikan FBI terkait skandal ini. Juga temuan adanya praktik korupsi Partai Republik dalam pengumpulan dana pemilihan, daftar rahasia terkait lawan-lawan politiknya dari Partai Demokrat (partai yang di Amerika sana, bukan yang di sini, no offense), serta rencana-rencana penyebaran fitnah. Nixon menghalalkan segala cara untuk terpilih kembali menjadi presiden.

Tidak mungkin menyamakan dugaan penyadapan dirinya dengan skandal Watergate. Jokowi akan dinilai berbahaya sekali seandainya melakukan praktik semacam itu. Konferensi pers yang dilakukan SBY terkesan terlalu dini dan malah menimbulkan kegaduhan yang makin liar di mata publik setelah sebelumnya sempat muncul kegaduhan soal “Lebaran Kuda”. Kemudian, dugaan penyadapan ini menjadi semakin kisruh karena SBY terkesan menunjuk hidung Presiden Jokowi yang diharuskan bertanggung jawab. Padahal Jokowi tidak ada sangkut pautnya dalam kasus ini. “Kenapa barangnya digiring ke saya?” begitu kata Pakde Jokowi.

Wajar Jokowi mengatakan hal seperti itu karena kisruh ini sebenarnya ada di dalam ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Tim pengacara Ahok tidak pernah menyebut bahwa mereka memiliki bukti berupa penyadapan telepon, melainkan hanya sebatas bukti adanya jalinan komunikasi antara SBY dan Ketua MUI Ma’ru’ Amin. Biarkan tim pengacara Ahok yang membuktikan ada tidaknya bukti komunikasi tersebut secara nyata. Akan terasa aneh jika tim pengacara Ahok melakukan penyadapan terhadap mantan Presiden, karena justru akan menjadi bumerang merugikan bagi Ahok dan tim pengacaranya sendiri.

Mengutip dari pakar kriptografi, Pratama Persadha, ada dua metode untuk melakukan penyadapan, yaitu tactical dan lawful interception. Penyadapan tactical dilakukan dengan beberapa cara seperti mendekati lokasi target, kemudian alat khusus dipasang dan ketika target melakukan komunikasi, maka informasi itu bisa diambil. Sementara lawful interception merupakan penyadapan melalui operator seluler dan dilakukan secara resmi lewat jalur hukum atas permintaan dan atau persetujuan aparat hukum seperti Badan Intelijen Negara, Intelijen Kejaksaan Agung, Intelijen TNI, hingga Intelijen Kepolisian.

Dalam paparannya, Pratama menyebutkan bahwa tactical interception akan dianggap berbahaya jika seseorang atau kelompok tertentu memang mampu membeli dan menguasai operasional alat penyadapan yang canggih bernilai miliaran rupiah.

Negarawan Jangan Gegabah


Mantan presiden seharusnya tidak perlu memperluas kisruh ini melebar sampai mengimpor Skandal Watergate dari mamarika, membawa persoalan political spying, hingga impeachment. Curhatan mantan sebenarnya malah berbalik mengundang spekulasi berlebihan dan merusak citra sang mantan sendiri.

Keruhnya situasi politik untuk yang kedua kalinya setelah Lebaran Kuda ini juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok nganu yang lagi-lagi berusaha mengacak-acak rasa persatuan dan kesatuan NKRI di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika. Mengadu domba Ahok dengan NU dan mengadu domba SBY dengan Jokowi, bahkan Fraksi Demokrat di parlemen pun mulai kebakaran bulu hidung sampai mengajukan hak angket soal dugaan penyadapan terhadap pimpinan partainya sendiri.

Seorang negarawan perlu menyikapi persoalan secara etis (tidak gegabah), diam sesaat sembari melihat perkembangan situasi, bukan ujug-ujug langsung mengadakan konperensi pers dan merasa langsung sebagai korban dugaan penyadapan. Jokowi sendiri malah cengengesan ketika pada tahun 2014 (saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta) ditemukan alat penyadap di kamar tidur, ruang tamu pribadi, dan ruang makan rumah dinasnya.

Apa sikap Jokowi? Jokowi malah santai. Dia tidak melaporkan hal tersebut ke kepolisian, “Kalau pas ke kebon karet atau ke pinus. Nah di situ banyak sadap di sana. Sadap menyadap banyak. Kalau sadap saya apanya sih? Sadap itu, karet, sadap pinus banyak,” guyon Pakde Jokowi. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada hal rahasia yang dibicarakan bersama istrinya di rumah dinas tersebut, selain masalah ikan bakar, sate kambing, ikan gulai.

