Monday, January 30, 2017

Rizieq Sihab, Klarifikasi Yang Jelas Sebelum Melaporkan

DUNIA HAWA - Ada yang mengganjal soal transkrip Whatsapp antara yang diduga Rizieq Sihab dengan Firza Husen, mau dibilang bohong tapi aneh juga. Oleh sebab itu perlu segera klarifikasi yang jelas dari pihak-pihak terkait. Pihak RS sudah mengeluarkan pernyataan meski bukan klarifikasi yang diharapkan publik. Beberapa kejanggalan yang bisa saya rangkum adalah sebagai berikut :


Pertama, Anonymous adalah grup hacker yang sangat terkenal, memiliki banyak pendukung. Memang Anonymous memiliki banyak amunisi mumpuni untuk bisa menjebol berbagai database didunia. Tidak jarang juga nama Anonymous dicatut pada berbagai kasus hacking tapi untuk kasus ini sampai saat ini belum ada bantahan dari Anonymous. Karena bisa saja bukan Anonymous yang melakukannya, tapi FH sendiri yang membocorkannya melalui orang lain dan mencatut nama Anonymous.

Kedua, bagi mereka yang tau tentang hacking, hacking bukan perkara mudah. Butuh waktu cukup lama untuk bisa mencuri data. Tidak seperti di film holywood. Dari pesan yang disampaikan ke web gerilya politik oleh orang yg mengaku Anonymous ini, mereka memulai pergerakannya sejak RS akan dijadikan Imam Besar Umat Islam. Antara wacana pengangkatan Imam Besar umat Islam sampai bocornya video sex chat ada waktu yang cukup lama. Waktu yang cukup untuk melakukan hacking. Tapi pada pesan chat terlihat tanggalnya adalah 5 Agustus 2016, jauh sebelum wacana pengangkatan Imam Besar ramai di publik. Ada kemungkinan upaya peretasan ini telah lama dilakukan.

Ketiga, jika dibaca transkripnya maka akan terasa memang ada dua orang dengan karakter berbeda yang saling berkomunikasi. Karakternya terasa berbeda sekali, jika membangun karakter seperti ini untuk membuat chat palsu butuh waktu. Saat ini dapat kita lihat ada upaya-upaya membuat percakapan bohong antara Ahok dan orang lain namun dengan mudah diketahui kebohongannya. Hal tersebut karena pada percakapan bohong tidak terasa ada dua karakter yang berbeda. Juga terlihat cara kebiasaan pengetikan RS dan FH yang berbeda, salah satunya adalah pengetikan “saya”. RS selalu konsisten pada setiap chat menuliskan lengkap “saya” sementara FH selalu cukup sering menyingkatnya menjadi “sy”, seolah-olah kebiasaan keduanya berbeda. Ada juga cara penyingkatan yang berbeda untuk “Kenapa”, RS menyingkatnya “knp” sementara FH menyingkatnya dengan “knpa”. Semakin terasa ini adalah dua karakter yang berbeda.

Keempat, sebuah lokasi disebutkan dalam transkrip percakapan keduanya. Gunung dan Jakarta, mungkin maksudnya adalah Puncak? Karena akhir-akhir ini memang ramai mengenai lokasi pesantren RS di Puncak yang katanya menyerobot tanah negara. Dan juga sinyal yang lemah karena ponpes terletak dipelosok gunung.

Kelima, foto-foto seronok FH adalah foto yang benar-benar fresh. Maksudnya bukan foto yang dicomot dari mesin pencari Google lalu diklaim sebagai foto FH, seperti yang umumnya dilakukan para penebar fitnah. Foto juga bukan hasil rekayasa atau photoshop tapi nampak asli dan mirip dengan FH.

Keenam, timing chat dengan foto sangat tepat sekali. Bahkan ada chat dari RS yang meminta FH foto dengan pose tertentu dan seperti yang kita lihat FH berpose persis yang diminta RS. Memang bisa saja ada foto seronok FH lalu dikaitkan dengan chatting yang telah direkayasa. Oleh karena itu disinilah perlu klarifikasi apakah chat tersebut sebenarnya hanyalah foto-foto bugil FH yang dikaitkan dengan chatting hasil rekayasa atau sebaliknya.

Ketujuh, tiba-tiba muncul situs dengan alamat http://baladacintarizieq.com/ yang isinya adalah rekaman dan transkrip chat hasil hack Anonymous. Situs diregistrasi pada tanggal 28 Januari, server diluar Indonesia dan pendaftar menggunakan alamat di Phoenix, Arizona. Nampaknya pembuat web minimal memiliki sedikit pengetahuan cara menyembunyikan identitas. Ia juga minimal memiliki pengetahuan membuat situs sederhana dengan cepat serta juga tahu cara memasang counter dari reliablecounter.com. Situs juga nampaknya dibuat menggunakan notepad, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tahu men-script html. Situs tersebut kini sudah diblokir oleh pemerintah, dan ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah tidak terlibat.