Sikap SBY sebenarnya sangat elok ketika menyikapi penyadapan yang benar-benar nyata (telah terbukti), bahkan dilakukan oleh intelijen luar negeri dalam hal ini oleh negeri tetangga, Australia. Ia bergerak dalam diam mengamati situasi terlebih dahulu dan mencari pembuktian kuat lalu memerintahkan Menkopolhukam Djoko Suyanto serta Menteri Luar Negeri di bawah pimpinan Marty Natalegawa meninjau ulang segala macam bentuk kerjasama, khususnya pertukaran informasi RI-Australia, dan memanggil pulang duta besar RI untuk Australia. Ke mana sikap bijak seperti itu dulu?

Biarlah tim pengacara Ahok yang membuktikan bukti percakapan nanti seiring berjalannya waktu…

@ dylan aprialdo 


Begini Pengakuan Tokoh NU Mengenai Isu Ma’ruf Amin

DUNIA HAWA - Seorang tokoh NU bernama Ahmad Baso ternyata mencium bau tak sedap mengenai isu yang berlarut-larut antara Ahok dan Ma’ruf Amin. Pernyataan Ahok yang dianggap tidak sopan terhadap ulama dipermasalahkan hingga terlihat seolah tak ada ujungnya. Kalau mau disederhanakan, kasus yang melibatkan Ahok dan Ma’ruf Amin sebenarnya—menurut saya—sudah digoreng hingga aromanya begitu lezat dan menggugah selera siapa pun yang berkepentingan. Ingat, yang berkepentingan dan yang merasa diuntungkan dengan isu ini.


Padahal Ahok sudah meminta maaf lewat klarifikasi secara tertulis. Masih tidak cukup, Ahok terus dipaksa untuk minta maaf, dan Ahok pun meminta maaf lewat video dan belum sempat terdengar adanya pertemuan langsung antara dua orang ini. Salah tidaknya ucapan Ahok, biarlah pembaca yang menilai sendiri. Tapi Ahok setidaknya sudah gentleman mau meminta maaf meski saya yakin banyak yang akan ngeles dengan mengatakan bahwa Ahok tidak tulus, minta maaf pun karena ingin mengamankan suara karena sedang dalam masa kampanye. Terserah mereka lah. Tidak minta maaf, dikecam habis-habisan. Minta maaf, dibilang pencitraan. Terserah mereka asal mereka senang dan puas.

Padahal Ma’ruf Amin sudah memaafkan Ahok. Meski belum mendengar langsung permintaan Ahok yang disampaikan melalui media, pada prinsipnya dia sudah memaafkan Ahok yang sudah bersedia meminta maaf. “Namanya orang sudah minta maaf masa tidak dimaafkan,” ujar Ma’ruf.

Ma’ruf juga tidak ingin memperpanjang masalah dengan mengimbau kepada semua kader PBNU di tanah air untuk bersedia memaafkan Ahok. Menurutnya kader PBNU harus tenang dan bisa menahan diri. “Kami nggak ada musuh-musuhan,” kata Ma’ruf.

Kalau yang sudah bersangkutan sudah meminta maaf dan satunya lagi sudah memaafkan, lantas mau apa lagi? Nah, sayangnya kasus ini seolah tidak bisa dipadamkan karena ada beberapa pihak yang seolah sedang menyiram bensin agar apinya tetap membara. Ahmad Baso yang juga mantan komisioner HAM masa periode 2007-2012 mengatakan, isu ini berlanjut karena disinyalir ada pihak-pihak yang melakukan politisasi, dan terang-terangan menunjuk orang-orang di sekitar SBY. Sebuah pernyataan yang berani dan lantang namun tidak terlalu mengejutkan.

Jika meneliti konpers SBY dengan penjelasan super aneh, kita semua sudah tahu maksud dari SBY. Sikapnya sebagai mantan negarawan sangat tidak cocok saat itu. Sangat pesimis, tampak jelas sedang bermain peran sebagai korban yang dizolimi, reaksi panik seperti cacing kepanasan, membuat asumsi disadap yang belum terbukti jelas hingga berencana menggulirkan hak angket yang mengada-ada. Melihat ini saja sudah jelas ada yang tidak beres dari isu ini.

“Orang-orang sekitar SBY sudah matang dalam politisasi agama sejak Gud Dur RI 1,” katanya yang juga menulis buku NU Studies dan biografi KH Ma’ruf Amin ini. Sebelumnya dia juga menduga isu FPI yang dipakai dalam berbagai isu tapi karena sekarang FPI sedang sempoyongan karena banyaknya kasus yang dilaporkan oleh banyak orang, terutama Habib Rizieq yang terkenal dengan skandal chat yang *sensor*.

“Kartu FPI sudah mati sejak banyak kasus numpuk di kepolisian. Tinggal mainkan kartu massa NU lewat settingan Ma’ruf Amin. Efeknya dahsyat kalau digoreng tiap hati,” tambahnya. See, tidak jauh beda dengan ulasan penulis. Terlalu tidak masuk akal kalau bilang kasus Ahok tidak dipolitisasi. Ucapan Ahok, jika ada celah, akan dimanfaatkan dengan potensi maksimalnya demi keuntungan pihak yang berkepentingan. Ini adalah salah satu strategi bagus tapi licik ala pengecut yang tidak berani bersaing dengan sehat sehingga pikirannya sakit.

Dulu ucapan Ahok mengenai Al Maidah dibenturkan dan GNPF MUI serta FPI begitu lantang melawan. Siapa pun tahu kalau aksi tersebut terlalu berlebihan dan tidak wajar. Sekarang pentolan GNPF MUI dan FPI sedang terkena kasus berlapis-lapis sehingga waktunya habis untuk membela diri. Seolah ada yang tidak senang, ucapan Ahok terhadap Ma’ruf Amin kemudian dipaksa goreng hingga menjadi heboh. Sasarannya, seperti yang dikatakan Ahmad Baso, membentukan NU dengan Ahok. Pokoknya begitu ada celah dan peluang, Ahok akan dibenturkan dengan siapa pun. Jika tidak ada cara lain lagi, mungkin Ahok akan dibenturkan dengan kebo sekalian, biar mantap. Sebuah pertanyaan kecil namun butuh renungan, jika Ahok muslim atau ini bukan masa Pilkada atau tidak mencalonkan diri jadi Gubernur, apakah isu ini akan diperbesar atau malah berlalu begitu saja?

Seperti yang pernah saya katakan politik dan agama adalah dua hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Butuh pikiran sehat dan bijak untuk menyikapinya. Jika politik dicampur dengan agama dan disikapi oleh gerombolan sumbu pendek, maka silakan tanyakan pada cicak di dinding apa yang akan terjadi. Negara lain isunya mengenai urusan negara, Indonesia isu panasnya adalah urusan penistaan agama dan ulama.

Bagaimana menurut Anda?

@xhardy


Gagalnya Strategi dan Misi Pak Mantan

DUNIA HAWA - Sabtu yang mendung disertai hawa dingin dengan rintik hujan membuat malas keluar rumah untuk jalan-jalan. Bingung mau lakukan apa akhirnya duduk depan laptop baca-baca situasi tanah air. Hiruk pikuk pilkada DKI bikin ikut merasa #prihatin dengan kegalauan yang dirasakan oleh pak mantan.


Gara-gara Pilgub DKI, waktu yang seharusnya buat momong cucu sehabis lepas dari jabatannya, malah tersita jadi ikut ngalor-ngidul rajin bikin cuitan sampai konperensi pers segala. Risiko bila mantan masih menjadi ketua umum partai. Mau tidak mau terus ikut terlibat dalam kancah politik demi mengejar kekuasaan. Apalagi sekarang melibatkan juga putra mahkota.

Namun sayang disayang, biasanya pak mantan dikenal memiliki strategi cerdas dan selalu berhati-hati melangkah hingga kadang dikatakan peragu, kali ini akan menemui kegagalan. Gagal meloloskan putra mahkota untuk menduduki kursi DKI 1.

Bukan tanpa alasan saya berani mengatakan hal demikian. Ini bukan tuduhan atau fitnah maupun hasil penyadapan apalagi disertai bukti transkrip rekaman, namun hanya sebuah tulisan analisis opini melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini.

Sejak konperensi pers pertama dan mempopulerkan istilah lebaran kuda, dampak sosial terlihat berpihak kepadanya. Elektabilitas putra mahkota semakin terkerek dan hampir semua lembaga survei mendudukkan di tempat teratas atau minimal kedua. Pak mantan pun bisa tersenyum dan tidur nyenyak.