Kedelapan, percakapan di WhatsApp memang bisa dibuat menggunakan aplikasi sederhana. Tapi muncul juga suara yang diduga FH yang sedang curhat mengenai perselisihannya dengan RS. Perselisihan yang diakibatkan perselingkuhan mereka, jadi ada hubungan antara chat yang bocor dengan rekaman. Disana FH bicara dengan kak emma, nama yang juga disebutkan pada transkrip chat di WhatsApp. Curhatan yang agak sulit direka-reka intinya oleh orang lain, seolah-olah antara “Kak Emma” ini sudah saling tahu sebelumnya. Nampaknya rekaman tersebut adalah hasil editan dengan menghilangkan suara “kak emma”, mungkin si penyebar kabar ini enggan melibatkan Kak Emma yang tidak bersalah. Disebutkan juga beberapa nama yang cukup dikenal seperti Ahmad Dhani, dan juga ada satu nama yang menarik yaitu bidadari1. Siapa bidadari1?


Kesembilan, sampai saat ini belum ada klarifikasi yang jelas dari RS mengenai kasus ini. Lebih condong ke pernyataan sikap bahwa akan melaporkan si penyebar. Juga pihak RS lebih suka menuduh pemerintah, komunis dan lain-lain sambil playing victim. Pembelaannya gak masuk akal, kloning hp, gak pakai hp sejak 411 padahal tanggal yang tertera pada screenshot chatting mereka dimulai sejak 5 Agustus 2016

Klarifikasi sangat diperlukan untuk mencegah bola liar semakin liar. Juga tentunya diharapkan ada penyelidikan dari pihak kepolisian mengenai kasus ini tentunya atas pelaporan dari pihak RS. Karena jika ini fitnah, sudah jelas-jelas melanggar UU-ITE

@gusti yusuf


Disambut Meriah, Ahok Jatuh dan Bangkit di Tempat yang Sama

DUNIA HAWA - Calon gubernur nomor urut dua DKI Jakarta 2017-2022 yang kebetulan juga merupakan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hari ini mengadakan kampanye atau blusukan di Kepulauan Seribu, atau lebih tepatnya di Pulau Kepala, Pulau Harapan dan Pulau Pramuka. Tujuan kedatangan tentu saja untuk kampanye, namun saya melihatnya makna dan dampak kunjungan tersebut jauh lebih dari sekedar itu.


Kita semua ketahui bahwa kasus penodaan yang menghantam Ahok berawal dari kunjungannya ke Kepulauan Seribu atau lebih tepatnya Pulau Pramuka. Dua kalimat yang dipermasalahkan oleh pihak-pihak yang berseberangan dari awal ataupun lawan politik Ahok ini terucap olehnya di tempat ini, sebuah pulau kecil yang memiliki populasi kurang lebih 2.000 jiwa saja.

Lebih Dari Sekedar Kampanye


Bagi saya kunjungan kampanye Ahok ke Kepulauan Seribu terutama ke Pulau Pramuka memiliki makna jauh lebih besar dari sekedar merebut pundi-pundi suara di tempat itu. Pasalnya, jumlah penduduk saja 2.000 jiwa, maka jumlah pemilih pastinya kurang dari itu. Bukan maksud saya mengatakan bahwa 2.000 suara tidak penting, bukan demikian. Namun makna kunjungan yang menghabiskan satu hari kampanye yang begitu berharga ini bagi saya memiliki makna jauh lebih besar dari itu.

Kedatangan ini jika berhasil mendapatkan respon yang baik dari warga setempat maka akan menepis fitnah yang disebarkan oleh sebagian pelapor kasus Ahok yang mengatakan mendapatkan banyak telepon dan ribuan pesan pendek (sms) dari warga Kepulauan Seribu. Saya sebut saja orangnya yang bernama Novel Bamukmin yang mengatakan demikian saat memberikan kesaksian di persidangan.

Meskipun telah sebelumnya dibantah oleh sebagian warga Pulau Pramuka, tapi kedatangan Ahok memang sangat penting untuk membuktikan secara langsung.

“Saya nggak tahu. Sepertinya tidak ada orang Pulau yang melapor. Kita kan biasa-biasa saja,” kata Bram (52), warga asli Pulau Pramuka, saat ditemui detikcom di dermaga nelayan Pulau Panggang, Rabu (4/1/2017).

“Nggak pernah denger ada yang laporan ke sana. Tanya saja dia siapa yang melaporkan pasti nanti ketahuan,” tegas Boko yang dilansir disini.

Langkah yang cerdas dari Ahok beserta tim sukesnya untuk mengunjungi baru hari ini pun patut kita puji. Karena sebenarnya kan bisa saja Ahok kunjungi tempat tersebut ketika masalah ini mulai menjadi viral atau bahkan ketika Novel menyatakan tudingan tersebut di persidangan. Kunjungan baru hari ini menurut saya adalah langkah tepat karena mencuri momentum.

Momentum apa? Momentum ketika banyak kebohongan dari saksi pelapor yang lain juga sudah terungkap di persidangan dan juga berjarak 2 minggu dari proses pemungutan suara. Hal ini akan semakin meyakinkan pemilih di Jakarta bahwa warga setempat saja tidak merasakan agamanya dinodai dan bahwa kasus penodaan agama ini hanyalah ambisi politik dari sebagian pihak. Waktu yang mepet akan membuat lawan Ahok kesulitan untuk mencari momentum baru untuk menyerang Ahok. Sangat pas menurut saya!