Kenyenyakan tidur yang hanya dinikmati sesaat, kembali terusik melihat hasil survei di minggu-minggu akhir paska debat kedua menjelang pencoblosan. Ada penurunan drastis elektabilitas pada pasangan yang diusung bersama 3 parpol berbasis agama ini. Berbahaya! Disaat mendekati hari H semakin mepet bila tidak diselamatkan, putra mahkota bakal tersingkir. Konperensi pers harus dilakukan lagi dan berharap bisa menarik kembali suara masyarakat yang hilang. Memposisikan diri sebagai pihak korban dari fitnah dan konspirasi politik. Didzolimi.

Sayang disayang, respon masyarakat tidak seperti yang diharapkan. Strategi menempatkan diri sebagai korban pendzoliman sudah tidak lagi mempan digunakan saat ini karena masyarakat semakin cerdas, khususnya warga DKI. Mayoritas adalah pemilih rasional yang tidak mempedulikan lagi trik-trik politik maupun sisi primordial. Lebih melihat visi misi dan program calon yang bakal dipilihnya. Konperensi pers yang malah menjadi bumerang sebab hanya sebatas membawa perasaan merasa disadap tanpa bisa membuktikannya.

Bila logika pak mantan diikuti dan meyakini bahwa telponnya disadap terkait pembicaraan dengan saksi, ini justru semakin menjerumuskan ke lobang lebih dalam. Masyarakat jadi makin yakin bahwa omongan tim kuasa hukum petahana bisa dipercaya karena hasil dari sadapan. Permintaan untuk menerbitkan fatwa dianggap nyata adanya. Telah ada intervensi politik pada lembaga keagamaan yang seharusnya netral.

Turunnya elektabilitas putra mahkota adalah sesuatu hal yang wajar dan diprediksi sebelumnya. Saat kemunculan awal, masyarakat mengalami efek kejut melihat penampilan dan sebagai putra mantan. Tampilan wajah ganteng dan muda serta dianggap santun, mewakili pemilih berbasis psikologis dan akan cepat menjadi daya pikat. Namun golongan pemilih jenis ini tidak terlalu signifikan dan jumlahnya kecil. Terbukti Jokowi yang dianggap kalah ganteng dan penampilannya dibanding Prabowo bisa memenangkan Pilpres kemarin.

Selanjutnya dari sisi pemilih sosiologis, putra mahkota dimaksudkan sebuah tawaran lain yang diberikan sebagai alternatif orang-orang yang memilih berdasarkan faktor primordial. Hanya saja yang dilupakan adalah jumlah dari pemilih ini juga tidak banyak. Mayoritas semakin rasional memilih sosok yang akan dijadikan pelayan di kotanya, berdasarkan track rekord dan visi misi serta program memajukan rakyat serta pembangunan fisiknya.

Efek kejut, faktor psikologis sosiologis dan sedikit tambahan pemilih rasional sudah mentok hanya bisa mendulang elektabilitas di kisaran angka 30%.

Namun angka tersebut pun akhirnya tergerogoti secara drastis. Hilangnya suara dukungan hingga menyebabkan menurunnya elektabilitas disebabkan beberapa hal. Diantaranya masyarakat kembali semakin berpikir rasional dan berpindahnya pada calon lain yang juga mewakili para pemilih berbasis tampilan serta kesamaan keyakinan.

Undangan ajang debat non formal yang diprakarsai oleh berbagai stasiun televisi dan sempat ditolak oleh putra mahkota karena dianggap tidak penting dan lebih memilih blusukan, menjadi salah satu faktor negatif. Masyarakat menilai kandidat ini tidak memiliki modal cukup untuk membeberkan visi misi dan programnya jika terpilih sebagai orang nomer satu di DKI. Karbitan.

Hal ini terbukti ketika berlangsung debat resmi yang dilakukan oleh KPUD dan tidak bisa ditolak lagi karena sebuah keharusan. Di 2 session debat yang telah dilakukan penilaian masyarakat jauh dari yang diharapkan. Ternyata memang tidak mampu menjelaskan program-programnya secara rinci dan meyakinkan, misalnya merelokasi warga tanpa menggusur dengan rumah apungnya. Mengecewakan.

Faktor tidak kalah penting adalah adanya dugaan kasus korupsi yang melibatkan pasangannya. Korupsi adalah momok di mata masyarakat dan sudah diketahui umum adalah penyebab terbesar bangsa ini mandeg dari segala aspek pembangunan guna mensejahterakan rakyatnya. Jika sosok calon pemimpin sudah dikaitkan dengan korupsi, masyarakat waras akan antipati untuk mendukungnya.

Itulah beberapa alasan kenapa saya berani mengatakan kali ini strategi pak mantan menuai kegagalan. Untuk maju di putaran kedua saja bagi putra mahkota akan sangat sulit apalagi memenangkan 1 putaran. Hanya keajaiban yang bisa membalikkan fakta dan itu bis terjadi bila ada salah satu pasangan lain melakukan blunder besar. Namun bukan jaminan juga pemilih pasangan tersebut akan berpindah untuk mendukungnya.

Dimajukannya putra mahkota, menurut penerawangan saya ini juga sebagai misi ke depan dari pak mantan. Pilkada rasa PIlpres. Test the water sebagai penjajakan apakah masih ada banyak dukungan dan kepercayaan rakyat pada dinasti serta parpol yang dipimpinnya. Pilgub DKI dijadikan tolak ukur menghadapi PIlpres 2019. Apabila putra mahkota terpilih, kemungkinan besar akan dijadikan momen pak mantan untuk maju lagi  mencapreskan dirinya. Secara Undang- Undang juga tidak dilarang.

Donald Trump yang sudah berusia 73 tahun saja mampu, kenapa pak mantan yang nanti tahun 2019 baru berusia 70 tahun tidak melakukannya. Walau sempat mengatakan tidak akan maju lagi tapi atas nama permintaan rakyat, bukan hal tabu lagi untuk disanggupi.

Sekali lagi tulisan ini bukan tuduhan atau fitnah apalagi dihubungkan dengan penyadapan berbentuk rekaman maupun transkrip, namun murni analis opini saja. Jadi jangan sampai nanti terus dibuatkan hak angket segala dan diumpamakan dengan skandal yang terjadi di Amerika, Watergate.

Salam Anu

@alde


Telepon SBY dan Gagalnya Politik Membakar NU

DUNIA HAWA - “Percayalah, sebagai penutup, kalau Anda menzalimi saya, yang Anda lawan adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Esa. Saya akan buktikan satu per satu dipermalukan. Terima kasih,” ujar Ahok dengan suara gemetar kepada Kiai Ma’ruf Amin saat sidang ke-8 kasus dugaan penistaan agama.


Ahok berkata demikian karena keberatan atas kesaksian Kiai Ma’ruf, Ketua MUI yang juga menjabat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Oleh Ahok, Kiai Ma’ruf dinilai memberikan kesaksian kontradiktif dan cenderung bohong. Misalnya, dalam hubungan antara Kiai Ma’ruf, SBY, dan keberadaan pasangan calon gubernur nomor 1 Agus-Sylvi.

Saat itu pengacara Ahok menanyakan apakah Kiai Ma’ruf pernah menerima sambungan telepon SBY sebelum Agus-Silvy diterima di kantor PBNU pada 7 Oktober 2016. Kiai Ma’ruf bersikukuh tidak pernah mendapat telepon dari SBY. Jawaban saksi membuat para pengacara Ahok terus mencecar Ketua MUI ini, dan bahkan mengingatkannya agar berkata jujur karena di bawah sumpah. 

Mereka, pengacara Ahok, mengaku punya bukti transkrip/rekaman percakapan tersebut. Kengototan suami Veronica Tan dan pengacaranya memantik reaksi keras kalangan Nahdliyyin dan, tentu saja, elemen lain yang selama ini kontra-Ahok. Lantas, benarkah SBY pernah menghubungi Kiai Ma’ruf? Kenapa reaksi keras Nahdliyyin begitu membuncah?

Salam ke Ulama NU


Entah benar ada rekaman/transkrip percakapan tersebut atau tidak, namun publik perlu tahu bahwa menurut Ahmad Romadoni, jurnalis Liputan6.com, SBY memang pernah menelepon Kiai Ma’ruf. Setidaknya hal itu diakui oleh Ketua MUI ini sendiri saat pasangan Agus-Sylvi berkunjung ke Kantor PBNU, Jumat, 7 Oktober 2016.