Untung saja ternyata memang warga di Pulau Kepala dan Pulau Pramuka juga sangat antusias menyambut kedatangan Ahok. Teriakan “dua… dua… dua…” pun kerap terdengar berdasarkan pemberitaan disini.

“Nomor dua, nomor dua, nomor dua. Coblos nomor dua,” teriak warga saat menyambut Ahok, Senin (30/1/2017)

“Sudah kayak pengantin kampung gue (saya),” kata Ahok sambil bercanda kepada warga.

Kalau kita pikirkan secara logika, tentu saja tudingan ribuan sms tersebut tidak masuk akal, mengingat jumlah penduduk disana saja hanya berapa jiwa. Namun ya kadang ngomong dengan orang-orang yang mengedepankan sentimen pribadi daripada akal sehat memang perlu menggunakan data, karena hanya data yang dapat menelanjangi kebohongan orang-orang ini sekaligus mempermalukan mereka.

Bisa kita lihat juga video-video kunjungan Ahok di facebook ‘Basuki Tjahaja Purnama‘. Terlihat sekali warga baik di Pulau Kepala ataupun Pulau Pramuka sangat antusias menerima dan menyambut pemimpin yang mereka cintai. Entah Novel Bamukmin akan melontarkan komentar apa ya setelah melihat kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu hari ini? Saya tidak sabar mendengarnya.

Ini bagaikan tendangan gol di saat injury time yang ditembakkan Ahok kepada para lawan politiknya, sehingga mereka sulit mencari kesempatan baru untuk menyerang. Yang saya anggap unik lagi adalah Ahok masih sempat-sempatnya bercanda dengan mengatakan suasana penyambutan di Pulau Pramuka seperti acara kawinan di kampungnya, hahahahaha. Dasar Pak Ahok, kami disini harap-harap cemas tauk menunggu kabar kunjungan Anda kesana!

Dimana Kamu Jatuh, Disitulah Kamu Harus Berdiri Kembali


Seingat saya kedatangan pada hari ini 30 Januari 2017 adalah kedatangan pertama seorang Ahok ke Pulau Pramuka (koreksi saya jika saya salah). Seperti kata orang, “Dimana kamu jatuh, disitulah kamu harus berdiri kembali”, bagaikan boneka daruma asal Jepang yang kerap bangun kembali ketika dipukul jatuh.

Ahok terjatuh (terkena kasus) di Pulau Pramuka ketika berpidato disana, apakah langkah hari ini akan membuat Ahok bangkit kembali dari tempat dimana ia jatuh? Saya percaya iya. Meski telah terluka, berdarah-darah dan bahkan sempat melalui masa-masa kritis, Ahok mempertontonkan kepada kita semua bahwa ia tetap tegar dan kuat, dan hari ini ia akan bangkit kembali dari Pulau Pramuka.

Komentar Penutup


Setelah menonton video-videonya, saya pribadi sangat terharu melihat sambutan dari warga Kepulauan Seribu terhadap Ahok. Tidak masuk akal Ahok dituduh menodai agama ketika berpidato disana. Meskipun tinggal agak jauh dari daratan Jakarta yang modern, ternyata warga Kepulauan Seribu lebih cerdas dalam berpikir dan menilai. Saya sangat terharu.

Untuk para lawan politik Ahok, saya sarankan kalian untuk was-was. Karena seorang pejuang akan bangkit dengan tekad dan tenaga yang berkali-kali lipat ketika ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Berhati-hatilah kalian karena setelah ini saya prediksikan bahwa Ahok tidak akan ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan semua yang ia miliki untuk memenangkan kompetisi Pilkada DKI Jakarta 2017 ini.

Untuk para pendukung Ahok, mari kita nantikan bagaimana seorang pohon lurus yang ingin ditebang begitu banyak orang akan tumbuh semakin tinggi dan semakin kokoh ketika orang-orang tersebut gagal menebangnya! Kita harus terus semakin gencar menjaga dan merawat pohon ini agar dapat memuncak pertumbuhannya pada 15 Februari 2017 nanti!

Dimulai dari tempat dimana ia terjatuh, disitulah saya percaya bahwa seorang Ahok akan mencari bongkahan batu yang menyandungnya, mengambil lagi keberaniannya yang tercecer disana, lalu pada akhirnya akan bangkit berdiri kembali dengan gagah dan lebih siap lagi untuk meneruskan perjuangannya yang belum berakhir ini.

Dari sebatang pohon yang ingin berdiri kokoh dan tegar di tengah badai dan topan……

@aryanto famili


Ahok Kampanye Di Pulau Seribu, RS Tegang, Haters Kejang

DUNIA HAWA - Satu hari sebelum dilaksanakannya sidang ke delapan (Selasa, 31 Januari 2017) dugaan penistaan agama berlangsung, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyempatkan diri pergi kampanye dengan cara island hoping dari satu pulau ke pulai lain. Kepulauan yang bernama Thousand Island alias Kepulauan Seribu ini, merupakan TKP (Tempat Kejadian Perkara) penistaan agama, khususnya Pulau Pramuka. Ahok tentu tidak akan pergi ke Pulau Pramuka, karena begitu panasnya tempat itu bagi dia. Seluruh umat tidak menerima Bapak disana.

Kok begini…?

Hahhh?? APAHH? (Sambil melotot dan mulut terbuka sehingga mengeluarkan bau yang sangat sedap)


Ahok pergi ke Pulau Pramuka? Ngapain? Mau cari musuh lagi dia? Jangan lah Pak Ahok, jangan mencederakan dirimu Pak. Orang-orang disana tidak menerima Bapak. Cari pulau yang dekat-dekat saja. Jangan cari pulau yang panas! Hati-hati orang disana tidak suka dengan Bapak!

Sotosop kali? Eh maksudnya Photoshop…

Waduh bagaimana mungkin? Oh ada satu kemungkinan! Kemungkinan foto di atas itu editan! Tidak mungkin Pak Ahok setelah menista agama disana, diterima oleh warga yang tinggal disana, bahkan diberikan bunga leher! Atau orang itu taruh bunga di leher karena mau menggantung Ahok! Pak Ahok memiliki tim media sosial yang ahli, sehingga seolah-olah seluruh orang disana diedit pakai sotosop sehingga seluruh orangnya dibuat tersenyum. Take beer!

Kenyataannya…

Respon-respon di atas mungkin merupakan respon yang akan diucapkan oleh orang-orang yang termakan isu dan teror yang dilontarkan dari mulut Rizieq Shihab yang dikendalikan secara jarak jauh oleh Sang Titik Titik. Saya tebak respon ini muncul di malam hari setelah Ahok pergi.

Percaya atau tidak percaya, Pak Basuki Tjahaja Purnama sangat diterima disana, setiap pulau yang ia lewati dengan speed boat secara wajar, tanpa berenang seperti Sandiaga Uno, sangat menerima Bapak dengan antusias. Bahkan tim media sosial melakukan live streaming (jika versi HR: Love Chatting hehehe) di akun media sosial Facebook Pak Ahok ini. LIVE STREAMING, bukan live chat ya.. Ingat… Hehehe (lagi).

Boleh main film nih sama Bang Yayan…

Mengapa boleh bermain film dengan Bang Yayan? Mungkin jawabannya ada pada gambar di bawah ini…

“Foto di sini dong. Jadi ini namanya ‘numpang spanduk orang’, ha-ha-ha,” – Basuki Tjahaja Purnama, 30 Januari 2017 sambil disambut antusias riuh warga Kepulauan Seribu (tuh saya kasih tanggalnya biar greget)

Andaikan saya jadi tim kuasa hukum Pak Ahok, saya akan jadikan foto-foto di atas dan respon-respon warga disana sebagai barang bukti untuk Pak Ahok, untuk menguatkan posisinya bahwa ia tidak sedang menista agama sewaktu ia berbicara di Pulau Pramuka. Bapak boleh main film The Raid 4 – Jakarta The Gotham City dan boleh disandingkan dengan Sang Greget Yayan Ruhayan.

Hal yang sangat langka terjadi di Indonesia: Batman, The Dark Knight Rises. Sekembalinya dari “kekalahan” (ingat kekalahan yang dibuat italic dan diberi tanda petik) yang dialaminya setelah didemo beberapa kali di Monas, Bunderan HI, dan jalan protokol di Jakarta, ia justru muncul di tempat yang paling panas. Lebih mengherankan lagi, bagaimana bisa orang-orang disana malahan menerima Pak Ahok dengan senang dan sukacita? Bahkan disana, Bapak disambut oleh marbut yang tahun 2016 kemarin di-umrah-kan oleh Pemprov yang ada di bawah pimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di tahun 2016.

Ah ini kan Ahok doang, bisa aja Pak Djarot gak diterima…

Di tempat lain, Pak Djarot juga melakukan kampanye yang tentunya tidak kalah ramai dengan kunjungan Pak Ahok, di Kelurahan Semper Barat, juga disambut oleh Keroncong, musik tradisional Betawi. Sumber dapat diklik disini.

Kita dapat melihat sampai sekarang Mbak Mega belum secara langsung turun gunung untuk mendukung pasangan ini, di sisi lain Pak Mantan dan Pak Mantan v.2 juga sudah melakukan itu untuk mendukung Agus dan Anies.

Vox Populi Vox Dei


Satu kalimat yang sudah muncul dari abad ke 12…

Vox Populi Vox Dei – William of Malmesbury

…dengan arti: “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.  Mungkin tidak berlebihan jika saya membuat kalimat ini kontekstual dalam kejadian ini. Tidak perlu Mbak Mega sebagai ketua partai turun gunung, naik gunung, ke bawah, membumi, maupun pegang gunung versi titik-titik untuk memenangkan pasangan ini. Warga Jakarta-lah yang akan memenangkannya! Wong sudah terbukti kok hasil kerjanya….

Giliran Sang Penista Menista Pelapor


Kunjungan “Sang Penista” (lagi-lagi kutip dan miring) ke Pulau Seribu adalah sebuah tamparan bagi pelapor. Bukan sampai sini saja, namun dengan diterimanya sang terdakwa di Kepulauan Seribu dengan antusiasme warga yang sangat tinggi, tentunya membuat mereka kejang-kejang lebih hebat lagi. Inilah kehebatan Pak Ahok, sekali bergerak, dua-tiga juta pipi tertampari. Tidak seperti Sandiaga yang sekali berenang di Pulau Seribu, dua-tiga orang saja yang dadah-dadah unyu. Kita melihat perbedaan secara kualitas dari pasangan nomor dua dengan pasangan satu dan tiga.