“Pak SBY telepon saya. Saya ingat waktu beliau Presiden yang pertama kali hadir dan dampingi di Senayan kata beliau saya,” kata Kiai Ma’ruf sebagaimana dilansir Liputan6, Jumat (7/10/2016).

Kiai Ma’ruf sendiri malah berdoa agar keduanya bisa dipilih warga Jakarta. “Mudah-mudahan dukungan NU, secara kelembagaan tidak, tapi secara keumatan. Yang paling lengkap samanya, ada perempuannya, secara kultural Nahdliyin, Agus-Sylvi ,” ucap Ma’ruf seperti dikutip Liputan6.

Pengakuan Kiai Ma’ruf ditelepon SBY juga diamini langsung Agus Yudhoyono. Menurutnya, saat ditelepon, ayahnya menyampaikan salam kepada para ulama NU dan meminta waktu khusus untuk bertemu.

“Pak SBY hanya menitipkan pesan tolong sampaikan kepada ketua umum bahwa beliau berkenan jika ada waktu untuk berdiskusi bersama berbicara tentang Islam di Indonesia dan untuk dunia,” ujar Agus yang saat ke PBNU didampingi dua petinggi parpol pendukungnya, Hasbiallah Ilyas, Ketua DPW Partai Kebangkitan Bangsa DKI Jakarta, dan Eko Hendro, Ketua DPW Partai Amanat Nasional DKI Jakarta (Kompas.com, 7 Oktober).

Sinyal kebenaran adanya telepon SBY ke Kiai Ma’ruf juga secara tidak langsung diakui SBY sendiri saat konferensi persnya pada 1 Februari 2017.  “Kalau betul percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin atau siapa pun, dengan siapa disadap, tanpa alasan yang sah, tanpa perintah pengadilan dan hal-hal yang dibenarkan dalam undang-undang, namanya itu penyadapan ilegal,” tuturnya.

Mengusik Sarang Tawong


Memori manusia memang terbatas. Oleh karena itu, publik patut bersyukur SBY dan jejak digital internet telah mengingatkan kembali memori Kiai Ma’ruf. Ketua MUI ini sangat mungkin lupa peristiwa itu ketika bersaksi di persidangan.

Ahok dan pengacaranya seharusnya memaklumi hal ini, bukannya malah menekan saksi untuk mengingat kembali kejadian 4 bulan lalu tersebut. Namun, Ahok tetaplah Ahok yang tidak mudah menyerah mencari keadilan. Dengan lantang, ia berencana mempolisikan Kiai Ma’ruf terkait kekukuhannya tidak mengakui telepon dari SBY. Dan blunder pun terjadi. Tidak sedikit Nahdliyyin yang marah atas “kekurangajaran” Ahok. Gerakan Pemuda Ansor sendiri telah menyatakan siaga satu.

Ahok barangkali lupa satu hal, bahwa di samping sebagai Ketua MUI, saksi adalah Rais Aam Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Rais Aam merupakan posisi tertinggi dalam NU, mungkin sekelas ayatullah di Iran. Posisi keagamaan setinggi ini kerap mempunyai semacam previlese di kalangan pengikutnya.

Dalam perspektif relasi kiai-santri, posisi kiai diniscayakan ma’shum (infallible). Santri memanggul kewajiban mengagungkan ilmu dan ulama. Terdapat dua kitab rujukan terkait hal ini yang menjadi teks wajib di pesantren (NU), yakni Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali, dan Ta’lim al-Muta’allim karangan Syaikh al-Zarnuji (w. 1195).

Kepatuhan yang mengagumkan santri terhadap kiai, pada titik tertentu, menawarkan kelezatan politik bagi banyak kelompok kepentingan. Saat Peristiwa 65 mencuat, terutama di basis santri, militer dan kekuatan non-komunis menggunakan tangan NU untuk ikut serta berlumuran darah, mengganyang Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mengobarkan sentimen jahat;  “kiai termasuk tujuh setan desa”.

Bukanlah hal baru jika NU dan pesantrennya kerap dijadikan sebagai pendulang suara, namun sering tidak mendapat haknya secara adil. Perceraian NU dan Masyumi saat Orde Lama menjadi contoh yang bisa dirujuk. Pun, atas kondisi NU saat dipaksa berfusi dalam naungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merger oleh Soeharto.

NU atau PKB?