Akhir kata…

Pak Ahok, tidak usah lah kita pakai kacamata kuda untuk coblos nomor 2 yang ada di tengah agar tidak lihat kiri dan kanan. Dengan mata terbuka lebar, wawasan terbuka lebar, mata yang melihat ke kiri dan kanan-pun, membuat kami tetap memilih Bapak dan Djarot. Tenang saja Pak! Kami mendukungmu!

Betul kan yang saya katakan?


@hans sebastian


Sekarang, Di Mana FPI Ketika Rumah Allah Dikorupsi?

DUNIA HAWA - Hari ini (30/01/2017) Sylviana Murni diperiksa di Bareskrim Polri sebagai saksi, berkaitan dengan dugaan korupsi dana pembangunan Masjid Al Fauz di kantor Wali Kota Jakarta Pusat. Hal ini menarik perhatian karena, selain Mpok Sylvi merupakan salah satu jawara di pilkada DKI Jakarta yang bersanding dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), reaksi AHY, Demokrat dan FPI sangat berbeda ketika meresponi kasus Ahok, kompetitor tangguh mereka.


Baik AHY, Partai Demokrat (PD), maupun FPI yang sebelumnya begitu keras menyuarakan proses hukum terhadap kasus penodaan agama, sekarang malah tampak diam. Lebih menarik lagi, diamnya mereka sebelumnya sekarang mulai pecah menjadi rasa panik. Ini terlihat dari upaya pembelaan yang berlebihan terhadap Sylvi yang baru berstatus sebagai saksi. Kalau statusnya hanya sebagai saksi, ya tidak perlu takut secara berlebihan; baru jadi saksi saja, kok sudah gelagapan? Atau, apakah ekspresi panik AHY dan PD yang terlihat melalui pembelaan yang berlebihan ini merupakan sebuah indikator akan naiknya status penyidikan yang melibatkan Ibu Sylvi?

Agus: “Ya Kasus Mpok Sylvi kan Beda dengan Ahok.”

Standar ganda dari respons Agus terhadap kasus Ahok dan Sylvi sangat mudah terbaca. Masih jelas di dalam ingatan kita, para pembaca, bagaimana Agus mendorong kepolisian untuk segera mengusut kasus yang menjerat Ahok. Saya mengutip pernyataan Agus yang diberitakan salah satu media nasional hari ini:

“Berbeda dengan kasus Ahok. Kalau Ahok kan kasusnya berbeda. Semua masyarakat meminta kasusnya diselesaikan secara hukum. Dan ini kan sedang diselesaikan,” kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1/2017).

Menurut Agus, kasus yang menyeret nama Sylviana tak mendapat desakan kuat dari masyarakat untuk segera diselesaikan, sehingga proses penyelesaiannya bisa menunggu setelah tahapan pilkada selesai.

“Pastinya Kapolri punya penjelasan mengenai pencabutan itu sehingga terjadi pengusutan kasus semasa pilkada yang rawan dipolitisasi, nanti pastinya DPR akan menanyakannya dalam rapat kerja,” lanjut Agus.

Alasan Agus untuk memperlakukan secara berbeda kedua kasus ini adalah karena pada kasus Ahok ada desakkan yang besar dari masyarakat, sedangkan Sylvi tidak. Di sini kita melihat setidaknya tiga hal dari Agus.

Pertama, ia mengedepankan tekanan massa, bukan penegakkan hukum. Orang seperti ini berbahaya kalau nanti mendapatkan kuasa sebagai pemimpin Jakarta, karena letak hukum berada di bawah injakan kaki-kaki dari sekelompok massa yang mengatasnamakan masyarakat.

Kedua, AHY lupa bahwa kasus Ahok mulai digoreng ketika beredar potongan video yang hanya berdurasi sekitar tiga belas detik dari 6000 detik total pidato. Hal ini diperkeruh oleh Buni Yani dengan penambahan judul yang provokatif dan transkrip yang berbeda dari apa yang diutarakan Ahok. Jelas-jelas kasus Ahok digoreng dan sarat dengan muatan politis karena orang-orang yang hadir pada saat Ahok menyampaikan penyuluhan program tidak ada yang melaporkan beliau.

Apalagi dengan berjalannya sidang, nampak sekali saksi-saksi yang dihadirkan pada persidangan saling terkait dengan FPI, dan muatan kesaksiannya pun banyak mengandung kebohongan. Tapi, setelah pemaparan fakta yang begitu gamblang sejauh ini, tidak keluar satu kalimat pun dari AHY yang juga secara fair mengatakan bahwa kasus Ahok ini sarat politisasi. AHY ini bodoh atau pura-pura bodoh?

Ketiga, Mpok Sylvi tersayang hanya menjadi saksi. Justru nilai tambah dong kalau pasangan AHY-Sylvi menjadi rekan yang kooperatif dalam melawan tindakan korupsi di tubuh pemprov DKI. Bukankah ini dapat menaikkan citra paslon nomor tiga? Tapi kenapa malah ketar-ketir ketika dapat panggung untuk menyatakan diri sebagai pasangan anti korupsi? Ataukah “ada yang lain di senyummu, yang membuat lidahku gugup tak bergerak, ada pelangi di bola matamu.” Eak.

Culasnya Cara Mereka Membawa-bawa Nama Presiden Jokowi


Pada kasus penyimpangan dana Kwarda Pramuka, jujur saya geram, mereka ini kok culas. Tiba-tiba menyebutkan nama Pak Jokowi, seolah-olah Pakde terlibat dalam pusaran kasus korupsi ini. Alasannya pun dangkal lagi, karena anggaran tersebut ditandatangani oleh Pakde semasa beliau menjadi Gubernur DKI. Ini alasan macam apa? Pakde menandatangani dana yang diperuntukan untuk pengembangan Kwarda Pramuka, ya ini tidak salah. Yang salah adalah mereka yang melakukan penyimpangan terhadap dana yang sudah dipercayakan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang telah dipercaya untuk mengelola dana tersebut?

Sudah jelas pada masa itu, yang menjabat sebagai ketua Kwarda Pramuka DKI Jakarta (bahkan sampai saat ini) adalah Mpok Sylvi, beliau yang bertanggung jawab langsung terhadap pemanfaatan dana yang sudah disetujui oleh atasannya.

Lalu, apa respons AHY? Saya kutip pernyataan beliau pada salah satu media nasional:

• Pada kasus Sylvi:


Ia meminta, semua pihak menjaga kondusifitas politik menjelang hari pencoblosan agar semua berjalan lancar.

“Sehingga marilah kita fokus ke arah sana, kita hormati tata laksana peraturan perundangan. Manakala kandidat sedang berlaga, kita berikan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperkuatperformance-nya,” lanjut dia. – sumber: kompas.com.

• Pada kasus Ahok:


“Oleh karena itu, aduan yang diajukan oleh sejumlah kalangan terhadap penegak hukum, menurut saya perlu direspons secara serius, transparan dan bertanggung jawab,” kata Agus.

“Saya tetap berasumsi negara hadir, dan akan menyelesaikan setiap persoalan dengan bijak, adil dan bertanggung jawab,” ujar Agus. – sumber: kompas.com.

Tidak ketinggalan kutipan Pepo yang paling greget, coba ganti kata “Pak Ahok” dengan “Mpok Sylvi”:

Jadi kalau ingin negara kita ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan, jangan salah kutip, negara ini tidak terbakar oleh amarah para penuntut keadilan. Pak Ahok ya mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum. Ingat equality before the law. Itu bagian dari demokrasi, negara kita negara hukum. Kalau perlu diproses (supaya) tidak perlu ada tudingan Pak Ahok tidak boleh disentuh. Bayangkan do not touch Pak Ahok, bayangkan.

Dari sini saja sudah jelas, AHY dan SBY sama-sama duo sejoli. Tajam kepada kasus Ahok, namun tumpul kepada kasus Sylvi, orangnya sendiri. Buah memang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Mana “equality before the law” yang dengan amat nafsu diutarakan oleh SBY menjelang aksi 411? Ini keterlaluan munarohnya, bayangkan saudara-saudara, bayangkan.

Sekarang, di mana FPI?


Sekarang, di mana FPI? Rumah Allah telah dikorupsi, ini sungguh keterlaluan. Rumah ibadah untuk bersujud menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Sang Khalik Langit dan Bumi berani-beraninya dinodai oleh manusia-manusia pengeruk keuntungan pribadi. Front Pembela Islam harusnya maju dan menjadi yang terdepan di dalam meneriakan pengusutan kasus ini. Tapi maaf permisi tanya, di mana mereka sekarang?

Akhir kata dari saya bagi para pembaca, kasus dugaan penodaan agama oleh Gubernur petahana adalah MURNI POLITIS. Tidak ada penodaan agama sama sekali di sana, semua sandiwara ini makin hari makin ternyata busuknya. AHY-Sylvi, PD dan FPI adalah satu komplotan yang terpadu-padan untuk mencari jalan menjegal petahana dengan cara yang sama sekali tidak elegan. Ini adalah cara-cara yang sungguh munafik dan picik. Kursi kekuasaan memang tidak pernah pantas bagi mereka. Bila tongkat kekuasaan sampai jatuh ke tangan mereka, niscaya bangsa dan Negara kita hanya akan mewarisi duka dan nestapa yang mendalam.

@nikki tirta


Hari Ini Ahok Blusukan Ke Kepulauan Seribu, Mpok Sylvi Blusukan Ke Bareskrim Polri

DUNIA HAWA - Hukum karma tak pernah ingkar janji, itu ada benarnya. Entah kebetulan atau tidak, disaat Ahok hari ini blusukan ke Kepulauan Seribu dimana dulu ia dikerjain oleh lawan-lawan politiknya terkait pidatonya mengenai Surat Al Maidah, disaat yang bersamaan hari ini calon wakil Gubernur DKI besutannya koalisi Cikeas justru blusukan ke Bareskrim Polri.


Syilviana Murni dipanggil menghadap Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri terkait kasus korupsi pembangunan Masjid Al-Fauz di kompleks Wali Kota Jakarta Pusat. Dari hasil audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada kelebihan anggaran sebesar Rp 108 juta dari pembangunan Masjid Al Fauz pada 2011. 

Pihak Kepolisian juga menemukan adanya penyimpangan dan kerugian negara akibat ketidaksesuaian spesifikasi saat kontrak awak dan saat Masjid sudah selesai dibangun.