Melimpahnya energi pesantren (nahdliyyin) juga mendorong KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan para kiai terpandang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, kanal aspirasi politik warga Nahdliyyin. Janji netralitas (khittah) NU dalam berpolitik senyatanya mengalami redefinisi. Sejak saat itu, NU-PKB menjadi layaknya dwi-tunggal; di mana ada NU, panji PKB membumbung di langit biru.

Setelah sukses menggeser Gus Dur dari kepemimpinan PKB, Muhaimin Iskandar terus merawat relasi dengan NU, khususnya pesantren. Barangkali infiltrasi politik PKB ke NU yang paling sukses adalah pada Muktamar NU ke-33. Kegigihan parpol ini mengendalikan muktamar sempat membuat Kiai Salahudin Wahid Tebuireng gusar. “Ini muktamar NU atau PKB?” sindirnya seperti dikutip Tempo (2/8/2015).

Pascamuktamar yang memunculkan duet kepemimpinan Kiai Ma’ruf dan Kiai Said Aqil, gerakan politik PKB menguasai PBNU sangat terasa dalam penyusunan kabinet di PBNU. Tidak ada satu lini pun yang lolos dari penetrasi.

Meski demikian, yang menarik, Nusron Wahid barangkali satu-satunya Ketua PBNU yang berasal dari parpol non-PKB. Sayangnya, nasib politisi Golkar ini seketika (di)hilang(kan) dari peredaran saat dianggap terlalu menonjol membela Ahok.

Mungkin PKB gerah dengan sepak terjang Nusron yang meraup simpati publik saat membela Ahok di awal kasus al-Maidah 51. Heroisme Nusron saat menampilkan wajah asli pembelaan NU terhadap minoritas begitu memukau, apalagi dengan statusnya yang mentereng; sebagai salah satu pucuk pimpinan PBNU.

Namun demikian, dari aspek rivalitas pencitraan politik, Nusron dapat dikatakan offside karena PKB–sebagai “pemilik” PBNU–telah menetapkan aspirasinya dengan mendukung AHY-Sylvi. PKB yang sangat mungkin merasa telah berjasa besar bagi NU begitu kuat menautkan posisinya; PKB adalah NU, NU adalah PKB.

Pada titik inilah, barangkali bisa dipahami jika statemen yang keluar dari politisi PKB dalam perseteruan Ahok-Kiai Ma’ruf Amin terasa provokatif. Akun twitter @kadir_karding misalnya menulis. “Kalo ada orang NU yg tidak tersinggung ketika kyainya dilecehkan perlu dipertanyakan kadar ke NU annya @nu_online @mohmahfudmd @basuki_btp”, “Sy meyakini yg tersinggung dengan pelecehan kyai ini bukan sj org Nu tapi juga umat islam indonesia @basuki_btp @nu_online @Fahrihamzah”.

Kicauan senada juga dilontarkan akun @ninikwafiroh, “Serius mau nantangin santri??? @basuki_btp ???” Saat itu, akun milik legislator yang duduk di Komisi IX DPR RI itu mengomentari statemen koleganya, Khatibul Umam Wiranu, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKB, yang menjadi judul berita JPNN.com, “Pak Ahok, Mau Menantang Jutaan Santri?”

Dalam perseteruan Ahok-Kiai Ma’ruf sangat nampak genderang perang bernuansa SARA di Pilkada Jakarta; tidak lagi menjadi monopoli Rizieq Shihab dkk. Namun telah sedemikian jauh melibatkan partai politik yang dihuni politisi yang kerap menisbatkan diri mereka sebagai “murid” politik Gus Dur–sosok penting dalam jagat perjuangan antidiskriminasi Indonesia.

Antiklimaks


Upaya membenturkan NU sebagai kekuatan Islam moderat Indonesia dengan Ahok nampaknya berakhir antiklimaks. Hal ini bisa diyakini setelah suami Veronica Tan tidak jadi mempolisikan Kiai Ma’ruf Amin, dan bahkan justru mengambil inisiatif meminta maaf.

Tidak berselang lama, KH Ma’ruf Amin sendiri juga bersedia memaafkan. Pelajaran paling penting dari kegaduhan ini publik semakin paham motif politik beberapa pihak dalam Pilkada Jakarta yang mengabaikan akhlaq al-karimah dan cenderung menghalalkan segala cara, seperti sindiran KH Mustofa Bisri. Wallahu a’lam.

@aan anshori