Penyidik Kepolisian telah meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan. Namun untuk sementara waktu Polisi belum menetapkan tersangka. Semoga hari ini rakyat DKI Jakarta disuguhkan kabar menggembirakan dari Bareskrim apikri.

Tampaknya kutuk dan tulah terus menerus menimpa Istana Cikeas. Masalah demi masalah yang tiada henti dan berkesinambungan selalu bermunculan oleh orang-orang dekat SBY.

Satu per satu orang-orangnya SBY diringkus KPK, mulai dari jaman Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, sampai Patrialis Akbar, mudah-mudahan dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya Syilviana Murni ditetapkan sebagai terangka.

Slogannya SBY, “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI”, rupanya justru membius dan menyihir orang-orang dekatnya, termasuk besannya, Aulia Pohan, untuk melakukan sebaliknya, yaitu korupsi.

Mayoritas para koruptor dan pelaku kemaruk gratifikasi dalam lingkaran pusaran Cikeas  adalah para kroni-kroninya SBY. Begitulah kalau jadi orang penuh dengan kepalsuan, ibaratnya guru kencing berdiri, murid kencing sambil ngacir.

Lihat saja Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, hakim berjenggot ala khilafah yang pernah menyarankan warga DKI Jakarta jangan pilih pemimpin non muslim, kini ia tampak gagah dengan jaket oranye bertuliskan “TAHANAN KPK”.

Dalam kasusnya mpok Syilvi, Cikeas justru menuding pemerintah mempolitisasi dan mengkriminalisasi kasusnya Syilviana Murni karena menurut mereka si beliau ini adalah calon wakil Gubernur DKI yang bertarung dalam pilkada DKI 2017 ini.

Mereka berangapan bahwa pemanggilan mpok Sylvi itu adalah bentuk kriminalisasi yang semena-mena dari pemerintah. Mereka sangat yakin seyakin-yakinnya Syilviana Murni dikerjain dalam kasus ini dan mereka sangat percaya bahwa Sylviana Murni dikriminalisasi.

Padahal kalau Cikeas dan krooni-kroninya itu mau berbesar hati dan melihat dari susi bukan kaca mata Lebaran Kuda, lihatkah statusnya Ahok. Ia bukan hanya TERSANGKA lagi, akan tetapi juga TERDAKWA. Apakah Ahok teriak-teriak bahwa ia dizolimi, dipolitisasi dan dikriminalisasi?

Pernyataan Ahok yang mengkritik keras politisasi ayat-ayat Al-quran justru dipelintir sedemikian rupa seolah-olah Ahok telah menghina Al-Quran, seolah-olah Ahok telah menista agama Islam.

Padahal jika dicermati dengan seksama, sangat jelas kritik Ahok itu ditujukan kepada para politisi busuk yang gemar jualan ayat Al-Quran demi ambisi politik mereka tercapai, demi menang Pilkada.

Ahok justru hari ini blusukan ke Kepulauan Seribu, termasuk ke pulau Pramuka, pulau dimana dimana Ahok pernah menyampaikan pidato kontroversial pada tanggal 27 September 2016 lalu tentang jangan mau dibohongi oleh para poitisi busuk dengan menggunakan ayat dari Surat Al Maidah Ayat 51.

Apakah Ahok ciut nyalinya? Tentu saja tidak. Justru ketika Ahok tiba di Kepulauan Seribu pada pukul 09.30 pagi tadi, Ahok langsung disambut dengan sambutan yang hangat dan meriah dari warga kepulauan Seribu yang sudah menunggu kedatangan Ahok. Mereka sangat antusias melihat kedatangan Ahok.

Sebagai calon pemimpin, mpok Syilvi harus berjiwa besar dan menghormati proses hukum yang ada, bukan malah sebaliknya menuding yang bukan-bukan terhadap pemerintah dengan embel-embel politisasi dan kriminalisasi segala.

Kura-kura begitu

@argo javirez


Paradoks Sang Pengawal Konstitusi

DUNIA HAWA - Patrialis Akbar adalah seorang paradoks. Ya, ia adalah paradoks sejati jika menyangkut jabatannya sebagai Hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah lembaga pengadilan yang didirikan untuk mengawal konstitusi (the guardian of the constitution).


Sifat paradoks dalam jabatannya sebagai Hakim MK ini dapat ditemukan bahkan sejak awal ketika ia diangkat sebagai hakim oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu pengangkatannya yang diajukan oleh SBY saja sudah menimbulkan penolakan dari sebagian kalangan karena prosesnya dianggap tak partisipatif dan transparan sesuai yang digariskan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan menegaskan penolakan itu ketika membatalkan pengangkatannya.

Meski kemudian Pengadilan Tinggi TUN dan Mahkamah Agung membalikan penolakan itu dengan membenarkan proses pengangkatan Patrialis, namun hal itu sudah menunjukan sifat paradoksal dari pengangkatan Patrialis sebagai seorang Hakim MK. Tak pernah sebelumnya proses pengangkatannya Hakim MK menimbulkan penolakan seperti itu, karena dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum. Paradoks bukan? Seseorang yang diangkat untuk menegakan hukum dan konstitusi, ketika proses diangkatnya sudah dianggap melanggar hukum.

Paradoks berikutnya muncul ketika ia sudah menjabat sebagai Hakim MK. Kira-kira pertengahan tahun lalu, dalam sebuah acara keagamaan, Patrialis yang berkesempatan memberi sambutan, mengingatkan bagi Umat Muslim untuk tak memilih pemimpin Non-Muslim. Pernyataan ini lagi-lagi menimbulkan paradoks terhadap kedudukannya sebagai hakim MK yang bersumpah untuk memegang teguh Konstitusi kita UUD 1945.

Sebab pernyataannya tentu bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang tanpa memandang apapun agamanya baik Muslim atau bukan berhak mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ia seakan menegaskan posisinya sebagai seorang paradoks, dalam kedudukannya sebagai pengawal konstitusi ia bukannya menginstruksikan masyarakat untuk menaatinya tetapi malah menghimbau masyarakat tak menaatinya.

Terakhir, Patrialis tampaknya ingin agar kedepannya dirinya terus diingat sebagai seorang paradoks terbesar dari MK (mungkin ingin mengalahkan seniornya Akil Mochtar). Ditangkapnya ia baru-baru ini, melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap dalam kasus pengujian undang-undang yang sedang ditanganinya telah memunculkan berbagai macam paradoks lain antara dirinya dan MK.

Jika nantinya proses hukum yang sedang berjalan membuktikan bahwa ia telah memperdagangkan ketentuan-ketentuan konstitusi melalui suap, maka tak ayal jika nantinya ia akan diingat sebagai paradoks terbesar, mengingat kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 merupakan sarana utama MK dalam mengawal agar konstitusi dijalankan dalam praktiknya, apabila terbukti menerima suap ia justru menginjak-injak konstitusi melalui sarana utama yang dimiliki MK untuk memastikan konstitusi ditegakkan.

Selain itu, jika nantinya terbukti. Kasus ini juga akan menimbulkan paradoks lain, karena Patrialis seakan menggugat alasan dibentuknya MK sebagai lembaga peradilan tersendiri yang bertugas mengawal konstitusi diluar Mahkamah Agung (MA).

Dulu di awal reformasi ketika dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, para pengubah UUD 1945 termasuk Patrialis sendiri sebagai salah satu anggota MPR yang ikut serta mengubah UUD 1945, awalnya menginginkan agar kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang diberikan pada MA seperti di Amerika Serikat, namun mereka kemudian menganggap bahwa MA sudah memiliki kewenangan yang begitu besar, sehingga nantinya akan kesulitan jika diberikan tugas-tugas tambahan dalam mengawal konstitusi (Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku VI, 2010).

Oleh karena itulah mereka bersepakat membentuk MK sebagai pengadilan tersendiri diluar MA dengan tugas yang lebih khusus dalam mengawal konstitusi. Pembentukan MK sebagai pengadilan tersendiri ini pun sebenarnya lazim ditemui di negara-negara demokrasi lain yang baru saja terbebas dari cengkeraman rezim otoritarian layaknya Indonesia, umumnya di negara-negara tersebut pilihan membentuk MK sebagai pengadilan tersendiri diluar MA, disebabkan karena keinginan untuk menciptakan suatu pengadilan baru yang mampu mengawal konstitusi dan benar-benar terlepas dari pengaruh rezim sebelumnya yang korup (Donald L. Horowitz, 2006).

Setali tiga uang, di Indonesia pun tampaknya para pengubah UD 1945 membentuk MK dengan alasan demikian karena di awal masa reformasi, MA banyak dianggap telah terpengaruh kebiasaan koruptif rezim sebelumnya. Sayangnya, meski di awal-awal masa pembentukannya khususnya di masa tampuk pimpinan MK dijabat Jimly Assiddiqie dan Mahfud MD, MK tampak berhasil mewujudkan keinginan menciptakan pengadilan yang bersih dari perilaku koruptif (Bjorn Dressel (Ed), 2012).

Namun kini keinginan untuk menciptakan suatu pengadilan baru yang bersih dari perilaku koruptif ini, tampaknya telah menjadi paradoks lewat penangkapan Patrialis, yang merupakan kasus suap kedua yang terjadi di MK.

Ironis memang ketika Patrialis yang dahulu ikut serta menciptakan MK, ketika menjadi Hakim MK malah melakukan hal-hal paradoks yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang seharusnya dipegang teguh oleh seorang yang dinisbatkan untuk mengawal konstitusi. Sekali pun demikian kedepannya kita semua dapat belajar agar tak ada lagi seorang pengawal konstitusi yang menjadi paradoks seperti Patrialis.

Terutama bagi Presiden Jokowi yang sebentar lagi akan mengusulkan seorang hakim baru pengganti Patrialis, mengingat saat ini konflik dan carut-marut politik sedang banyak melanda bangsa kita, dan tak jarang konflik tersebut membuat banyak ketentuan-ketentuan UUD 1945 seolah dilupakan bangsa ini.

Maka penting kiranya bagi Presiden untuk menunjuk seorang yang dapat benar-benar mengawal konstitusi. Karena jika seseorang yang ditugaskan mengawalnya saja menyimpangi UUD 1945, nantinya apakah kita bisa berharap UUD 1945 akan tetap dijalankan bangsa ini?

@abdurrachman satrio